Thursday, December 31, 2015

Secuil Refleksi Menjelang Tahun Baru

Sumber: mediapijar

MENYALAKAN kembang api dimalam pergantian tahun baru, menjadi hal yang paling ditunggu-tunggu. Di tunggu-tunggu karena dari kaula muda sampai yang manula melihat ini adalah hal yang paling romantis. Bagi kaula muda, mungkin berada diantara kerumunan orang dan di bawah letusan kembang api, adalah hendak mengungkapkan segala perasaan yang lama mengendap, meluapkan segala hasrat yang lama membeku, ditambah suasana romantis yang begitu melekat hingga lupa akan segala hal diluar mereka berdua. Makanya, selalu keluar kata-kata pengklaiman atas pemilik sah Bumi ini, "dunia ini hanya milik kita berdua sayang". Yaah kelihatannya agak konyol, tapi itulah cinta, yang begitu terasa dahsyat dimasa-masa seperti itu.

***

BAGI pemuda-pemudi, dari yang masih "ingusan" sampai yang sudah mengalami Pubertas. Momentum malam tahun baru adalah waktu yang ditunggu-tunggu untuk "pesta". Beragam pesta yang dibuat untuk memeriahkannya. Tidak hanya itu, ada semacam "ritual" agar euvoria tahun baru begitu terasa. Inilah tahun baru, dengan beragam acara dan pesta yang menghidupkan malam. Dengan dentuman bass musik Dj yang mengiringi, dengan bunyi terompet dan dentingan botol-botol kaca dimeja bar, dengan seorang wanita seksi yang menari-nari diatas panggung. Ah... ini mungkin hanya hayalan buat malam tahun baru nanti. Nikmati saja malam ini, dengan segelas Wine yang sedikit memabukan.

Tidak hanya kemeriahan acara malam tahun baru yang menjadi puncak. Beberapa pemerhati, apakah mereka dari kalangan akademisi, politisi, atau LSM sering mengadakan diskusi atau dialog akhir tahun. Tujuannya untuk merefleksi, mengevaluasi, merekonstruksi, dan "mer-mer" yang lain. Topik yang diangkat masih sama dengan topik-topik sepuluh tahun yang lalu, yakni tentang kinerja pemerintah. Kelompok-kelompok itu berdialog untuk melihat sejauhmana perkembangan dan apa saja program yang sudah dilakukan birokrasi. 

Sayangnya, hasil dialog menguap begitu saja dan tidak memberi dampak signifikan terhadap kebijakan pemerintah. Tapi, itulah kumpul-kumpul ala aktivis yang idenya berlimpah tapi minim realisasi. Mungkin karena virus "Vickynisasi" yang menyebar dikalangan aktivis kampus. Pada akhrinya yang terjadi adalah "apologisasi" demi kelihatan ilmiah saat dibahasakan. Tapi sekali lagi ini hanya bagian dari kemeriahan tahun baru. Yang puncaknya adalah "pesta" dimalam gemerlap.

Tidak hanya itu, malam tahun baru juga menjadi panggungnya para pejabat atau elit politik. Yang dengan gagah dan bangga bisa berbicara diatas mimbar untuk menyampaikan secuil prestasi. Prestasi-prestasi yang dimaksud biasanya soal taman yang sudah dibangun dimana-mana, soal penerimaan piala penghargaan sebagai kota yang katanya paling bersih, atau soal-soal yang lain yang tidak begitu penting untuk disampaikan didepan khalayalak. 

Bukan karena kota tak butuh taman dan penghargaan. Tapi ini soal rakyat, soal lapangan pekerjaan, soal mereka dengan kemiskinan, petani, nelayan, dan buruh, yang nasibnya begitu memprihatinkan. Pernahkah sang kepala daerah membeberkan ini didepan publik, dengan menjelaskan angka kesejahteraan masyarakat di daerah kita? Hmm, atau mungkin para pejabat itu sudah mewakili semuanya. 

Mereka tidak hanya mewakili suara-suara kita diparlemen. Tetapi mewakili semua yang seharusnya menjadi hak-hak hidup kita (hidup nyaman, fasilitas, kekayaan dll). Entahlah, pastinya kembang api yang bertabur dilangit malam nanti adalah sejumlah uang yang sumbernya dari kantung daerah, yang keputusannya sangat cepat dibahas dalam ruang dewan, yang sebentar lagi akan meledak dilangit gelap lalu menjadi abu dan lenyap dihempas angin. 

Selamat Tahun Baru, Mari Berpesta

Tuesday, December 29, 2015

Sebuah Epilog dalam Kuliah Epistema


MENJELANG berakhirnya perkuliahan semester pertama tahun ini dan memasuki Ujian Akhir Semester (UAS), saya mencoba membuat catatan ringkas sebagaimana permintaan bapak Dr. Ir. Djuara P. Lubis, MS sebagai dosen mata kuliah Epistema. 

Terhitung sejak memasuki minggu ketujuh, perkuliahan ini telah dianggap selesai. Dengan catatan, setiap mahasiswa diharuskan membuat tugas menelaah disertasi atau tesis. Tugas tersebut diberikan sebagai nilai di Ujian Akhir Semester (UAS). Dalam semester ganjil tahun pertama kuliah, mata kuliah Epistema (Peta) Filsafat Ilmu Sosial menjadi mata kuliah wajib bagi mahasiswa (S2/S3) program studi Sosiologi Pedesaan Fakultas Ekologi Manusia IPB. Mereka yang membawakan mata kuliah ini adalah; Prof. Dr. Endriatmo Soetarto, Dr. Djuara Lubis, MS, Dr. Nurmala K. Panjaitan, MS, DEA. Ketiga dosen tersebut merupakan “jebolan” luar negeri yang kemampuan mengajarnya sudah mumpuni.     

