Sunday, December 28, 2014

Pesona Pulau Hoga Wakatobi

Sumber: Pulau Hoga di Wakatobi
HOGA adalah salah satu pulau di Kabupaten Wakatobi yang cantik dan eksotis. Sejak lama tempat itu di gandrungi banyak wisatawan karena tersimpan banyak cerita tentang keindahan pesona bawah lautnya. Wakatobi merupakan akronim dari empat pulau yaitu Wangi-wangi, Kaledupa, Tomia dan Binongko. Pulau Hoga berada diantara empat pulau itu. Lautnya, menjadi incaran para penyelam sebab terumbu karang tidak hanya menjadi rumah bagi ikan, tetapi menjadi tempat wisata bawah air bagi para penyelam. Ada banyak jenis ikan dan biota yang berumah di terumbu karang laut Wakatobi yang mesti di jaga dan perlu untuk di lestarikan. 

Saat itu, saya baru saja menyaksikan satu acara di layar kaca, tentang keindahan bawah laut di Pulau Wakatobi. Saat menyaksikan, saya makin penasaran dengan keindahan pulau itu. Padahal di Kota Baubau tempat saya tinggal, ada banyak teman dan tetangga rumah saya yang berasal dari Wakatobi. Tetapi saat saya menanyakan tentang keadaan Wakatobi, nampaknya mereka menjawab dengan biasa-biasa saja. Mereka hanya bercerita tentang Wakatobi yang suhunya begitu panas, tentang lautnya yang menggulung ketika musim ombak tiba, tentang kehebatan para pelaut saat mengarungi laut lepas, atau seringkali saat mereka datang dari Wakatobi, saya diberi Kasuami Pepe, makanan khas yang cukup populer dan bisa bertahan lama sampai beberapa hari.

Sumber: Mercusuar di pulau Hoga Wakatobi
Sumber: Seorang ibu sedang mengayuh perahu
Untuk kali pertama, malam itu saya menumpangi sebuah kapal menuju Wakatobi. Di atas kapal saya bersama penumpang lainnya berangkat dari pelabuhan Murhum Baubau dan keesokan pagi nya saya tiba di pelabuhan Wangi-wangi ibukota Kabupaten Wakatobi setelah sembilan jam berada di atas kapal. Sejak pagi, aktifitas warga di pelabuhan sudah ramai. Beberapa warga nampak sibuk memikul barang dari atas kapal. Tak jauh dari pelabuhan tempat saya berada, para perempuan suku bajo itu dengan kekar mengayuh setiap perahu yang mereka bawa. Perempuan-perempuan itu memuat segala jenis kebutuhan mereka. Bahkan saya sempat menyaksikan, seorang wanita tua dengan perkasa memuat batu di dalam perahu. Ia hanya seorang diri dan mengayuh secara perlahan perahu miliknya. 

Segelas teh hangat ku pesan pada seorang pelayan warung, sebelum perjalanan ku lanjutkan kembali ke pulau Kaledupa. Saya harus mencari kapal lain sebab kapal yang saya tumpangi semalam tidak berangkat lagi. Tak berapa lama, kapal yang kutunggu sudah siap berlayar menuju Kaledupa, perjalanan akan saya lanjutkan kembali. Tidak terlalu lama untuk sampai kesana, kapal harus berhati-hati sebab air laut sedang surut dan di khawatirkan akan kandas. Ternyata, saya sedang berada di atas terumbu karang yang indah itu. Saya sudah mulai melihat keindahan bawah laut Wakatobi, kapal yang ku tumpangi mencari jalur aman agar tidak menabrak terumbu karang. Dari jauh kulihat pulau Hoga, pasir putih dan pepohonan menambah kecantikan pulau itu, saya sudah tidak sabar untuk segera kesana. 

Sumber: Saat tiba di pulau Hoga
Sumber: saat anak-anak suku bajo bermain
Di pulau Kaledupa, saya tiba di desa Langgee. Sebuah desa yang konon karakteristik masyarakatnya sedikit keras. Entah mungkin karena di pengaruhi tempat tinggal mereka di antara batu-batu cadas atau mungkin saja karena mereka suka mengkonsumsi kasoami, tetapi itu semua hanya asumsi saya saja. Buktinya, selama saya berada di desa itu nampak keramahan masyarakat sangat menyambut baik setiap pengunjung yang datang di desa mereka. Masyarakat Wakatobi sangat menjaga nilai-nilai kearifan lokal sebagai kekayaan budaya. Mereka membentuk kerukunan sebagai sarana untuk menjalin silaturahmi dan untuk mempererat tali kekeluargaan. Saya kagum dengan solidaritas masyarakat disana yang saling membantu dan menjaga ikatan kekeluargaan. 

Keesokan paginya saya bersiap untuk ke pulau Hoga. Saya bersama kawan lainnya di antar menggunakan katinting sejenis perahu yang menggunakan mesin. Pulau Hoga berhadapan langsung dengan pulau Kaledupa yang jaraknya tak terlalu jauh. Saya melihat hamparan pasir putih dan rimbun pepohonan disana. Perlahan rasa penasaran saya selama ini kian terjawab saat saya tiba di pulau hoga. Hari itu, tak banyak warga yang datang berkunjung, hanya ada beberapa orang turis asing yang sedang asik berjemur di bibir pantai. Mungkin saja karena musim libur belum tiba. 

Saat menyusuri setiap jalan dan melihat langsung isi pulau, beberapa rumah huni yang di sewakan nampak sudah tak terawat lagi dan kondisinya sudah mulai lapuk. Fasilitas listrik dan air bersih juga belum tersedia di pulau itu. Pantai di pulau Hoga memang berbeda dengan pantai di pulau lain yang terkelola dengan baik. Ada beberapa tempat wisata di Wakatobi yang dikelola secara pribadi dan oleh investor. Tempat-tempat itu memungut tarif yang cukup mahal sebab pelayanan dan fasilitas sudah serba mewah. Berbeda dengan kondisi pantai di Pulau Hoga yang tak terkelola dengan baik. Nah, kalau saja pemerintah mau mengolah tempat itu dengan baik, tentu akan mengundang para wisatawan untuk tinggal berlama-lama di pulau Hoga. Tidak hanya itu, masyarakat sekitar juga akan di untungkan dengan para wisatawan yang memakai jasa transportasi laut sampai dengan rumah-rumah yang siap di sewakan kepada mereka. Yah, sudah pasti kehadiran para wisatawan itu akan meguntungkan pemerintah daerah juga pendapatan masyarakat lokal.   

