Thursday, December 31, 2015

Secuil Refleksi Menjelang Tahun Baru

Sumber: mediapijar

MENYALAKAN kembang api dimalam pergantian tahun baru, menjadi hal yang paling ditunggu-tunggu. Di tunggu-tunggu karena dari kaula muda sampai yang manula melihat ini adalah hal yang paling romantis. Bagi kaula muda, mungkin berada diantara kerumunan orang dan di bawah letusan kembang api, adalah hendak mengungkapkan segala perasaan yang lama mengendap, meluapkan segala hasrat yang lama membeku, ditambah suasana romantis yang begitu melekat hingga lupa akan segala hal diluar mereka berdua. Makanya, selalu keluar kata-kata pengklaiman atas pemilik sah Bumi ini, "dunia ini hanya milik kita berdua sayang". Yaah kelihatannya agak konyol, tapi itulah cinta, yang begitu terasa dahsyat dimasa-masa seperti itu.

***

BAGI pemuda-pemudi, dari yang masih "ingusan" sampai yang sudah mengalami Pubertas. Momentum malam tahun baru adalah waktu yang ditunggu-tunggu untuk "pesta". Beragam pesta yang dibuat untuk memeriahkannya. Tidak hanya itu, ada semacam "ritual" agar euvoria tahun baru begitu terasa. Inilah tahun baru, dengan beragam acara dan pesta yang menghidupkan malam. Dengan dentuman bass musik Dj yang mengiringi, dengan bunyi terompet dan dentingan botol-botol kaca dimeja bar, dengan seorang wanita seksi yang menari-nari diatas panggung. Ah... ini mungkin hanya hayalan buat malam tahun baru nanti. Nikmati saja malam ini, dengan segelas Wine yang sedikit memabukan.

Tidak hanya kemeriahan acara malam tahun baru yang menjadi puncak. Beberapa pemerhati, apakah mereka dari kalangan akademisi, politisi, atau LSM sering mengadakan diskusi atau dialog akhir tahun. Tujuannya untuk merefleksi, mengevaluasi, merekonstruksi, dan "mer-mer" yang lain. Topik yang diangkat masih sama dengan topik-topik sepuluh tahun yang lalu, yakni tentang kinerja pemerintah. Kelompok-kelompok itu berdialog untuk melihat sejauhmana perkembangan dan apa saja program yang sudah dilakukan birokrasi. 

Sayangnya, hasil dialog menguap begitu saja dan tidak memberi dampak signifikan terhadap kebijakan pemerintah. Tapi, itulah kumpul-kumpul ala aktivis yang idenya berlimpah tapi minim realisasi. Mungkin karena virus "Vickynisasi" yang menyebar dikalangan aktivis kampus. Pada akhrinya yang terjadi adalah "apologisasi" demi kelihatan ilmiah saat dibahasakan. Tapi sekali lagi ini hanya bagian dari kemeriahan tahun baru. Yang puncaknya adalah "pesta" dimalam gemerlap.

Tidak hanya itu, malam tahun baru juga menjadi panggungnya para pejabat atau elit politik. Yang dengan gagah dan bangga bisa berbicara diatas mimbar untuk menyampaikan secuil prestasi. Prestasi-prestasi yang dimaksud biasanya soal taman yang sudah dibangun dimana-mana, soal penerimaan piala penghargaan sebagai kota yang katanya paling bersih, atau soal-soal yang lain yang tidak begitu penting untuk disampaikan didepan khalayalak. 

Bukan karena kota tak butuh taman dan penghargaan. Tapi ini soal rakyat, soal lapangan pekerjaan, soal mereka dengan kemiskinan, petani, nelayan, dan buruh, yang nasibnya begitu memprihatinkan. Pernahkah sang kepala daerah membeberkan ini didepan publik, dengan menjelaskan angka kesejahteraan masyarakat di daerah kita? Hmm, atau mungkin para pejabat itu sudah mewakili semuanya. 

Mereka tidak hanya mewakili suara-suara kita diparlemen. Tetapi mewakili semua yang seharusnya menjadi hak-hak hidup kita (hidup nyaman, fasilitas, kekayaan dll). Entahlah, pastinya kembang api yang bertabur dilangit malam nanti adalah sejumlah uang yang sumbernya dari kantung daerah, yang keputusannya sangat cepat dibahas dalam ruang dewan, yang sebentar lagi akan meledak dilangit gelap lalu menjadi abu dan lenyap dihempas angin. 

Selamat Tahun Baru, Mari Berpesta

Tuesday, December 29, 2015

Sebuah Epilog dalam Kuliah Epistema


MENJELANG berakhirnya perkuliahan semester pertama tahun ini dan memasuki Ujian Akhir Semester (UAS), saya mencoba membuat catatan ringkas sebagaimana permintaan bapak Dr. Ir. Djuara P. Lubis, MS sebagai dosen mata kuliah Epistema. 

Terhitung sejak memasuki minggu ketujuh, perkuliahan ini telah dianggap selesai. Dengan catatan, setiap mahasiswa diharuskan membuat tugas menelaah disertasi atau tesis. Tugas tersebut diberikan sebagai nilai di Ujian Akhir Semester (UAS). Dalam semester ganjil tahun pertama kuliah, mata kuliah Epistema (Peta) Filsafat Ilmu Sosial menjadi mata kuliah wajib bagi mahasiswa (S2/S3) program studi Sosiologi Pedesaan Fakultas Ekologi Manusia IPB. Mereka yang membawakan mata kuliah ini adalah; Prof. Dr. Endriatmo Soetarto, Dr. Djuara Lubis, MS, Dr. Nurmala K. Panjaitan, MS, DEA. Ketiga dosen tersebut merupakan “jebolan” luar negeri yang kemampuan mengajarnya sudah mumpuni.     

*** 

DI pertemuan pertama perkuliahan, para pengajar terlebih dulu menjelaskan garis-garis besar program pengajaran. Dengan deskripsi, bahwa mata kuliah tersebut merupakan mata kuliah matrikulasi. Pertama, Menjelaskan trajektori dan eksistensi ilmu-ilmu sosial khususnya Sosiologi Pedesaan sebagai sains. Kedua, Memperdalam pemahaman tentang arkeologi pengetahuan, pembentukan logika baru, dinamika ilmu-ilmu sosial, pribumisasi ilmu sosial di Indonesia, kontestasi pengetahuan, sikap ilmiah, dan etika pembebasan. Mata kuliah ini juga memberikan penjelasan terkait ontologi, epistemologi, hingga aksiologi ilmu-ilmu sosial khususnya Sosiologi Pedesaan. Ketiga, Menjelaskan Sosiologi Pedesaan dalam ilmu-ilmu sosial. Selanjutnya juga menjelaskan paradigma-paradigma dalam ilmu-ilmu sosial mulai dari Positivistik, Post-Positivistik, Konstruktivisme, Kritis, hingga Partisipatoris.


Setelah mengikuti mata kuliah ini, mahasiswa diharapkan mampu memahami ontologi, epistemologi hingga aksiologi Sosiologi Pedesaan dan posisi Sosiologi Pedesaan dalam ilmu-ilmu sosial. Serta mampu melakukan refleksi atas posisi diri dalam peta Ilmu Sosial yang berlandaskan etika moral. Selama perkuliahan epistema berlangsung, tugas-tugas yang diberikan lebih pada membuat paper atau makalah. Saya menganggap tugas-tugas mata kuliah yang diberikan selama ini bukanlah beban yang harus dipikul dengan sangat terpaksa. Meskipun sebenarnya, di awal-awal kuliah semester pertama ini saya harus bisa menyesuaikan iklim belajar di IPB yang intensitas belajarnya cukup tinggi bila dibandingkan dengan kampus saya dulu semasa S1. Sejak duduk di bangku S2, saya bisa merasakan betul nuansa akademik begitu kental. Disini ilmu pengetahuan di bentang luas demi memahamkan materi-materi kuliah kepada setiap mahasiswa. Disni kita semua ditempa untuk bisa belajar dengan baik. Pada mata kuliah ini, Prof. Dr. Endriatmo Soetarto lebih dulu memabawakan materi kuliah Epistema. 

Diawal, beliau menjelaskan refleksi atas konstruksi pengetahuan, filsafat dan pemikiran sosial hingga pergeseran ilmuwan sosial dari “pro Negara ke yang “pro Masyarakat” serta bagaimana Negara dan Ilmu Sosial di Asia Tenggara. Di akhir pertemuan kuliah bersama Prof Amo (sapaan akrab), beliau sempat menjelaskan Relevansi Sosial atau Relevansi Intelektual sebagaimana juga banyak dijelaskan dalam buku Sikap Ilmiah dan Kritik Kebudayaan karya Ignas Kleden. Setelah beberapa kali pertemuan, Prof Amo diganti dengan bapak Dr. Ir. Djuara P. Lubis, MS. Pak Djuara kembali memperdalam materi ini dengan pokok bahasan Epistemologi Sains Sosial. Materi ini akan memetakan posisi paradigma dalam penelitian sosial. Beliau memahamkan ke setiap mahasiswa bahwa pentingnya paradigma sebagai kacamata dalam melakukan penelitian. Sebagaimana yang dijelaskan Kuhn (1962) bahwa paradigma adalah perangkat cara pikir dan cara pandang yang di dalamnya terdapat pola yang telah mapan menjiwai tata pikir dan tata laku seorang manusia (dalam hal ini ilmuwan) dalam melihat dan merespon suatu fenomena. Paradigma memiliki implikasi yang luas terhadap posisi ilmuwan dalam peta perkembangan ilmu pengetahuan, karena paradigma ibarat template berfikir yang di dalamnya berisi hukum, nilai, teori, model, hingga konsekuensi metodologis yang harus dilakukan oleh ilmuwan dalam kerangka ilmiah. Paradigma ini kemudian mapan karena diakui, digunakan, dan dipertahankan dalam komunitas ilmiah yang meyakini akan kebenaran paradigma itu sendiri. 

*** 

SEBAGAI mahasiswa baru, tentu hasrat belajar saya begitu besar. Fokus belajar masih tertuju pada setiap materi-materi kuliah. Disini, waktu menjadi sangat penting untuk semua tugas-tugas, waktu terasa sempit hingga tak ada ruang untuk santai sekedar ngobrol diwarung-warung kopi atau ada sedikit celah agar bisa “cuci mata” di mall-mall. Di masa-masa seperti itu, tidak ada “ampun” bagi kita untuk terus membaca demi memahami setiap penjelasan materi-materi perkuliahan. 

