Tuesday, May 26, 2020

Orang-orang di Desa Setelah COVID-19 Berakhir

Photo Yadi La Ode

Tidak ada yang pernah menyangka COVID-19 menjadi wabah serius di negeri ini. Wabah virus tidak hanya menyerang kesehatan masyarakat, tapi wabah juga mengguncang ekonomi.

Tidak hanya orang-orang yang mengais nafkah di perkotaan yang ikut terkena dampak, masyarakat desa juga ikut dihantam gelombang tsunami COVID-19. Meskipun, orang-orang desa masih punya banyak perahu untuk mengantar mereka tetap survive.

Masyarakat desa memiliki benteng pertahanan karena mampu merawat kearifan lokal. Mereka sudah sejak lama memiliki tradisi atau sistem kepercayaan lokal yang diyakini untuk mampu bertahan dalam situasi wabah sekalipun. Warisan dari leluhur itulah yang selama ini memberi pemahaman mereka agar mampu menyeimbangkan dimensi budaya, agama, dan sumber daya alam.

Di tengah wabah seperti ini, beberapa pakar desa bermunculan untuk mengupas kondisi desa dalam situasi pandemi. Mereka mengkhawatirkan keberadaan orang-orang di desa. Mereka takut pandemi COVID-19 akan menyebar ke desa-desa, lalu mengganggu kesehatan dan ketahanan pangan di sana.

Tapi, apakah benar masyarakat desa tidak memiliki strategi adaptasi yang baik untuk bertahan dari situasi seperti ini? Apakah benar orang-orang di desa susah cari makan? Atau mungkin persepsi kita saja yang masih melihat mereka dengan standar hidup orang kota.

Kita bisa saja salah menilai orang desa karena kebiasaan hidup mereka dengan kesederhanaan, bukan kemiskinan. Kehidupan masyarakat desa sangat lekat dengan adat dan budaya yang menjujung tinggi kelestarian alam sebagai tempat hidup seluruh makhluk.

Tetapi orang-orang kota selalu khawatir dengan sistem ketahanan pangan, itu karena perut kita terlanjur suka dengan nasi sebagai pangan utama. Sementara di desa, orang-orang mulai membiasakan untuk tidak bergantung dengan beras. Malah beberapa desa di timur sejak lama terbiasa dengan pangan lokal seperti sagu, sorgum, atau umbi-umbian.

Tetapi kita ingin semua lahan di desa ditanami padi, biar Indonesia bisa swasembada beras. Tanpa kita sadari bersama, kitalah yang selama ini ingin mengubah kebiasaan bercocok tanam masyarakat lokal, sebagaimana petani sagu yang dipaksa tanam padi di tanah Papua.

Selama ini kita masih menempatkan desa seperti etalase untuk memamerkan keberlimpahan sumber daya alam dan penyuplai pangan untuk menghidupi jutaaan warga kota yang konsumtif. Kita yang tinggal di kota begitu takut ketika denyut aktivitas masyarakat pertanian, pesisir dan laut di desa terhenti.

Ketersediaaan sumber daya alam di desa tidak hanya menjadi kebutuhan pangan bagi orang-orang yang tinggal di wilayah pedesaan. Sebab, produksi pangan di desa "dipaksa" untuk memenuhi kebutuhan hidup orang di perkotaan. Selama ini desa menyuplai pangan ke kota. Desa menjadi ujung tombak ketahanan pangan nasional kita.

Sudah cukup banyak laporan dari riset-riset yang menyajikan data statistik. Mereka mengkaji berbagai persoalan yang ada desa. Kita sering menemukan laporan survey yang membentang kemiskinan masyarakat desa. Sebagaimana kita mendengar diskusi seorang pakar di bidang desa dengan gagah memberi input kepada pemerintah untuk memberi Bantuan Langsung Tunai (BLT) demi menyelamatkan seluruh warga desa yang terdampak COVID-19.

Sepertinya kita kurang menelusuri lebih dalam bagaimana kondisi sosial-ekonomi masyarakat yang ada di desa. Kita belum kuat menangkap perubahan-perubahan yang terjadi di sekitar kita. Sebentar lagi kita telah memasuki tatanan kehidupan baru, yang oleh banyak orang menyebutnya sebagai New Normal.

Situasi pandemi ini memaksa kita untuk menerima setiap perubahan dalam kehidupan. Akan tumbuh jasa dan bisnis-bisnis baru di bidang kesehatan dan teknologi. Meski, akan ada guncangan pada bisnis lain yang sejak lama mengakar dalam ekonomi negara. Kita bisa saksikan sendiri, pandemi ini telah mengguncang ekonomi dunia.

Yang pasti, tuntutan pada kesehatan dan teknologi akan semakin meningkat. Bisnis dan sekolah-sekolah mulai terbiasa dengan penggunaan teknologi. Pebisnis mulai mengurangi perjalanan karena sudah melakukan meeting online. Sama ketika anak-anak sekolah belajar dari rumah melalui satu aplikasi. Bisa saja setiap kementerian, pemerintah daerah sampai pemerintah desa juga akan bekerja secara online. Semua hanya dalam satu genggaman saja.

Sebaiknya kita coba memikirkan apa yang akan terjadi pasca pandemi global COVID-19 berakhir. Apa yang perlu kita lakukan dan bagaimana cara mengahadapi setiap perubahan yang terjadi. Sebab beberapa kajian menjelaskan bahwa pandemi ini tidak akan berakhir begitu saja. Setelah mencapai puncaknya, kemungkinan akan turun secara bertahap dan menjadi gelombang-gelombang kecil. Tapi bisa saja akan memuncak kembali, kita belum tahu seperti apa.


Popular Posts