Meski hanya sehari berada di pulau Hoga, namun saya menikmati betul keindahan alam Pulau itu, tentang pesona terumbu karangnya, tentang budaya dan kearifan lokal masyarakat sekitar, tentang mereka yang selalu sadar untuk menjaga kelestarian lingkungan di pesisir pantai serta perairan lautnya. Sehari disana tak cukup rasanya, ingin kembali dan menikmati suasana pulau Hoga yang sudah memanjakan mata dan menjawab rasa penasaran saya selama ini. Ini tentang keindahan pulau di Wakatobi.    


Baubau, 28 Desember 2014

Saturday, December 20, 2014

Kisah Mulia Sang Guru Honorer

Sumber: Sepasang anak sedang bermain
DI tengah lembaga penegak hukum dengan beringas memburu setiap pelaku tindak pidana korupsi, saya melihat satu obor yang menyala dan membakar jiwa tunas-tunas muda. Semangat itu datang dari seorang guru honor pada sebuah sekolah dasar. Disaat ia melihat sekian anak negeri terlibat kasus korupsi, ia tetap yakin jika bangsa ini secara perlahan akan terbebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN). Baginya, untuk memberantas korupsi tentu tidak hanya dengan menangkap lalu di adili lewat hukum. Namun lewat pencegahan, negara ini akan bebas dari korupsi. Maka penting setiap anak, sejak usia dini mereka sudah harus di bentuk melalui pendidikan moral yang didalamnya terdapat nilai-nilai kejujuran.    

***

PAGI itu saya mengantar adikku ke sekolah. Ia masih duduk di kelas lima sekolah dasar. Jarak antara rumah dan sekolahnya cukup jauh. Kupacu sepeda motorku dengan terburu-buru. Sebab, saat itu ia sudah agak sedikit terlambat untuk mengikuti pelajaran pertama. Setibanya di sekolah, saya lalu mengantarnya sampai ke pintu ruang kelas. Saya mecoba untuk bertemu langsung dengan guru kelasnya perihal menyampaikan keterlambatannya. Benar, ternyata sang guru sudah berada di dalam kelas dan sedang memberi pengarahan di hadapan murid-murid nya. Kata adikku, guru itu tak pernah terlambat saat kesekolah. Ia lebih dulu hadir sebelum mata pelajaran di mulai, bahkan sebelum guru-guru lain hadir di sekolah.

Guru itu sangat disiplin dengan waktu. Ia selalu mengajarkan kepada murid-muridnya jika penting untuk menghargai waktu. Salah satu perbuatan korupsi adalah ketika seseorang tak disiplin dengan waktu. Misalnya, ketika seorang pegawai di sebuah kantor yang datang kesiangan kekantornya. Nah itu juga perbuatan korupsi, korupsi dengan waktu. Itu benar, sebab ada banyak orang-orang kantoran yang tidak disiplin dengan waktu. Mereka sering datang tak tepat waktu bahkan banyak yang malas ke kantor.

Saya coba menunggu beberapa saat hingga guru itu mempersilahkan adik saya untuk masuk. Beberapa saat kemudian ia di panggil masuk untuk mengikuti pelajarannya. Belum jauh kaki saya melangkah meninggalkan ruangan kelas itu, saya mendengarkan beberapa penjelasan guru itu kepada murid-muridnya. Saya kembali mengintip dari jendela ruang kelas, ternyata sang guru sedang memberi materi pelajaran tentang arti sebuah kejujuran kepada murid-muridnya. Yang kulihat dari guru itu, ia sangat bersemangat saat memberi pelajaran meski ia hanyalah guru honorer di sekolah itu. 

Ia adalah Kasradi (34) lelaki asal Todanga Kabupaten Buton. Saya bercerita banyak dengannya usai jam mengajarnya telah selesai. Kasradi besar dari keluarga yang sangat sederhana, Ayah dan ibunya berkerja sebagai petani di sebuah desa di bawah kaki gunung Lambelu. Saat ini, dirinya hanya mampu menamatkan pendidikannya sampai pada Diploma Dua (D2) Pendidikan dengan harapan bisa melanjutkan kembali kuliahnya sampai pada strata satu. Semenjak kuliah, ia sangat gencar mengkampanyekan pendidikan anti korupsi, baik itu di dalam kampus maupun mengikuti organisasi luar kampus, ia sangat aktif dalam berbagai kegiatan organisasi. Beberapa kali ia mencoba untuk mengikuti tes seleksi penerimaan pegawai negeri sipil (PNS) di kota ini. Tetapi keberuntungan tidak datang begitu saja. Sebab, beberapa kali ia gagal saat mengikuti tes. Saat itu, ia sangat berharap kalau tim pemeriksa adalah orang-orang bisa di percaya dalam memeriksa setiap lembar-lembar jawaban serta objektif dalam memberi penilian.     

Beberapa hari usai mengikuti tes seleksi, ia mendapat banyak tawaran dari berbagai pihak dan meminta sejumlah uang dengan jaminan dirinya dapat lolos sebagai pegawai neger sipil. Mendengar hal itu, ia tak menanggapinya serius. Kasradi saat itu tak berkomentar banyak. Sebab, semua soal sudah dijawab dan diselesaikan dengan baik. Ia sangat yakin, tanpa membayar pun yang menentukan adalah tim pemeriksa. Namun ternyata, apa yang di harapkan sama sekali di luar dugaannya. 

Untuk kedua kalinya, namanya tak ada di lembar pengumuman hasil tes seleksi. Ia kembali tidak diterima sebagai pegawai negeri sipil usai mengikuti ujian tes yang di dibuka oleh pemerintah daerah setempat, hatinya sempat teriris saat itu. Potret pemerintah daerah yang menurutnya sangat tidak jujur dalam menjaring calon pegawai. Ia bercerita, ada banyak yang ia saksikan tentang permainan elit birokrat setiap kali penerimaan pegawai. Bahkan, ada beberapa nama-nama yang diketahuinya lulus adalah anak-anak para pejabat yang sebelumnya sudah mendapatkan jaminan. 

