Sunday, September 23, 2018

Kopi, Minuman Para Sufi

Kopi Toraja. Photo: yadilaode
Dalam sebuah artikel "Coffee - The Wine of Islam, dikisahkan bahwa kopi punya kaitan erat dengan peradaban islam. Kopi pertama kali hadir di Abyssina, atau sekarang Ethiopia. Adalah orang Yaman yang pertama membudidayakan kopi.

Di abad 13, kelompok sufi Shadhiliyya mengenal kopi dari para pengembala Ethiopia. Bun, adalah istilah yang digambarkan tanaman dan buah kopi. Kelompok sufi itu lalu membawa bibit-bibit Bun.

Di Yaman, minuman sehitam malam itu dikenal dengan "qahwa". Itu mirip dengan bahasa daerah dikampung saya, "qahawa". Di Buton, tanaman kopi memang tidak begitu banyak. Tanaman kopi hanya tumbuh didaerah rendah dengan kualitas standar.


Istilah qahwa awalnya dipakai untuk Wine. Makanya kopi dijuluki sebagai "The Wine of Islam. Saat itu, qahwa dipercaya bisa membuat kuat dan tahan ngantuk. Dalam ritual agama, kopi disajikan saat hendak berzikir dan sholat hingga subuh. Ritual ngopi itu juga mirip dengan yang dilakukan para tetua adat dikampung saya pada saat acara-acara adat maupun keagamaan.

Jika dulu kopi hanya dinikmati oleh para sufi, maka kini kopi telah menemukan popularitasnya. Kedai dan warung-warung kopi telah menjamur di berbagai kota. 

Malam ini, sufi minta ditraktir ngopi. Adakah?

Pagi yang Mereka Harapkan



Pada mereka yang bekerja sejak malam hingga menembus pagi, setidaknya pagi mereka tak ada lagi ketakutan dari gedoran pintu berkali-kali.

Pada mereka yang sudah merias diri agar terlihat manis dan seksi, setidaknya pagi yang mereka harapkan telah didapat.

Pada mereka yang malam itu berusaha melayani tetamu, setidaknya pagi mereka tak ada lagi rasa lapar.

Mereka hanya lupa, kalau kebahagiaan itu datangnya pagi ini, saat menyaksikan cahaya mentari dan bunga-bunga mulai bermekaran.

Tuesday, September 4, 2018

Cara Anak Muda Membangun Desa Lewat Media Sosial

Desa Bajo di Pulau Buton. Pic by yadilaode
JAUH sebelum kita terhubung dengan dunia internet dan dapat melakukan akses ke berbagai media sosial, kehidupan kita terasa begitu jauh dari berbagai informasi. Begitupun dengan sarana komunikasi, internet telah mengkoneksikan penduduk bumi dari belahan manapun. Maka tak heran, kita dapat berteman dengan siapapun dan dimana pun ia berada melalui saluran facebook, twitter, instagram, blog, dan media sosial lainnya. Kita dapat berkomunikasi dengan saling bertatap muka dalam situasi apapun sepanjang kita tetap terhubung dengan internet. 

Informasi dengan begitu cepat juga dapat di akses. Peristiwa yang terjadi dari berbagai benua kita bisa dapatkan. Begitupun di tanah air, informasi-informasi penting menyangkut politik, sosial, hukum, ekonomi, pendidikan, hingga kabar-kabar lain tentang hiburan dengan mudah kita akses melalui perangkat smartphone, komputer, atau laptop, sepanjang terhubung dengan internet. Begitulah era teknologi bekerja, dimana internet sudah menjadi kebutuhan hidup setiap kita.  