*** 

DI pertemuan pertama perkuliahan, para pengajar terlebih dulu menjelaskan garis-garis besar program pengajaran. Dengan deskripsi, bahwa mata kuliah tersebut merupakan mata kuliah matrikulasi. Pertama, Menjelaskan trajektori dan eksistensi ilmu-ilmu sosial khususnya Sosiologi Pedesaan sebagai sains. Kedua, Memperdalam pemahaman tentang arkeologi pengetahuan, pembentukan logika baru, dinamika ilmu-ilmu sosial, pribumisasi ilmu sosial di Indonesia, kontestasi pengetahuan, sikap ilmiah, dan etika pembebasan. Mata kuliah ini juga memberikan penjelasan terkait ontologi, epistemologi, hingga aksiologi ilmu-ilmu sosial khususnya Sosiologi Pedesaan. Ketiga, Menjelaskan Sosiologi Pedesaan dalam ilmu-ilmu sosial. Selanjutnya juga menjelaskan paradigma-paradigma dalam ilmu-ilmu sosial mulai dari Positivistik, Post-Positivistik, Konstruktivisme, Kritis, hingga Partisipatoris.


Setelah mengikuti mata kuliah ini, mahasiswa diharapkan mampu memahami ontologi, epistemologi hingga aksiologi Sosiologi Pedesaan dan posisi Sosiologi Pedesaan dalam ilmu-ilmu sosial. Serta mampu melakukan refleksi atas posisi diri dalam peta Ilmu Sosial yang berlandaskan etika moral. Selama perkuliahan epistema berlangsung, tugas-tugas yang diberikan lebih pada membuat paper atau makalah. Saya menganggap tugas-tugas mata kuliah yang diberikan selama ini bukanlah beban yang harus dipikul dengan sangat terpaksa. Meskipun sebenarnya, di awal-awal kuliah semester pertama ini saya harus bisa menyesuaikan iklim belajar di IPB yang intensitas belajarnya cukup tinggi bila dibandingkan dengan kampus saya dulu semasa S1. Sejak duduk di bangku S2, saya bisa merasakan betul nuansa akademik begitu kental. Disini ilmu pengetahuan di bentang luas demi memahamkan materi-materi kuliah kepada setiap mahasiswa. Disni kita semua ditempa untuk bisa belajar dengan baik. Pada mata kuliah ini, Prof. Dr. Endriatmo Soetarto lebih dulu memabawakan materi kuliah Epistema. 

Diawal, beliau menjelaskan refleksi atas konstruksi pengetahuan, filsafat dan pemikiran sosial hingga pergeseran ilmuwan sosial dari “pro Negara ke yang “pro Masyarakat” serta bagaimana Negara dan Ilmu Sosial di Asia Tenggara. Di akhir pertemuan kuliah bersama Prof Amo (sapaan akrab), beliau sempat menjelaskan Relevansi Sosial atau Relevansi Intelektual sebagaimana juga banyak dijelaskan dalam buku Sikap Ilmiah dan Kritik Kebudayaan karya Ignas Kleden. Setelah beberapa kali pertemuan, Prof Amo diganti dengan bapak Dr. Ir. Djuara P. Lubis, MS. Pak Djuara kembali memperdalam materi ini dengan pokok bahasan Epistemologi Sains Sosial. Materi ini akan memetakan posisi paradigma dalam penelitian sosial. Beliau memahamkan ke setiap mahasiswa bahwa pentingnya paradigma sebagai kacamata dalam melakukan penelitian. Sebagaimana yang dijelaskan Kuhn (1962) bahwa paradigma adalah perangkat cara pikir dan cara pandang yang di dalamnya terdapat pola yang telah mapan menjiwai tata pikir dan tata laku seorang manusia (dalam hal ini ilmuwan) dalam melihat dan merespon suatu fenomena. Paradigma memiliki implikasi yang luas terhadap posisi ilmuwan dalam peta perkembangan ilmu pengetahuan, karena paradigma ibarat template berfikir yang di dalamnya berisi hukum, nilai, teori, model, hingga konsekuensi metodologis yang harus dilakukan oleh ilmuwan dalam kerangka ilmiah. Paradigma ini kemudian mapan karena diakui, digunakan, dan dipertahankan dalam komunitas ilmiah yang meyakini akan kebenaran paradigma itu sendiri. 

*** 

SEBAGAI mahasiswa baru, tentu hasrat belajar saya begitu besar. Fokus belajar masih tertuju pada setiap materi-materi kuliah. Disini, waktu menjadi sangat penting untuk semua tugas-tugas, waktu terasa sempit hingga tak ada ruang untuk santai sekedar ngobrol diwarung-warung kopi atau ada sedikit celah agar bisa “cuci mata” di mall-mall. Di masa-masa seperti itu, tidak ada “ampun” bagi kita untuk terus membaca demi memahami setiap penjelasan materi-materi perkuliahan. 

Makanya, kalau stamina tidak dijaga, sudah dipastikan akan jatuh sakit dengan tangan terimpus. Pada titik ini, kesehatan menjadi sangat penting apalagi dimasa-masa perkuliahan dan dimusim-musim tugas berlangsung. Beginilah sistem pendidikan, dengan berbagai aturan main yang harus ditaati dan dijalankan. Sebuah pendidikan yang tidak sekedar memberi gelar, tapi yang paling penting adalah mampu melahirkan lulusan-lulusan berkualitas dan mumpuni. Itulah kenapa kampus ini tak ingin ada lulusannya keluar hanya dengan membawa selembar ijasah saja. Perbedaan masih terlihat begitu jelas, sistem pendidikan di wilayah barat lebih maju dan modern, sementara kita di wilayah timur masih sangat tertinggal. 

