Friday, December 25, 2020

Mereka yang Menghormati Perbedaan

 

Tahun 1999 silam, konflik itu pecah di tanah Maluku. Konflik itu meninggalkan duka mendalam karena memakan korban jiwa yang tak sedikit. Banyak orang tewas dalam kerusuhan agama itu. Banyak rumah dibakar hingga menyisakan puing-puing. Hampir sebagian penduduk lari mengungsi menyelamatkan diri. Kota yang identik dengan julukan Ambon Manise, akibat kerusuhan 21 tahun lalu, kota itu menyisakan pahit. 

Sebagian besar penduduk Maluku adalah masyarakat Buton, Bugis, dan Jawa. Akibat konflik antara 1999 sampai 2002 itu, ribuan orang meninggalkan Ambon, Maluku. Dari beberapa daerah yang menjadi tempat pengungsian, Kota Baubau adalah salah satunya. Kota Baubau menjadi salah satu daerah tempat pelarian orang-orang Ambon, Maluku yang terdampak konflik.

Tetapi sesungguhnya orang-orang yang datang mengungsi ke Kota Baubau adalah orang-orang asli Buton yang sudah sejak lama merantau ke Ambon, Maluku. Sebagian besar orang Buton yang merantau itu sudah menetap, kawin-mawin dan beranak-pinak di sana. Tetapi karena konflik berdarah di Maluku, mereka memilih untuk kembali ke kampung halaman. 

Masyarakat pengungsi itu lari menginggalkan harta benda dan rumah-rumah yang telah rata dengan tanah. Mereka lari membawa pakaian dan barang sebisa mereka ambil. Mereka menyesaki kapal penumpang Pelni untuk pergi jauh dari pulau dengan perasaan cemas dan takut.

Kerusuhan Ambon, Maluku bergema ke seluruh nusantara, membawa momok bagi masyarakat Islam dan Kristen di daerah-daerah lain. Konflik agama di Ambon, Maluku membunuh toleransi bagi kerukunan antar umat beragama. Konflik itu sempat menumbuhkan kebencian antara muslim dan nasrani - hanya karena mereka tega membawa nama agama dalam masalah sepeleh.

***

Lama saya menatap mata Victor Lawalata yang sembab saat dia mengisahkan kembali peristiwa kelam di kampung halamannya, di Batu Gantung, Ambon, Maluku - yang ketika itu banyak orang-orang tewas tergeletak karena tebasan parang, terkena anak panah, peluru, hingga serpihan bom.

Hari itu saya berjumpa Victor di kediamannya di Kota Baubau. Kami berbincang cukup lama. Dia memang lahir dan besar di Kota Baubau, meskipun leluhurnya berasal dari Saparua, sebuah pulau kecil di wilayah Kabupaten Maluku Tengah, Provinsi Maluku.

Jauh sebelum kerusuhan Ambon, Maluku, keluarga Victor telah berada di Kota Baubau. Sekitar tahun 1960, ayahnya lah yang pertama datang dan membuka bank. Bank itu menjadi satu-satunya di daerah, yang saat itu bernama Bank Rakyat Sulawesi.

Meski ayahnya seorang bankir, Victor tak mengikuti jejak Papa. Victor memilih bekerja di Perusahaan Listrik Negara (PLN) Area Kota Baubau. Dia menyelesaikan pendidikan dari SD hingga menamatkan SMA di Kota Baubau. Dia tak pernah menyangka bisa selama itu menetap dan betah tinggal di Kota Baubau, hingga dia memiliki istri, seorang perempuan berdarah Buton. Istrinya adalah orang Wolio, keluarganya memiliki keturunan Sultan Buton.

Di kehidupan keluarga, Victor tak pernah mempersoalkan keyakinan dalam beragama,

“Jadi kita di sini, kalau lebaran, ya lebaran, kalau natal ya natal. Jadi kita akrab semua. Jadi ini keluarganya istriku, tiga yang Kristen, tiga yang Muslim. Jadi mereka saling bagi,” kata Victor

Sejak menetap dan membangun rumah tangga di Kota Baubau, Victor selalu aktif dalam kegiatan-kegiatan sosial dan budaya. Dia terlibat aktif di dalam Kerukunan Keluarga Besar Masyarakat Maluku (KKBMM), yang saat ini berganti Maluku Satu Rasa (M1R).

Victor juga aktif dalam kegiatan-kegiatan keagamaan. Dia sering menghadiri undangan masyarakat pengungsi Maluku dalam acara-acara Maulid di masjid. Dia juga sering menghadiri ritual adat Haroa yang diadakan masyarakat Buton. Menurutnya, tradisi Buton dan Maluku memilki kemiripan. Tradisi Haroa seperti halnya tradisi Makan Patita bagi masyarakat Maluku, yakni acara makan bersama.