Bisa dibayangkan, ada ribuan calon pegawai yang mengikuti tes seleksi namun hanya beberapa ratus orang saja yang dapat di terima. Meski berkerja sebagai pegawai negeri sipil hanya salah satu pilihan diantara banyaknya pilihan lain. Ironisnya, mereka tak segan-segan membayar mahal untuk melancarkan segala urusan agar dapat diterima nantinya. Kasradi hanyalah satu diantara guru-guru lain yang  masih berstatus non pegawai. Mereka mengabdikan diri sebagai guru bantu dengan gaji tak seberapa.

Sumber: Anak-anak sedang bermain air 
Di sebuah desa, saya pernah melihat sebuah sekolah dengan kondisi bangunan yang memprihatinkan. Atapnya bocor dengan lantai ruangan sudah berlubang. Murid-muridnya di kumpul dan di ajar dalam satu ruangan saja, mulai dari kelas satu sampai kelas enam. Guru yang mengajar hanya seorang saja, entah dimana dengan guru yang lain. Padahal anak-anak di sekolah itu sangat membutuhkan tenaga pengajar dan beberapa fasilitas ruangan yang memadai. Bersekolah di desa masih sangat berbeda dengan sekolah-sekolah di perkotaan. Proses belajar mengajar di sekolah kota sudah amat nyaman, berberda dengan sekolah di desa. Anak-anak sekolah di desa masih sangat terbatas, baik itu dari tenaga pengajar yang minim maupun fasilitas pendidikan yang kurang memadai. Seringkali mereka tak belajar karena tak ada guru yang datang untuk mengajar, atau biasanya sekolah mereka di liburkan karena banjir dan atap sekolah yang bocor. Sementara sekolah-sekolah dalam kota menyediakan guru-guru terbaik dengan fasilitas ruang belajar yang nyaman.

***

Pendidikan anti korupsi sejak usia dini menjadi sangat penting saat ini. Pendidikan di mulai dari dalam keluarga itu sendiri. Orang tua menjadi guru utama yang selalu mendidik dan membentuk prilaku sang anak. Sebab, daya ingat mereka akan sangat cepat menangkap perilaku orang lain melalui keluarga, lingkungan sekitar, dan media massa. Keluarga sangat berperan penting untuk mendidik anak. Budaya sopan santun, bertindak jujur dan perbuatan baik lainnya adalah hal yang mesti tersampaikan untuk membentuk pribadi setiap anak. Tentu, semua dengan cara-cara lembut dan harmornis. 

Selain di lingkungan keluarga, pendidikan di sekolah juga sangat penting dalam mendidik anak. Melalui materi pelajaran yang di terima dari seorang guru. Sekian lama Kasradi menjadi guru honor, mendidik siswa-siswinya untuk menjadi pribadi yang baik. Ia berharap, pencegahan korupsi akan baik kalau itu dimulai sejak usia dini, sejak anak itu mulai tumbuh dengan sikap-sikap kejujuran. Sebab, kejujuran adalah jalan terbaik untuk menjauhkan mereka dari prilaku korupsi. 



Baubau, 20 Desember 2014

Sunday, December 14, 2014

Meniru Keteladanan La Ode Manarfa

Sumber: Foto Yadi La Ode
SUATU pagi yang cerah, embun masih membasahi rumput dan pepohonan. Sementara sang surya baru saja menampakkan cahayanya di timur sana. Seorang wanita nampak sibuk menanam beberapa bunga di halaman sebuah rumah. Wanita itu adalah seorang permaisuri, istri dari Sultan La Ode Falihi.

***

Suatu ketika permasuri menyuruh sang anak La Ode Manarfa, ia diminta untuk menanam sebuah pohon di halaman rumah. Namun saat itu La Ode Manarfa yang baru saja tiba mengatakan kalau yang akan dilakukannya itu sangat susah. Sontak membuat sang ibu geram dan marah, mestinya kata itu tak keluar dari sang anak. Tak ada kata susah selagi semua dijalankan dengan niat dan usaha yang kuat. Sebuah prinsip yang tertanam dalam keluarga sultan saat itu.

Sumber: ujungangin.blogspot.com
Sejak kecil, La Ode Manarfa tumbuh dan besar dari keluarga terdidik dan disiplin. Ibunya selalu memberi ketegasan dalam mendidiknya. Hal itu membuat ia berbeda dengan anak-anak raja yang lain, ia tak menunjukan sikap manja kepada siapa pun. Sejak kecil, La Ode Manarfa sudah di latih untuk hidup mandiri. Meski ia adalah anak dari seorang sultan. Baginya, menjadi seorang anak sultan tidaklah harus berdiam dan duduk nyaman di dalam istana. Ia harus menunjukkan kalau dirinya juga sama dengan anak-anak lain pada umumnya dan berkerja membantu keluarga. Dari sikapnya dan prilakunya, ia menjadi contoh dari anak-anak raja lain.

Masa-masa kecil La Ode Manarfa sebagai anak sultan telah memberikan banyak pelajaran tentang pentingnya saling menghormati dan saling menghargai di mana pun ia berada. Pelajaran itu banyak di dapat saat masih bersama sang ayah. Ketika itu, ayahnya adalah sultan dan Ibunya adalah seorang permaisuri. Ada banyak pesan-pesan yang di tinggalkan dan diturunkan dari sang ayah untuk kemudian di dijalankan kembali oleh sang anak La Ode Manarfa. Itu di mulai sejak ia menempuh pendidikan di luar Buton sampai ia kembali dengan mendapatkan gelar sarjana dari negeri Belanda.

Meski ia belajar dan menempuh pendidikan luar negeri, ia tetap menjaga nilai-nilai kebutonan itu. Ia masih fasih berbahasa wolio, bahasa persatuan dari kesultanan Buton. Identitas kebutonan itu tetap melekat pada dirinya. Justru sepulangnya dari Belanda, ia banyak membangun sumber daya manusia lewat pendidikan. Ia menjadi satu-satunya putra Buton yang mendapat kesempatan untuk belajar sampai keluar ke luar negeri. Tentu semua itu tak terlepas dari didikan yang pernah di berikan semenjak ayah dan ibu masih bersamanya. Ia menangkap semua pesan yang di berikan kedua orang tuanya ketika ia masih kecil dulu. Hingga akhirnya pohon yang dulu ia tanam, kini ia sudah bisa memetik hasilnya. 

