Saturday, December 3, 2022

Pondok Kecil di Tepi Pantai

 

Pondok @daenglala.official mirip resort mahal kelas borjuis. Pondok Daeng Lala mulanya hanya gubuk kecil nelayan, rumah-rumah perahu dibibir pantai barat Kota Baubau. 

Pondok ini di bangun dari usaha bertahun-tahun Daeng sebagai kreator video mancing, yang sebagian dari kita anggap itu sungguh tidak menarik jika di banding dengan konten-konten flexing gaya anak kota kekinian. 

Tetapi Daeng konsisten, dia mengganggap aktivitasnya itu hanya iseng-iseng untuk diupload ke sosmed. 

Daeng hanya menggunakan sebuah handphone. Dia merekam setiap aktivitasnya bersama nelayan hanya menggunakan kamera hp buatan Tiongkok, lalu mengedit footage dengan aplikasi android. Setelah semua beres, dia mengupload dengan kekuatan sinyal yang kadang lelet. 

Tetapi nitizen sangat terhibur dan akun Daeng diserbu bak sarang madu. Seperti para lebah yang berdatangan membawa nektar, akun Daeng mulai mengasilkan pundi-pundi. Beberapa nelayan disekitar pantai Lakeba diberdayakan. 

Nelayan tidak lagi hanya berfokus pada kegiatan menangkap ikan untuk kebutuhan rumah tangga, tapi juga ada rutinitas tambahan mereka dengan terlibat dalam pembuatan konten. 

Hari-hari ini Daeng tidak hanya sibuk membuat konten dengan merekam setiap aktivitas nelayan mencari ikan di laut. Dia sangat peduli pada kehidupan nelayan, juga pada ekosistem biodiversity, pantai dan laut. 

Daeng mulai peduli pada lingkungan. Pernah dia melancarkan kritik ke pihak investor terakit rencana pembangunan resort yang berpontensi merusak ekosistem pantai. Dia juga telah menyadarkan beberapa nelayan yang kerap menangkap ikan dengan bom atau potasium. 

Pondok Daeng Lala ditepi pantai itu telah sukses memantik banyak wisatawan, baik domestik maupun mancanegara. Dia telah menjadi media promosi untuk mengenalkan kota kecil di ujung tenggara Sulawesi ke berbagai benua. 

Sukses terus untuk Daeng. Kita bercerita lagi dilain waktu. 


Thursday, September 22, 2022

Senja Bersamamu

Source: foto yadilaode


Aku pikir kau hanya menyukai puncak

Rupanya kau juga ingin menepi ke bibir pantai 

dulu, 

Kau di puncak bersama dinginnya malam yang menusuk

Aku ditepi pantai bersama ombak yang menggulung


Tetapi itu dahulu kala

Ketika kita berdua belum menyesap pahit manisnya hidup

Ketika kita masih tertatih mengayuh roda kehidupan


Aku coba mengenalmu

karena kau hadir dipikiranku

Kau terus berlari mendekatku

Aku datang memelukmu 


Di atas puncak itu

Biarkan aku datang menembus kabut 

Ditepi pantai ini, 

Kita sama-sama menikmati hangatnya mentari

Dan tangan kita saling menggenggam hingga senja

Hingga akhir cerita

Thursday, August 4, 2022

Cyber Bullying di Sekitar Kita

 

Ilustrasi kekerasan. Sources: Tribuntimur.com

 

ANAK lelaki itu sedang mengikuti latihan menari di satu ruangan sekolah (SMP) Katolik di pedesaan Filipina. Ia berlatih bersama teman-teman lainnya untuk persiapan satu acara besar di sekolah itu. Tetapi sejak awal latihan dia tidak begitu bersemangat. Dia memang tidak begitu suka bergabung dengan grup penari itu.

Sebabnya karena ia kerap diganggu dengan teman-temannya: diejek dan suka dikerjain. Saat dirinya sedang berlatih, seorang teman diam-diam melorotkan celananya. Sontak orang-orang yang melihatnya jadi tertawa dan mengejek. Mereka terus tertawa terbahak-bahak. Anak-anak itu melihatnya seperti mainan.   

Dirinya memang sering dirundung oleh beberapa anak laki-laki teman kelasnya, yang kelihatannya mereka dari keluarga mapan di desa itu. Ketika sedang latihan menari, ia memutuskan untuk keluar dan hendak pulang ke rumah. Ia ke ruang kelas dulu untuk mengambil tas. Tetapi belum sampai ke luar sekolah, seorang temannya meneriakinya, langkahnya terhenti. Teman itu menuduhnya mengambil sebuah iPad yang di-charge di dalam kelas.