Di dalam kerukunan, Victor selalu menanamkan sikap toleransi pada orang-orang Maluku. Dia menjadi cerminan orang Kristen yang menghormati segala perbedaan, kepedulian serta kasihnya terhadap sesama manusia. Menurutnya, saat ini banyak falsafah-falsafah yang telah terlupakan oleh kita. Andai kalau itu dipahami dengan baik, tentu bisa lebih menentramkan dan mampu menjaga toleransi.

Victor mendapat satu kepingan cerita sebelum ayahnya wafat tentang kuatnya ikatan persaudaraan di tanah Buton. Kata Papi, orang-orang tua di Buton paling menghargai setiap pendatang. Mereka bisa saling menghargai dan menyayangi walaupun tak seiman dan berbeda budaya. 

Toleransi begitu kuat sejak masa-masa kesultanan Buton dulu. Karena itu, pihak kesultanan memberi satu bangunan untuk dijadikan tempat ibadah bagi umat Kristen di Kota Baubau. Selain gereja, lonceng besar bertuliskan Wolio menjadi hadiah untuk dijadikan lonceng gereja dan pelayanan ibadah bagi umat Kristen.

***

Saya begitu menikmati cerita pak Victor hari itu. Sebagai seorang muslim bersuku Buton, saya pernah mengalami hal-hal serupa saat mengunjungi beberapa daerah yang di mana masyarakatnya mayoritas adalah nasrani. Saya kembali teringat saat mengunjungi Pulau Kakorotan, Kepulauan Talaud, Sulawesi Utara beberapa tahun lalu.

Dalam kegiatan riset, saya dan teman-teman tinggal di rumah kepala desa. Di pulau kecil itu, kami disambut dengan penuh hangat oleh masyarakat desa, yang seluruh masyarakatnya beragama Kristen. Sudah pasti tak ada masjid di pulau itu.

Masyarakat desa tahu kalau kami pendatang yang tak seiman dengan mereka. Seorang teman, Nissak yang telah dulu datang untuk satu kegiatan penelitian dan tinggal cukup lama bercerita kepada kami kalau dirinya selama di Pulau Kakorotan tak pernah mendapat perlakuan aneh dari masyarakat hanya karena dirinya memakai jilbab.

Masyarakat Kakorotan tahu kalau Nissak beragama Islam. Dia adalah seorang muslim yang taat. Masyarakat Kakorotan sangat menghargai dirinya, seorang perempuan beragama Islam yang memilih tinggal selama berminggu-minggu di antara orang-orang Kristen yang guyub.

Saat perahu yang kami tumpangi mendarat di pantai Pulau Kakorotan, kami disambut Nissak. Dialah yang mengantar kami di rumah kepala desa. Di rumah itu, kepala desa menyambut baik kedatangan kami dan mempersilahkan untuk tinggal beberapa lama.

Bapak kepala desa tahu kalau kami adalah muslim yang punya perbedaan dengan kebiasaan-kebiasaan mereka di rumah. Istrinya menyiapkan apa yang menjadi kebutuhan kami selama tinggal di rumah mereka. Mulai dari kebutuhan makan, sampai dengan kebutuhan ibadah, seperti tempat wudhu, ruangan, serta alas tempat kami salat.

Aktivitas kepala desa tak hanya melayani masyarakat dan mengurus pemerintahan dari kantor desa, namun dia juga melayani masyarakatnya di gereja sebagai pendeta. Dalam sehari, beberapa kali dia melangsungkan ibadah di gereja dan dari rumah ke rumah. Sejak subuh, dia sudah keluar rumah untuk beribadah ke gereja.

Saya melihat ada kemiripan jadwal ibadah mereka dengan kita orang Islam. Setiap pagi pukul 5, pak desa sudah berpakaian rapih, mengenakan sepatu dan membawa Alkitab menuju gereja. Di sana, dirinya telah dinanti oleh jemaat.

***

Pada setiap perjalanan yang pernah saya lalui, saya menemukan tetes embun yang membasahi hati dan batin. Pada setiap perjalanan itu, saya menemukan pelajaran yang amat berharga tentang bagaimana cara untuk saling menghormati satu sama lain. Bahwa berbeda keyakinan bukanlah satu masalah untuk diperdebatkan dan dipertentangkan.

Saya sering menemukan teman-teman nasrani yang ramah dan lembut dalam berucap. Saya menyukai cara mereka dalam bergaul. Tidak ada ucapan yang menyinggung apalagi menggoyah keimanan saya. Justru kitalah yang mayoritas ini selalu merasa hebat dan paling benar, sebagaimana kita menyaksikan banyak muslim di ibu kota sedang mabuk agama.