Bahwa apa yang dahulu ia keluhkan ketika sang ibu menyuruhnya untuk menanam sebuah pohon di halaman rumah adalah suatu pembelajaran berharga yang ia dapatkan. Jika sebenarnya tidak ada yang susah selagi itu bisa di coba dan dimulai dengan niat yang baik. Sederet pengalaman yang pernah di lewati hingga akhirnya ia di angkat untuk menggantikan sang ayah sebagai sultan. La Ode Manarfa di beri mandat untuk melanjutkan tampuk kepemimpinan di kesultanan Buton. 

Di masa ia diangkat menjadi Sultan, La Ode Manarfa diberi mandat untuk melanjutkan roh kepemimpinan kultural yang disaksikan oleh mantan pejabat lembaga kesultanan. Sebelumnya ia bertanya, “Mau diserahkan kepada siapakah tongkat ini? Sebab, yang mempunyai kewenangan inikan sudah bubar duluan (siolimbona). Sementara tongkat inikan masih tetap di tangan Sultan sebelumnya. Kalau ini di bawa keliang kubur, maka habislah simbol kultural kita”. Soal pro kontra pengangkatannya menjadi Sultan memang menuai kontroversi, tetapi pada saat itu kepada siapa lagi yang dianggap pantas dan layak untuk melanjutkan kepemimpinan di kesultanan. 
***

Bubarnya siolimbona yang saat itu bagian dari lembaga kesultanan Buton dikarenakan faktor proses indonesianisasi terjadi di Buton dan terbentuknya Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) kemudian berimbas pada lembaga kesultanan yang secara perlahan mulai terkikis dan bubar. Pada akhirnya, satu-satu nya lah sultan yang berjalan dalam pemerintahan kesultanan Buton. Cerita tentang La Ode Manarfa yang diangkat menjadi Sultan sebagaimana Safrudin Prawinanegara menerima mandat/memo dari Bung Karno di bukit tinggi.

Sumber: Foto Yadi La Ode
Pengangkatan dirinya sebagai sultan hanyalah kebetulan jika beliau adalah putra Sultan sebelumnya La Ode Flaihi. Peran La Ode Manarfa semasa hidupnya, sebagaimana ia memereankan dirinya sebagai simbol kultural atau sebagai maskot buton keluar dan sebagai pengintegrasi kedalam. Kabar soal pengangkatannya sebagai Sultan memang keluar dari tata nilai, sebab beliau tidak di “Falii” dan tidak di payungi. Tapi sekali lagi, karena situasi dan kondisi yang tidak memungkinkan, mau tak mau ia harus melanjutkan tongkat kepemimpinan kesultanan Buton.

Semenjak dirinya menjabat di kesultanan, banyak stigma negatif yang di dapat. Namun ia tetap kokoh dan selalu meresponnya dengan baik, ia mau menerima siapa saja dan menganggap mereka adalah bagian dari keluarga. Ia tahu kalau dirinya adalah seorang sultan yang mesti menjadi telandan dan siap membantu bagi siapa saja yang membutuhkannya. Pelajaran itu didapat ketika melihat sosok ayahnya La Ode Falihi saat menjabat sebagai sultan. Ada banyak yang sudah ia petik dari setiap pembelajaran yang di berikan oleh sang ayah untuk kemudian di jalankan dengan baik di tengah-tengah masyarakat Buton.

Sosok La Ode Manarfa tidak terlepas dengan kehidupannya di keluarga. Kepada anak-anak, ia memberi perhatian penuh pada pendidikan. Meski banyaknya benturan yang di dapatkan, namun ia tak pernah mundur dan itu harus di lewati. Semangatnya tak pernah patah, apapun masalah yang di hadapi justru itu menjadi cambuk baginya. Jiwa itu terus bergelora, tak ada rasa putus asa dari seorang pemimpin. Baginya, menjadi seorang sultan adalah sebuah tanggung jawab besar yang didalam nya ada kejujuran. Pesan-pesan itu kembali ia berikan di tengah-tengah keluarganya, la Ode Manarfa pernah berpesan pada salah seorang putrinya “Jika kamu kedepan bisa menjadi seorang pemimpin yang pertama kau harus lakukan adalah Sayangi Rakyatmu, dan kedua adalah Jangan Kau Ambil Hak-Hak Rakyatmu”.

Ketokohan La Ode Manarfa tidak hanya di mata keluarga, namun di masyarakat pun ia sangat di hormati. Itulah bentuk pengabdian dan cara hidup bermasyarakat yang ia tanamkan sejak masih berstatus sebagai anak sultan. Di masa tuanya, ia lebih banyak menghabiskan hari-harinya di tanah Buton. Ia tak pernah melewatkan satu acara pun di masyarakat, semua undangan (pokemba) pasti ia selalu menghadirinya. Itulah kecintaannya terhadap budaya dan bentuk penghargaan dari setiap masyarakat yang telah mengundangnya. Meski kondisinya tak sekuat dulu lagi dan mulai sakit-sakitan, ia masih mempunyai semangat untuk terus berkerja.

Di tengah kering kerontangnya kepercayaan masyarakat terhadap setiap pemimpin, ada banyak yang mesti kita teladani dari sosok La Ode Manarfa. Ia sudah memberi kontribusi lewat pendidikan, Kebudayaan, Politik, dan Ekonomi. Itulah sosok dari La Ode Manarfa semasa ia mengabdikan diri sebagai anak sultan hingga ia menggantikan sang ayah sebagai sultan Buton.


(Dalam proses penyusunan Biografi La Ode Manarfa)
"Tongkat Putra Sultan"  



Baubau, 14 Desember 2014

Saturday, December 13, 2014

Pendidikan di Mata Anak Sultan

Sumber: Foto Yadi La Ode
ANAK itu baru saja menamatkan sekolahnya di bangku sekolah dasar (SD). Ayahnya La Ode Falihi, berkeinginan memasukan putranya itu ke sebuah sekolah pemerintahan. Namun, sang anak La Ode Manarfa tak ingin masuk kesekolah itu. Ia lebih memilih berangkat ke Batavia. Di tempat itu, ia di gembleng untuk bergabung dalam perkumpulan MH.Thamrin. 