Apalagi, kampus tak memberi pendidikan yang selayaknya. Beberapa kampus swasta tak ubahnya seperti “pasar rombengan” yang memperdanggangkan gelar dan selembar ijasah kepada mahasiswa. Pada akhirnya, kampus-kampus yang berorientasi bisnis itu langsung ditindak tegas dan ditutup karena dianggap sudah tidak layak. Semoga kasus ini tidak terjadi pada kampus-kampus swasta lain di negara kita. Memang, sistem pendidikan masih terlihat belum begitu baik. Pendidikan masih belum merata di Indonesia. Misalnya kita bisa melihat wajah pendidikan di daerah-daerah Indonesia bagian timur atau daerah-daerah terpencil yang pendidikannya sangat jauh tertinggal. Begitupun dengan sarana dan tenaga pengajar yang minim dan kualitasnya rendah, jika dibandingkan dengan lembaga-lembaga perguruan tinggi di daerah-daerah maju lainnya di tanah air.

Kebanyakan mahasiswa yang berasal dari timur bisa merasakan cara belajar kampus-kampus besar di tanah jawa jauh lebih baik ketimbang didaerah tempat mereka belajar dulu. Mahasiswa yang kebanyakan berasal dari timur dituntut untuk bisa beradaptasi dengan kemampuan belajar mahasiswa lain, yang umumnya cara belajar mereka lebih maju dan moderen. Mau tak mau, ketertinggalan itu harus dikejar secepat mungkin. Perlahan, metode belajar mulai dirubah. Waktu-waktu luang dimanfaatkan untuk membaca dan menulis, analisis dan riset-riset lapangan kian dipertajam demi memahami setiap kasus dan masalah yang terjadi dimasyarakat, jejaring pertemanan juga mulai di bangun bersama mahasiswa-mahasiswa lain. 

Di beberapa kampus ternama, para dosen mencoba untuk memahami kondisi belajar setiap mahasiswa yang berasal dari timur. Terkadang kampus memberi suatu kebijakan dalam proses penilaian. Mahasiswa-mahasiwa yang berasal dari timur Indonesia bisa dipahami kemampuan proses belajar mereka disana. Sehingga, pihak kampus melihat mereka secara arif. Perlahan tapi pasti, kemampuan mereka terus bertambah. Hal itu karena passion dan kecintaan mereka terhadap ilmu pengetahuan. Mereka mampu untuk bertahan hingga masa akhir studi, mereka selalu tampil percaya diri dan tak pernah malu dengan kemampuan yang dimilki. Bagi mereka, target yang hendak dicapai bukanlah mendapatkan hasil dan iming-iming sebuah perkerjaan. Tapi bagi mereka, kuliah adalah proses menemukan makna, makna dari semua ilmu, yang manfaatnya sangat begitu luar biasa. 

Sunday, December 20, 2015

Mahasiswa Juga Manusia Biasa



“Mimpi saya yang terbesar, yang ingin saya laksanakan adalah, agar mahasiswa Indonesia berkembang menjadi “manusia-manusia yang biasa”. Menjadi pemuda-pemuda dan pemudi-pemudi yang bertingkah laku sebagai seorang manusia yang normal, sebagai seorang manusia yang tidak mengingkari eksistensi hidupnya sebagai seorang mahasiswa, sebagai seorang pemuda dan sebagai seorang manusia”. - Soe Hok Gie

***

DUNIA begitu terbuka lebar, disaat bersamaan kebebasan hampir tiada batas. Tidak terkecuali bagi seorang mahasiswa yang selalu lantang dengan kalimat-kalimat kritis dan menentang setiap yang dianggap salah, atau yang bertentangan dengan rasio mereka. Mereka kerap disebut sebagai seorang aktivis, yang dengan berani menentang setiap kebijakan yang tidak manusiawi, kebijakan yang dinilai salah dan tidak memihak kepada rakyat kecil. Aktivis itu tidak hanya berbicara keras dipanggung demokrasi, dengan berbabagai atribut kelompok dan ikat kepala tanda perlawanan. Mereka tidak hanya mengibarkan idealis ditengah cuaca terik, meski panas sepanas api dari ban bekas yang membara diatas aspal. Meski demikian, hati mereka terus dibasahi embun dan keikhlasan untuk menyuarakan setiap kata ketidakadilan.

Sayangnnya, mimpi setiap mahasiswa itu tak selalu sama. Sebagaimana mimpi Soe Hok Gie dari sepenggal kalimat diatas. Secara naluriah, tabiat manusia memang tak selalu sama. Lingkungan dan tingkat pendidikan bisa menjadi faktor lain yang mempengaruhi perkembangan setiap individu. Kita bisa melihat dan menarik banyak contoh dari hal-hal kecil dalam sebuah organisasi, kelompok, atau komunitas. Berdinamika dalam sebuah kelompok mahasiswa akan sangat menarik jika frame nya adalah ilmiah dan akademis. Sebagaimana berdebatan ilmiah diantara para scientists soal temuan-temuan mereka. Kita terlalu lama berada dalam sebuah "tempurung" kecil dengan style dan cara lama yang tak progres. Sementara diluar sana, manusia-manusia dengan masif terus bergerak dengan cepat demi kemajuan dan perkembangannya.   