Padahal ajaran Islam selalu dinamis, sesuai dengan ruang dan waktu. Bukankah agama datang untuk memelihara akal manusia. Bukankah agama itu datang untuk memelihara agama itu sendiri, sehingga kalau ada yang mengganggu dengan pemikiran-pemikiran yang keliru, maka harus diluruskan.

Agama itu datang untuk memelihara jiwa manusia. Siapapun dia, apakah muslim atau non muslim, tetap harus dihormati. 

Sementara kita sering menjumpai orang-orang yang emosi keagamaannya terlalu meluap-luap, sehingga dengan mudah menyebut orang lain dengan kata kafir. Inilah kegagalan kita dalam beragama. 

Jangan menganggap, menghormati agama orang lain bukan berarti kita mengakui kebenarannya. Menghormati agama orang lain yang kita tidak percaya itu hanya mengakui keberadaannya, bahwa kita bisa hidup berdampingan dengan mereka walaupun dengan perbedaan-perbedaan.

Kita harus pahami bahwa perbedaan itu mutlak adanya. Keberagaman mengajarkan banyak hal tentang makna toleransi. Kita yang berbeda dalam agama, adalah saudara dalam kemanusiaan.

Selamat Natal

Semoga kita selalu diberi kesehatan, kebahagiaan, damai dan sejahtera.

Friday, December 18, 2020

Tradisi Mata'a Galampa

 


Setiap tahun Mata'a Galampa digelar oleh masyarakat Cia-Cia di Pulau Buton, sebagai ungkapan rasa syukur atas keberlimpahan sumber daya alam dari Sang Maha Pencipta. 

Tradisi Mata'a Galampa dirayakan setiap bulan November bersamaan dengan musim tanam oleh masyarakat Sempa-sempa, Desa Lapandewa Makmur, Kecamatan Lapandewa, Kabupaten Buton Selatan. 

Siang itu masyarakat desa sudah memadati Baruga, bangunan panggung kayu tempat musyawarah adat. Para tetua adat duduk bersila untuk melakukan ritual Sampua Galampa. 

Acara dibuka dengan Tari Bhatanda. Tari ini memberi arti hubungan kerjasama antar masyarakat serta kebiasaan mereka mengelola hasil-hasil alam.

Tarian itu diperagakan oleh tetua-tetua adat, di mana setiap gerak hentak kaki dan ayunan tangan mengikuti irama gendang dan gong. Tari Bathanda memiliki arti: di manapun kaki melangkah, di situ rezeki yang bisa di dapat. Rezeki di dapat dari setiap usaha dan perjuangan.

Saya mengikuti prosesi itu dan duduk di antara orang-orang tua adat. Usai doa dipanjatkan, beberapa orang berkemeja putih berduyun-duyun masuk mengantar wadah (talang) yang berisi berbagai olahan makanan dari hasil panen, jerih payah masyarakat. 

Saya coba mengintip isi talang dengan membuka tudungnya. Isinya bermacam-macam. Ada nasi pulut, ayam, pisang rebus, kambewe, waje, epu-epu, bolu, dan baruasa. Tentu nama-nama penganan ini terasa asing bagi masyarakat luar Buton. Tapi menu makanan itu selalu menyatukan orang-orang Buton di tanah rantau.

Menu tradisional yang dimiliki masyarakat Buton menjadi hidangan di setiap acara adat. Bahan baku pada olahan makanan di dapat dari aktivitas berkebun mereka di tanah gersang dan bebatuan. 

Tetapi apa yang mereka tanam dan panen adalah anugerah dan nikmat yang diperoleh dari Sang Maha Pemurah. Suatu kesyukuran karena dengan segala keterbatasan, letak geografis, iklim dan kondisi tanah di desa mereka, Tuhan melimpahkan sumber daya alam yang hingga kini terus dimanfaatkan.

Di akhir prosesi, kami dipersilahkan makan. Masing-masing orang mendapat satu talang. Setiap talang terisi penuh dengan berbagai jenis olahan makanan. Kami wajib menghabiskan isi talang itu. Tapi, sungguh perut mungilku sudah tak sanggup lagi untuk bekerja.

Makanya kami diberi tas untuk mengisi sebagian makanan dan diberikan kepada orang-orang tua adat dan masyarakat desa sebagai ungkapan rasa terimakasih atas jasa dan tanggung jawab yang telah diberikan untuk menyelenggarakan acara adat Mata'a Galampa.

Popular Posts