Makanya, kalau stamina tidak dijaga, sudah dipastikan akan jatuh sakit dengan tangan terimpus. Pada titik ini, kesehatan menjadi sangat penting apalagi dimasa-masa perkuliahan dan dimusim-musim tugas berlangsung. Beginilah sistem pendidikan, dengan berbagai aturan main yang harus ditaati dan dijalankan. Sebuah pendidikan yang tidak sekedar memberi gelar, tapi yang paling penting adalah mampu melahirkan lulusan-lulusan berkualitas dan mumpuni. Itulah kenapa kampus ini tak ingin ada lulusannya keluar hanya dengan membawa selembar ijasah saja. Perbedaan masih terlihat begitu jelas, sistem pendidikan di wilayah barat lebih maju dan modern, sementara kita di wilayah timur masih sangat tertinggal. 

Apalagi, kampus tak memberi pendidikan yang selayaknya. Beberapa kampus swasta tak ubahnya seperti “pasar rombengan” yang memperdanggangkan gelar dan selembar ijasah kepada mahasiswa. Pada akhirnya, kampus-kampus yang berorientasi bisnis itu langsung ditindak tegas dan ditutup karena dianggap sudah tidak layak. Semoga kasus ini tidak terjadi pada kampus-kampus swasta lain di negara kita. Memang, sistem pendidikan masih terlihat belum begitu baik. Pendidikan masih belum merata di Indonesia. Misalnya kita bisa melihat wajah pendidikan di daerah-daerah Indonesia bagian timur atau daerah-daerah terpencil yang pendidikannya sangat jauh tertinggal. Begitupun dengan sarana dan tenaga pengajar yang minim dan kualitasnya rendah, jika dibandingkan dengan lembaga-lembaga perguruan tinggi di daerah-daerah maju lainnya di tanah air.

Kebanyakan mahasiswa yang berasal dari timur bisa merasakan cara belajar kampus-kampus besar di tanah jawa jauh lebih baik ketimbang didaerah tempat mereka belajar dulu. Mahasiswa yang kebanyakan berasal dari timur dituntut untuk bisa beradaptasi dengan kemampuan belajar mahasiswa lain, yang umumnya cara belajar mereka lebih maju dan moderen. Mau tak mau, ketertinggalan itu harus dikejar secepat mungkin. Perlahan, metode belajar mulai dirubah. Waktu-waktu luang dimanfaatkan untuk membaca dan menulis, analisis dan riset-riset lapangan kian dipertajam demi memahami setiap kasus dan masalah yang terjadi dimasyarakat, jejaring pertemanan juga mulai di bangun bersama mahasiswa-mahasiswa lain. 

Di beberapa kampus ternama, para dosen mencoba untuk memahami kondisi belajar setiap mahasiswa yang berasal dari timur. Terkadang kampus memberi suatu kebijakan dalam proses penilaian. Mahasiswa-mahasiwa yang berasal dari timur Indonesia bisa dipahami kemampuan proses belajar mereka disana. Sehingga, pihak kampus melihat mereka secara arif. Perlahan tapi pasti, kemampuan mereka terus bertambah. Hal itu karena passion dan kecintaan mereka terhadap ilmu pengetahuan. Mereka mampu untuk bertahan hingga masa akhir studi, mereka selalu tampil percaya diri dan tak pernah malu dengan kemampuan yang dimilki. Bagi mereka, target yang hendak dicapai bukanlah mendapatkan hasil dan iming-iming sebuah perkerjaan. Tapi bagi mereka, kuliah adalah proses menemukan makna, makna dari semua ilmu, yang manfaatnya sangat begitu luar biasa. 

Sunday, December 20, 2015

Mahasiswa Juga Manusia Biasa



“Mimpi saya yang terbesar, yang ingin saya laksanakan adalah, agar mahasiswa Indonesia berkembang menjadi “manusia-manusia yang biasa”. Menjadi pemuda-pemuda dan pemudi-pemudi yang bertingkah laku sebagai seorang manusia yang normal, sebagai seorang manusia yang tidak mengingkari eksistensi hidupnya sebagai seorang mahasiswa, sebagai seorang pemuda dan sebagai seorang manusia”. - Soe Hok Gie

***

DUNIA begitu terbuka lebar, disaat bersamaan kebebasan hampir tiada batas. Tidak terkecuali bagi seorang mahasiswa yang selalu lantang dengan kalimat-kalimat kritis dan menentang setiap yang dianggap salah, atau yang bertentangan dengan rasio mereka. Mereka kerap disebut sebagai seorang aktivis, yang dengan berani menentang setiap kebijakan yang tidak manusiawi, kebijakan yang dinilai salah dan tidak memihak kepada rakyat kecil. Aktivis itu tidak hanya berbicara keras dipanggung demokrasi, dengan berbabagai atribut kelompok dan ikat kepala tanda perlawanan. Mereka tidak hanya mengibarkan idealis ditengah cuaca terik, meski panas sepanas api dari ban bekas yang membara diatas aspal. Meski demikian, hati mereka terus dibasahi embun dan keikhlasan untuk menyuarakan setiap kata ketidakadilan.

Sayangnnya, mimpi setiap mahasiswa itu tak selalu sama. Sebagaimana mimpi Soe Hok Gie dari sepenggal kalimat diatas. Secara naluriah, tabiat manusia memang tak selalu sama. Lingkungan dan tingkat pendidikan bisa menjadi faktor lain yang mempengaruhi perkembangan setiap individu. Kita bisa melihat dan menarik banyak contoh dari hal-hal kecil dalam sebuah organisasi, kelompok, atau komunitas. Berdinamika dalam sebuah kelompok mahasiswa akan sangat menarik jika frame nya adalah ilmiah dan akademis. Sebagaimana berdebatan ilmiah diantara para scientists soal temuan-temuan mereka. Kita terlalu lama berada dalam sebuah "tempurung" kecil dengan style dan cara lama yang tak progres. Sementara diluar sana, manusia-manusia dengan masif terus bergerak dengan cepat demi kemajuan dan perkembangannya.   

Era reformasi telah lama berlalu dengan meninggalkan banyak perubahan dalam tatanan pemerintahan. Reformasi telah melahirkan banyak generasi aktivis-aktivis jalanan. Mulai dari kelompok mahasiswa sampai kelompok masyarakat sipil atau Buruh. Meskti begitu, setiap kebebasan telah diatur dalam konstitusi negara kita. Seperti halnya, kebebasan setiap mahasiswa dalam institusi pendidikan. Hak mereka adalah belajar, tetapi hak-hak mereka menuntut pendidikan akan bisa terwujud jika kewajiban mereka membayar telah terbayar. Pendidikan tak selalu gratis, sama halnya ketika penyedia toilet mengharuskan setiap orang untuk membayar fasilitas yang telah kita gunakan. Semakin tinggi pendidikan yang ingin dicapai, semakin besar biaya yang hendak kita keluarkan.

Tetapi, apakah kita harus dibelenggu dengan masalah biaya pendidikan. Apakah karena merasa tak mampu, maka kita sudah merasa puas. Padahal, ada banyak ruang dan peluang dari program bantuan pendidikan yang telah disediakan pemerintah. Semua kembali pada diri masing-masing. Apakah kita sudah siap “membuang diri” dan mencoba untuk keluar dari zona nyaman lalu mencari hal baru yang menantang. Sekuat apa usaha kita untuk menaiki setiap tapak demi tapak jalan menanjak itu, apakah genggaman mimpi itu sudah benar-benar kuat hingga tak ada celah untuk keluar. Jika telah siap, kenapa harus menundanya. Kenapa harus menunggu matahari terbit untuk bangkit dari pembaringan. Kenapa harus malu dengan matahari yang sudah terlanjur bersinar. Bergeraklah dan jangan menunggu langit gelap, jangan menunggu matahari kembali keperaduannya. Jangan menunggu lama kawan, jangan sampai matahari tak nampak lagi menyinari alam raya ini. Jika matahari sudah tidak berjalan sebagaimana mestinya, itu pertanda kehidupan akan berakhir.

Dari kutipan dalam buku Catatan Seorang Demonstran karya Soe Hok Gie diatas hendaklah dipahami penuh makna, demi membentang wawasan kita yang telah lama kaku hingga menimbulkan banyak sekat-sekat kelompok. Sebaiknya kita mengingat kembali pesan-pesan para leluhur yang sungguh bijak itu, agar kita tak selalu hebat dalam memandang orang lain. Kita bisa saling mengingatkan ketika itu salah, tanpa harus menebar fitnah dan mencari kesalahan. Sebab, disisi lain kita selalu lemah karena tak bersatu dan tak saling membesarkan. Kita selalu merasa hebat didepan orang-orang yang tak banyak tahu. 

Kita terlihat dengan kebiasaan berbicara secara terbuka, tanpa disaring lebih dulu mana yang pantas dan tidak pantas. Kita selalu merasa tahu segala-galanya, tetapi justru semakin mempertebal keangkuhan diri kita sendiri. Seharusnya kita bisa lebih teduh dan menunduk meski jabatan, karier atau nama telah meninggi. Kita bisa melihat padi, setinggi apapun tumbuhan itu tetap saja akan membungkuk karena beban dari sebuah tanggungjawab.

“Sebagai bahan refleksi diakhir tahun 2015. Sampai jumpa di tahun 2016, semoga bisa lebih baik demi mengejar mimpi-mimpi”


Jakarta, 20 Agustus 2015   

Wednesday, December 16, 2015

Saat Hepatitis Masuk Kampus

Sumber: aids.gov

Menjelang Ujian Akhir Semester atau UAS, mahasiswa IPB dihantui dengan serangan virus Hepatitis. Ada puluhan mahasiswa yang dirawat dirumah sakit akibat terkena virus Hepatitis A. Apalagi, kasus ini telah ditetapkan sebagai Kejadian Luar Biasa (KLB) dan menjadi trending topic di beberapa pemberitaan media massa.

***

BEBERAPA hari lalu, sejak Hepatitis "masuk kampus" dan menjangkiti mahasiswa yang tengah sibuk-sibuknya dengan tugas-tugas kuliah dan ujian semester. Apalagi disaat mereka kurang makan, kurang tidur atau jarang mandi. Sudah pasti daya tahan tubuh sangat rentan terkena penyakit. Biasanya ini terjadi diawal-awal masa kuliah, sebagai bentuk adaptasi pada mereka yang berasal dari Luar Bogor. Atau, kebanyakan dari mereka yang terserang karena kelelahan. Pengalaman itu pernah saya alami, beberapa hari jatuh sakit karena pola hidup tidak teratur, ditambah intensitas belajar yang padat dan kurang makan.