Dalam kehidupan kita, teknologi internet tidak hanya mampu diakses oleh penduduk kota atau kaum urban, namun internet telah masuk dan menyentuh masyarakat hingga pelosok desa. Internet tidak hanya menjadi kebutuhan oleh mereka yang hari-harinya sibuk sebagai entrepreneur dalam sebuah perusahaan. Internet juga tidak hanya menjadi kebutuhan kalangan anak muda kota yang dianggap paling melek. Belakangan, internet tidak hanya dimanfaatkan oleh kalangan elit politik menjelang momentum politik untuk membangun brand personality, juga tak hanya dipakai sebagai arena pertempuran antar gerbong untuk saling serang, saling caci dan menyebar berita bohong (hoax). Dari temuan Daily Social tentang Distribusi Hoax di Media Sosial 2018, Pertama, informasi hoax paling banyak ditemukan di platform Facebook (82,25%), WhatsApp (56,55%), dan Instagram (29,48%). Kedua, sebagian besar responden (44,19%) tidak yakin memiliki kepiawaian dalam mendeteksi berita hoax, Ketiga, mayoritas responden (51,03%) dari responden memilih untuk berdiam diri (dan tidak percaya dengan informasi) ketika menemukan hoax.   

Kita bisa lihat, media yang paling sering diakses oleh warganet adalah Facebook dan WhatsApp. Di Facebook, segala informasi berseliweran, hingga orang-orang dengan mudah membagikan konten berita apapun. Begitupun dengan media chat di WhatsApp, informasi dengan cepat di terima. Di WhatsApp, diskusi dengan banyak pengguna bisa dengan mudah dilakukan dalam satu ruang group chat. Namun dari data itu, kita masih melihat cukup banyak masyarakat yang belum ‘canggih’ dalam berpikir untuk mendeteksi mana berita benar dan mana hoax. Begitupun dengan pengguna media sosial yang apatis atau acuh tak acuh ketika menemukan berita-berita bohong (hoax). Mereka lebih baik memilih diam ketika ada berita hoax. 

Tapi akhir-akhir ini di negeri kita, kegaduhan politik menjelang Pemilu Capres dan Cawapres 2019 semakin hangat dan telah menjadi topik-topik khusus diberbagai media pemberitaan. Lebih-lebih di media sosial seperti Facebook, Twitter, dan group-group WhatsApp. Sepanjang pengamatan saya, di tiga platform itu memang paling berisik membahas isu politik. Maka tak heran ditahun politik ini, media sosial telah menjadi arena perang yang sibuk membahas dan menyerang karakter seorang calon presiden. Tensi diskusi bisa memanas jika diskusi tidak mencapai titik temu. Saya sendiri beberapa kali menemukan teman diskusi disalah satu group WhatsApp yang tak puas dengan argumentasi saya ketika membahas satu topik politik. Padahal menurut saya, mengikuti satu diskusi diruang maya tak perlu sampe naik pitam dan baper. Sebab percakapan hanya berakhir diruang itu dan diskusi adalah proses dialektika yang tak lain hanya untuk menambah khasanah pengetahuan dan bukan untuk saling menjatuhkan apalagi mencari permusuhan. Kira-kira begitu guys.


Tapi begitulah era modern saat ini. Teknologi internet dan media sosial bisa bermanfaat dan bisa pula membawa bahaya bagi setiap kita. Tidak sedikit saya menemukan pengguna media sosial yang dengan amat serius menanggapi setiap postingan dengan sikap baper jika melihat apa yang tidak disukainya atau ada suatu hal yang membuatnya tersinggung. Begitu juga orang-orang yang dengan gampang menyebar informasi bohong tanpa ditelusuri dulu sumbernya. Makanya, tak sedikit pengguna media sosial yang berurusan dengan hukum. Mereka di adili dan ditahan karena menyebar berita bohong (hoax). Silahkan kalau ada dari kita yang mau coba-coba.