Era reformasi telah lama berlalu dengan meninggalkan banyak perubahan dalam tatanan pemerintahan. Reformasi telah melahirkan banyak generasi aktivis-aktivis jalanan. Mulai dari kelompok mahasiswa sampai kelompok masyarakat sipil atau Buruh. Meskti begitu, setiap kebebasan telah diatur dalam konstitusi negara kita. Seperti halnya, kebebasan setiap mahasiswa dalam institusi pendidikan. Hak mereka adalah belajar, tetapi hak-hak mereka menuntut pendidikan akan bisa terwujud jika kewajiban mereka membayar telah terbayar. Pendidikan tak selalu gratis, sama halnya ketika penyedia toilet mengharuskan setiap orang untuk membayar fasilitas yang telah kita gunakan. Semakin tinggi pendidikan yang ingin dicapai, semakin besar biaya yang hendak kita keluarkan.

Tetapi, apakah kita harus dibelenggu dengan masalah biaya pendidikan. Apakah karena merasa tak mampu, maka kita sudah merasa puas. Padahal, ada banyak ruang dan peluang dari program bantuan pendidikan yang telah disediakan pemerintah. Semua kembali pada diri masing-masing. Apakah kita sudah siap “membuang diri” dan mencoba untuk keluar dari zona nyaman lalu mencari hal baru yang menantang. Sekuat apa usaha kita untuk menaiki setiap tapak demi tapak jalan menanjak itu, apakah genggaman mimpi itu sudah benar-benar kuat hingga tak ada celah untuk keluar. Jika telah siap, kenapa harus menundanya. Kenapa harus menunggu matahari terbit untuk bangkit dari pembaringan. Kenapa harus malu dengan matahari yang sudah terlanjur bersinar. Bergeraklah dan jangan menunggu langit gelap, jangan menunggu matahari kembali keperaduannya. Jangan menunggu lama kawan, jangan sampai matahari tak nampak lagi menyinari alam raya ini. Jika matahari sudah tidak berjalan sebagaimana mestinya, itu pertanda kehidupan akan berakhir.

Dari kutipan dalam buku Catatan Seorang Demonstran karya Soe Hok Gie diatas hendaklah dipahami penuh makna, demi membentang wawasan kita yang telah lama kaku hingga menimbulkan banyak sekat-sekat kelompok. Sebaiknya kita mengingat kembali pesan-pesan para leluhur yang sungguh bijak itu, agar kita tak selalu hebat dalam memandang orang lain. Kita bisa saling mengingatkan ketika itu salah, tanpa harus menebar fitnah dan mencari kesalahan. Sebab, disisi lain kita selalu lemah karena tak bersatu dan tak saling membesarkan. Kita selalu merasa hebat didepan orang-orang yang tak banyak tahu. 

Kita terlihat dengan kebiasaan berbicara secara terbuka, tanpa disaring lebih dulu mana yang pantas dan tidak pantas. Kita selalu merasa tahu segala-galanya, tetapi justru semakin mempertebal keangkuhan diri kita sendiri. Seharusnya kita bisa lebih teduh dan menunduk meski jabatan, karier atau nama telah meninggi. Kita bisa melihat padi, setinggi apapun tumbuhan itu tetap saja akan membungkuk karena beban dari sebuah tanggungjawab.

“Sebagai bahan refleksi diakhir tahun 2015. Sampai jumpa di tahun 2016, semoga bisa lebih baik demi mengejar mimpi-mimpi”


Jakarta, 20 Agustus 2015   

Wednesday, December 16, 2015

Saat Hepatitis Masuk Kampus

Sumber: aids.gov

Menjelang Ujian Akhir Semester atau UAS, mahasiswa IPB dihantui dengan serangan virus Hepatitis. Ada puluhan mahasiswa yang dirawat dirumah sakit akibat terkena virus Hepatitis A. Apalagi, kasus ini telah ditetapkan sebagai Kejadian Luar Biasa (KLB) dan menjadi trending topic di beberapa pemberitaan media massa.

***

BEBERAPA hari lalu, sejak Hepatitis "masuk kampus" dan menjangkiti mahasiswa yang tengah sibuk-sibuknya dengan tugas-tugas kuliah dan ujian semester. Apalagi disaat mereka kurang makan, kurang tidur atau jarang mandi. Sudah pasti daya tahan tubuh sangat rentan terkena penyakit. Biasanya ini terjadi diawal-awal masa kuliah, sebagai bentuk adaptasi pada mereka yang berasal dari Luar Bogor. Atau, kebanyakan dari mereka yang terserang karena kelelahan. Pengalaman itu pernah saya alami, beberapa hari jatuh sakit karena pola hidup tidak teratur, ditambah intensitas belajar yang padat dan kurang makan.

Berbicara soal pemberitaan media massa. Pemberitaan lebih banyak mengabarkan kalau di lingkungan kampus IPB tidak sehat dan tidak bersih. Tidak bersih menurut media massa adalah kebersihan pada makanan yang dijajakan di kantin-kantin dalam kampus, yang dengan cepat virus Hepatitis menyebar dan menjangkiti setiap orang melalui apa yang dimakan. Tetapi pemberitaan itu cepat-cepat disanggah oleh pihak kampus. Menurutnya, kantin dalam kampus selalu bersih dan makanannya steril untuk dikonsumsi.

Sudah pasti, kampus sekelas IPB yang namanya setara dengan kampus-kampus besar lain seperti UGM, UI dan ITB tak ingin citranya rusak, tak ingin dibilang "jorok" karena Hepatitis berhasil masuk kampus dan menyerang puluhan mahasiwa. Sudah pasti, nama kampus tak ingin larut dalam persoalan virus Hepatitis ini. Apalagi dengan menimbulkan banyak korban mahasiswa.