Berbicara soal pemberitaan media massa. Pemberitaan lebih banyak mengabarkan kalau di lingkungan kampus IPB tidak sehat dan tidak bersih. Tidak bersih menurut media massa adalah kebersihan pada makanan yang dijajakan di kantin-kantin dalam kampus, yang dengan cepat virus Hepatitis menyebar dan menjangkiti setiap orang melalui apa yang dimakan. Tetapi pemberitaan itu cepat-cepat disanggah oleh pihak kampus. Menurutnya, kantin dalam kampus selalu bersih dan makanannya steril untuk dikonsumsi.

Sudah pasti, kampus sekelas IPB yang namanya setara dengan kampus-kampus besar lain seperti UGM, UI dan ITB tak ingin citranya rusak, tak ingin dibilang "jorok" karena Hepatitis berhasil masuk kampus dan menyerang puluhan mahasiwa. Sudah pasti, nama kampus tak ingin larut dalam persoalan virus Hepatitis ini. Apalagi dengan menimbulkan banyak korban mahasiswa.

Tentang lingkungan kampus yang tidak bersih. IPB sebagai kampus rakyat, sebagai kampus yang mengusung konsep Green Campus akan sangat bertolak belakang ketika virus Hepatitis disebut-sebut berasal dari lingkungan kampus IPB itu sendiri. Sudah pasti, ini menimbulkan banyak pertanyaan. Kok bisa, kampus yang terlihat bersih, hijau, dan nyaman tetapi virus dengan gampangnnya menyerang mahasiswa. Merebaknya virus Hepatitis ini menjadi "Tamparan Keras" bagi kampus. Sebagaimana yang dikatakan seorang guru besar IPB beberapa waktu lalu dimedia massa. Ia juga menulis dengan judul "Hepatitis yang Menampar Muka Kami". 

Inilah yang disesalkan pihak kampus maupun dari pihak luar, dalam hal ini Kementerian Kesehatan. Kemenkes memberi tanggapan atas kejadian tersebut, bahwa penyebab Hepatitis karena sanitasi di lingkungan kampus IPB buruk atau kantinnya kumuh (sindonews.com 14/12). Tapi sekali lagi, tanggapan itu sudah dibantah oleh pihak kampus, IPB tak ingin dibilang kumuh. Toh kampusnya luas, bangunannya bertingkat-tingkat, kantinnya juga kinclong dan higienis. Tapi begitulah, kebersihan dalam kampus tak menjamin pola hidup mahasiswa diluar kampus. 

Ada beberapa faktor yang menyebabkan mahasiswa terkena Hepatitis. Selain karena pengaruh cuaca yang lembab, kurang istrahat, lingkungan sekitar kos yang padat pemukiman, atau karena pedagang makanan yang kebersihannya tidak terjamin. Berkaitan dengan pedagang makanan yang berjualan diluar kampus, memang kondisinya sangat memprihatinkan. Para pedagang makanan itu berada tak jauh dari kos-kos mahasiswa yang padat pemukiman. Mereka menjual berbagai jenis makanan, dari pagi hingga malam hari. 

Pada malam-malam sebelumnya, jalanan itu selalu ramai dari mahasiswa yang berbelanja dan makan. Jajanan makanan yang didagangkan disepanjang jalan Babakan Raya telah menjadi andalan setiap mahasiswa yang tak ingin sibuk-sibuk masak dikos. Tinggal pesan, beberapa menit kemudian hidangan sudah siap disaji. Namun, beberapa hari terakhir suasana jalanan itu tampak sepi. Mungkin saja karena mahasiswa mulai khawatir dengan dagangan mereka.  
Memang tempat makan itu beda jauh kebersihannya dari tempat-tempat makan didalam kampus. Pedagang makanan diluar kampus berdiri dipinggiran jalan dan diatas trotoar, yang hanya ditutupi tenda dan hanya ada beberapa meja dan kursi saja, yang setiap saat bau menyengat dari dalam selokan keluar. 

Memang kondisinya sangat memprihatinkan. Tetapi apakah salah mereka yang berdagang ditempat itu. Kalau saja para pedagang digusur dan tidak lagi berjualan ditempat itu, lalu bagaimana dengan nasib mereka, yang sudah menggantungkan hidup dari jualan nasi dan soto. Nah, disnilah perhatian pemerintah setempat untuk bisa membangunkan tempat yang layak bagi para pedagang dengan tidak memindahkan mereka dari tempat sebelumnya. Dari bangunan yang dibuat, pemerintah bisa memungut retribusi dari setiap pedagang yang menempatinya. Tentu setiap yang dipungut akan menjadi pendapatan daerah.

***

SEMINGGU sudah setelah virus ini merebak di lingkungan kampus IPB. Pihak kampus telah membuka layanan kesehatan untuk memeriksa seluruh mahasiswa. Mahasiswa yang terkena Hepatitis dan kini dirawat dirumah sakit akan menjadi tanggung jawab pihak kampus sepenuhnya. Himbauan untuk selalu menjaga pola hidup secara teratur serta kebersihan lingkungan untuk menghindari penyakit Hepatitis terus dilakukan kampus pada semua mahasiswa. Hal tersebut untuk mencegah bertambahnya korban yang terkena virus Hepatitis. 
  

Sunday, December 13, 2015

Mereka Yang Nampak di Kompasianival 2015

Sumber: foto yadilaode
JIKA selama ini saya hanya mengenal para penulis blog di blog Kompasiana, maka kali ini saya berjumpa langsung dengan mereka di acara Kompasianival 2015. Acara itu digelar selama dua hari (12-13) di Plazza Gandaria City, Jakarta. Kompasianival menjadi perayaan puncak tujuh tahun Kompasiana sekaligus ajang Kopdar netizen se-Indonesia. Di acara itu, para penulis Kompasiana atau akrab disapa Kompasianer datang bersilaturahmi, saling bertukar pikiran, dan mengikuti rangkaian acara kegiatan adu kreativitas. Di hari pertama acara Kompasianival 2015, saya menjadi salah satu pengunjung yang menyaksikan kemeriahan acara itu. Sebelumnya, seorang Kompasianer mengajakku untuk datang menghadirinya. Ia adalah seorang penulis blog yang sangat produktif dan pernah meraih penghargaan dua sekaligus dari Kompasiana (Kompasianer of The Year 2013 dan Reporter Warga Terbaik), ia memang seorang traveller yang hobi menulis dan memotret. Di acara Kompasianival 2015, ada banyak kejutan yang sebelumnya tak kuduga. 

***

SAAT memasuki kawasan Mall Gandaria City Jakarta, kemeriahan begitu nampak dari ramainya pengunjung yang berlalu lalang dalam kawasan mall. Mereka datang untuk melihat-lihat setiap booth komunitas dan panggung acara. Diantaranya, Komunitas Kompasianer Penggila Kuliner (KPK) dengan kegiatannya mulai potluck, wefie di booth, lomba foto kuliner, lomba tebak makan, lomba tulisan KPK. Berbeda dengan komunitas musik di Kompasiana yakni Komposer dengan lomba Karaoke, setiap peserta diseleksi dari tulisan-tulisannya. Di Komunitas Fiksiana, akan menghadirkan penulis cilik untuk sharing di panggung komunitas. Fiksiana juga memamerkan buku fiksi kumpulan tulisan Kompasianer penulis fiksi di Kompasiana. Kutu Buku atau Kompasianer Ulas dan Tulis Buku juga memilih kegiatan bedah buku bersama kompasianer di panggung komunitas. Ada juga komunitas CLICK atau Commuterline Community of Kompasiana juga akan mengisi kegiatan panggung dengan pre-launching buku Si Ular Besi Antar Jonan Jadi Menteri, yang ditulis oleh Kompasianer anggota CLICK, P Akhmad Sujadi, mantan Kahumas PT KAI Daop I Jakarta. Seni dan puisi juga tak ketinggalan, ada musikalisasi puisi, lomba puisi, yang dihadirkan oleh Komunitas Desa Rangkat. Selain desa Rangkat, buku-buku karya anggotanya juga ikut dipamerkan. Sementara untuk Regional Kompasiana, Kompasianer Amboina yang merupakan satu dari empat komunitas regional Kompasiana juga terlibat dalam mengisi acara di panggung Kompasianival 2015. Tiga komunitas regional lainnya adalah Konek dari Surabaya, Kbandung, dan Bolang dari Kompasiana Malang. Kompasianival mengajak nitizen aktif dalam kegiatan Flash Mob SKJ dan aktivitas bergerak lainnya dengan menghadirkan atlet voli Amalia Farina di booth Koprol atau Kompasianer Penggemar Olahraga.

Sumber: Bupati Bantaeng usai dialog di acara Kompasianival 2015 (foto.yadilaode)
Apresiasi juga diberikan kepada Kompasianer yang paling banyak menulis olahraga di Kompasiana sepanjang 2015. Selain itu, ada juga komunitas keluarga dan perempuan. Kegiatannya adalah talkshow tentang manfaat kebiasaan menulis di keluarga. Pokoknya, semuanya menarik. Tak puasnya saya terus keliling di area Kompasianival 2015. Mengikuti dialog yang dihadiri langsung oleh seorang Profesor sekaligus menjabat sebagai Bupati Bantaeng Sulawesi Selatan Nurdin Abdullah. Dalam acara dialog, Pak Nurdin berbagi ide melalui sejumlah prestasi yang telah ia bangun sepanjang menjabat. Semua pengunjung terkesima denganya, memberi applouse sebagai bentuk apresiasi. Kabupaten Bantaeng yang sebelumnya daerah tertinggal, telah disulap lewat ide dan kerja kerasnya hingga melejit menjadi satu daerah yang diperhitungkan di Indonesia. Saya hanya berpangku dagu sambil merenung, andaikan pak Nurdin menjabat sebagai Walikota atau Bupati di pulau Buton kampung halaman saya. Mungkin daerahku akan dikenal sampai keseluruh Nusantara karena prestasi dan kesejahteraan masyarakatnya. Tapi mungkin suatu saat nanti, ketika masyarakat kian sadar untuk menentukan dan memilh pemimpin yang berkualitas. Kompasianival atau Kompasiana Karnival adalah ajang berkumpulnya warga internet (nitizen), blogger, komunitas, dan penggiat media sosial dari seluruh penjuru negeri. “Indonesia Juara” merupakan tema yang diusung tahun ini. 

