Thursday, January 16, 2020

Kearifan Lokal Dalam Merawat Bumi


Pemukiman masyarakat pesisir Wabula, Pulau Buton

Persoalan lingkungan dewasa ini menjadi ancaman serius bagi kelangsungan Bumi. Kerusakan yang terjadi lebih banyak disebabkan oleh kegiatan ekstratif, atau banyaknya perusahaan tambang yang merusak lingkungan dan mengubah bentang alam (landscape).

Tetapi apakah semua orang selalu sadar dengan kerusakan-kerusakan di muka Bumi? Apa setiap kita tahu bahwa manusia memiliki batas dalam memanfaatkan sumber daya alam? Lalu bagaimana keseharian kita di lingkungan rumah, di ruang publik, dimana kita telah menciptakan jutaan metrik ton sampah setiap tahun. 

Memang ini kebiasaan yang seperti sulit untuk di ubah, sebab kita telah terbiasa dengan gaya hidup serba instan dan konsumtif. Masih banyak dari kita yang tak peduli lingkungan. Karena perilaku kitalah, banjir di mana-mana. Karena gaya hidup kitalah, tanah longsor memakan korban jiwa. Karena kita tak pernah peduli dengan kelestarian lingkungan, bencana selalu menyertai kehidupan manusia.

***

Jauh sebelum pemerintah mengeluarkan berbagai kebijakan tentang pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan hidup, telah ada bentuk-bentuk pengelolaan yang dilakukan secara tradisional oleh masyarakat adat. Mereka sudah sejak lama berbicara tentang pentingnya menjaga alam untuk generasi mendatang. Mereka tahu, bagaimana cara memanfaatkan sumber daya alam agar tidak dieksploitasi secara berlebihan. 

Di kampung saya di Pulau Buton, ada salah satu tradisi yang hingga kini masih terus dijalankan oleh masyarakat adat, tepatnya di Desa Wabula, Kecamatan Wabula, Provinsi Sulawesi Tenggara. Ada tradisi masyarakat di kampung kami untuk memanfaatkan sumber daya alam secara arif. Kebiasaan itu sudah diwariskan secara turun-temurun. 

Bentang alam Pulau Buton
Kepercayaan masyarakat adat desa Wabula mengenai pengelolaan sumber daya alam diatur oleh kelembagaan adat. Masyarakat senantiasa tunduk dan patuh terhadap aturan-aturan adat terkait sistem pengelolaan sumber daya laut dan hutan. Kami mengenalnya dengan konsep pengelolaan sumber daya alam berbasis adat, atau disebut Ombo.

Bentuk pengelolaan Ombo yang diinisiasi masyarakat adat Wabula mirip dengan Sasi di Maluku, Awig-Awig di Lombok, Eha-Mane’e di pulau Kakorotan Sulawesi Utara, Panglima Laot di Aceh, dan beberapa daerah lain yang masih menjalankan praktik-praktik pengelolaan sumberdaya secara tradisional.

Namun konsep Ombo ini sangat mirip dengan Sasi yang ada di Maluku, dimana hutan dan laut diatur dengan pola “buka-tutup”. Cara itu dilakukan agar ketersediaan ikan dengan segala jenis biota laut dan tanaman yang ada dikebun mereka bisa dimanfaatkan secara berkelanjutan.

Pengelolaan sumberdaya melalui Ombo di pulau Buton dilakukan dengan sistem pengawasan yang ketat. Ada sanksi yang diberikan kepada orang-orang yang melanggar. Dibuat zona Ombo di laut dan di darat agar masyarakat tidak bisa mengaksesnya pada waktu-waktu tertentu. Lembaga adat mengatur waktu kapan Ombo dibuka dan kapan ditutup. Dalam setahun, masyarakat hanya bisa memanen sekali hasil laut dan kebun mereka di wilayah Ombo. Pada saat Ombo ditutup kembali, masyarakat tidak bisa lagi mengambil sumberdaya di zona yang telah ditetapkan.

Begitulah cara orang-orang kami di pulau Buton menjaga alam dan keanekaragaman hayati yang terkandung di dalamnya. Bentuk pengelolaan sumber daya alam dengan kearifan lokal seperti ini menjadi alternatif dari banyaknya skema pengelolaan yang dilakukan pemerintah. Apalagi aturan dan kebijakan masih saling tumpang tindih, sehingga menyulitkan pemerintah di level desa menjalankan berbagai program. Di sisi lain, kewenangan lembaga adat belum sepenuhnya diberikan dalam kapasitasnya mengatur dan mengelola sumber daya alam di desa. 

