Tuesday, October 27, 2015

Perbincangan Seputar Moto GP

Sumber: liputan6.com

BEGITU ramai perbincangan mengenai adu balap motor kelas bergengsi itu. Perbincangannya tidak hanya di kalangan para pengamat pebalap motor, tapi juga sudah melebar dan keluar sampai orang-orang di luar jalur arena balap. Apakah mereka dari komunitas motor yang suka ngebut dan sering mengganggu, orang kantoran yang hobi memodifikasi bentuk motor, ataukah para pejabat yang punya banyak koleksi motor di rumah. Kali ini perbincangan masih seputar Moto GP, itu karena pebalap yang berjuluk The Doctor adu sengit dengan si Baby Allien julukan dari pebalap Marc Marquez beberapa waktu lalu.  

Adu kecepatan motor itu tidak berlangsung di atas jalanan berlubang dan berdebu, atau dengan tikungan kiri-kanan jurang seperti yang pernah kita lewati jalanan di desa-desa. Ini adalah sirkuit Sepang di Malaysia, negara tetangga kita yang juga sedang dikepung kabut asap. Itulah resiko bertetangga dengan kami di Indonesia. Meski begitu, negara-negara tetangga yang berdekatan dengan negara Indonesia seperti Malaysia dan Singapura toh mereka selama ini juga banyak menghirup udara segar dari hutan-hutan kita di Indonesia. Yah, sekali-kali lah kita sama-sama merasakan kabut asap ini, kabut asap dari keserakahan para korporasi yang barangkali ada dari mereka berasal dari negara-negara itu juga. 

*** 

KITA kembali ke adu balap, adu kecepatan, adu nyali, dan adu mulut seputar pertengkaran pebalap senior dan pebalap junior. Barangkali istilah itu karena perbedaan usia kedua pebalap, antara Valentino Rossi yang sudah berumur 36 tahun dan Marc Marquez yang baru berumur 22 tahun. Perbedaan tidak hanya dari faktor usia pastinya. Faktor lain siapa yang lebih dulu menunggangi sepeda motor kelas Moto GP sudah pasti adalah Valentino Rossi. Nama Valentino Rossi menjadi populer ketika beberapa kali menjurai dunia. Itulah kenapa bagi yang awam pada Moto GP ketika di tanya soal nama pebalap, hanyalah Valentino Rossi dengan nomor 46 yang di ketahuinya. Sama halnya di sepak bola, dahulu kita sering mendengar nama Ronaldo yang begitu populer. Maka setiap pertandingan sepak bola kita selalu mencari pemain bernomor punggung sembilan. Padahal ada banyak kejadian lucu yang tanpa sadar, pemain yang di sebut-sebut bernomor punggung sembilan itu rupanya dia adalah Fernando Soler pemain Persebaya. Wah, ternyata tim yang bermain bukan Brazil tetapi Persebaya versus Arema.

Ngomong-ngomong soal siapa yang dulu menunggangi motor, tentu kita semua tidak kalah dari sang penemu sepeda motor itu sendiri. Ia adalah Edward Butler, seorang penemu asal inggris. Sepeda motor merupakan pengembangan dari sepeda konvensional yang lebih dulu ditemukan. Butler lalu membuat kendaraan roda tiga dengan suatu motor melalui pembakaran dalam. Sejak penemuan tersebut, semakin banyak dilakukan percobaan untuk membuat motor dan mobil. Salah satunya dilakukan oleh Gottlieb Daimler dan Wilhelm Maybach dari Jerman. Kedua penemu tersebut bertemu ketika berkerja bersama di Deutz-AG-Gasmotorenfabrik, produsen mesin stasioner terbesar pada tahun 1872. Pemilik Deutz-AG-Gasmotorenfabrik yang bernama Nikolaus Otto berhasil membuat mesin empat langkah atau disebut juga “mesin empat tak” dan penemuan tersebut dipatenkan pada tahun 1877. (sumber: wikipedia.org) 