Menurutku ini tema yang sangat luar bisa, ini adalah predikat dari mereka-mereka yang masih optimis terhadap tanah air. Mereka masih optimis ditengah carut marutnya perpolitikan negeri ini. Mereka yang memberi predikat Juara adalah mereka yang benar-benar tahu, bahwa dari karya-karya anak bangsa, Indonesia Juara. Mereka yang masih terus berkarya adalah mereka yang mencintai tanah air Indonesia. Saya merasakan suasana berbeda saat melihat para Kompasianer berada di alam yang nyata. Padahal dihari-hari biasa mereka hanya ramai di blog Kompasiana, mereka hanya nampak dalam layar laptop dan gadget. Tapi di acara Kompasianival kali ini, mereka berani menampakkan diri. Saling berkenalan atau bahkan yang sudah tidak asing lagi. Sudah pasti, mereka yang tidak asing itu adalah mereka yang paling sibuk di Kompasiana. Mereka yang tidak pernah alpa dalam sehari atau tulisannya tampil di headline. Barangkali ini yang membuat seorang Kompasianer Yusran Darmawan lebih banyak disapa oleh sesama blogger ketimbang seorang penulis ternama seperti Seno Gumirah Adjidarma di lokasi acara Kompasianival hari itu. Tetapi ini hanya sekilas pengamatan saya dilokasi acara.

Bersama Fikria, photographer kompas

Bersama Seno Gumira Adjidarma

Banyak kemungkinan untuk melihat hal ini. Mereka yang berada ditempat itu mungkin segan atau sudah sering ketemu. Atau mungkin memang mereka benar-benar tak tahu siapa dia. Saya begitu kagum begitu melihatnya, dia tampak sudah berumur tetapi masih tegap berdiri. Begitu tampak kalau dirinya adalah seorang maestro dan penulis handal. Dibalik wajah yang brewokan itu, angat jelas kalau dirinya telah melahirkan banyak karya-karya sastra. Satu kutipan dari bukunya yang pernah kubaca adalah “Menulis adalah satu cara untuk bicara, suatu cara untuk berkata, suatu cara untuk menyapa, suatu cara untuk menyentuh seseorang yang lain entah dimana. Cara itulah yang bermacam-macam dan disanalah harga kreativitas di timbang-timbang” Seno Gumira Adjidarma, Ketika Jurnalisme di Bungkam Sastra Harus Bicara.

Beberapa buku karya Seno lainnya adalah Atas Nama Malam, Wisanggeni-Sang Buronan, Sepotong Senja untuk Pacarku, Biola tak Berdawai, Kitab Omong Kosong, Dilarang Menyanyi di Kamar Mandi, dan Negeri Senja. Sayangnnya saat bertemu Seno di acara itu saya tak sempat membawa buku karyanya untuk ditandatangani langsung oleh sang pengarang. Meski begitu, di acara Kompasianival 2015 kali ini, saya menemukan banyak kejutan yang sebelumnya tak kuduga. Para Kompasianer yang datang tidak hanya yang berada di wilayah Jabodetabek, mereka yang berasal dari Indonesia bagian timur pun datang meramaikan acara ini. Mereka bukanlah warga dunia maya yang sibuk merusak dan membawa berita bohong. Mereka hanyalah orang-orang sederhana yang masih mau berbagi pengetahuan lewat tulisan dan pengalaman.     

Jakarta, 13 Desember 2015

Wednesday, December 2, 2015

Mereka Yang Berpura-pura Peduli

Sumber: kompas.com

APA anda suka bepetualang ke alam bebas? saran saya kenalilah dulu alammu sebelum kau menjelajahi lebih jauh. Suka menghadapi tantangan, semisal mendaki gunung, melintasi hutan, diving, atau rock climbing. Jika belum berpengalaman maka mintalah seorang kawan yang lebih berpengalaman dan sudah terlatih, atau masuklah dalam kelompok pecinta alam yang memiliki jejak rekam yang bagus. Disitu akan ada pelatihan atau kursus bagaimana melintasi alam dengan baik dan benar, akan ada pengarahan dari instruktur dan kita diperkenalkan dengan berbagai alat agar nantinya aman saat melewati medan-medan berbahaya.

Bahwa bepetualang dan menikmati keindahan alam itu tidak semudah yang selalu kita saksikan seperti disetiap akhir pekan dilayar kaca. Bahwa hanya dengan meneriakan “My Trip My Adventure” kita sudah merasa sama dengan mereka-mereka yang bepetualang di program jalan-jalan para artis itu. Menurut saya, mungkin saja acara itu hendak memperkenalkan tempat-tempat yang dianggap layak untuk dijadikan lokasi wisata tetapi belum pernah di eksplore. Kalaupun semangatnya adalah mengangkat dan memperkenalkan keindahan alam, berarti terselip pula pesan-pesan moril kepada kita semua agar senantiasa menjaga dan merawat alam itu.

Apa anda suka memotret? saran saya jadilah fotografer yang benar dan memberi makna disetiap gambar yang diambil. Atau apakah anda ingin terkenal dan menjadi follower terbanyak dimedia sosial hanya dengan memajang foto selfie dengan meminjam taman bunga orang sebagai background agar terlihat keren. Saran saya sebaiknya carilah taman lain yang penuh dengan nuansa perjuangan dan bernilai sejarah semisal di Taman Makam Pahlawan, atau carilah taman dimana setiap manusia yang ketempat itu akan selalu mengingat akan dunia akhirat dan segera bertaubat, semisal di taman pemakaman umum. Memang sangat menyeramkan dan sudah pasti para “selfieisme” yang rajin memajang foto disosmed itu tak ingin merusak citra mereka. Mereka selalu menjaga setiap hasil jepretan mereka dengan sebaik mungkin. Misalnya disebuah mall dengan selfie nya berada didekat banner iklan produk ternama luar negeri, atau menerobos masuk dalam sebuah acara agar bisa selfie bersama artis idola, sebagaimana yang pernah dicontohkan beberapa anggota DPR RI kita diluar negeri.

*** 

TEPATNYA di dusun Ngasemayu, Desa Salam, Kecamatan Patuk, Kabupaten Gunungkidul, Yogyakarta. Belum lama ini, desa itu ramai dari perbincangan karena keindahan kebun bunga Amarillys milik seorang warga bernama Sukadi (43). Bersamaan memasuki musim penghujan tahun ini, kebun bunga miliknya mekar dan menjadi perhatian warga sekitar dan luar desa. Masyarakat yang kebetulan melintas disekitar kebun itu ramai-ramai masuk kedalam dan ber selfie-ria tanpa menghiraukan bunga-bunga itu terinjak-injak dan menjadi rusak. Berbagai macam gaya yang mereka peragakan ditempat itu. Mulai dari yang berdiri menginjak bunga, sampai berbaring diatasnya. Setelah puas, mereka pergi meninggalkan bunga-bunga yang patah dan sudah rata dengan tanah. Tidak ada kesadaran dari mereka untuk selalu berhati-hati dan menjaga bunga agar tetap utuh. Kebanyakan dari pengunjung itu adalah perempuan yang mungkin usianya kira-kira baru belasan tahun, masa-masa “Pubertas” yang hari-harinya selalu sibuk mencari perhatian dengan lawan jenis mereka. Tetapi itulah masa remaja, masa dimana mereka butuh ruang aktualiasi yang didukung dengan publikasi. 

Lingkungan sosial bisa berpengaruh terhadap perkembangan perilaku setiap orang. Ketika hilangnya bimbingan dan edukasi di internal keluarga, maka setiap anak akan ”liar” dalam bertindak. Sungguh tidak terpuji memang. Disaat bersamaan, kita tak mau melihat dan mau menghargai bagaimana ketekunan serta konsistensi masyarakat desa yang merawat dan menjaga hutan sebagai “Paru-Paru”, salah satu organ terpenting dari Bumi yang memberi oksigen kepada seluruh mahluk di alam raya ini. Ketika Paru-Paru sudah tidak berfungsi dengan baik, maka planet yang bernama Bumi ini akan mati tak berdaya. Hanya saja, penyakit itu selalu datang dan menyerang. Sekelompok Korporasi yang mengatasnamakan negara, kesejahteraan rakyat, dan program penghijauan datang merusak hutan. Mereka datang mengeruk seluruh isi bumi demi meraup keuntungan lebih besar dari hasil menambang. Mereka mengabaikan banyak hal tentang dampak ekologi, tentang petani yang pernah menanam bibit pohon demi menjaga ekosistem dan merawat lingkungan, para petani yang mengetahui kalau hutan tak bisa dijaga dengan baik maka akan berbahaya besar bagi kelangsungan hidup manusia nanti.

Sayangnya, suara-suara kecil mereka selalu tertutup dengan bunyi mesin pabrik para perusak hutan itu. Sayangnya, aksi-aksi penolakan dari para petani itu selalu kalah dengan mereka-mereka yang diperusahan dan birokrasi pemerintah. Selalu saja ada korban dari perlawanan masyarakat kecil didesa yang dengan berani menolak alat-alat berat yang masuk tanpa sopan santun melintas diatas tanah masyarakat desa. Perusahan-perusahan raksasa itu penuh angkuh masuk ke desa-desa, membunuh tanaman sebagai sumber kehidupan kita selama ini, menggilas budaya lokal yang sejak lama menanamkan nilai-nilai kegotongroyongan lalu di rubah secara cepat dengan perilaku saling menyaingi dan apatisme sesama masyarakat desa. Ada banyak contoh tentang kerusakan hutan karena ulah sekelompok manusia. Sekali lagi, karena keserakahan manusia yang mengabaikan resiko ketika alam telah dirusak.

Kita sudah sama-sama saksikan dan rasakan sendiri, bagaimana hutan terbakar dan memberi dampak besar pada masyarakat di beberapa daerah seperti di Sumatera, Kalimantan, dan Papua. Kita tidak pernah mau memikirkan, ketika hutan rusak dan terbakar, maka akan ada korban jiwa yang terpapar asap. Para investor memang tak memikirkan itu, mereka hanya memikirkan bagaimana bisa meraup keuntungan besar dari bisnis perusahan tetapi mengabaikan pencemaran industrilisasi yang mereka bangun.