***

November 2019, saya pernah terlibat dalam organisasi konservasi lingkungan hidup di bawah naungan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi). Saya bersama beberapa kelompok tani di Kecamatan Siontapina, Kabupaten Buton terlibat dalam satu program yang diusung Walhi. Di desa, kami rutin mengadakan pertemuan dengan anggota kelompok untuk menyusun skema kerja. 

Masyarakat desa yang bergerak dalam kelompok tani hutan kami dampingi dan diedukasi agar ada kesadaran untuk melakukan pelestarian hutan dan lingkungan hidup. Di dalam kawasan hutan, masyarakat menanam bibit pohon serta berbagai jenis tanaman sayur dan buah. Mereka bergerak bersama untuk mengembalikan fungsi hutan demi masa depan yang lebih baik.

Masyarakat tani di desa sempat mendapat tantangan karena masuknya perusahaan tambang dalam kawasan hutan. Perusahaan itu hendak menambang Batu Mangan. Pihak perusahaan beberapa kali melakukan pertemuan di desa dalam rangka menawarkan peluang kerja di dalam perusahaan serta memberi bantuan kepada desa. 

Meskipun pihak perusahaan telah mengantongi izin usaha pertambangan (IUP) dan berhak melakukan penambangan, masyarakat desa serentak melakukan penolakan. Kesadaran kolektif masyarakat telah terbentuk, namun kehadiran perusahaan tetap menjadi ancaman bagi kelangsungan ekosistem hutan. 

Rapat anggota kelompok tani di dalam kawasan hutan
Dalam sebuah rapat di balai pertemuan desa, masyarakat menyatakan penolakannya terhadap perusahaan tambang yang akan beroperasi di desa. Sikap itu juga ditunjukkan kepala desa, tokoh agama dan tokoh adat. Mereka dengan tegas menolak, tak ada tawar menawar dengan pihak perusahaan. 

Membangun kesadaran masyarakat desa di tengah rencana-rencana perusahaan tambang melakukan eksploitasi kekayaan sumber daya alam memang tidak mudah. Perlu ada sinergitas antara pemerintah desa, pengurus masjid dan lembaga adat. Pesan-pesan tentang pentingnya menjaga alam dan lingkungan itu disemai dalam pertemuan-pertemuan warga yang difasilitasi oleh kepala desa, melalui ceramah-ceramah keagamaan di masjid dan acara-acara ritual adat yang dipimpin oleh seorang Bonto (Ketua Adat).

Pada akhirnya, perjuangan masyarakat berujung dengan baik. Begitu juga dengan peran-peran MSIG yang selama ini berkontribusi dalam pengembangan masyarakat dan bergerak mengamankan masa depan Bumi. Sebagai perusahaan Asuransi Umum, MSIG mencoba menyelaraskan kegiatan perusahaan demi keberlanjutan keanekaragaman hayati dan masa depan Bumi untuk generasi yang akan datang. 

Dengan begitu, usaha masyarakat dalam mempertahankan hutan sebagai ekosistem esensial telah memberi kontribusi positif dan mengurangi dampak perubahan iklim. Mereka tak hanya memanfaatkan sumber daya alam untuk kepentingan ekonomi, tapi sekaligus melakukan pelestarian demi kelangsungan hidup seluruh makhluk di Planet Bumi.



Tentang MSIG: Click here 

Thursday, January 2, 2020

Pemekaran Daerah Untuk Siapa?



Seberapa penting pemekaran daerah untuk mewujudkan pelayanan publik yang efektif dan efeisien? Seberapa genting pemekaran daerah untuk mempercepat pertumbuhan ekonomi dan menyediakan lapangan kerja seluas-luasnya bagi masyarakat? 

Apa yang ingin dikejar dari pemekaran daerah? Apa karena ketersediaan sumber daya alam yang berlimpah sehingga harus dikelola secara mandiri, atau apa hanya ingin memperpendek rentang kendali sehingga penyelenggaraan pemerintah dan pengelolaan pembangunan bisa berjalan efektif?

Apa karena semua alasan-alasan itu sehingga setiap tahun, setiap momentum, atau setiap musim politik masyarakat terus disibukkan dengan rencana demi rencana, rencana ingin menjadi sebuah daerah baru kemudian menyaksikan para elit lokal saling berebut gelar sebagai hero, mendominasi birokrasi dan saling sikut merebut tahta.