Dirinya diminta untuk menunjukkan isi tas yang dipakainya. Tetapi ia tak mau. Ia terus berlari, teman-temannya mengejar, terus memaksanya dan mengakui kalau barang itu ada padanya. Sampai di satu sudut bangunan sekolah, tak ada lagi jalan untuk lari. Ia dikerumuni, karena temannya memaksa dan menarik tasnya, refleks tangannya mengayun meninju wajah anak itu hingga tumbang, jatuh terkapar. Karena emosi, ia masih terus memukul dan menendang. Mereka berdua menjadi tontonan teman-teman lainnya. Beberapa dari mereka ada yang merekamnya dengan ponsel.

Cerita cyber bullying baru saja di mulai. Anak malang itu bernama John Denver. Kisahnya bisa kita temukan dalam film garapan sutradara Arden Rod Condez, seseorang berkebangsaan Filipina. Filmnya menyuguhkan kisah yang diinspirasi dari sebuah fenomena saat ini, di mana anak atau remaja kerap mengalami kekerasan melalui dunia cyber atau media sosial.

Film ini berjudul John Denver Trending. Memang nama anak itu menjadi trending di media sosial setelah seorang teman sekolahnya mengunggah dan menyebar video perkelahiannya di Facebook. Video itupun ditambahkan dengan deskripsi singkat: Ayo buat bajingan ini terkenal. Dia mencuri iPad temanku. Kami sudah lihat ke dalam tasnya, namun dia tetap menyangkalnya. Tak tahu malu! Lihat apa yang dia lakukan pada temanku. Bajingan! Iblis! Suka dan bagikan hingga itu sampai ke Presiden Duterte”

Posingan anak itu mendadak viral. John belum menyadari kalau dirinya direkam dan videonya telah disebar meluas di kanal facebook. Sebab ketika pulang sekolah, ia langsung ke tempat kerja ibunya. Menjelang malam, mereka sama-sama pulang ke rumah.

Ibunya berstatus single parent, ditinggal pergi oleh suaminya yang tewas di medan perang. Suaminya adalah seorang prajurit tentara Filipina.

Keluarganya memang tergolong miskin. Mereka hidup dipedesaan, rumahnya tak jauh dari persawahan, rumahnya sangat sederhana. John memiliki dua adik perempuan. Ibunyalah yang harus bekerja keras untuk menghidupi keluarga, ia bekerja sebagai penimbang buah kelapa di satu pengusaha di desanya. Ibunya harus bekerja di tempat itu karena ia telilit hutang dengan si bos.

Sejak kepergian sang ayah, keluarga mereka menjalani hari-hari dengan tak pasti. Tetapi ibunya memiliki semangat yang tinggi, ia masih memiliki harapan dari anak-anaknya. Ibunya memiliki setumpuk impian dan cita-cita yang telah ia titipkan kepada John yang kini sedang duduk di bangku pendidikan. Ibunya sangat berharap kepada John, kelak suatu hari nanti dirinya menjadi pelita yang menerangi kehidupan keluarga mereka.

Tetapi hari itu John tampak gusar. Belum sampai di rumah, ia coba menyambungkan handphone miliknya ke jaringan internet milik tetangga. Saat membuka facebook, ia mendapat pesan dari seorang temannya. Pesan itu seperti petir yang menyambarnya. Pesan itu hanya untuk mengabarkan kalau dirinya saat ini tengah menjadi perbincangan. Nitizen sedang membahas video perkelahiannya di sekolah. John coba mengirim pesan ke pemilik akun yang memposting video itu, namun tak dijawab sedikitpun.

John menjadi gelisah. Ia terus dihantui rasa takut. Dirinya juga sangat marah kepada teman yang tega menyebar video perkelahian itu dan ditambah dengan narasi yang sangat kejam. Malam itu John menjadi tak tenang. Ibunya curiga, ia lalu bertanya, tetapi John menyembunyikan apa yang sedang dialaminya.

Pagi hari di sekolah, langkah kaki John begitu berat berjalan di antara orang-orang yang melototinya dengan penuh sinis. Sebelum memasuki ruang kelas, anak-anak dikumpul di halaman sekolah, mereka mengikuti semacam ritual apel pagi dan dipandu untuk mengucapkan sumpah patriotik, semacam janji untuk terus mencintai negara.

Ketika anak-anak lain memasuki kelas. John dipanggil menghadap ke kepala sekolah. Di situ telah hadir orang tua dari anak yang pernah dipukulinya. Ibu itu datang bersama seorang polisi yang tak lain adalah tetangga rumahnya. Ibu itu ingin John agar diproses hukum, namun kepala sekolah coba mengambil alih sebab kejadian itu masih berada dalam lingkungan sekolah. Ia meminta waktu untuk melakukan investigasi secara internal.