***
Saat itu, tak banyak orang yang bisa memperoleh pendidikan. La Ode Manarfa adalah salah satu putra sultan diantara anak-anak sultan lain yang diutus mencari ilmu ke negeri Belanda. Ia dipercaya untuk mendapatkan beasiswa yang di peruntukkan putra-putri raja. Sebab, hanya dirinya lah satu-satunya putra sultan yang memenuhi syarat sampai pada jenjang SMA. Meski sempat berhenti sekolah, namun ia disepakati dalam forum Raja/sultan untuk melanjutkan pendidikan nya ke Belanda. Dengan begitu, keberangkatan La Ode Manarfa sebagai anak sultan adalah bukan dari utusan sultan Buton, akan tetapi keberangkatan nya atas dasar dan kesepakatan forum raja dan sultan se Sulawesi.

Selain sang ayah, ibu nya adalah sosok yang tegas dalam mendidik dan memotivasi hingga La Ode Manarfa bisa bersekolah. Saat usianya memasuki 9 tahun, ia sudah meninggalkan tanah Buton dan mengenyam pendidikan di Sulawesi Selatan. Disana, ia tinggal dirumah seseorang yang bukan bagian dari keluarganya. Meski begitu, ia tak pernah menunjukkan sikap manja sebagai anak sultan kepada siapapun. Dengan penuh kesabaran, ia berhasil menyelesaikan pendidikan sampai jenjang berikutnya. 

Baginya, pendidikan menjadi amat penting di tengah keterbatasan sumber daya manusia saat itu. Sejak kecil, La Ode Manarfa telah di didik dan diharapkan oleh kedua orang tuanya untuk menjadi anak yang berguna sebagaimana pendidikan yang didapat dari putra-putra keraton lainnya. Ia memerankan diri sebagai anak-anak lain di luar dirinya sebagai anak bangsawan, tak ada jarak antara La Ode Manarfa sebagai anak Sultan dan Masyarakat.

Semenjak sekolah, La Ode Manarfa sudah banyak terlibat di kelompok kepemudaan. Di Belanda, ia aktif di Perhimpunan Pelajar Mahasiswa Indonesia (PPMI). Ia di kenal kritis dalam berbagai hal. Di Forum itu, ia melancarkan sejumlah kritikan terkait dengan agresi militer Belanda di Jogjakarta. Ia juga menjadi salah satu anggota kelompok pergerakan dalam rangka mengamankan rapat-rapat penting dan rahasia kaum pergerakan di Sulawesi Selatan dari intaian polisi rahasia Belanda. Tak banyak yang bisa sampai sekolah ke Belanda, namun La Ode Manarfa mempunyai spririt berbeda dari anak pejabat yang lain dan bisa sampai ke luar negeri.
  
Selama di belanda, sang istri bersama anak tercintanya lah yang selalu memberi motivasi hingga akhirnya ia dapat menyelesaikan studi dan mendapat gelar sarjana disana. Kurang lebih lima tahun mengenyam pendidikan di Belanda, ia  kembali ke tanah air lalu terlibat banyak dalam pendirian perguruan tinggi di Sulawesi. Misalnya, ketika La Ode Manarfa bersama teman-temannya ikut terlibat dalam pembuatan lambang Universitas Hasanuddin. Selain aktif mengajar di kampus-kampus Sulawesi, ia di akui sebagai pendiri pada beberapa kampus dan dewan korator di UMI Makassar hingga kini. Berbagai kontribusi La Ode Manarfa pada dunia pendidikan ia torehkan dan memberi perhatian kepada generasi-generasi yang ingin melanjutkan pendidikan sampai ke jenjang perguruan tinggi. Hingga kini, sebuah asrama mahasiswa di makassar telah memberi kemudahan bagi mahasiswa yang melanjutkan pendidikan ke luar pulau Buton.
  
Semangat membangun dunia pendidikan tentu tidak hanya tunjukan di Sulawesi Selatan saja. Sepulangnya ia di Buton, La Ode Manarfa gencar mengkampanyekan jika pentingnya sebuah pendidikan dan berharap kepada pelajar-pelajar saat itu untuk bisa melanjutkan pendidikan sampai pada jenjang perguruan tinggi. Ia lalu mendirikan kampus pertama yang kini berganti status menjadi kampus negeri dari yang sebelumnya adalah kampus swasta. Dahulu kampus itu bernama UNHOL lalu berganti nama menjadi Univesitas Halu Oleo (UHO) yang berpindah dari Buton ke Kendari sebagai ibukota propinsi. 

La Ode Manarfa bersama La Ode Malim kembali mendirikan kampus sebagai wujud kecintaannya terhadap dunia pendidikan di tanah Buton. Tak banyak pelajar saat itu yang mendapatkan pendidikan sampai ke jenjang perguruan tinggi. Melihat hal itu, La Ode Manarfa bersama La Ode Malim kembali mendirikan sebuah kampus yang di beri nama Universitas Dayanu Ikhsanuddin (UNIDAYAN) untuk membantu setiap pelajar yang melanjutkan pendidikan sampai mereka sarjana. 
***
Universtias Dayanu Ikhsanuddin (UNIDAYAN), sejak tahun 1982 berdiri telah banyak memberi warna bagi dunia pendidikan di Buton. Sekian lama kampus itu berdiri, kini sudah mencetak para sarjana, magister, doctor, hingga Profesor. Cita-cita itulah yang di harapkan oleh sosok La Ode Manarfa bersama La Ode Malim untuk membangun sumber daya manusia di tanah Buton.

Sumber : La Ode Manarfa (foto: ujungangin.blogspot.com)
Sejak dirinya aktif sebagai rektor dan dosen, banyak hal yang di ajarkan tentang ahlak dan budaya. Sosoknya yang begitu aktif dalam setiap perkuliahan adalah kecintaannya pada dunia pendidikan. Ia banyak melatih setiap mahasiswa untuk menjadi pribadi yang tangguh, mereka dilatih untuk berbicara di atas mimbar dan di saksikan banyak orang. Ia menurunkan ilmu seni berpidato kepada mahasiswa yang di didiknya, sama seperti dirinya dulu berbicara di hadapan banyak para pejabat dan petinggi negara.  

