Tuesday, March 26, 2019

Fenomena Baper di Grup KAHMI

Sumber: recode.ID

ADA satu fenomena unik yang terjadi akhir-akhir ini saat kita menggunakan media sosial. Di banyak platform medsos, kita melihat seperti arena tempur antar nitizen (warganet). Pilpres masih menjadi arena saling serang antar pendukung, dari debat program, sampai hal remeh temeh yang sama sekali tidak mengedukasi.

Orang-orang dengan nyaman menggunakan medsos karena penggunaannya langsung dari perangkat smartphone yang ada dalam genggaman, bisa digunakan dimana saja dan kapan pun.

Internet seperti candu. Orang-orang selalu gelisah tanpa koneksi internet. Saya mengutip Survei dari Global Web Index tahun 2016. Survei itu menunjukkan rata-rata orang menghabiskan waktu dua jam setiap hari hanya untuk membuka media sosial. Padahal, terlalu banyak menggunakan media sosial tak baik untuk kesehatan.

Sebagaimana saya melihat fenomena itu di banyak grup WhatsApp yang saya ikuti. Di grup-grup WA, informasi begitu cepat di dapat, dari berita menarik sampai berita hoax. Yang membuat prihatin, banyak dari kita langsung melahap setiap informasi tanpa melakukan verifikasi mendalam hingga berita itu benar-benar matang dan layak untuk di konsumsi.

Contoh kasus, seperti di grup WhatsApp Korps Alumni HMI di daerah, kampung halaman saya. Saya melihat grup itu cukup aktif. Mereka adalah warga alumni HMI lintas profesi, yang levelnya paling terhormat diantara anggota, para pengurus Komisariat, Korkom, Cabang, atau se level lainnya.

Sebagai warga HMI yang sempat mengikuti jenjang pengkaderan LK I (Basic Training), LK II (Intermediate Training), serta sempat menempati struktur organisasi, dari pimpin Komisariat, staf ketua cabang, staf ketua Badko, sampai pengurus PB HMI, saya selalu mengagumi alumni-alumni HMI, khususnya di daerah saya. Meski sebenarnya, nama-nama mereka tidak sementereng alumni dari daerah lain, yang rata-rata alumninya menempati satu jabatan strategis nan elit. Tapi pandangan itu terlalu pragmatis, jika kita hanya melihat mereka dari satu sudut jabatan saja.

Kekaguman saya ada pada usaha dan sepak terjang mereka dalam berkarir. Biarpun langkahnya tertatih-tatih untuk mencapai mimpi-mimpi itu.

Asumsi saya, itu karena jejaring alumni kita yang belum begitu kuat. Mereka tidak berani keluar dari zona nyaman selama ini. Apa yang ada pada mereka saat ini, itulah sesuatu yang dianggap hebat dan finish. Tidak ada target-target jangka panjang yang ingin dibangun demi memperkuat barisan alumni yang solid dan mapan.

Fenomena di ruang diskusi grup WhatssApp akhir-akhir ini sungguh diluar dugaan saya. Para alumni yang terhormat, yang saya kagumi dan banggakan, dengan ramai-ramai 'membully' seorang anak baru yang pernah di kadernya. Bermula dari diskusi Pilpres, mereka lalu 'Baper' karena hal-hal teknis dalam grup. Apa yang tampak di layar, tidak ada budaya diskusi yang membangun. Diskusinya nyinyir, menyudutkan, sampai menyerang pribadi seseorang. Sekelas alumni HMI, kontruksi berpikir harusnya tak demikian.

Padahal, esensi adanya grup media sosial itu hanya sebagai ruang silaturahmi, perekat, mendekatkan mereka yang jauh untuk bernostalgia. Tapi apa daya, egosentris masih begitu lekat dalam setiap insan alumni terhadap kader-kader yang baru seumur jagung.

Saya kerap menyaksikan wibawa para alumni itu di setiap pelatihan HMI. Dengan gaya retorik yang khas, mereka bicara gagasan Cak Nur tentang islam moderat. Juga ada dari alumni dengan panjang lebar membentang sejarah HMI yang di prakarsai Lafran Pane. Saya kagum mereka secara sukarela meluangkan waktu, sejak pagi hingga subuh lagi, demi mengisi gelas-gelas kosong setiap insan akademis, generasi-generasi baru di HMI. Pengkaderan adalah ruh yang menghidupkan banyak aktivitas dalam tubuh HMI.

Ekspetasi terkadang tak sesuai realitas. Tugas atau PR HMI masih begitu banyak untuk diselesaikan. Baik di internal maupun eksternal. Tantangan global terus menghantui, sementara eksitensi HMI terus di upayakan agar tetap bertahan ditengah dinamika yang bergerak dinamis. HMI harus lebih lentur dan mau beradaptasi menghadapi setiap perubahan.

Di era modern ini, teknologi berkembang sangat cepat. Ini era dimana informasi dengan cepat menyebar. Kata Rhenald Kasali, ini era disrupsi, yang mengubah banyak hal sedemikian rupa, sehingga cara-cara lama menjadi kuno (obsolete).

Dahulu banyak orang-orang yang menolak penggunaan perangkat komputer hanya karena merasa nyaman dengan mesin tik. Komputerisasi dianggap sesuatu yang asing dan rumit. Belakangan, perangkat itu sangat bermanfaat dan membantu banyak kerja-kerja manusia. Begitupun dengan internet, dengan berbagai perangkat yang terkoneksi dan memudahkan orang-orang dalam setiap aktivitas.

Apa kehadiran teknologi itu dulu diterima dengan baik oleh setiap kita? tentu tidak. Sebagian kita tidak menerima. Malah ada yang mengharamkan. Fakta itu sejalan dengan tumbuhnya pemikiran-pemikiran baru oleh generasi 4.0, yang oleh generasi Old, dianggapnya sesuatu yang mustahil, mitos dan tak masuk akal. Memang aneh.

Fenomena bapernya orang-orang saat menggunakan Sosmed era kini perlu pemakluman dari kita semua. Inilah masa transisi, dimana sebagian orang-orang belum bisa memisahkan lingkungan dunia maya dan lingkungan dimana orang-orang bisa bertatap dan bersentuhan langsung. Di banyak negara maju, fenomena ini memang langka, atau bahkan tak ada sama sekali. Sebab sumber daya manusianya sudah lebih matang dan mapan.

Saya kira, tidak ada yang salah dari penggunaan teknologi. Begitupun ketika kita bersosmed ria. Kita hanya perlu bijak dalam penggunaannya. Perlu dibuat semacam time schedule, agar waktu tidak banyak terbuang hanya diruang maya. Kita dapat berselancar di waktu-waktu yang tepat dan tidak meninggalkan agenda penting lainnya yang lebih produktif. Dengan begitu, kita sehat dalam bersosmed. Tidak ada baper atau apapun istilah lain.

Saat ini masalah kita adalah soal kompetensi, cara kita menggunakan sosial media dengan baik dan benar. Ini soal cara menempatkan diri sesuai konteks dan zaman.

Heh, enak zaman now to?



Popular Posts