Melihat kondisi ekologi dan sosial yang kian memprihatinkan, kita bisa belajar dari teori Murray Bookchin yang melihat adanya kaitan yang erat antara dominasi sosial dan dominasi terhadap alam. Menurut Bookchin, dominasi sosial terjadi karena adanya hierarki dalam relasi sosial antara satu kelompok yang mempunyai kekuasaan dan lebih superior terhadap kelompok lain yang dikuasai dan lebih rendah kedudukannya. Hierarki ini yang mengembangkan dan mempertahankan relasi dominasi yang memungkinkan kelompok berkuasa memanipulasi kelompok lain demi memuaskan kepentingannya. Dalam pandangannya, hierarki dan dominasi ini tidak semata-mata terjadi dalam masyarakat kelas ataupun negara birokratis. Hierarki dan dominasi juga terjadi dalam masyarakat tanpa kelas. Bahkan muncul sebagai sebuah kesadaran, cara berfikir dan cara berperilaku dalam masyarakat kebanyakan. Bagi Murray Bookchin, dominasi manusia terhadap alam justru terjadi karena dan berakar dalam dominasi sosial ini (Keraf, 2010). 

*** 

HAMPARAN bunga Amarillys di Gunungkidul, Yokyakarta adalah gambaran kecintaan masyarakat kita yang masih peduli terhadap alam dan lingkungan. Dengan mekarnya bunga Amarillys di kebun milik seorang warga di desa itu, kita bisa melihat tindakan orang-orang kecil tetapi bisa memberi manfaat kepada orang banyak. Padahal ia tak mengharap banyak dari apa yang telah ditanam. Bahkan, pemilik kebun itu tak menyangka akan segempar ini bunga yang ditanamnya.

Bahwa apa yang dilakukannya, hanyalah menanam bunga yang sebelumnya hanya ada beberapa pohon kelapa didalam kebun miliknya itu. Namun setelah bunga yang ditanamnya mekar, para penggila selfie itu mulai berdatangan hanya untuk mengambil beberapa gambar beralatar bunga ala Eropa. Mereka hanya datang dengan terkagum-kagum tanpa menelisik lebih jauh tentang seseorang yang pernah menanamnya hingga bunga itu memesona banyak orang. Para pengunjung yang angkuh dan merusak tanaman itu mestinya bisa tahu betapa susahnya bapak si pemilik kebun merawat tanamannya selama berbulan-bulan, tetapi rusak hanya beberapa jam saat orang-orang yang mengatasnamakan pecinta bunga itu datang justru merusak bunga.


Bogor, 2 December 2015

Saturday, November 21, 2015

Memperingati Seratus Isi Blog


BIAR bagaimana pun, suka tidak suka, mau tidak mau, saya tetap menghargai dengan memperingatinya. Memang ini bukanlah acara besar yang membutuhkan banyak duit. Sebagaimana kita saksikan para pejabat yang dengan gampang “mengopet” uang negara hanya untuk sebuah acara tak bermutu. Ini hanya acara biasa, tapi mungkin luar biasa. Ini acara biasa yang tak perlu mengundang banyak artis dan penceramah agama. 

Ini bukan acara peringatan ulang tahun dengan lilin dan nasi tumpeng diatas. Bukan pula memperingati hari perkawinan se Dunia (World Marrige Day). “Ngapain, toh saya belum pernah dimintai sumpah dalam Ijab Kabul”. Nah satu lagi, ini bukan party dalam sebuah PUB atau diskotik, yang menampilkan wanita-wanita malam, yang dengan lincah menari diatas panggung lalu melilit disebuah tiang dan di iringi musik Dj tanpa sehelai benang. Ini memang menarik, sebagaimana kita saksikan pejabat-pejabat kampung yang sesekali berkunjung ketempat itu. Bukan itu, ini acara biasa yang wajib saya peringati. Sebagai refleksi, untuk melihat kembali tentang apa-apa yang pernah kucatat dalam setiap lembarnya. 

***

SAYA harus banyak berterima kasih kepada Evan Williams yang telah menciptakan Blog. Berkatnya, saya bisa memperingati isi tulisan yang ke SERATUS dalam blog pribadi saya beberapa tahun terakhir ini. Blog merupakan sebuah layanan publikasi yang menjadi milik perusahaan Pyra Labs dan telah di akuisisi oleh Google sejak tahun 2003. Evan Williams sang penemu, adalah seorang pria yang lahir di Nebraska 31 Maret 1972. Ia adalah seorang wirausahawan Amerika Serikat yang berasal dari keluarga petani. Selain menciptakan Blog, ia juga berperan besar dalam pembuatan twitter bersama Jack Dorsey. Fungsi Blog sangat beragam, bisa sebagai catatan harian, tempat penyebaran informasi, atau menjadi program-program media lain. 

Hari ini saya memperingatinya. Tepat di malam ini, Minggu (21/11/2015) di sebuah room yang berukuran 2X3 meter, dengan segelas teh hangat dan mendengarkan beberapa lagu dari Coldplay. Acaranya cukup menyenangkan, saya kembali membaca isi tulisan-tulisan itu. Dan rupanya ada hal menarik dan lucu yang pernah kutulis beberapa tahun silam tanpa kuduga sebelumnya. Acaranya cukup menghibur, saya kembali membaca kisah-kisah lama dari anak-anak suku Bajo yang dengan berani mengarungi melaut, kisah seorang Petani Organik yang konsisten tak menggunakan pupuk demi menjaga kualitas tanaman, tentang keindahan alam di Pulau Buton, atau tentang cerita kisah inspiratif dari seorang anak muda yang memilih kembali untuk membangun desa. Konon, lelaki itu sekarang telah mengenakan logo garuda, berseragam putih dan menduduki kursi penting di pemerintahan desa. 

Hari ini adalah hari penting bagi saya, hari dimana saya bisa duduk dalam kesendirian dan merefleksikan banyak hal tentang diri. Tentang harapan, tentang mimipi-mimpi yang hendak ku kejar kemana pun itu perginya. Ini adalah proses meditasi untuk meningkatkan kualitas diri, melatih kesabaran untuk melewati tahap demi tahap kehidupan. Peringatan isi tulisan ke seratus di blog ini adalah momentum bagi saya untuk melatih lagi kepenulisan agar kualitas isi terus mengalami perubahan dan bisa memberi manfaat bagi para pembaca. Peringatan ini, adalah hari dimana saya terus dipacu untuk terus menulis dan mengisi lebih banyak lagi konten yang bisa menginspirasi banyak orang. Ini bukan peringatan apa-apa, bukanlah peringatan seratus hari kerja pemerintahan lalu kita ramai-ramai meminta pertanggungjawaban mereka dengan menggelar unjuk rasa. Ini hanyalah peringatan kecil-kecilan yang bisa memberi makna, kepada saya atau mungkin bagi orang lain. 

See u on the show to 200 later       

Tentang Desa, Tentang Petani Yang Terlupakan


TAK jauh dari Dramaga tempat kampus IPB berdiri, sebuah desa yang menjadi lokasi penelitian kami saat itu kembali memberi satu keyakinan pada diri saya, jika desa tak selamanya kumuh dan masyarakatnya selalu di pandang miskin. Desa yang selama ini dinilai buruk karena masyarakatnya tak memiliki pengetahuan apa-apa dan jauh lebih hebat dari mereka-mereka yang tinggal dan hidup ditengah kemewahan kota. Di desa itu saya kembali menemukan makna dari kehidupan yang sebenarnya, makna dari masyarakatnya yang hidup rukun, tentram, dan damai. Saya juga bisa melihat langsung bagaimana masyarakat desa memanfaatkan alam dengan sebaik-baiknya. Saya bisa melihat bagaimana petani membuat sawah dengan rapih sehingga indah dipandang mata, dan bagaimana para petani yang membajak sawah dengan kerbau. Tak ada bunyi mesin traktor, apalagi mendengar suara dari mesin-mesin pabrik yang kerap membuat bising di telinga. Disni, hanya ada suara gemercik air yang mengalir secara bertahap dari tingkat atas sawah sampai ke bawah. Disini hanya ada suara kerbau yang sedang bertugas membantu kerja pak tani yang membajak sawah. Suara kerbau sebagai ucapan selamat datang kepada kami yang saat itu melintasi pematang sawah. Wew...

***

PAGI sekitar pukul 06.15 WIB, saya sudah harus bersiap-siap untuk segera ke kampus menemui beberapa kawan yang rupanya juga belum lama mereka tiba di depan gedung kantor fakultas. Kawan-kawan itu adalah rekan se tim, kelompok yang dibentuk dari tugas mata kuliah Metodelogi Penelitian Sosial (MPS) sejak awal perkuliahan beberapa bulan lalu. Tugas mata kuliah itu yakni melakukan penelitian dimasyarakat. Waktu yang diberikan kurang lebih empat bulan lamanya, dengan proses penilaian akan di lihat dari sejauhmana progres dari tahapan penelitian yang telah dilakukan. Dalam penelitian yang kami lakukan, judul yang diangkat mengenai “Rasionalitas Nilai Kerja Pertanian Pada Masyarakat Pedesaan di Sekitar Perkebunan Kelapa Sawit Desa Kiara Pandak”. Penelitian ini bertujuan untuk memahami rasionalitas nilai kerja pertanian pada masyakat desa Kiara Pandak yang masyarakatnya hidup bersebelahan dengan perkebunan kelapa sawit. Kami ingin melihat sejauhmana masyarakat desa Kiara Pandak mampu mempertahankan tradisi menanam sebagai petani dengan alasan rasional mereka. Ketimbang memilih berkerja di perkebunan skala besar dan meninggalkan pertanian. Disisi lain, kami juga ingin melihat alasan kenapa masyarakat desa memilih keluar desa dan berkerja ketempat lain.