Namun persoalan bukan siapa yang lebih dulu berada di kelas Moto GP. Tentu sikap itu tidak menunjukkan sikap profesionalitas dari setiap pebalap. Perselisihan antara Rossi dan Marquez, memang sudah terjadi sejak balap di sirkuit Philip Island Australia. Keduanya sudah terlibat aksi saling salip menyalip. Apalagi, pertandingan semakin memanas dengan sisa waktu balap tinggal dua kali race. Di papan klasemen seri 16 GP Australia lalu, posisi pertama masih di isi oleh Valentino Rossi dengan perolehan sementara 296 poin di susul Jorge Lorenzo 285 poin dan Marquez 222 poin. Nah itulah kenapa Rossi berusaha penuh memacu kuda besinya di sirkuit Sepang Malaysia beberapa hari lalu, meski pada akhirnya ia harus menerima sanksi dari Race Director Mike Webb akibat insiden antara dirinya dengan Marquez. Rossi juga di sebut-sebut menendang motor Marquez hingga ia jatuh tersungkur dan tak bisa lagi melanjutkan balap di tikungan ke empat belas putaran ketujuh Moto GP Malaysia. Atas kejadian itu, Valentino di jatuhi penalti tiga poin dan start di posisi terakhir pada race terakhir di Valencia pekan depan.

Terlepas dari perselisihan antara Valentino dan Marquez, pastinya penyelenggara Moto GP tidak mau merugi atas usahanya untuk merebut perhatian dunia di seri terakhir nanti. Atau ada pihak lain yang di luar penyelenggara, biasanya mereka-mereka yang mempunyai kekuatan modal dan memiliki kewenangan untuk mengintervensi pertandingan demi memenuhi hasrat judi mereka. Sebagaimana pernah dilakukan pada pertandingan-pertandingan lain. Jika benar ini terjadi pada balap Moto GP, sudah pasti Valentino Rossi harus di ikutkan dalam balap seri terakhir nanti. Meskipun sejumlah kritik dari pebalap lain menilai hukuman yang diberikan pada Velentino terlalu ringan.

Ini hanya dugaan yang mungkin ada sedikit benarnya, ketika Valentino tidak di ikutkan dalam balap di Valencia nanti, sudah pasti seri terakhir Moto GP tidak terkesan menarik. Sebab, daya tariknya ada pada persaingan sengit antara Valentino dan Jorge Lorenzo. Tapi ini hanya analisa sementara saya bersama para tukang ojek sebuah pangkalan di persimpangan jalan Sudirman. Berbebeda lagi dengan statmen seorang tukang tambal ban atau bengkel motor di jalan poros M.H Thamrin. Menurutnya, duel antara Rossi dan Marquez memang menimbulkan banyak pertanyaan. Sebelumnya, banyak yang menduga jika Rossi menendang Marquez hingga ia jatuh, atau memang Marquez sengaja menghalang-halangi Rossi merebut gelar juara untuk kesekian kalinya. 

Lelaki itu juga berpendapat, seharusnya Rossi tak melakukan hal yang salah saat itu. Tetapi itupun kalau ia merasa dewasa terhadap Marquez yang di lihatnya anak baru di kelas Moto GP. Kalau memang ia merasa di provokasi, harusnya sikap profesionalitas itu selalu ada pada dia. Ini memang selalu terjadi pada setiap pertandingan dan memicu kemarahan pada setiap orang. Sekali lagi ini hanya perspektif dari seorang tukang tambal ban yang sedikit banyak ada benarnya. Terakhir, "apapun yang terjadi di akhir race nanti, para pebalap Moto GP itu tidak akan mungkin menambal ban motor mereka di bengkel saya”. Cetus lelaki itu.   

"Saat sedang menunggu Go-Jek di pangkalan ojek."


Bogor, 27 Oktober 2015

Saturday, October 24, 2015

Motivasi Mengikuti Beasiswa Unggulan

TAK ada motivasi lain untuk mengikuti program beasiswa ini selain alasan karena keterbatasan ekonomi, selain karena kondisi daerah yang jauh dari akses untuk mendapatkan pendidikan yang berkualitas. Alasan lain, karena perhatian kampus tempat saya kuliah dulu bersama pemerintah daerah barangkali tidak fokus pada masalah pendidikan. Sehingga ada banyak putra-putri di daerah untuk tidak melanjutkan pendidikan ke jenjang berikutnya. Padahal, ini semua demi perbaikan sumber daya manusia yang lebih baik.

Motivasi saya untuk melanjutkan pendidikan S2 telah lama menyala, meski berbagai terpaan begitu kencang hingga sempat menggoyahkan niat untuk tak lanjut studi. Motivasi ini berawal dari lilin-lilin kecil yang menerangi langkah untuk menapaki setiap anak tangga demi mencapai puncak yang gemilang. Motivasi untuk menjawab mimpi-mimpi seorang anak kampung, demi satu asa yang nyaris patah. Satu dari sekian banyaknya pilihan, motivasi ini demi melihat satu senyum yang mekar di raut wajah yang kian keriput. Mereka adalah kedua orang tua yang setiap waktu, setiap tidurnya, hingga di setiap hela nafas mereka terus memberi doa demi anak-anaknya yang kini tumbuh dewasa menjadi anak-anak yang berbakti dan berguna bagi bangsa dan negara.