Tapi kali ini saya tak tertarik membahas lebih jauh tentang kegaduhan di media sosial dan menyikapi setiap orang yang masih sulit move on dari kegalauan mereka menggunakan media sosial. Saya lebih tertarik melihat orang-orang yang mau berbuat sesuatu dengan memanfaatkan internet dan media sosial sebagai sarana untuk menemukan passion mereka dalam meniti karir. Saya lebih suka mengikuti perkembangan media sosial dengan melihat kisah-kisa menarik orang lain sebab bisa menginspirasi banyak orang. Era sekarang, setiap warganet harus lebih bijak dalam menggunakan media sosial. Sebab setiap orang dapat dengan mudah ditelusuri jejak rekamnya melalui konten-konten yang ia buat di media sosial. Seberapa aktif dan bagaimana ia memanfaatkan ruang itu, nah setiap kita dapat mengintip akun-akun itu bekerja di media sosial. 

Diantara pengguna media sosial yang kerap ramai membahas isu politik dan menyebar berita bohong (hoax), tak jarang kita menemukan warganet yang memanfaatkan media sosial untuk berbagi informasi-informasi penting dan bermanfaat. Mereka memanfaatkan media sosial sebagai ruang promosi untuk mengenalkan berbagai potensi daerah yang pernah dikunjunginya. Yang menarik, beberapa kawan saya di daerah mulai memanfaatkan media sosial untuk menunjukkan aktivitas yang sedang dijalani bersama masyarakat desa. Kawan-kawan itu memperkenalkan budaya dan kekayaan alam yang mereka miliki. Di ruang maya, saya mulai mendapatkan informasi-informasi menarik yang disebar oleh anak-anak muda desa itu. Para pemuda milenial yang mulai memanfaatkan teknologi internet sebagai saluran untuk mengenalkan kampung halaman mereka kepada publik.

Kisah-kisah inspiratif tentang kehidupan mereka di desa mulai disebar di media sosial. Narasi serta foto-foto aktivitas masyarakat desa mulai mengisi dinding-dinding facebook. Ketika saya telibat diskusi dengan mereka, pemuda-pemuda di desa itu baru sadar rupanya banyak orang-orang kota justru datang ke desa mereka hanya untuk memburu gambar. Para pemuda di desa itu baru tahu, bahwa beberapa tempat di desa mereka menjadi objek pengambilan gambar dari para fotografer yang berhasil memenangkan lomba. Dititik itu, mereka menangkap ada peluang lain untuk memanfaatkan tempat-tempat itu sebagai objek wisata alam yang bisa dikelola oleh desa bersama masyarakat. Mereka dapat memanfaatkan potensi wisata alam agar mendatangkan pundi-pundi ekonomi yang bisa menambah penghasilan masyarakat desa. Tentu pengelolaannya atas persetujuan masyarakat dan diatur oleh pemerintah desa. Objek wisata itu pun harus dikekola dengan mempertimbangkan faktor-faktor ekologis dan keberlanjutannya. 


Makanya beberapa kawan saya memilih untuk kembali ke desa, mengabdi membantu pemerintah desa. Setelah lulus kuliah, mereka pulang kampung dan bekerja bersama perangkat pemerintah desa. Rata-rata dari mereka membantu dalam tugas-tugas administrasi dengan jabatan sebagai sekretaris desa. Yang diharapkan, mereka bisa membantu menyusun laporan-laporan pertanggungjawaban keuangan desa. Memang kedengarannya cukup sederhana untuk mengurus administrasi di desa. Tapi tidak bagi desa-desa pelosok, terbelakang dan jauh dari teknologi. Apalagi jika ketersediaan sumberdaya manusia dalam pemerintah desa masih kurang. Maka sudah pasti pelayanan pemerintahan desa pun tidak maksimal. Apalagi semenjak desa mendapat kucuran dana segar dari pemerintah pusat yang nilainya cukup besar. Tapi anehnya beberapa kepala desa kita justru dibayang-bayangi rasa takut ketika mengelola dana desa, bahkan hampir dalam setahun dana desa itu tak digunakan sama sekali. Tapi memang, kendala-kendala yang dialami kepala desa terkait pengelolaan dana desa adalah soal petunjuk teknis penggunaan dana desa dan sistem pelaporan keuangan yang cukup rumit bagi mereka. 