Semenjak Unidayan berdiri, secara perlahan kampus itu berkembang dan telah di huni oleh ribuan mahasiswa. Ia telah menitipkan masa depan pendidikan kepada setiap generasi. Sosok La Ode Manarfa pada dunia pendidikan di pandang sebagai seseorang yang telah membuka lebar pintu pengetahuan di Buton. Pengetahuan yang di peroleh semenjak dirinya sekolah sampai ke Belanda itu tidaklah sia-sia. Ia telah membuktikannya lewat pengabdian dan berbagai kontribusi lewat dunia pendidikan. 


Dalam proses penyusunan Biografi La Ode Manarfa
"Tongkat Putra Sultan"



Baubau, 13 Desember 2014 

Monday, December 8, 2014

Seruan Untuk Hari Anti Korupsi

SEMBILAN Desember adalah momentum peringatan hari anti korupsi. Sebagian besar negara-negara di dunia bersepakat untuk  memperingati hari anti korupsi pada setiap tahun, termasuk salah satunya di negara kita. Korupsi sudah menjadi perhatian serius dan sangat berbahaya bagi sebuah negara dan pemerintahan. Indonesia sebagai sebuah negara demokrasi telah masuk dalam daftar negara-negara terkorup di dunia.

Sumber: LBH Baubau memperingati hari anti korupsi 
Sejak negara ini merdeka, ada banyak yang lupa betapa beratnya perjuangan para pendiri bangsa ini hingga negara terbebas dari penjajah. Mereka yang kini berkhianat dan berjuang atas nama rakyat telah menodai khittah perjuangan para leluhur negri ini. Kemerdekaan dimaknai hanya terbebas dari segala bentuk penjajahan kolonial. Kita hampir tak pernah tahu penjajahan yang kini  menggerogoti segenap bangsa dan masif itu terjadi pada setiap bidang di pemerintahan. Persoalan itu terjadi mulai dari para pemangku jabatan yang lebih tinggi sampai pada pemerintahan tingkat desa. Apalagi kalau bukan Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN). Sepertinya hampir tak ada solusi hingga tuntas diselesaikan di meja hukum. Lembaga-lembaga hukum menjadi buta dalam bertindak menyelesaikan kasus-kasus seperti ini, hukum menjadi tumpul ketika mengadili para koruptor.

Di setiap media, seringkali kita disuguhi dengan pemberitaan atas kasus korupsi. Satu per satu para pelaku korupsi itu di tangkap. Tetapi masih sekian banyak yang hidup nyaman dan aman di luar sana. Mereka belum terkena bidikan dari penegak hukum. Sementara yang sudah terbukti, dengan bangga mengenakan jas orange dan mendekam di balik jeruji. Nuraninya hampir tak ada dari wajah-wajah koruptor itu, uang negara di rampok secara berjamaah. Sementara ada jutaan rakyat indonesia tak memiliki pekerjaan, sekian lama rakyat kita dirampas dan diambil hak nya. Rakyat hampir tak tahu, para wakil-wakil itu duduk nyaman diruangan dengan segala fasilitas mewah. Padahal, dahulu janji mereka amat manis. Mereka membuat janji untuk diberi pendidikan gratis, kesehatan gratis, dan rumah yang layak. Sepertinya itu hanya janji yang kerap keluar dari mulut para pendusta. Janji mereka menguap begitu saja bak di telan bumi.

Sekian lama pelaku korupsi terus bergentayangan di negri ini. Konon, penegak hukum tak main-main dengan setiap kasus korupsi. KPK, Kejaksaan, Kepolisian masih terus memburu para pelaku terduga korupsi. Salah satu yang sudah di sebut-sebut namanya adalah Gubernur Sulawesi Tenggara NUR ALAM. Belakangan namannya disebut-sebut lantaran dirinya memiliki rekening gendut. Melalui majalah Tempo, Nur Alam disinyalir menerima aliran dana dari salah seorang investor tambang. Entah, kasus ini seolah tawar dan coba di biarkan hilang begitu saja.

Para penegak hukum mestinya dengan gagah berani bisa mengungkap apa sesungguhnya yang terjadi dengan Gubernur Sulawesi Tenggara. Mesti ada keterbukaan dari lembaga hukum untuk membuktikan sangkaan Nur Alam sebagai kepala daerah yang bermain mata dengan investor tambang. Sekian banyak tambang di Sultra yang di biarkan beroprasi karena izin dengan sangat mudah di dapat dari para kepala daerah. Padahal, tambang-tambang itu tak menghiraukan dampak kerusakanannya yang jelas-jelas merugikan masyarakat. Keberadaan tambang di Sultra ibarat jamur yang tumbuh di musim hujan.

Di kota Baubau Propinsi Sulawesi Tenggara, belakangan mendapat raport merah atas bobroknya pemerintahan yang di pimpin oleh AS. Thamrin dan Wd. Maasra Manarfa atau dengan jargon Tampil Mesra. Keduanya adalah Walikota dan Wakil Walikota yang di pilih secara langsung oleh masyarakat Kota Baubau. Sudah hampir tiga tahun ini mereka berkuasa di wilayah eks kesultanan ini. Namun, pemerintahan ini seakan berjalan di tempat. Tak ada tanda-tanda kota kecil nan mungil ini akan berkembang dengan pesat. 

Memang, pemerintahan Kota Baubau tak hanya di dua pejabat itu. Pemerintahan Tampil Mesra bisa berjalan kalau di bantu  dengan baik oleh setiap bawahan (Kabinet). Seperti yang dikeluhkan sang Walikota beberapa waktu lalu atas kinerja masing-masing dinas yang tidak produktif dalam mengawal dan membangun daerah  beberapa tahun terakhir ini. Sepertinya, mereka tak se hati dalam berkerja dan membangun daerah ini. Sangat sedikit yang mau mengabdikan diri untuk negri ini, berkerja dengan ikhlas sesuai hak dan kewajiban. Padahal mereka jelas-jelas di gaji dari uang rakyat.