Tentang lingkungan kampus yang tidak bersih. IPB sebagai kampus rakyat, sebagai kampus yang mengusung konsep Green Campus akan sangat bertolak belakang ketika virus Hepatitis disebut-sebut berasal dari lingkungan kampus IPB itu sendiri. Sudah pasti, ini menimbulkan banyak pertanyaan. Kok bisa, kampus yang terlihat bersih, hijau, dan nyaman tetapi virus dengan gampangnnya menyerang mahasiswa. Merebaknya virus Hepatitis ini menjadi "Tamparan Keras" bagi kampus. Sebagaimana yang dikatakan seorang guru besar IPB beberapa waktu lalu dimedia massa. Ia juga menulis dengan judul "Hepatitis yang Menampar Muka Kami". 

Inilah yang disesalkan pihak kampus maupun dari pihak luar, dalam hal ini Kementerian Kesehatan. Kemenkes memberi tanggapan atas kejadian tersebut, bahwa penyebab Hepatitis karena sanitasi di lingkungan kampus IPB buruk atau kantinnya kumuh (sindonews.com 14/12). Tapi sekali lagi, tanggapan itu sudah dibantah oleh pihak kampus, IPB tak ingin dibilang kumuh. Toh kampusnya luas, bangunannya bertingkat-tingkat, kantinnya juga kinclong dan higienis. Tapi begitulah, kebersihan dalam kampus tak menjamin pola hidup mahasiswa diluar kampus. 

Ada beberapa faktor yang menyebabkan mahasiswa terkena Hepatitis. Selain karena pengaruh cuaca yang lembab, kurang istrahat, lingkungan sekitar kos yang padat pemukiman, atau karena pedagang makanan yang kebersihannya tidak terjamin. Berkaitan dengan pedagang makanan yang berjualan diluar kampus, memang kondisinya sangat memprihatinkan. Para pedagang makanan itu berada tak jauh dari kos-kos mahasiswa yang padat pemukiman. Mereka menjual berbagai jenis makanan, dari pagi hingga malam hari. 

Pada malam-malam sebelumnya, jalanan itu selalu ramai dari mahasiswa yang berbelanja dan makan. Jajanan makanan yang didagangkan disepanjang jalan Babakan Raya telah menjadi andalan setiap mahasiswa yang tak ingin sibuk-sibuk masak dikos. Tinggal pesan, beberapa menit kemudian hidangan sudah siap disaji. Namun, beberapa hari terakhir suasana jalanan itu tampak sepi. Mungkin saja karena mahasiswa mulai khawatir dengan dagangan mereka.  
Memang tempat makan itu beda jauh kebersihannya dari tempat-tempat makan didalam kampus. Pedagang makanan diluar kampus berdiri dipinggiran jalan dan diatas trotoar, yang hanya ditutupi tenda dan hanya ada beberapa meja dan kursi saja, yang setiap saat bau menyengat dari dalam selokan keluar. 

Memang kondisinya sangat memprihatinkan. Tetapi apakah salah mereka yang berdagang ditempat itu. Kalau saja para pedagang digusur dan tidak lagi berjualan ditempat itu, lalu bagaimana dengan nasib mereka, yang sudah menggantungkan hidup dari jualan nasi dan soto. Nah, disnilah perhatian pemerintah setempat untuk bisa membangunkan tempat yang layak bagi para pedagang dengan tidak memindahkan mereka dari tempat sebelumnya. Dari bangunan yang dibuat, pemerintah bisa memungut retribusi dari setiap pedagang yang menempatinya. Tentu setiap yang dipungut akan menjadi pendapatan daerah.

***

SEMINGGU sudah setelah virus ini merebak di lingkungan kampus IPB. Pihak kampus telah membuka layanan kesehatan untuk memeriksa seluruh mahasiswa. Mahasiswa yang terkena Hepatitis dan kini dirawat dirumah sakit akan menjadi tanggung jawab pihak kampus sepenuhnya. Himbauan untuk selalu menjaga pola hidup secara teratur serta kebersihan lingkungan untuk menghindari penyakit Hepatitis terus dilakukan kampus pada semua mahasiswa. Hal tersebut untuk mencegah bertambahnya korban yang terkena virus Hepatitis. 
  

Sunday, December 13, 2015

Mereka Yang Nampak di Kompasianival 2015

Sumber: foto yadilaode
JIKA selama ini saya hanya mengenal para penulis blog di blog Kompasiana, maka kali ini saya berjumpa langsung dengan mereka di acara Kompasianival 2015. Acara itu digelar selama dua hari (12-13) di Plazza Gandaria City, Jakarta. Kompasianival menjadi perayaan puncak tujuh tahun Kompasiana sekaligus ajang Kopdar netizen se-Indonesia. Di acara itu, para penulis Kompasiana atau akrab disapa Kompasianer datang bersilaturahmi, saling bertukar pikiran, dan mengikuti rangkaian acara kegiatan adu kreativitas. Di hari pertama acara Kompasianival 2015, saya menjadi salah satu pengunjung yang menyaksikan kemeriahan acara itu. Sebelumnya, seorang Kompasianer mengajakku untuk datang menghadirinya. Ia adalah seorang penulis blog yang sangat produktif dan pernah meraih penghargaan dua sekaligus dari Kompasiana (Kompasianer of The Year 2013 dan Reporter Warga Terbaik), ia memang seorang traveller yang hobi menulis dan memotret. Di acara Kompasianival 2015, ada banyak kejutan yang sebelumnya tak kuduga. 