Hari ini, saya telah menjadi satu dari sekian ribu orang mahasiswa program Pasca Sarjana di Institut Pertanian Bogor (IPB). Setelah tujuh tahun menamatkan program Strata Satu (S1) di sebuah kampus swasta di Pulau Buton. Saat ini, saya kembali menjalani proses akademik, menjalani setiap proses perkuliahan pada program studi Sosiologi Pedesaan, salah satu jurusan yang telah lama ku gandrungi. Pilihan mengambil jurusan tersebut karena selain basic keilmuan berasal dari ilmu sosial, Sosiologi Pedesaan juga telah menjadi wacana kekinian yang berhasil diangkat ke kepermukaan dan menjadi tugas para ilmuwan untuk menggali segala potensi yang di miliki desa selama ini. Berbicara pembangunan, mestinya pembangunan itu di mulai dari pinggiran, pembangunan yang di awali dari desa untuk sebuah peradaban. Banyak hal yang harus di pelajari tentang desa, tentang masyarakat, tentang budayanya yang unik, atau tentang tanahnya yang begitu subur. Namun di tengah pembangunan desa, terdapat sejumlah oknum dan korporasi yang dengan “rakus” mencoba mengambil kekayaan desa melalui elit birokrasi. Di titik inilah keprihatinan saya selalu muncul untuk mempelajari banyak hal tentang desa dari sudut pandang sosiologi dan apa kontribusi yang akan kuberikan kelak suatu hari nanti.  

Belum genap empat bulan lamanya saya menjalani aktivitas sebagai mahasiswa di kampus IPB. Namun dibalik kehadiran saya menjadi seorang mahasiswa, kampus ini telah memotivasi saya untuk terus belajar dengan sungguh-sungguh. Begitu susah payahnya saya menembus hingga bisa di terima sebagai seorang mahasiswa, begitu banyaknya rintangan yang di lalui untuk mendapatkan pendidikan di salah satu kampus terbaik ini, begitu banyak onak dan duri yang di lalui demi satu harapan yang begitu besar. Hampir saja saya mengambil keputusan yang salah dengan memilih berhenti.

Di awal pendaftaran saya sempat “down” karena terkendala biaya masuk. Saya memutuskan untuk kembali ke kos lalu berdiam seorang diri. Sementara, waktu pendaftaran tinggal beberapa jam lagi akan di tutup. Saat itu adalah waktu batas terakhir pendaftaran gelombang kedua, dan setelah itu tak ada lagi sampai menunggu tahun akademik baru. Detak jarum jam terus berbunyi, pertanda waktu terus berjalan. Hati saya terus berkecamuk, tak beraturan, upaya apalagi yang saya harus lakukan. Saya tak mungkin membebani orang tua dengan kondisi yang tak memungkinkan. Tiga orang saudaraku pun tak cukup membantu menutupi kekurangan biaya pendaftaran, saya pun pasrah hari itu. Tapi entah apa tiba-tiba saja pertolongan itu datang pada manusia yang sedang mengalami kesusahan, Handphone ku berdering, seorang kawan menelfonku dan menyatakan kesediaannya membantu mencukupi biaya pendaftaran kuliah. Sontak, saya lalu bangkit dari pembaringan dan bergegas menuju Bank untuk melakukan transaksi pembayaran pendaftaran masuk kuliah.

Berangkat dari situlah, tak henti-hentinya saya mengucap kata syukur dan berterima kasih pada mereka-mereka yang iba pada diri saya di tengah kesulitan yang melilit. Di titik inilah saya selalu percaya bahwa sesulit apapun masalah yang di hadapi selalu saja ada jalan keluar, selalu ada “sihir” dari para peri yang telah membalas kebaikan-kebaikan kita. Membangun pertemanan dengan baik adalah investasi yang tak bisa di bawa pada rumus angka. Barangkali dengan kita selalu rendah hati dan saling menolong, maka kebaikan kita akan selalu di ingat sampai kapan pun. Sama halnya ketika seorang kawan kampus mengabarkan penerimaan Beasiswa Unggulan ini pada saya beberapa waktu lalu. Dengan teliti, satu per satu persyaratan kubaca dan segera kulengkapi apa yang menjadi persyaratan. Beasiswa ini adalah Beasiswa Unggulan Bagi Pegiat Sosial dan Seniman. Awalnya saya sempat pesismis untuk bisa di terima nantinya. Sebab mungkin saya tak masuk dalam kategori Putra-Putri terbaik yang dimaksud, tapi apa salahnya kalau saya mencoba dulu. Dengan berbekal pengetahuan yang di dapat di kampus dan pengalaman berada di tengah-tengah masyarakat desa. Saya berupaya dan berharap, namaku bisa masuk di antara seratus nama lainnya yang akan di terima nanti. Semoga.