Kami pun berangkat (mas Bayu, Rozi, Rio) dengan menggunakan sepeda motor. Jalanan masih diselimuti kabut. Ini kabut bukan sembarang kabut, bukan dari kabut asap kebakaran hutan. Ini memang benar-benar kabut, kabut yang memberi kesejukan di sepanjang perjalanan kami. Jalanan masih begitu lengang dari kendaraan. Perjalanan kali ini, sedikit membasahi rasa dahaga petualanganku semenjak kembali aktif sebagai mahasiswa dan menghabiskan banyak waktu di dalam ruang kuliah. Mata ini kembali di manjakan dengan bukit dan pegunungan, juga sempat beberapa kali melewati jembatan yang dibawahnya terdapat aliran sungai dengan air yang cukup deras. Tinggal beberapa kilometer lagi kami akan sampai di desa Kiara Pandak, tapi kami memutuskan untuk beristrahat sejenak disebuah warung makan. Dari atas perbukitan, kami tidak hanya menikmati panorama alam yang begitu memukau. Namun, hidangan soto ayam yang berkuah santan khas sunda itu juga membuat lidah kita menari-nari diatas mangkuk sup. Apalagi, segelas kopi hangat dengan hati-hati diantar langsung oleh seorang gadis sunda. “makasih teh” kataku usai ia mengantarkan segelas kopi dimejaku. Saat kuseruput, kopinya memang kurang begitu manis, tapi saat memandang gadis itu, kopi ini kembali manis ku rasa.  

Desa Kiara Pandak, Kecamatan Sukajaya, Kabupaten Bogor. Sejak zaman kerajaan dulu, masyarakatnya sudah diajarkan ilmu dan pola pertanian oleh sesepuh-sesepuh mereka. Dahulu adat masih sangat berperan dalam pertanian. Adat dan pemerintah desa secara bersama-sama membuat aturan tentang pertanian di desa. Misalnya ketika ada warga desa yang mendahului menanam padi, maka mereka akan mendapat sanksi dari adat bersama pemerintah desa. Maksud dari aturan itu sebenarnya untuk memberi kekompakkan warga dalam melakukan penanaman padi. Selain itu, jika aturan adat ini dilanggar, mereka percaya kalau akan berdampak buruk terhadap hasil pertanian. Datangnya serangan hama penyakit padi, wereng, atau tikus yang dapat merusak padi mereka. Benar kemudian, bahwa aturan adat itu juga dimaksudkan untuk meminta kekompakkan masyarakat dengan secara bersama-sama membasmi hama pernyakit yang menyerang padi mereka. Intinya adalah menjaga kekompakkan dan semangat gotong royong masyarakat desa.

Penanaman padi masih sangat sederhana dan tradisional, padi ditanam tidak menggunakan pupuk atau bahan kimia lain yang umumnya digunakan oleh petani-petani lain. Saat musim menanam padi, masyarakat desa selalu berpatokan pada bintang. Kalau bintang wuluku sudah keluar, nah barulah penanaman padi akan dilakukan. Para petani juga sebelumnya sudah menyiapkan lantaya atau tempat penyimpanan padi sebelum dinaikan ke keleyuet atau lumbung nantinya. Namun sayangnnya tradisi itu tidak bertahan berapa lama, dunia luar mulai merambah ke desa-desa dan mempengaruhi prilaku masyarakat. Kini, desa tak lagi menjadi desa sebagimana yang diharapkan oleh para leluhur. Perlahan desa mulai meninggalkan kebiasan-kebiasaan adat mereka. Para orang tua pun tak lagi mengajarkan banyak hal pada anak-anak mereka tentang pentingnya pertanian dan bagaimana pola tanam padi itu dilakukan. Tidak lagi ada generasi dari petani-petani kita saat ini. Muda-mudi telah meninggalkan pertanian hanya untuk mendapatkan kemewahan hidup yang tak pasti.

Seorang tokoh masyarakat di desa Kiara Pandak berkisah tentang kondisi desa saat ini. Menurutnya, hal itu karena kurangnya kedisiplinan para orang tua dalam mendidik anak-anak mereka. Sehingga masyarakat desa terutama yang anak-anak muda pindah ke kota demi untuk mencari suatu pekerjaan yang menjanjikan. Tidak sedikit dari anak-anak muda itu menggeluti satu profesi yang unik, dengan menjadi musisi jalanan. Maksudnya sebagai pengamen yang naik turun angkot. Tak ada pilihan mereka ditengah keterbatasan ekonomi keluarga dan kurangnya sumber daya manusia yang dimilki. Berbeda dengan kaum perempuan desa, kebanyakan mereka masuk kota dengan memilih tinggal dirumah –rumah mewah, yang disetiap sudut rumah terdapat CCTV, di kelilingi pagar kawat berduri, atau didepan rumah itu ada seekor anjing herder. Yah, mereka terpaksa harus berkerja sebagai pembantu rumah tangga (PRT) yang kerap kali mendapat perlakuan kasar dari para majikan.

Dengan melihat kondisi orang-orang desa di kota, lalu dengan ramai-ramai orang kota mengambil satu kesimpulan bahwa masyarakat desa selalu terbelakang dari masyarakat kota. Bahwa cara berpikir orang kota lebih canggih ketimbang orang desa. Bahwa dikota selalu dekat dengan kemewah dari pada di desa. Kemungkinan besar, hal inilah yang merubah pola pikir masyarakat desa dengan memilih pindah ke kota ketimbang memiilih bertani. Tanah dan sawah dijual untuk membangun rumah ditengah kota, tanah dan sawah dijual untuk membeli sepeda motor demi memenuhi keinginan sang anak tersayang, dan masih banyak lagi alasan-alasan mereka kenapa harus meninggalkan tradisi menanam di desa. “ngapainlah capek-capek tani, udah ja jual tuh sawah, beli’in motor”. kata bapak itu mencontohkan anak-anak muda di desa. Lanjut bapak itu dengan gaya kritiknya, “sepeda motor mah, semakin lama semakin karatan. Nah, kalau sawah. Semakin lama semakin bagus uey, tanahnya semakin subur”.

Mungkin ini maksud dari rasionalitas itu. Rasionalitas nilai kerja masyarakat desa yang memilih berkerja sebagai petani demi mendapatkan nafkah penghidupan (livelihood) dan mempertahankan tradisi menanam untuk kesejahteraan mereka. Kalau kita menggunakan pendekatan teori tindakan dari Max Weber, dimana tindakan sosial merupakan cara dalam menganalisa bagaimana suatu tindakan sekelompok orang atau masyarakat memiliki korelasi positif terhadap produk tindakan. Kita tahu, bahwa teori sosiologi klasik menempatkan evolusi masyarakat sebagai titik tolak bangunan teoritisnya, sebagaimana kita melihat perhatian Max Weber disini. Weber sangat serius dalam hal memahami kecenderungan tindakan atau motivasi yang dilakukan oleh subyek dalam memutuskan pilihan. Keyakinan Weber bahwa setiap tindakan atau keputusan yang dilakukan oleh salah satu individu bisa ditemukan makna obyektifitasnya.

Konsepnya tentang rasionalitas sebagai suatu metode analisa untuk mengurai arti atau tindakan dari setiap individu di dalam bertindak atau dalam memutuskan pilihan menjadi kerangka acuan bersama secara luas dimana aspek-aspek subyektif perilaku dapat dinilai secara obyektif. Meskipun teori ini paling banyak di pengaruhi oleh ilmu ekonomi, tetapi teori pilihan rasional dalam sosiologi berbeda dengan yang diterapkan dalam ilmu ekonomi. Dalam Economy and Society, Weber menetapkan garis pemisah antara ekonomi dan sosiologi ekonomi dengan mengajukan tiga unsur, yaitu (1) bahwa tindakan ekonomi adalah tindakan sosial; (2) tindakan ekonomi selalu melibatkan makna; (3) tindakan ekonomi selalu memperhatikan kekuasaan (Damsar, 2002).

Pemahaman Weber tentang tindakan rasional. Menurutnya, tidak semua perilaku dapat dimengerti sebagai manifestasi dari rasionalitas. Weber membagi tindakan rasional menjadi dua, yaitu rasionalitas instrumental dan rasionalitas yang berorientasi nilai. Rasionalitas instrumental merupakan rasionalitas paling tinggi yang meliputi pertimbangan dan pilihan yang sadar, berhubungan dengan tujuan tindakan, serta alat yang dipergunakan untuk mencapai tujuan tersebut. Sedangkan rasionalitas yang berorientasi pada nilai yaitu rasionalitas yang tujuan-tujuannya sudah ada dalam hubungannya dengan nilai-nilai individu yang bersifat absolut atau merupakan nilai akhir baginya. Sementara alat-alat hanya sebagai obyek pertimbangan dan perhitungan secara sadar semata. Secara spesifik tindakan sosial menganalisa masyarakat dari segi pelakunya, tujuan-tujuannya, situasinya, norma-norma, makna yang ada didalamnya.

***

MENJELANG siang dirumah seorang tokoh masyarakat desa Kiara Pandak. Perbincangan masih berlanjut, bapak itu masih berbicara soal pertanian. Menurutnya, ada beberapa masalah yang dihadapi oleh petani-petani di desa ini. Misalnya, banyaknya lahan yang tidak digarap menjadi lahan produktif itu karena kebanyakan masyarakat desa menjual tanah mereka pada pengusaha. Kemudian setelah terbeli oleh pengusaha, tanah itu tidak di jadikan apa-apa. Rupanya pengusaha-pengusaha yang membeli tanah itu hanya mau berinventasi saja, tanpa mau menggarapnya. Tentu ini akan berdampak pada lambatnya pertumbuhan ekonomi masyarakat desa. Masalah lain adalah ketidakjelasan status kawasan hutan yang ditetapkan oleh pemerintah sehingga hal ini menyulitkan masyarakat dalam memanfaatkannya.   



Kemudian dari masalah lahan tadi, bapak itu merasakan betul perubahan perilaku masyarakat desa di banding dulu. Masyarakat desa yang mulai meninggalkan kebiasaan-kebiasaan adat. Masyarakat yang makin individualis dan meninggalkan kebiasaan saling membantu dan berkerjasama. Menurut bapak itu, kalau orang sunda bilang manusia sekarang itu sudah pangalitan, artinya setiap sikap maupun prilaku tidak sesuai dengan keadaan. Seharusnya, masyarakat tidak menjadi konsumtif dengan membeli kebutuhan dari luar. Kebutuhan di desa sudah cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Misalkan untuk makan sehari-hari, ada beras, ada sayur, ada ikan dan lain sebagainya. Padahal disaat bersamaan, masyarakat kota mencari kebutuhan mereka di desa. Sebab, apa yang mereka makan sehari-hari dikota itu, asalnya dari desa, hasil kerja dan keringat petani-petani kita.