Di hari anti korupsi ini, sebaikanya kita merefleksi perjalanan atas pemerintahan kita, di mulai dari diri sendiri dan orang-orang di sekitar kita. Ada banyak yang harus di telusuri di setiap komitmen atau deal politik para elit dan pemerintah. Insan pers menjadi pilar penting di setiap pemberitaan lalu menyajikannya secara lugas dan terbuka luas di masyarakat. Lembaga penegak hukum seperti KPK, Kepolisian dan Kejakasaan harus lebih agresif dan tak pandang bulu dalam memberantas dan mengusut tuntas para pelaku kejahatan Korupsi yang mengakar ini.
Kita berharap, korupsi yang kini membudaya harus segera di berantas dan bisa lenyap dari tanah air kita. 

Biarpun langit runtuh, hukum harus tetap di tegakkan.
"Fiat justitia ruat coeleum"




Baubau, 08 Desember 2014

Saturday, December 6, 2014

Suatu Pagi Yang Sedikit Bermakna

PAGI menjadi sangat penting untuk memulai suatu pekerjaan. Umumnya masyarakat beraktifitas di pagi hari. Di kota-kota besar, jauh sebelum matahari terbit para pekerja sudah harus bergegas dan melaju di atas jalan untuk menghindari kemacetan panjang. Pemandangan itu tidak untuk di kota tempat saya tinggal, kemacetan masih belum terasa disni.
Sumber: sawah ngkari-ngkari

Menikmati susasana pagi tentu sangat bermakna ketimbang kita bangun kesiangan dan membuang banyak waktu karena masih tertidur lelap. Ada banyak generasi kita yang memanfaatkan malam sebagai pagi dan pagi sebagai pengganti malam. Biasanya mereka adalah para intelektual muda yang gemar diskusi dan berkumpul sampai pagi, dahulu saya pun demikian. Itulah sebabnya, bangun pagi serasa asing dalam kehidupan saya saat ini. Perlahan, pola dan gaya hidup itu secara perlahan mulai ku tinggalkan. Sebab, ada banyak waktu yang terbuang percuma dan meninggalkan banyak agenda penting yang mestinya di mulai pada pagi hari. Meski status status saya bukan seorang pejabat penting atau seorang pegawai negeri. Namun bagi saya, bangun pagi menjadi sangat penting untuk kesehatan tubuh dan banyak hal yang perlu di resapi saat sebelum matahari terbit.

Di sebuah pasar dekat rumah tempat saya tinggal, waktu sangat berarti disitu. Aktifitas di mulai sejak pagi sekali. Mobil-mobil bermuatan sayur yang diangkut dari desa dan di bawa masuk ke dalam kota. Mereka adalah petani dan nelayan yang setiap pagi sudah menyambangi pasar-pasar untuk menjual hasil jerih payah. Sejak pagi pukul 04.00 mereka sudah ramai di pasar. Sayur, buah, dan ikan yang masih segar itu di jual kepada pedagang lain, di pagi itu pasar mulai ramai dari pedagang dan pembeli. 

Suasana pagi di kota ini, masih cukup terasa. Saya masih mendengar suara anak-anak ayam di bawah sana, kicauan burung dari ranting pohon dekat jendela kamar, serta ramai pejalan kaki dari anak-anak berseragam sekolah. 

Bangun pagi akan sangat bermakna jika kita menyerapi nya dengan baik. Ada banyak inspirasi ketika kita bangun pagi. Sebab, Segala sesuatunya baru akan dimulai disitu. Mungkin saja inspirasi itu datang melalui pesan masuk dari orang-orang yang kamu cintai, atau sebuah status dari dinding facebookmu. Tentu seketika mata kamu akan terbuka lebar saat membacanya. Entah, itu pesan baik atau buruk dari mereka. Yang pasti, kesejukkan di pagi itulah yang membuat hari kita menjadi indah.

Bagi saya, bangun pagi sangat berdampak besar bagi kehidupan. Beraktifitas di pagi hari akan banyak menguntungkan di setiap pekerjaan, waktu sangat penting disitu. Semenjak itulah saya memulai segala sesuatunya diwaktu pagi. 

Meski sebenarnya, saat ini saya ingin tidur kembali usai menyantap roti selai dan segelas teh hangat. Rasa kantuk kembali melanda saat menyaksikan sebuah berita di layar kaca. Orang-orang berjas kuning itu tak henti-hentinya berkoar untuk berebut kekuasaan, mereka tak peduli dan bertanggung jawab lagi dengan rumah-rumah warga yang sudah bertahun-tahun di genangi lumpur di sana, mereka tak perduli lagi dengan tugas dan tanggung jawab sebagai wakil rakyat, bahkan mereka hampir lupa kalau suara mereka dari suara rakyat. 

Pagi ini Sedikit Membosankan...


Suatu pagi, 06 Desember 2014 

Tuesday, December 2, 2014

Merajut Asa di Tepian Jalan


Sumber: Ibu Sarifa dan La Uba sedang berjualan
Pembangunan suatu daerah memang sangat di perlukan untuk kemajuan dan kesejahteraan masyarakat. Pemerintah menjadi sangat penting untuk mengarahkan setiap kebijakan pada semua sektor pembangunan, tentu kebijakan yang berpihak kepada rakyat. Sudah sepantasnya pemerintah harus bisa menjadi pelayanan bagi masyarakat. Alasan pemerintah serius dalam berkerja mesti di buktikan dengan hasil dan sebuah karya nyata. Pembangunan tidak hanya beralaskan bangunan fisik, tetapi pembangunan di lihat dari kesejahteraan masyarakat dengan memberi tempat dan pelayanan terbaik. Tolak ukur keberhasilan pemerintahan Tampil Mesra sudah bisa di rasakan setelah hampir 3 tahun berkuasa di Kota Baubau. Tak ada tanda-tanda kota ini akan maju dengan pesat.