"Essay ini sebagai syarat mengikuti program Beasiswa Unggulan yang di selenggarakan oleh Kementrian Pendidikan dan  Kebudayaan RI" 

Saturday, October 17, 2015

The Mahuze: Dari Penyerobotan Lahan Sampai di Paksa Tanam Padi

Sumber: watchdoc.co.id

SEBUAH film dokumenter persembahan dari Ekspedisi Indonesia Biru. Dua orang jurnalis asal Indonesia, Dandhy Dwi Laksono dan Suparta Arz dengan sengaja meninggalkan hiruk-pikuk perkotaan lalu melakukan petualangan di ujung timur Indonesia demi melihat dan memahami satu kenyataan sosial yang sungguh kontras dengan kehidupan banyak orang di perkotaan saat ini. Ekspedisi Indonesia Biru yang mereka bawa, telah mengungkap satu fakta sosial (social fact) dari banyaknya fakta-fakta lain yang sengaja disembunyikan. Kepelikan yang di alami masyarakat Bumi Cendrawasih sudah terjadi sejak lama. Sejak korporasi masuk lalu menghisap seluruh kekayaan tanah Papua. Sementara masyarakat pribumi hanya mendapatkan ampas dari keserakahan kapitalisme. Film dokumenter persembahan Ekspedisi Indonesia Biru telah menggugah kita untuk lebih memahami setiap persoalan yang selalu terjadi di berbagai daerah di tanah air.      
***

FILM ini berjudul “The Mahuzes”, menayangkan bagaimana perjuangan masyarakat sub marga dari suku Marind-anim yang mendiami merauke. Mahuze, adalah salah satu marga yang di kenal kental dengan agama dan adat istiadat yang kuat. Umumnya, rumah-rumah masyarakat marga Mahuze tersebar di dalam hutan di distrik Marid dengan kondisi sangat sederhana. Di gereja, mereka tak hanya beribadah, tapi juga menjadi tempat dimana mereka menyatukan berbagai persepesi dan pandangan tentang kehidupan. Misalnya ketika tanah-tanah mereka di serobot oleh perusahaan yang ingin menjadikan tanah mereka untuk membuka kebun kelapa sawit.

Sumber: youtube.com
Diketahui, luas tanah merauke kurang lebih 44.071 kilometer persegi dengan total jumlah penduduk sekitar 300.000 jiwa. Rencananya ketika perusahaan kelapa sawit di Marauke benar-benar jadi, maka mereka akan menerapkan pola sistem bagi hasil yang pembagiannya 80:20. Sudah barang pasti, 80 untuk perusahaan dan 20 untuk masyarakat pemilik tanah, dengan kontrak lahan selama 35 tahun. Namun, ruapanya tidak semudah itu, tawaran perusahaan tidak mencapai kesepakatan karena pola pembagian yang berbeda dari masyarakat. Sebab, masyarakat menginginkan pola pembagian harus di balik. Pastinya, perusahaan juga tak mau rugi seperti pola yang di usulkan masyarakat pemilik lahan.

Pada akhirnya, alat-alat berat perusahaan yang sudah membuka jalan, alat berat yang sudah terlanjur merobohkan banyak pohon, alat berat yang sudah jelas merusak hutan dengan berbagai jenis tanaman sebagai pangan, membuat geram masyarakat marga Mahuze lalu mendatangi para pekerja yang dengan angkuh masih berdiri diatas Buldozer. Para pekerja diminta secara baik-baik untuk segera keluar dari hutan dan membawa kembali alat-alat kerja mereka. Beberapa saat sebelum masyarakat marga Mahuze meninggalkan hutan, mereka mendirikan patok lalu berdoa dan melakukan ritual adat sebagai simbol atas penolakan masyarakat adat terhadap ekspansi perusahaan, juga bentuk intimidasi dari berbagai oknum yang sama sekali tak memiliki nurani.