Refleksi Pemekaran Daerah

Masyarakat lebih banyak tahu rencana pemekeran daerah itu di atas permukaan. Banyak dari kita yang tak pernah tahu motif lain di luar alasan-alasan normatif yang menjadi tuntutan pokok masyarakat. Dari banyak fakta, daerah-daerah yang ingin mekar itu lebih digerakkan oleh agenda kelompok atau personal. Obsesi pemekaran daerah lebih tergerak hanya untuk mengejar kucuran dana pusat. Bisa berupa kue proyek yang dinikmati sebagian orang, kemudian menjadi pelumas yang menggerakkan mesin politik. 


Pemekaran daerah-daerah ini telah berlangsung cukup lama. Prosesnya sudah sejak tahun 1999 sampai sekarang, hampir tak terkendali dan menguras begitu besar uang negara. Antara tahun 1999 sampai tahun 2004, ada 7 Provinsi, 114 Kabupaten dan 27 Kota baru yang dilahirkan. Sempat dihentikan, namun dibuka kembali.

Pada tahun 2007 pemekaran meningkat menjadi 158 kabupaten baru, dan saat itu lebih dari 100 daerah dalam proses pemekaran. Kemudian sepanjang tahun 2012 sampai 2013 pemerintah menetapkan 15 daerah otonom baru. Hingga akhirnya pemerintah memberlakukan moratorium pemekaran daerah di tahun 2014. Keran pemekaran ditutup untuk dikaji dan telaah lebih dalam, termasuk tiga ratus lebih usulan DOB yang juga ingin menikmati 300 miliyar dana pusat. Saat ini jumlah keseluruhan daerah otonomi yaitu 415 Kabupaten, 93 Kota, dan 34 Provinsi. Di luar itu, ada 6 kabupaten/kota administrasi yang bukan daerah otonom dan hanya terdapat di Provinsi DKI Jakarta. 

Alasan pemerintah pusat cukup kuat untuk menghentikan pemekaran daerah. Apalagi daerah belum melakukan perubahan signifikan dalam mengurus keuangannya. Dalam postur ABPD, porsi belanja pegawai selalu lebih besar. Sementara tidak banyak dialokasikan untuk belanja produktif, untuk infrastruktur misalnya.

Dengan kata lain: Daerah hanya boros di belanja pegawai, tapi tidak bercemin jika Penghasilan Asli Daerah (PAD) nya kecil. Pada akhirnya, daerah sangat bergantung dana transfer pusat. ‘Mengemisnya’ daerah ini menjadi beban dan tanggung jawab pusat. Daerah butuh duit untuk belanja pegawai demi terselenggaranya pelayanan pemerintahan yang baik.

Meksipun saat ini sedang dalam moratorium pemekaran, tapi pemerintah pusat berencana akan membentuk satu provinsi baru di kawasan timur Indonesia, yakni Provinsi Papua Selatan, dengan cakupan wilayah Kabupaten Mappi, Kabupaten Boven Diogel, Kabupaten Asmat, dan Kabupaten Merauke. Hal itu disampaikan Tito selaku Menteri Dalam Negeri, pada November 2018 lalu. Rencana itu menjadi pertimbangan, mengingat Papua merupakan daerah khusus. 

Rencana akan adanya provinsi baru di Papua itu lalu direspon ekonom Institute for Development Economics and Finance (Indef), Enny Sri Hartati. Ia menilai pemekaran provinsi di Papua bukan solusi yang pas untuk menyejahterakan masyarakat di sana. Alasannya cukup jelas, karena perkembangan perekonomian di wilayah pemekaran belum terlihat signifikan. Kata Enny, sampai saat ini belum ada literatur yang mengkonfirmasi bahwa pemekaran daerah, baik provinsi maupun kabupaten/kota memiliki dampak terhadap berbagai peningkatan kesejahteraan. Pemekaran justru berpotensi meningkatkan dominasi kaum elit (elite capture) yang kerap menjadi masalah di wilayah itu.

Begitu juga kata peneliti dari Pusat Penelitian Ekonomi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Syarif Hidayat. Menurutnya, daerah pemekaran di Indonesia sebagian besar dibentuk berdasarkan kriteria yang tidak realistis. Lobi dan jaringan politik yang kuat membuat daerah yang sebenarnya tidak layak dimekarkan dan bisa menjadi daerah otonom baru. Sebagian besar daerah pemekaran dibentuk atas usul sekelompok elit politik daerah, bukan atas usul masyarakat. Kelompok elit ini umumnya adalah pejabat yang ingin kembali berperan dalam panggung politik. Syarif menilai, daerah itu dimekarkan berdasarkan kriteria pernyataan, bukan kriteria kenyataan.

