Monday, September 30, 2019

Percakapan Malam di Balkon


Temanku jauh-jauh datang dari timur. Ia ingin menaklukan ibukota, begitu kata dia. Saya salut dengan keberaniannya. Begitu juga dengan usahanya untuk bisa sampai di kota ini.

Ia ingin berbeda dengan teman-temannya di kampung, yang hari-harinya berjibaku di lahan kebun atau menjadi buruh tani. Di desa yang subur itu, ia memang tidak memiliki keahlian bertani dan berkebun.

Pengalamannya hanya sekali memenangkan calon kepala desa. Ia sukses di arena politik desa. Itulah modal yang ia bawa kemanapun pergi. Sukses menjadi tim sukses.

Di ibukota, ia seperti kebingungan. Tapi ambisinya ingin naik level. Katanya: ia bosan 'bermain' di kampung. Dengan modal retorik yang dimiliki, ia ingin membangun relasi dengan banyak orang.

Ia lalu bertanya kepada saya: "Vroo, kira-kira siapa yang bisa kita 'olah' orang-orang disini?" Di balkon, dari atas tower lantai 24 saya menunjuk ke arah bawah: "coba kau lihat orang-orang di bawah sana, siapa tahu bisa diolah-olah." Ingin rasanya ku dorong dia dari gedung bertingkat itu.

Friday, September 27, 2019

Perjuangan Randi dan Yusuf Akan Terus Dikenang



Door...!

Sebuah peluru menembus dada seorang demonstran. Belum diketahui senjata api milik siapa. Tapi diantara petugas yang berseragam lengkap itu, beberapa kali mereka memuntahkan peluru. Ada seorang lelaki yang roboh di sana. Ia tersungkur di pinggir aspal jalan raya. Bajunya basah, bukan karena keringat atau terkena semprotan Water Cannon polisi. Bajunya bersimbah darah, dia terluka. Segera beberapa orang mendekatinya. Benar, dada kirinya bocor. Ada proyektil yang bersarang di dalam tubuhnya. Entah peluru itu tajam atau tumpul. Yang pasti, benda itu membuatnya tak sadarkan diri.

***

Kerumunan massa aksi itu akhirnya berhamburan, lari menyelamatkan diri. Tidak terhitung berapa jumlahnya. Kira-kira ratusan, atau mungkin sampai ribuan. Mereka dari berbagai almamater, beberapa kampus di Kota Kendari Sulawesi Tenggara. Aksi mahasiswa itu terjadi pada Kamis, 26 September 2019.


Awalnya aksi berlangsung damai. Tuntutan mereka soal RUU KPK dan KUHP yang dianggap kontroversi. Tema aksi mereka sama dengan beberapa daerah lain. Sehari sebelum aksi mahasiswa di Kendari, Jakarta lebih dulu bergejolak. Kemudian menyusul kota-kota lain. Hampir semua aksi demonstrasi itu berujung bentrok, lawannya adalah aparat. Korban berjatuhan, lebih banyak dari kelompok mahasiswa.

Di negara yang bernama Indonesia, masih ada tumbal dalam ritual-ritual demokrasi. Kali ini korbannya dua mahasiswa Kendari Sulawesi Tenggara. Pertama, Randi (21) mahasiswa angkatan 2016 Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan di Universitas Halu Oleo, dan Kedua, Muhammad Yusuf Kardawi (19) mahasiswa Fakultas Teknik di kampus yang sama dengan Randi. Siang itu, keduanya berada dalam kerumunan massa aksi.

Polisi menghalau massa demonstran yang coba mendekat ke gedung dewan. Dalam kondisi seperti itu, massa akhirnya bentrok dengan polisi. Dari laporan beberapa sumber, sekitar 67 orang yang menjadi korban. Baik luka berat, maupun cedera ringan. Berbeda dengan korban lain, Randi dan Yusuf adalah yang paling serius. Saat itu, Randi yang duluan roboh. Yusuf dihajar dengan benda tumpul dan cedera di kepala. Randi dan Yusuf sama-sama dilarikan ke rumah sakit, tak jauh dari tempat kejadian sore itu. Keduanya mendapat perawatan di RSAD Dr R Ismoyo (Korem) Kendari. Namun, usaha dokter menyelamatkan Randi tidak membuahkan hasil. Randi duluan dinyatakan meninggal dunia. Kemudian esoknya Jumat (27/9), adzan subuh menyertai kepergian Yusuf yang sudah dirujuk ke Rumah Sakit Bahteramas Kendari. Menurut dokter setempat, kepala korban hampir semuanya retak, diduga karena adanya benturan benda tumpul. Makanya terjadi pendaharan hebat.

Dari sekian banyak aksi demo menuntut pemerintah untuk membatalkan rancangan undang-undang, pengamanan di Kendari yang dianggap paling 'brutal'. Polisinya represif, keluar dari SOP. Ramai-ramai polisinya parno dan melihat mahasiswa sebagai penjahat atau mungkin teroris, sehingga dengan mudahnya menghujani mereka dengan peluru. Ada apa dengan psikologis aparat penegak hukum itu? Sungguh ini tak seimbang, kalau kondisinya vis a vis. 
***

Di seberang daratan kota Kendari, pulau Muna namanya, kabar duka telah sampai di sebuah desa yang damai. Tangis keluarga pecah dalam keheningan suasana kampung. Mereka sama sekali tidak menyangka anaknya adalah korban. Seorang anak yang diberangkatkan kuliah dari usaha dan kerja keras orang tua sebagai nelayan dan petani di desa. Seorang anak yang diharapkan bisa mendapatkan gelar kesarjaanan demi meraih mimpi-mimpi mereka yang akan datang. Seorang anak yang diharapkan pulang membawa selembar ijazah dan merayakan kelulusan dengan acara syukuranbersama di kampung halaman. Tetapi, apa yang diharapan kedua orang tua dan keluarga justru berkata lain. Sang anak disambut dengan selembar kain putih yang menancap di halaman rumah. Para sahabat dan teman-temannya mengantar pulang Randi dan Yusuf ke rumah orang tua mereka masing-masing. Dalam kondisi tak bernyawa.

Tidak ada lagi kelucuan, tawa bersama Randi dan Muhammad Yusuf Kardawi di ruang kuliah. Juga telah tiada suara lantang mereka berdua saat menggelar demonstrasi. Kedua aktivis mahasiswa itu lebih dulu menghadap Sang Khalik. Perjuangan mereka berdua akan terus dikenang dan diperingati sebagaimana tragedi 98 silam.

Masyarakat Kampus Hijau Tridharma (UHO) Kendari sedang bersedih melepas kepergian Randi dan Yusuf. Keduanya tak disangka mengorbankan nyawa demi perbaikan demokrasi di sana-sini. Mahasiswa di seluruh nusantara juga perlu mengirim doa dan memberi penghormatan kepada dua mahasiswa Sultra yang gugur di garis perjuangan. Keduanya telah terlibat dalam aksi solidaritas yang dibangun secara serentak. Kita sangat berharap hukum berlaku adil. Pelaku dapat segera di ungkap dan dihukum setimpal.


Jakarta, 27 September 2019

Popular Posts