Padahal kan John sudah berkali-kali berbicara kalau dirinya tak mengambil barang yang hilang itu. Dia juga sudah menjelaskan kronologinya, dari awal hingga akhir kejadian. Saat itu memang ia lari menghindar dari teman-teman penarinya, tetapi bukan karena mengambil iPad, ia hanya kesal karena teman-teman sudah menuduhnya mencuri. John juga sudah menunjukkan isi tasnya, di dalamnya hanya ada buku dan kotak makannya.

John terus ditekan oleh pihak keluarga temannya, ia dipaksa untuk mengaku. John terus mengalami tekanan, tidak hanya di lingkungan sekolah dan dari keluarga temannya itu, tapi juga orang-orang di media sosial yang begitu cepat tersulut emosi lalu menumpahkan marahnya di kolom komentar postingan video yang sudah viral di kota itu.

Di kolom komentar facebook, John membaca satu demi satu tanggapan orang-orang terhadapnya, semua orang menilainya jahat dan berharap dirinya mendapat ganjaran yang setimpal. Dari banyak komentar, rata-rata bernada ancaman: ada yang ingin membunuhnya, ada yang ingin dirinya masuk penjara, ada yang mengedit foto wajahnya menjadi seorang iblis, dan masih banyak lagi komentar-komentar negatif yang ditunjukkan kepada John.

Mengalami banyak tekanan, John menjadi depresi, apalagi ketika ia dijemput dan digelandang ke kantor polisi. Ia mengalami teknanan psikis. Di usia seperti itu, ia diperhadapkan dengan banyak masalah dan tekanan berat, hanya ibunyalah yang terus membelanya. Meskipun John tahu, ibunya tak mampu  berbuat banyak atas masalah yang menimpa dirinya.

John amat sedih melihat ibunya yang berjuang membantu dirinya, di satu sisi ibunya berusaha untuk menghidupi keluarga, di sisi lain dia harus berurusan dengan pihak keluarga yang terus memaksa agar John mengakui perbuatannya.

Sebab banyaknya masalah dan tekanan yang ia hadapi, John menjadi putus asa. Hari itu John berlari pulang ke rumah hendak mencari ibunya, mungkin ia ingin memeluknya, menangis dipangkuannya lalu berbisik: “bu, aku sudah lelah”

Sayang ia tak menemui siapa-siapa di rumah. John tak tahu ibunya pergi ke mana. Rupanya ibunya ke sekolah untuk menemui dirinya. Tetapi mereka tak saling bertemu. John di rumah seorang diri, ia sudah pasrah dan akan melakukan sesuatu hal yang sangat sia-sia.  

Gegap gempita acara sekolah sedang berlangsung, anak-anak sedang bergembira, mereka bersama guru-guru sedang merayakan satu acara, tertawa bersama dan merasa terhibur oleh penampilan tarian anak laki-laki. Sayangnya John tak ikut menari bersama mereka.

Sementara di satu rumah gubuk di dekat hamparan sawah yang sepi, seorang anak sedang berjuang menghadapi banyak hujatan dan tekanan. Tetapi pada akhirnya ia kalah. Siapapun itu, masalah tak mampu dihadapi oleh seorang diri. Memang benar, kata-kata selalu lebih tajam dari pedang.

Ibunya datang mencari John ke sekolah, karena tak bertemu, ia berjalan pulang. Entah bagaimana reaksi ibunya saat tiba di pintu rumah. Di akhir film itu, yang tampak hanya kaki anak lelaki yang menggantung di dalam rumah, tak bergerak, tak menyentuh lantai.

***

KITA bisa mengambil banyak pelajaran dari kisah film di atas, bagaimana informasi di ruang maya bisa bergulir tak terkendali hingga menimbulkan fitnah yang sangat kejam. Film itu hanya satu kepingan dari banyaknya kasus kekerasan dan cyber bullying yang menimpa adik-adik kita.

Dari kisah film ini, saya kembali teringat begitu banyaknya kasus di media sosial kita, di mana orang-orang dengan mudah percaya satu informasi tanpa harus mencari dan mengumpulkan informasi-informasi lain agar menemukan fakta sesungguhnya. Warganet kita lebih suka menghujat atau menampilkan kemarahan mereka daripada memberi solusi.

Ruang media sosial kita memang sangat terbuka, di ruang itu tak ada batasan usia, jenis kelamin, pendidikan, latar belakang atau status sosial. Semua pengguna media sosial bebas berkreasi, membuat dan menyebar informasi, termasuk dikalangan anak-anak dan remaja. Padahal di usia mereka seperti itu masih sangat retan untuk berselancar di media sosial tanpa bimbingan langsung orang tua.