***

SAAT memasuki kawasan Mall Gandaria City Jakarta, kemeriahan begitu nampak dari ramainya pengunjung yang berlalu lalang dalam kawasan mall. Mereka datang untuk melihat-lihat setiap booth komunitas dan panggung acara. Diantaranya, Komunitas Kompasianer Penggila Kuliner (KPK) dengan kegiatannya mulai potluck, wefie di booth, lomba foto kuliner, lomba tebak makan, lomba tulisan KPK. Berbeda dengan komunitas musik di Kompasiana yakni Komposer dengan lomba Karaoke, setiap peserta diseleksi dari tulisan-tulisannya. Di Komunitas Fiksiana, akan menghadirkan penulis cilik untuk sharing di panggung komunitas. Fiksiana juga memamerkan buku fiksi kumpulan tulisan Kompasianer penulis fiksi di Kompasiana. Kutu Buku atau Kompasianer Ulas dan Tulis Buku juga memilih kegiatan bedah buku bersama kompasianer di panggung komunitas. Ada juga komunitas CLICK atau Commuterline Community of Kompasiana juga akan mengisi kegiatan panggung dengan pre-launching buku Si Ular Besi Antar Jonan Jadi Menteri, yang ditulis oleh Kompasianer anggota CLICK, P Akhmad Sujadi, mantan Kahumas PT KAI Daop I Jakarta. Seni dan puisi juga tak ketinggalan, ada musikalisasi puisi, lomba puisi, yang dihadirkan oleh Komunitas Desa Rangkat. Selain desa Rangkat, buku-buku karya anggotanya juga ikut dipamerkan. Sementara untuk Regional Kompasiana, Kompasianer Amboina yang merupakan satu dari empat komunitas regional Kompasiana juga terlibat dalam mengisi acara di panggung Kompasianival 2015. Tiga komunitas regional lainnya adalah Konek dari Surabaya, Kbandung, dan Bolang dari Kompasiana Malang. Kompasianival mengajak nitizen aktif dalam kegiatan Flash Mob SKJ dan aktivitas bergerak lainnya dengan menghadirkan atlet voli Amalia Farina di booth Koprol atau Kompasianer Penggemar Olahraga.

Sumber: Bupati Bantaeng usai dialog di acara Kompasianival 2015 (foto.yadilaode)
Apresiasi juga diberikan kepada Kompasianer yang paling banyak menulis olahraga di Kompasiana sepanjang 2015. Selain itu, ada juga komunitas keluarga dan perempuan. Kegiatannya adalah talkshow tentang manfaat kebiasaan menulis di keluarga. Pokoknya, semuanya menarik. Tak puasnya saya terus keliling di area Kompasianival 2015. Mengikuti dialog yang dihadiri langsung oleh seorang Profesor sekaligus menjabat sebagai Bupati Bantaeng Sulawesi Selatan Nurdin Abdullah. Dalam acara dialog, Pak Nurdin berbagi ide melalui sejumlah prestasi yang telah ia bangun sepanjang menjabat. Semua pengunjung terkesima denganya, memberi applouse sebagai bentuk apresiasi. Kabupaten Bantaeng yang sebelumnya daerah tertinggal, telah disulap lewat ide dan kerja kerasnya hingga melejit menjadi satu daerah yang diperhitungkan di Indonesia. Saya hanya berpangku dagu sambil merenung, andaikan pak Nurdin menjabat sebagai Walikota atau Bupati di pulau Buton kampung halaman saya. Mungkin daerahku akan dikenal sampai keseluruh Nusantara karena prestasi dan kesejahteraan masyarakatnya. Tapi mungkin suatu saat nanti, ketika masyarakat kian sadar untuk menentukan dan memilh pemimpin yang berkualitas. Kompasianival atau Kompasiana Karnival adalah ajang berkumpulnya warga internet (nitizen), blogger, komunitas, dan penggiat media sosial dari seluruh penjuru negeri. “Indonesia Juara” merupakan tema yang diusung tahun ini. 

Menurutku ini tema yang sangat luar bisa, ini adalah predikat dari mereka-mereka yang masih optimis terhadap tanah air. Mereka masih optimis ditengah carut marutnya perpolitikan negeri ini. Mereka yang memberi predikat Juara adalah mereka yang benar-benar tahu, bahwa dari karya-karya anak bangsa, Indonesia Juara. Mereka yang masih terus berkarya adalah mereka yang mencintai tanah air Indonesia. Saya merasakan suasana berbeda saat melihat para Kompasianer berada di alam yang nyata. Padahal dihari-hari biasa mereka hanya ramai di blog Kompasiana, mereka hanya nampak dalam layar laptop dan gadget. Tapi di acara Kompasianival kali ini, mereka berani menampakkan diri. Saling berkenalan atau bahkan yang sudah tidak asing lagi. Sudah pasti, mereka yang tidak asing itu adalah mereka yang paling sibuk di Kompasiana. Mereka yang tidak pernah alpa dalam sehari atau tulisannya tampil di headline. Barangkali ini yang membuat seorang Kompasianer Yusran Darmawan lebih banyak disapa oleh sesama blogger ketimbang seorang penulis ternama seperti Seno Gumirah Adjidarma di lokasi acara Kompasianival hari itu. Tetapi ini hanya sekilas pengamatan saya dilokasi acara.