***
TAK jauh dari jembatan, di simpang jalan raya pasar kota itu. Saya melihat seorang wanita dan lelaki tua tertunduk dengan mata sedikit tertutup. Sesekali mereka harus siaga agar kepalanya tak jatuh dan terbentur ke tanah. Entah ada apa dengan mereka di sana. Namun saat kudekati mereka, nampaknya mereka sedang berjualan di situ. Mereka letih setelah sejak lama duduk menunggu dan menjajakan barang dagangannya. Di tempat itu mereka menjual rokok dan air kemasan, barang dagangannya di simpan di atas peti kayu dan lelaki itu duduk di atas kursi sementara barang dagangan wanita itu di simpan di atas nyiru dan ia duduk di aspal dengan beralaskan karung. Keduanya sedang berjualan disitu, wanita itu adalah Sarifa usianya kini sudah 65 tahun. Sejak 20 tahun silam ia sudah berjualan di tempat itu, menjajakan dagangannya di tepi jalan dekat dengan barisan rumah toko. Setiap sore hari, ia datang  dan pulang jam 10 malam. Ia di antar dan di jemput pulang oleh anaknya yang berkerja sebagai tukang ojek. Berbeda dengan La Uba, usianya kini sekitar 72 tahun, pendengarannya kurang baik sehingga menyulitkan saya untuk menanyai langsung tentang dirinya. Lelaki itu juga sering berjualan di tempat itu, menemani ibu Sarifa hingga anaknya datang menjemput pulang. Cukup jauh jarak antara rumah dengan tempat mereka berjualan. Ku sempatkan untuk membeli segelas air mineral dan sekedar bercerita dengannya.  

Sarifa hanya lah satu dari sekian banyak ibu yang mencari nafkah di antara para pedagang lainnya. Tentu mereka tak bisa bersaing dengan pedagang-pedagang besar itu, mereka berjualan dengan modal besar sementara pedagang kecil seperti Sarifa dan La Uba cukup untung sedikit agar bisa menghidupi hari-harinya. Malam itu ada banyak orang yang sedang menikmati suasana kota, bersama keluarga dan orang-orang yang di cintai. Mobil-mobil mewah itu melintas dengan cepat di hadapan mereka dan meninggalkan banyak debu jalanan. Ibu Sarifa berbeda dengan pedagang-pedagang asongan lainnya, ia memilih menetap di satu tempat ketimbang berkeliling ke tempat-tempat lain. Mungkin saja kaki nya tak kuat lagi untuk melangkah jauh.
Sumber: Ibu Sarifa
Hari-hari Sarifa di jalaninya dengan sangat sederhana. Tak ada yang begitu istimewa yang di lihatnya terhadap pembangunan dikota ini dan menguntungkan bagi dirinya. Baginya, apa yang dilakukan pemerintah daerah selama ini sama sekali tak memberi dampak yang jelas seperti kami pelaku ekonomi kecil. Justru pedagang-pedagang kecil seperti dirinya lah akan di gilas dengan pelaku-pelaku ekonomi lain yang kini mendiami pasar-pasar modern. Ibu ini berharap, ada ketulusan pemerintah untuk memberikan bantuan modal usaha dan menyiapkan tempat yang layak untuk berjualan. 

Di kota Baubau, ada beberapa pasar yang menjadi tempat perbelanjaan. Mulai dari berbelanja untuk kebutuhan sehari-hari, sampai tempat untuk fashion. Tidak lama lagi di salah satu tempat di kota seribu benteng ini, akan berdiri pasar modern dari sebuah perusahaan swasta Lippo Group. Bangunannya sudah hampir jadi, Mall ini akan merekrut banyak karyawan dan mempekerjakan di tempat itu. Konon, pekerja-pekerja itu di ambil dari masyarakat lokal. Entahlah, berapa pun banyak orang-orang yang berkerja disitu nantinya saya tak tertarik untuk ikut masuk berkerja. Tetapi satu hal yang pasti, semua mata akan tertuju di tempat baru itu dengan segala kemewahan dan fasilitas yang ada. Masyarakat sudah tak kepanasan lagi saat berbelanja di tempat itu, masyarakat tak mencium lagi bau amis dari ikan dan berjalan diantara genangan air, tak ada suara dari pedagang-pedagang yang sering menawarkan harga barang dagangannya. Semua tenang, sebab harga barang tertera di kemasan barang. Praktis semua sangat cepat dan dibuat nyaman. 

Di Mall pasar modern semua kebutuhan hampir semua tersedia, ikan dan sayur pun di jual di tempat itu, dikemas dan disimpan dalam sebuah lemari pendingin. Lalu bagaimana dengan pasar-pasar yang sudah terlanjur ada, yang selama ini menjadi tempat andalan masyarakat dalam bertransaksi menjual hasil kebun dan hasil tangkap.
Derasnya arus globalisasi, menantang kita semua untuk perlahan meninggalkan cara lama dan mencari hal yang baru. Karateristik masyarakat kota yang hidup mewah di dukung dengan ekonomi yang mapan memposisikan pedagang kecil sebagai masyarakat kelas bawah. Hidup di tengah masyarakat kota yang serba mahal dan angkuh menuntut masyarakat desa untuk bisa bersaing di tengah sumber daya yang minim. Sayangnnya, mereka terlampau gampang masuk dalam dunia hedonis masyarakat kota yang individual dan secara perlahan meninggalkan budaya asli mereka sendiri yang lebih bernilai dan memiliki sejarah. Inilah tantangan kita semua, tatanan dan nilai budaya mesti di jaga. Sebab, disitulah investasi besar masyarakat desa. Masyarakat kota yang awal nya juga berasal dari desa sejatinya bisa menjaga norma dan adat istiadat yang ada dan perlu dilestarikan bersama.

Sumber: Pak La Uba
Kita berharap, pedagang kecil seperti ibu Sarifa masih bisa menjajakan jualannya di tengah pedagang-pedagang lain yang kian menjamur. Bagi saya, ia tak perlu bersaing dengan kelompok pedagang besar dan merajai pasar-pasar modern. Tugas pemerintah sangat di perlukan untuk melakukan penyelamatan kepada pedagang-pedagang kecil. Di perlukan peran pemerintah daerah untuk mengontrol harga barang dan mengurangi bahan dan barang impor. Itulah tugas dan fungsi pemerintah, sebagai pelayan yang siap mendengar keluh kesah suara rakyat lalu di jalankan dengan benar. Kota ini butuh seorang pemimpin yang memiliki nurani, tanpa sekat di masyarakat, berkerja ikhlas dan memiliki ketegasan tanpa ragu. Itu...



Baubau, 02 Desember 2014

Popular Posts