Mereka masih tertatih-tatih setiap kali menyusun program desa karena fokus mereka bukan pada program, tapi format pelaporan yang mungkin mereka belum cukup pengalaman. Pendamping desa yang diberi mandat dan diharap dapat membantu tugas-tugas pemerintahan desa juga seakan tak memahami dan mampu membantu tugas-tugas apartur pemerintah desa. Maka setiap kali masa pelaporan keuangan desa itu tiba, disitulah momok menakutkan bagi para kepala desa. Mereka harus mempertanggungjawabkan dana desa yang telah terpakai. Apalagi, hadirnya oknum-oknum yang mengatasnamakan diri dari satu lembaga pemeriksa keuangan desa. Padahal tujuan mereka untuk memeras dan mengancam dengan harapan kepala desa mau berkompromi dan memberi duit. Memang, ada sih beberapa kepala desa yang sengaja memperkaya diri dari dana desa. Karena perbuatannya, ia lalu dijebloskan ke dalam penjara. Tapi itu dulu, ketika peran-peran anak muda di desa masih belum begitu dibutuhkan.


Desa-desa di masa kini mulai bertransformasi menuju suatu desa yang lebih modern ditandai dengan masuknya teknologi hingga ke pelosok-pelosok desa. Meski demikian, ada beberapa desa yang sangat begitu lekat dengan adat dan tradisi dalam kehidupan mereka, sehingga modernisasi menjadi sanksi ketika masuk di wilayah hukum adat mereka. Saya pikir ini sangat positif bagi desa-desa yang masih mempertahankan nilai-nilai kearifan lokal (local wisdom) dalam kehidupan mereka di desa. Misalnya ketika aturan adat menjadi lebih dominan dalam mengatur masyarakat desa untuk mengelola sumberdaya alam. Ada sanksi-sanksi adat yang tak boleh dilanggar oleh siapapun, dan ketika ada suatu permasalahan sosial maka penyelesaiannya dilakukan secara hukum adat oleh perangkat adat. Kita bisa melihat kewenangan dan peran adat dalam mengelola sumberdaya alam, sebagai contoh adat Sasi di Maluku, Eha dan Mane’e di pulau Kakorotan Sulawesi Utara, Panglima Laot di Aceh, Awig-awig di Bali, dan yang paling dekat dengan tempat saya adalah Ombo yang ada di Wabula Pulau Buton. 

Riset tentang topik-topik ini telah banyak dilakukan oleh para peneliti dan tulisannya telah diterbitkan ke berbagai jurnal nasional maupun internasional. Bahwa dari kesimpulan riset-riset itu, konsep atau model pengelolaan sumberdaya alam yang dilakukan oleh masyarakat hukum adat dinilai lebih efektif dan lebih ramah lingkungan. Pengelolaannya dilakukan secara arif berdasarkan hukum-kuhum adat. Mereka meyakini, sumberdaya alam hanyalah titipan dari Maha Pencipta. Oleh karena itu, kekayaan alam yang mereka milki tetap harus dijaga dan di lestarikan. Jika tidak, maka bencana akan datang suatu saat nanti.

Tentu konsep dan cara masyarakat adat mengelola berbeda dengan model pengelolaan yang diberikan oleh pemerintahan berupa bantuan dan program-program yang skema kerjanya lebih mengejar profit tapi mengabaikan banyak faktor lingkungan. Dari banyak riset, kasus-kasus seperti ini pernah terjadi di beberapa desa adat. Program pemerintah itu telah meninggalkan berbagai masalah dan bahkan konflik antara pemerintah dan masyarakat adat.