Memang, beberapa masyarakat desa masih memegang teguh adat dan mempertahankan kebiasaan bertani mereka. Kalaupun ada perubahan, itu datangnya dari penyuluh pertanian pemerintah dalam hal ini dinas-dinas terkait. Toh masyarakat masih menyesuaikan dengan tradisi yang mereka yakini selama ini. Misalnya, penanaman padi secara serempak, tata cara pengobatan dan lain sebagainya. Yah, semoga apa yang menjadi harapan masyarakat desa, harapan kita semua, desa tidak lagi dipersepsikan sebagai yang terbelakang, tertinggal dari kehidupan mereka yang di kota yang dianggapnya lebih sejahtera. Semoga saja tak ada lagi yang namanya “soma-soma” yang artinya memanfaatkan budaya para leluhur (adat), dari para “bangsat berdasi” yang kerap kali merusak budaya masyakarat desa.


Bogor, 21 November 2015

Friday, November 20, 2015

Hiruk Pikuk Menjelang Kongres HMI

Sumber: newsdetik.com
HARI itu 14 Rabiul Awal 1366 hijriyah yang bertepatan dengan 5 februari 1947. Di dalam sebuah rapat mendadak di Yogyakarta, lelaki itu dengan lantang menyatakan terbentuknya organisasi mahasiswa islam, “Hari ini adalah pembentukan organisasi islam, karena persiapan yang di perlukan sudah beres, yang mau HMI sajalah yang mau diajak mendirikan HMI. Dan yang menantang, biarlah dia menantang toh tanpa mereka organisasi ini masih bisa berdiri dan berjalan”. Sosok itu adalah Lafran Pane, seorang yang dikenal sebagai pendiri Himpunan Mahasiswa Islam (HMI). Latar belakang pemikiran berdirinya HMI adalah melihat dan menyadari bahwa kehidupan manusia dan mahasiswa islam pada waktu itu, yang pada umumnya belum memahami dan mengamalkan ajaran agamanya. 

***

DENGAN melihat kondisi bangsa, selang dua tahun pasca kemerdakaan Republik Indonesia. Peranan organisasi kemahasiswaan memang belum memberi pengaruh besar di dalam dan diluar perguruan tinggi. Mahasiswa secara umum belum banyak dalam bertindak dan berperan untuk kepentingan umat dan bangsa. Terlebih pemahaman mereka terhadap islam yang masih kurang. Karenanya, terbentuknya HMI tidak hanya merubah kondisi saat itu, tetapi juga untuk menjawab tantangan di masa depan. Organisasi mahasiswa ini seyogyanya mempunyai kemampuan untuk mengikuti alam pemikiran manusia yang selalu menginginkan inovasi atau pembaharuan dalam segala bidang. Termasuk pemahaman dan penghayatan agamanya, yakni agama Islam. Tentu, tujuan tersebut tidak dilaksanakan kalau NKRI belum merdeka dan rakyatnya masih dibawah bayang-bayang penjajah. Oleh karena itu, HMI sangat penting untuk mengambil peran dalam menjaga dan mempertahankan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) baik dari dalam maupun dari luar, serta upaya untuk memperhatikan dan mengusahakan kemakmuran rakyat.

Itikad baik dari para founding father dalam mendirikan organisasi ini tidaklah diniatkan sebagai bargaining untuk mencapai kekuasaan dalam pemerintah dan untuk mendapatkan sesuatu di bangsa ini. Lahirnya HMI adalah niat suci dari hati yang bening dan api yang menggelora dari semangat pemuda-pemuda islam saat itu. Kesadaran mereka lahir berangkat dari realitas sosial kondisi umat dan bangsa yang belum bangkit dari tidur panjangnya. Mestinya, setiap mahasiswa menyadari akan tanggung jawab mereka, mestinya mereka tahu bahwa seorang mahasiswa tidak hanya berada dalam satu perguruan tinggi untuk mendapatkan predikat, mestinya mereka sadar jika masalah bangsa tidak dapat diselesaikan hanya dengan membaca membaca tafsir dan mengahafal banyak teori. Tapi melainkan dengan the action of the real atau aksi nyata dalam melakukan perubahan. Sejak berdiri enam puluh delapan tahun yang lalu, perkembangan HMI sangat nampak dari banyaknya jumlah mahasiswa islam yang berhimpun di bawah bendera “hijau-hitam”. Mereka tersebar di berbagai perguruan tinggi, dalam dan luar negeri, mereka berasal dari suku dan latar belakang yang berbeda-beda tetapi identitas dan nafas mereka tetap satu, yaitu mahasiswa yang bernafaskan islam. Keberadaan mereka terbentang dari sabang sampai merauke, dari bunaken sampai rote, mereka tetap bersatu dalam satu himpunan yang bernama Himpunan Mahasiswa Islam (HMI). Meski demikian keadaannya, apakah mereka akan mampu melewati segala rintangan yang menghadang di depan sana, apakah mereka mampu menaiki setiap tapak tangga untuk menaiki puncak-puncak kejayaan, apakah mereka mampu mempertahankan marwah dan khittah perjuangannya dengan berbagai perkembangan dan dinamika yang seringkali memudarkan idealisme para intelektual muda ini?. Untuk melihatnya, kita bisa merefleksikan perjalanan HMI beberapa tahun terakhir ini. 

Di usianya yang telah melewati separuh abad, HMI masih begitu aktif dalam mewarnai setiap perjalanan bangsa. Bila melihat kebelakang, begitu banyak nama dan tokoh yang ikut mengambil peran strategis di hampir semua lini dalam percaturan negara ini. Mereka tidak hanya yang sukses dalam birokrasi, akademisi, dan politisi, tapi juga dalam dunia bisnis bahkan tidak sedikit yang tertarik untuk kembali ke desa demi membumikan ilmu dan pengetahuan yang telah didapat. Memang benar kemudian, bahwa HMI bukanlah organisasi partai politik, bukan pula organisasi pemerintah yang secara struktur berada dalam kordinasi pemerintahan. HMI adalah organisasi independen yang selalu setia mengamalkan nilai-nilai islam dan pancasila. HMI bukanlah “sales” yang dengan pandai beretorika demi merekrut banyak anggota dikampus-kampus. HMI tidak butuh banyak anggota agar terlihat garang, namun HMI butuh gagasan yang kuat serta memilki kesadaran dan rasa tanggung jawab yang tinggi demi terwujudnya masyarakat adil makmur. Sebagaimana yang tertuang dalam kitab konstitusi HMI itu sendiri, “Terbinanya insan akademis, pencipta, pengabdi yang bernafaskan islam dan bertanggung jawab atas terwujudnya masyarakat adil makmur yang diridhoi Allah swt”. (Bab III, Pasal 4 Tujuan, AD HMI).

HMI memang tak muda lagi, sebagaimana kita menyaksikan semangat anak-anak muda yang dengan gagah berdiri di atas mimbar lalu dengan lantang meneriakan kata-kata perlawanan terhadap ketidakadilan. Seiring dengan menuanya HMI, justru kader HMI juga ikut-ikut “pikun” akan tanggungjawab mereka. Barangkali kita terlalu lama bernostalgia dalam cerita-cerita sukses HMI sehingga lupa kalau ada setumpuk masalah yang harus segera diselesaikan. Sepertinya kita memang benar-benar lupa, lupa akan pernyataan keras dari seorang tokoh cendekia muslim sekaligus pernah menjadi ketua umum Pengurus Besar HMI saat itu. Adalah Nurcholis Madjid (cak nur) yang telah mengingatkan kita semua, “HMI Bubarkan Saja”. Dalam pandangannya, Cak Nur berbicara dalam konteks internal karena HMI telah melenceng dari khittah perjuangannya. Begitupun dengan kondisi saat ini, dimana banyaknya kritik terhadap HMI yang dilayangkan dari kader-kader HMI itu sendiri. Kritik terhadap HMI bukanlah hal baru. Kritik berangkat dari kegelisahan kita atas sejumlah persoalan yang kian melilit HMI. Hal tersebut terlihat ketika banyak dari kita terlalu fokus pada satu titik persoalan di internal HMI, tanpa mau move on demi melakukan perubahan-perubahan nyata dimasyarakat. Persoalan internal memang sangat penting untuk segera diselesaikan. Sederhananya hanya dengan selalu meletakan Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga (AD/ART) sebagai dasar dan aturan main yang berlaku di HMI. Persolan pelik lain dan dominan terjadi adalah perebutan struktur kekuasaan, yang konfliknya biasa diawal dan diakhir Konferensi berlangsung. Biasanya penyakit dendam dan balas dendam adalah penyakit kronis yang merasuki mental kader. Kiranya hal inilah yang perlu diluruskan dan segera di obati dalam tubuh HMI. Penyakit menua ini harus secepatnya disembuhkan dan bangkit dari tidurnya. Agar kedepan, kita tak lagi disibukkan untuk mengurai satu persatu benang kusut di HMI. Dan kritik, lebih diarahkan pada arah yang membangun demi terciptanya suasana yang aman dan kedewasaan berorganisasi. 

*** 

PELAKSANAAN Kongres HMI XXIX yang diselenggarakan di Riau tak berapa lama lagi akan di gelar. Hiruk pikuk susana menjelang di bukanya Kongres kian terasa. Kali ini kota Riau menyatakan kesiapannya sebagai tuan rumah Kongres HMI. Hal itu terlihat dari direspon pemerintah Provinsi Riau yang menyambut baik pelaksanaan Kongres tersebut. Apalagi, dalam pembukaan nantinya akan dibuka langsung oleh Presiden Joko Widodo yang hadir bersama Wakil Presiden Jusuf Kalla dan sejumlah pejabat tinggi negara lainnya. Disetiap sudut kota, jalan-jalan utama kota Riau telah dipenuhi atribut bendera dan spanduk ucapan selamat datang peserta Kongres HMI. Kader-kader HMI dari seluruh cabang pun mulai berdatangan dan membanjiri kota yang memilki semboyan “Bumi Bertuah Negeri Beradat”. 

Pelaksanaan Kongres kali ini, tentu berbeda dengan pelaksanaan kongres-kongres sebelumnya yang tingkat kesiapannya sedikit lebih baik. Pengurus Besar (PB HMI), Steering Commite (SC) dan Panitia Pelaksana sangat berharap pelaksanaan Kongres kali ini tidak hanya sebagai ajang konsolidasi kader HMI di seluruh Indonesia dengan agenda merumuskan rekomendasi internal dan eksternal saja. Namun dalam hal penjaringan kandidat calon ketua umum, telah dibentuk tim seleksi yang bertugas melakukan penjaringan kandidat melalui uji publik di lima kampus yang telah dipilih. Itu dilakukan sebelum Kongres dilaksanakan. Dengan tujuan agar proses rekruitmen kepemimpinan tertinggi di HMI dapat terlaksana secara berkualitas. 