Bersama Fikria, photographer kompas

Bersama Seno Gumira Adjidarma

Banyak kemungkinan untuk melihat hal ini. Mereka yang berada ditempat itu mungkin segan atau sudah sering ketemu. Atau mungkin memang mereka benar-benar tak tahu siapa dia. Saya begitu kagum begitu melihatnya, dia tampak sudah berumur tetapi masih tegap berdiri. Begitu tampak kalau dirinya adalah seorang maestro dan penulis handal. Dibalik wajah yang brewokan itu, angat jelas kalau dirinya telah melahirkan banyak karya-karya sastra. Satu kutipan dari bukunya yang pernah kubaca adalah “Menulis adalah satu cara untuk bicara, suatu cara untuk berkata, suatu cara untuk menyapa, suatu cara untuk menyentuh seseorang yang lain entah dimana. Cara itulah yang bermacam-macam dan disanalah harga kreativitas di timbang-timbang” Seno Gumira Adjidarma, Ketika Jurnalisme di Bungkam Sastra Harus Bicara.

Beberapa buku karya Seno lainnya adalah Atas Nama Malam, Wisanggeni-Sang Buronan, Sepotong Senja untuk Pacarku, Biola tak Berdawai, Kitab Omong Kosong, Dilarang Menyanyi di Kamar Mandi, dan Negeri Senja. Sayangnnya saat bertemu Seno di acara itu saya tak sempat membawa buku karyanya untuk ditandatangani langsung oleh sang pengarang. Meski begitu, di acara Kompasianival 2015 kali ini, saya menemukan banyak kejutan yang sebelumnya tak kuduga. Para Kompasianer yang datang tidak hanya yang berada di wilayah Jabodetabek, mereka yang berasal dari Indonesia bagian timur pun datang meramaikan acara ini. Mereka bukanlah warga dunia maya yang sibuk merusak dan membawa berita bohong. Mereka hanyalah orang-orang sederhana yang masih mau berbagi pengetahuan lewat tulisan dan pengalaman.     

Jakarta, 13 Desember 2015

Wednesday, December 2, 2015

Mereka Yang Berpura-pura Peduli

Sumber: kompas.com

APA anda suka bepetualang ke alam bebas? saran saya kenalilah dulu alammu sebelum kau menjelajahi lebih jauh. Suka menghadapi tantangan, semisal mendaki gunung, melintasi hutan, diving, atau rock climbing. Jika belum berpengalaman maka mintalah seorang kawan yang lebih berpengalaman dan sudah terlatih, atau masuklah dalam kelompok pecinta alam yang memiliki jejak rekam yang bagus. Disitu akan ada pelatihan atau kursus bagaimana melintasi alam dengan baik dan benar, akan ada pengarahan dari instruktur dan kita diperkenalkan dengan berbagai alat agar nantinya aman saat melewati medan-medan berbahaya.

Bahwa bepetualang dan menikmati keindahan alam itu tidak semudah yang selalu kita saksikan seperti disetiap akhir pekan dilayar kaca. Bahwa hanya dengan meneriakan “My Trip My Adventure” kita sudah merasa sama dengan mereka-mereka yang bepetualang di program jalan-jalan para artis itu. Menurut saya, mungkin saja acara itu hendak memperkenalkan tempat-tempat yang dianggap layak untuk dijadikan lokasi wisata tetapi belum pernah di eksplore. Kalaupun semangatnya adalah mengangkat dan memperkenalkan keindahan alam, berarti terselip pula pesan-pesan moril kepada kita semua agar senantiasa menjaga dan merawat alam itu.

Apa anda suka memotret? saran saya jadilah fotografer yang benar dan memberi makna disetiap gambar yang diambil. Atau apakah anda ingin terkenal dan menjadi follower terbanyak dimedia sosial hanya dengan memajang foto selfie dengan meminjam taman bunga orang sebagai background agar terlihat keren. Saran saya sebaiknya carilah taman lain yang penuh dengan nuansa perjuangan dan bernilai sejarah semisal di Taman Makam Pahlawan, atau carilah taman dimana setiap manusia yang ketempat itu akan selalu mengingat akan dunia akhirat dan segera bertaubat, semisal di taman pemakaman umum. Memang sangat menyeramkan dan sudah pasti para “selfieisme” yang rajin memajang foto disosmed itu tak ingin merusak citra mereka. Mereka selalu menjaga setiap hasil jepretan mereka dengan sebaik mungkin. Misalnya disebuah mall dengan selfie nya berada didekat banner iklan produk ternama luar negeri, atau menerobos masuk dalam sebuah acara agar bisa selfie bersama artis idola, sebagaimana yang pernah dicontohkan beberapa anggota DPR RI kita diluar negeri.

*** 

TEPATNYA di dusun Ngasemayu, Desa Salam, Kecamatan Patuk, Kabupaten Gunungkidul, Yogyakarta. Belum lama ini, desa itu ramai dari perbincangan karena keindahan kebun bunga Amarillys milik seorang warga bernama Sukadi (43). Bersamaan memasuki musim penghujan tahun ini, kebun bunga miliknya mekar dan menjadi perhatian warga sekitar dan luar desa. Masyarakat yang kebetulan melintas disekitar kebun itu ramai-ramai masuk kedalam dan ber selfie-ria tanpa menghiraukan bunga-bunga itu terinjak-injak dan menjadi rusak. Berbagai macam gaya yang mereka peragakan ditempat itu. Mulai dari yang berdiri menginjak bunga, sampai berbaring diatasnya. Setelah puas, mereka pergi meninggalkan bunga-bunga yang patah dan sudah rata dengan tanah. Tidak ada kesadaran dari mereka untuk selalu berhati-hati dan menjaga bunga agar tetap utuh. Kebanyakan dari pengunjung itu adalah perempuan yang mungkin usianya kira-kira baru belasan tahun, masa-masa “Pubertas” yang hari-harinya selalu sibuk mencari perhatian dengan lawan jenis mereka. Tetapi itulah masa remaja, masa dimana mereka butuh ruang aktualiasi yang didukung dengan publikasi. 