Sudah saatnya desa berbenah, mumpung anak-anak muda kita masih mau untuk kembali ke desa. Mereka melihat banyak hal yang harus dilakukan untuk masyarakat desa agar tak lagi melekat stigma-stigma tentang ‘warga miskin dan desa tertinggal’. Sebab stigma itu selalu menjadi jualan dan pintu masuk lembaga-lembaga yang hidupnya selalu bergantung dari lembaga donor. Sudah saatnya desa-desa kita bisa lebih maju dan mandiri dengan memanfaatkan berbagai potensi dan pengelolaan dana desa yang baik dan transparan. Dengan adanya dana desa, pemerintah desa bisa menghidupkan banyak sektor-sektor rill dengan memperkuat peran setiap warganya. Diantaranya adalah peran anak-anak muda desa. Mereka yang ingin mengabdikan diri di desa patut diapresiasi. Tak banyak anak muda generasi saat ini mau memikirkan dan melibatkan diri dalam setiap kegiatan-kegiatan desa. Sebab, anak muda perkotaan zaman sekarang lebih suka bicara politik atau sibuk dalam rutinitas malam yang glamor.


Kembalinya anak-anak muda kita ke desa akan memberi dampak positif seiring dengan majunya teknologi. Kehadiran mereka akan memberi warna baru demi kehidupan masyarakat di desa yang lebih baik dari yang sebelum-sebelumnya. Tidak jarang kita menjumpai anak-anak muda desa yang memilih membangun usaha budidaya perikanan atau melakukan pendampingan kepada kelompok-kelompok tani secara sukarela di desa. Begitu pula dengan kelompok pemuda desa yang ingin mengembangkan usaha pariwisata. Mereka mau mengelola objek wisata di desa agar memberi dampak ekonomi kepada masyarakat desa. Sebagai contoh kita bisa melihat bagaimana pemuda desa di Banyuwangi membuat film dokumenter tentang potensi desanya. Tak hanya itu, ia juga membangun komunitas anak muda yang bergerak di video kreatif. Begitu juga anak-anak muda desa di Banten, mereka memanfaatkan barang-barang bekas untuk membuat produk-produk artistik seperti meja, kursi, dan beragam benda lain. Lebih dekat, di daerah saya beberapa kawan memilih kembali ke desa dan terlibat dalam urusan pemeritahan desa. Ada yang dipercaya menjadi kepala desa dan seorang lagi diberi mandat untuk mengelola BUMDes, sebuah perusahan milik desa untuk mengembangkan produk-produk unggulan di desa mereka. Pilihan mereka untuk kembali ke desa tentu karena adanya idealisme serta jiwa sosial yang masih lekat ketika bermahasiswa dulu. Mereka telah meniatkan diri untuk kembali mengabdi di desa. 

Meski peluang berkarir mereka terbuka dan lebih menjajikan di kota, namun anak-anak muda itu memilih pulang kampung untuk membangun desa mereka dengan mengandalkan pengetahuan selama mengenyam pendidikan di kampus dan semasa berorganisasi. Mereka sangat yakin bisa berbuat sesuatu yang berarti untuk desa dan lingkungan. Dengan harapan, tidak hanya sukses dengan karir mereka sendiri tapi juga turut mengajak masyarakat desa untuk sukses bersama mereka. 

Saat ini, kawan-kawan itu mulai percaya diri dengan mengembangkan ekonomi kreatif seiring berkembangnnya sektor pariwisata di desa mereka. Di ruang maya, kini kita bisa melihat aktivitas masyarakat desa melalui gambar dan narasi-narasi menarik dari setiap postingan anak-anak muda desa. Mereka mulai berlomba memanfaatkan media sosial, bersaing membangun brand dengan memperkenalkan desa-desa mereka kepada publik. Saat ini, desa mulai belajar bagaimana memanfaatkan teknologi dan sarana media sosial untuk menciptakan sesuatu yang bermanfaat bagi masyarakatnya.

Popular Posts