Hendaklah para kandidat calon ketua umum PB HMI periode 2015-2017 adalah mereka-meraka telah matang. Mereka yang siap memikul amanah, mereka yang siap membaktikan diri pada umat dan bangsa, mereka yang tidak terjebak dalam komunitas kader yang menjadi pengkritik melulu tanpa mengambil suatu peran yang dikerjakan sebagai solusi, mereka yang bukan mengejar posisi tertinggi dalam HMI untuk berkuasa secara sewenang-wenang. Yang di impikan adalah, mereka yang selalu menjunjung tinggi etika dan profesionalitas. Yang memiliki kesadaran, dimana semua kader memang tak mungkin bisa menduduki kursi ketua. Ibarat petani menanam buah jeruk dan tiba dimana waktu panen. Tidak semua buah jeruk yang ditanamnya dapat berbuah manis. Ada beberapa diantara buah itu terasa kecut, belum masak, atau bahkan terdapat buah yang rusak. Sebagaimana tumbuhan yang membutuhkan tanah, udara dan air agar proses pertumbuhannya bisa dengan baik, kader HMI pun juga mesti bisa tumbuh dengan membaca, menulis dan berdiskusi agar kualitas hidupnya bisa lebih baik. Dan kelak tumbuhan itu bisa berbuah manis dan dipetik oleh banyak orang. Disinilah pentingnya kita bisa merawat kualitas dan tradisi HMI. 

Proses kematangan seseorang tidak hanya diukur dengan seberapa lama ia “tinggal di Sekretariat HMI”, tetapi juga bisa dilihat dari kualitas iman, kualitas ilmu, dan kualitas amalanya. Kriteria seorang leader yang memiliki integritas dan kualitas yang baik untuk menjalankan organisasi akan sangat tampak dari diri kita sendiri yang menilainya. 

Berlangsungnya Kongres, tidaklah di persepsikan sebagai ajang saling “gontok-gontokan” karena hilangnya rasionalitas. Kongres bukanlah untuk arena mencari cara untuk meloloskan sang jagoan dengan cara yang tak benar. Kongres tidak hanya untuk menjawab berbagai masalah yang telah lama bersarang di tubuh HMI. Namun yang paling pokok dan utama adalah bagaimana memperbaiki dan menambal satu demi satu kebocoran di kapal besar yang bernama HMI ini, kelak mampu melewati gelombang besar serta bertahan di tengah gempuran era globalisasi. Olehnya, mari kita kembalikan khittah perjuangan HMI di rel yang sebenarnya.    

Billahitaufiq wal hidayah 
Yakin Usaha Sampai 

Bogor, 20 November 2015

Tuesday, October 27, 2015

Perbincangan Seputar Moto GP

Sumber: liputan6.com

BEGITU ramai perbincangan mengenai adu balap motor kelas bergengsi itu. Perbincangannya tidak hanya di kalangan para pengamat pebalap motor, tapi juga sudah melebar dan keluar sampai orang-orang di luar jalur arena balap. Apakah mereka dari komunitas motor yang suka ngebut dan sering mengganggu, orang kantoran yang hobi memodifikasi bentuk motor, ataukah para pejabat yang punya banyak koleksi motor di rumah. Kali ini perbincangan masih seputar Moto GP, itu karena pebalap yang berjuluk The Doctor adu sengit dengan si Baby Allien julukan dari pebalap Marc Marquez beberapa waktu lalu.  

Adu kecepatan motor itu tidak berlangsung di atas jalanan berlubang dan berdebu, atau dengan tikungan kiri-kanan jurang seperti yang pernah kita lewati jalanan di desa-desa. Ini adalah sirkuit Sepang di Malaysia, negara tetangga kita yang juga sedang dikepung kabut asap. Itulah resiko bertetangga dengan kami di Indonesia. Meski begitu, negara-negara tetangga yang berdekatan dengan negara Indonesia seperti Malaysia dan Singapura toh mereka selama ini juga banyak menghirup udara segar dari hutan-hutan kita di Indonesia. Yah, sekali-kali lah kita sama-sama merasakan kabut asap ini, kabut asap dari keserakahan para korporasi yang barangkali ada dari mereka berasal dari negara-negara itu juga. 

*** 

KITA kembali ke adu balap, adu kecepatan, adu nyali, dan adu mulut seputar pertengkaran pebalap senior dan pebalap junior. Barangkali istilah itu karena perbedaan usia kedua pebalap, antara Valentino Rossi yang sudah berumur 36 tahun dan Marc Marquez yang baru berumur 22 tahun. Perbedaan tidak hanya dari faktor usia pastinya. Faktor lain siapa yang lebih dulu menunggangi sepeda motor kelas Moto GP sudah pasti adalah Valentino Rossi. Nama Valentino Rossi menjadi populer ketika beberapa kali menjurai dunia. Itulah kenapa bagi yang awam pada Moto GP ketika di tanya soal nama pebalap, hanyalah Valentino Rossi dengan nomor 46 yang di ketahuinya. Sama halnya di sepak bola, dahulu kita sering mendengar nama Ronaldo yang begitu populer. Maka setiap pertandingan sepak bola kita selalu mencari pemain bernomor punggung sembilan. Padahal ada banyak kejadian lucu yang tanpa sadar, pemain yang di sebut-sebut bernomor punggung sembilan itu rupanya dia adalah Fernando Soler pemain Persebaya. Wah, ternyata tim yang bermain bukan Brazil tetapi Persebaya versus Arema.

Ngomong-ngomong soal siapa yang dulu menunggangi motor, tentu kita semua tidak kalah dari sang penemu sepeda motor itu sendiri. Ia adalah Edward Butler, seorang penemu asal inggris. Sepeda motor merupakan pengembangan dari sepeda konvensional yang lebih dulu ditemukan. Butler lalu membuat kendaraan roda tiga dengan suatu motor melalui pembakaran dalam. Sejak penemuan tersebut, semakin banyak dilakukan percobaan untuk membuat motor dan mobil. Salah satunya dilakukan oleh Gottlieb Daimler dan Wilhelm Maybach dari Jerman. Kedua penemu tersebut bertemu ketika berkerja bersama di Deutz-AG-Gasmotorenfabrik, produsen mesin stasioner terbesar pada tahun 1872. Pemilik Deutz-AG-Gasmotorenfabrik yang bernama Nikolaus Otto berhasil membuat mesin empat langkah atau disebut juga “mesin empat tak” dan penemuan tersebut dipatenkan pada tahun 1877. (sumber: wikipedia.org) 

Namun persoalan bukan siapa yang lebih dulu berada di kelas Moto GP. Tentu sikap itu tidak menunjukkan sikap profesionalitas dari setiap pebalap. Perselisihan antara Rossi dan Marquez, memang sudah terjadi sejak balap di sirkuit Philip Island Australia. Keduanya sudah terlibat aksi saling salip menyalip. Apalagi, pertandingan semakin memanas dengan sisa waktu balap tinggal dua kali race. Di papan klasemen seri 16 GP Australia lalu, posisi pertama masih di isi oleh Valentino Rossi dengan perolehan sementara 296 poin di susul Jorge Lorenzo 285 poin dan Marquez 222 poin. Nah itulah kenapa Rossi berusaha penuh memacu kuda besinya di sirkuit Sepang Malaysia beberapa hari lalu, meski pada akhirnya ia harus menerima sanksi dari Race Director Mike Webb akibat insiden antara dirinya dengan Marquez. Rossi juga di sebut-sebut menendang motor Marquez hingga ia jatuh tersungkur dan tak bisa lagi melanjutkan balap di tikungan ke empat belas putaran ketujuh Moto GP Malaysia. Atas kejadian itu, Valentino di jatuhi penalti tiga poin dan start di posisi terakhir pada race terakhir di Valencia pekan depan.

Terlepas dari perselisihan antara Valentino dan Marquez, pastinya penyelenggara Moto GP tidak mau merugi atas usahanya untuk merebut perhatian dunia di seri terakhir nanti. Atau ada pihak lain yang di luar penyelenggara, biasanya mereka-mereka yang mempunyai kekuatan modal dan memiliki kewenangan untuk mengintervensi pertandingan demi memenuhi hasrat judi mereka. Sebagaimana pernah dilakukan pada pertandingan-pertandingan lain. Jika benar ini terjadi pada balap Moto GP, sudah pasti Valentino Rossi harus di ikutkan dalam balap seri terakhir nanti. Meskipun sejumlah kritik dari pebalap lain menilai hukuman yang diberikan pada Velentino terlalu ringan.

Ini hanya dugaan yang mungkin ada sedikit benarnya, ketika Valentino tidak di ikutkan dalam balap di Valencia nanti, sudah pasti seri terakhir Moto GP tidak terkesan menarik. Sebab, daya tariknya ada pada persaingan sengit antara Valentino dan Jorge Lorenzo. Tapi ini hanya analisa sementara saya bersama para tukang ojek sebuah pangkalan di persimpangan jalan Sudirman. Berbebeda lagi dengan statmen seorang tukang tambal ban atau bengkel motor di jalan poros M.H Thamrin. Menurutnya, duel antara Rossi dan Marquez memang menimbulkan banyak pertanyaan. Sebelumnya, banyak yang menduga jika Rossi menendang Marquez hingga ia jatuh, atau memang Marquez sengaja menghalang-halangi Rossi merebut gelar juara untuk kesekian kalinya. 

Lelaki itu juga berpendapat, seharusnya Rossi tak melakukan hal yang salah saat itu. Tetapi itupun kalau ia merasa dewasa terhadap Marquez yang di lihatnya anak baru di kelas Moto GP. Kalau memang ia merasa di provokasi, harusnya sikap profesionalitas itu selalu ada pada dia. Ini memang selalu terjadi pada setiap pertandingan dan memicu kemarahan pada setiap orang. Sekali lagi ini hanya perspektif dari seorang tukang tambal ban yang sedikit banyak ada benarnya. Terakhir, "apapun yang terjadi di akhir race nanti, para pebalap Moto GP itu tidak akan mungkin menambal ban motor mereka di bengkel saya”. Cetus lelaki itu.   

"Saat sedang menunggu Go-Jek di pangkalan ojek."


Bogor, 27 Oktober 2015

Popular Posts