Kepton, Besok Mekar

Tiket pesawat penerbangan dari Baubau menuju Jakarta sudah habis terjual, sampai besok, dan mungkin sampai beberapa hari ke depan. Kabarnya rombongan pejabat dan elit daerah lah yang memborong semua tiket. Mereka sudah memesan dari jauh hari untuk menghadiri detik-detik ditetapkannya Provinsi Kepulauan Buton (Kepton) di gedung DPR RI, Jakarta. 

Bandara Betoambari kota Baubau sudah dipadati penumpang sejak pagi. Tampak beberapa kepala daerah dari seluruh cakupan Kepton sudah lebih dulu datang. Mereka asyik berbincang di ruang VIP terminal bandara. Sementara para awak media berkumpul di luar ruangan, menanti setiap narasumber untuk diwawancarai. Iring-iringan mobil dari segala penjuru jalan masih terus berdatangan di bandara.  

Di sosial media, percakapan tentang pemekaran provinsi Kepton sudah lebih dulu ramai. Di banyak grup WhatsApp, orang-orang meminta doa serta dukungan agar pejuang-pejuang pemekaran selalu mendapat kemudahan dalam urusannya. Pesan-pesan itu kemudian viral sejagad Kepton: Jika tak ada aral melintang, dipastikan Provinsi Kepulauan Buton besok ditetapkan sebagai daerah otonomi baru oleh pemerintah. 

Masyarakat menyambut gembira setelah tersiar kabar Kepton besok mekar. Kecuali pedagang asongan dan sembako, penjual sayur dan ikan, yang tetap fokus menghitung untung-rugi jualan mereka di pasar. Begitu juga dengan para buruh, petani dan nelayan, mereka tidak peduli dan tetap kembali pada rutinitas. 

Kabar mengenai Kepton besok mekar membuat elit-elit di daerah jadi tambah bersemangat. Dibuatlah rencana-rencana yang nantinya akan mengisi struktur jabatan dalam pemerintahan. Sejumlah nama disebut dan dimasukan dalam bursa pejabat daerah. Begitu juga dengan kelompok-kelompok lain di luar lingkaran birokrasi, mereka sudah menyusun proposal paket proyek yang akan disodorkan ke instansi pemerintah ketika Kepton ditetapkan menjadi provinsi. Begitu baik niat dan harmonisnya mereka bekerja untuk Kepton.

Jauh dari Kepulauan Buton, di jantung ibu kota, Jakarta, tim pemekaran bersama orang-orang Kepton se Jabodetabek melakukan rapat konsolidasi untuk menyambut pemekaran Kepton yang akan ditetapkan besok di gedung DPR RI, Senayan. Berbagai atribut sudah disiapkan, seperti spanduk yang diisi wajah-wajah tokoh pemekaran, bendera, serta pakaian adat. Besok, mereka akan meramaikan halaman gedung parlemen.

Hari ini kita berapi-api menyongsong kehadiran Provinsi Kepualuan Buton. Akhirnya setelah sekian lama kita berjuang keras melakukan berbagai cara agar Kepton ini bisa memisahkan diri dari induknya Provinsi Sulawesi Tenggara. Sudah sepantasnya Kepton berdiri sendiri sebagai sebuah provinsi baru. Bila perlu dijadikan daerah istimewa, sebagaimana Jogja dan Aceh yang mendapat perlakuan khusus. 

Jadi wajarlah kalau kelompok elit daerah Kepton minta segera dimekarkan, karena kami punya banyak tambang dan kenalan investor yang siap mengeruk kekayaan sumber daya alam. Juga hal biasalah kalau anak-anak muda Kepton bicara ‘makar’ daripada mekar, karena Kepton punya mata uang, bendera, juga kitab undang-undang sendiri, yang dipakai dalam Kesultanan Buton, dimana pada saat itu TNI-Polri belum sekuat dan belum secanggih sekarang alat perangnya. 

Tapi begitulah jiwa dan bentuk pengorbanan kami agar Kepton bisa mekar besok. Hari-hari bicara tentang Kepton, karena itulah wujud kecintaan kami dengan Kepton, yang akan ditetapkan mekar besok. Berapapun biaya yang dikeluarkan untuk urusan dan lobi-lobi politik, tak peduli, yang penting perjuangan tim bisa menemukan hasil besok.

Dari doa dan dukungan kita, yang selama ini berada dalam barisan masing-masing, semoga Kepton akan mendapatkan titik terang besok. Kita tunggu besok. Kalau bukan besok, mungkin besok lagi. Sampai dengan besok berikutnya. Sampai semua orang bisa bicara tentang Kepton. 

Popular Posts