Masa remaja adalah masa di mana mereka senang mencoba sesuatu yang baru dikenalnya, seperti halnya mereka berselancar di ruang media sosial.

Dalam satu riset yang dilakukan Nur Sina (2015) di Kota Malang, dia mengambil informan dari kalangan remaja yang berusia 15 sampai 17 tahun. Nur Sina coba melihat fenomena cyber bullying di kalangan pelajar, sebab tindakan bullying itu biasa terjadi pada usia remaja. Alasannya karena faktor lingkungan, perkelahian di sekolah, adanya imitasi dalam penggunaan media sosial, kurangnya perhatian orang tua dan guru, korban cyber bullying lebih memilih bercerita kepada teman atau menyimpannya sendiri, dan cyber stalking (merendahkan).

Dari penelitiannya itu, Nur Sina pernah menemui seorang pelaku cyber bullying yang masih berusia 17 tahun, ia adalah seorang perempuan, ia melakukan cyber bullying karena dirinya merasa tersinggung oleh ucapan seseorang yang menjelek-jelekkannya. Untuk meluapkan kekesalannya, ia membuat kalimat-kalimat kasar di media sosial facebook.

Kita lebih sering melihat anak-anak remaja yang terbiasa menyelesaikan masalah dengan cara-cara kekerasan, sebab mereka juga sudah terbiasa menyaksikan cara kekerasan sebagai penyelesaian masalah. Mereka memandang kekerasan adalah cara penyelesaian.

Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) mencatat dalam kurun waktu 9 tahun (2011-2019), setidaknya ada 37.381 pengaduan kekerasan terhadap anak. Sementara untuk kasus bullying, baik di pendidikan maupun media sosial, angkanya mencapai 2.473 laporan, namun trendnya terus meningkat.

Seorang psikolog anak, Vera Itabiliana Hadiwidjojo pernah mengatakan bahwa tindakan cyber bullying sering dialami oleh anak yang secara mental terlihat berbeda. Mereka akan cenderung terlihat pendiam, pemalu, dan akan tertutup. Cyber bulling memiliki dampak buruk yang sangat serius jika terlalu lama dibiarkan. Perasaan malu karena dikucilkan membuat mental anak jatuh sehingga dapat mengganggu masa depan mereka.

Melalui kisah dalam drama film John Denver Trending, kita disadarkan oleh peristiwa-peristiwa penting dari banyaknya kasus kekerasan dan cyber bullying terhadap anak di ruang maya di negara kita. Kisah John Denver yang mengalami dampak mental, emosional dan fisik merupakan cerminan dari hari-hari anak dan remaja di sekitar kita.

Monday, February 7, 2022

Makna Telur Bagi Kadru dan Winata


Pria bertubuh kekar itu adalah Bhagawan Kashyapa, satu dari tujuh Resi (Sapta Rishi) yang kerap disebutkan dalam berbagai teks Hindu. Ia dikenal sebagai ayah bagi semua mahluk (The Father of All Beings), juga ayah dari sang Garuda. 

Di samping kiri dan kanannya adalah kedua istrinya, Winata dan Kadru. Winata adalah ibu dari sang Garuda yang perkasa. Sementara Kadru memiliki keturunan berwujud 1000 Naga.

Tampak kedua dewi itu memegang telur. Dalam kisahnya, mereka tidak memiliki keturunan. Karena keinginan yang kuat untuk memiliki anak, maka keduanya menghadap suami, Bhagawan Kashyapa. 

Sang suami menyanggupi permintaan kedua istrinya dengan memberikan telur untuk dierami dan ditetaskan agar kelak mereka memiliki keturunan. 

Tetapi Winata dan Kadru punya cara pandang berbeda soal telur. Bagi Winata, ia tidak perlu memiliki banyak telur untuk dierami, yang terpenting adalah kualitas ketika telur-telur itu menetas. Winata hanya meminta tiga butir telur.

Berbeda dengan Winata, Kadru meminta seratus butir telur. Itu jauh lebih banyak dari yang diminta Winata. Baginya, keunggulan terletak pada jumlah yang banyak.

Bhagawan Kashyapa berpesan kepada kedua istrinya, kelak tiba waktunya telur-telur akan menetas, pecah dengan sendirinya dan mengeluarkan jabang bayi yang sempurna.

Kisah ini sebenarnya cukup panjang, karena memiliki makna untuk melukiskan citra kepribadian perempuan dalam kesusastraan lama. 

Di antara telur-telur yang dimiliki sang dewi, apakah sosok yang berpose ini berasal dari telor yang pecah itu? mungkin.

Popular Posts