Lingkungan sosial bisa berpengaruh terhadap perkembangan perilaku setiap orang. Ketika hilangnya bimbingan dan edukasi di internal keluarga, maka setiap anak akan ”liar” dalam bertindak. Sungguh tidak terpuji memang. Disaat bersamaan, kita tak mau melihat dan mau menghargai bagaimana ketekunan serta konsistensi masyarakat desa yang merawat dan menjaga hutan sebagai “Paru-Paru”, salah satu organ terpenting dari Bumi yang memberi oksigen kepada seluruh mahluk di alam raya ini. Ketika Paru-Paru sudah tidak berfungsi dengan baik, maka planet yang bernama Bumi ini akan mati tak berdaya. Hanya saja, penyakit itu selalu datang dan menyerang. Sekelompok Korporasi yang mengatasnamakan negara, kesejahteraan rakyat, dan program penghijauan datang merusak hutan. Mereka datang mengeruk seluruh isi bumi demi meraup keuntungan lebih besar dari hasil menambang. Mereka mengabaikan banyak hal tentang dampak ekologi, tentang petani yang pernah menanam bibit pohon demi menjaga ekosistem dan merawat lingkungan, para petani yang mengetahui kalau hutan tak bisa dijaga dengan baik maka akan berbahaya besar bagi kelangsungan hidup manusia nanti.

Sayangnya, suara-suara kecil mereka selalu tertutup dengan bunyi mesin pabrik para perusak hutan itu. Sayangnya, aksi-aksi penolakan dari para petani itu selalu kalah dengan mereka-mereka yang diperusahan dan birokrasi pemerintah. Selalu saja ada korban dari perlawanan masyarakat kecil didesa yang dengan berani menolak alat-alat berat yang masuk tanpa sopan santun melintas diatas tanah masyarakat desa. Perusahan-perusahan raksasa itu penuh angkuh masuk ke desa-desa, membunuh tanaman sebagai sumber kehidupan kita selama ini, menggilas budaya lokal yang sejak lama menanamkan nilai-nilai kegotongroyongan lalu di rubah secara cepat dengan perilaku saling menyaingi dan apatisme sesama masyarakat desa. Ada banyak contoh tentang kerusakan hutan karena ulah sekelompok manusia. Sekali lagi, karena keserakahan manusia yang mengabaikan resiko ketika alam telah dirusak.

Kita sudah sama-sama saksikan dan rasakan sendiri, bagaimana hutan terbakar dan memberi dampak besar pada masyarakat di beberapa daerah seperti di Sumatera, Kalimantan, dan Papua. Kita tidak pernah mau memikirkan, ketika hutan rusak dan terbakar, maka akan ada korban jiwa yang terpapar asap. Para investor memang tak memikirkan itu, mereka hanya memikirkan bagaimana bisa meraup keuntungan besar dari bisnis perusahan tetapi mengabaikan pencemaran industrilisasi yang mereka bangun.

Melihat kondisi ekologi dan sosial yang kian memprihatinkan, kita bisa belajar dari teori Murray Bookchin yang melihat adanya kaitan yang erat antara dominasi sosial dan dominasi terhadap alam. Menurut Bookchin, dominasi sosial terjadi karena adanya hierarki dalam relasi sosial antara satu kelompok yang mempunyai kekuasaan dan lebih superior terhadap kelompok lain yang dikuasai dan lebih rendah kedudukannya. Hierarki ini yang mengembangkan dan mempertahankan relasi dominasi yang memungkinkan kelompok berkuasa memanipulasi kelompok lain demi memuaskan kepentingannya. Dalam pandangannya, hierarki dan dominasi ini tidak semata-mata terjadi dalam masyarakat kelas ataupun negara birokratis. Hierarki dan dominasi juga terjadi dalam masyarakat tanpa kelas. Bahkan muncul sebagai sebuah kesadaran, cara berfikir dan cara berperilaku dalam masyarakat kebanyakan. Bagi Murray Bookchin, dominasi manusia terhadap alam justru terjadi karena dan berakar dalam dominasi sosial ini (Keraf, 2010). 

*** 

HAMPARAN bunga Amarillys di Gunungkidul, Yokyakarta adalah gambaran kecintaan masyarakat kita yang masih peduli terhadap alam dan lingkungan. Dengan mekarnya bunga Amarillys di kebun milik seorang warga di desa itu, kita bisa melihat tindakan orang-orang kecil tetapi bisa memberi manfaat kepada orang banyak. Padahal ia tak mengharap banyak dari apa yang telah ditanam. Bahkan, pemilik kebun itu tak menyangka akan segempar ini bunga yang ditanamnya.

Bahwa apa yang dilakukannya, hanyalah menanam bunga yang sebelumnya hanya ada beberapa pohon kelapa didalam kebun miliknya itu. Namun setelah bunga yang ditanamnya mekar, para penggila selfie itu mulai berdatangan hanya untuk mengambil beberapa gambar beralatar bunga ala Eropa. Mereka hanya datang dengan terkagum-kagum tanpa menelisik lebih jauh tentang seseorang yang pernah menanamnya hingga bunga itu memesona banyak orang. Para pengunjung yang angkuh dan merusak tanaman itu mestinya bisa tahu betapa susahnya bapak si pemilik kebun merawat tanamannya selama berbulan-bulan, tetapi rusak hanya beberapa jam saat orang-orang yang mengatasnamakan pecinta bunga itu datang justru merusak bunga.


Bogor, 2 December 2015

Popular Posts