Delapan hari kemudian setelah mereka mengusir pekerja perusahaan dari dalam hutan, masyarakat marga Mahuze mendapati papan dan patok yang menjadi simbol perlawanan itu telah di cabut dan dirusak entah siapa. Namun dugaan mereka, oknum dari pihak perusahaan lah yang melakukan pengurasakan. Bagi masyarakat marga Mahuze, hal ini menjadi masalah serius yang sudah masuk dalam penghinaan adat mereka. Karena adat telah dilecehkan, ritual adat pun kembali dilakukan. Masyarakat marga Mahuze lalu melakukan upacara tanam “Kepala Babi” sebagai ritual adat yang tertinggi. Ritual ini dilakukan, sebab kalau ini kembali tidak di indahkan, maka konsekuensinya adalah nyawa, bagi mereka yang melawan.      

Persoalan tidak hanya terjadi antara pihak perusahaan dan masyarakat saja, tapi juga menimbulkan ketegangan diantara masyarakat marga Mahuze. Seperti yang dikisahkan dalam film, masyarakat marga Mahuze mencurigai ada sebagian dari mereka yang mencoba melakukan pengkhianatan dengan menjual tanah kepada pihak perusahaan kelapa sawit. Dalam pertemuan yang membahas persoalan tanah itu, hadirlah sejumlah tokoh adat untuk menyelesaikan persoalan yang menimpa mereka. Pertemuan untuk mencari titik temu dan merapikan kembali keretakan yang sempat terjadi diantara pihak-pihak yang terlibat. Sampai pada akhirnya masalah tersebut terjawab dan selesai dengan jalan damai.

Film The Mahuez kemudian berlanjut pada persoalan hadirnya program pemerintah yang sebelumnya pernah digagas oleh sang mantan Bupati Johannes Gluba Gebze. Ia berniat akan membangkitkan ekonomi masyarakat meski pengelolaannya diserahkan ke swasta tetapi dikembangkan dengan model perkebunan. Skemanya, Merauke Integrated Rice Estate (MIRE). Usulan John disambut baik Jakarta, kran investasi dibuka. Tapi yang datang justru banyak pemain sawit, investasi di bidang pangan kurang peminat. Cara lain pun dilakukan pada tahun 2010 dengan berubah menjadi Merauke Intregated Food and Energy Estate (MIFEE) untuk memudahkan Sawit agar masuk sebagai sumber energi.

Pasca Presiden mengumumkan pembukaan sawah baru yang luasnya 1,2 juta hektar (ha) dan ditargetkan akan rampung dalam tiga tahun. Masyarakat Merauke kembali resah sebab daerah mereka dicanangkan menjadi lumbung pangan nasional. Memang, program ini menjadi Warning untuk pemerintah. Berbagai elemen lalu mempertanyakan kebijakan pemerintah soal kedaulatan pangan. Seperti yang saya kutip pada laman Facebook Ekspedisi Indonesia Biru, salah satu diantaranya adalah Direktur World Wildlife (WWF) Papua Benja V Mambai dalam sebuah forum mempertanyakan tentang kesediaan lahan seluas 1,2 ha untuk sawah baru di Merauke. Untuk di ketahui,

Sumber: acehkita.com

“Secara keseluruhan Kabupaten Merauke mempunyai luas 4,6 juta ha. 2,4 ha diantaranya daerah yang di lindungi, di dalamnya ada hutan lindung, taman nasional dan daerah resapan air. Benja Menerangkan, 228.000 ha (sudah masuk) cluster MIFEE, terdiri dari 16 perusahaan. 70.000 ha telah dimanfaatkan untuk lahan transmigrasi. 759.000 ha HTI, dikelola sembilan perusahaan. 221.000 ha dikuasai delapan perusahaan sawit. 17 perusahaan tebu dengan luas lahan 546.000 ha, dan pertanian serta tanaman pangan seluas 67.000 ha. Kalau semua dimasukkan, hanya tersisa 500.000 hektare. Berapa ketersediaan lahan yang rill untuk menjadikan Merauke sebagai lumbung pangan nasional?” tanya Benja.

***

SATU setengah jam lamanya kami menyaksikan pemutaran film. Kegiatan ini di selenggarakan oleh mahasiswa IPB yang tergabung dalam Peminat Diskusi Kritis (PADI). Usai kami menonton, moderator langsung bertindak mengarahkan diskusi. Seorang wanita yang tak jauh duduk di sebelahku lalu berdiri setelah ia di persilahkan untuk berbicara. Ia rupanya seorang mahasiwi yang berasal dari Marauke, yang juga tahu persis tentang bagaimana persoalan yang sedang dihadapi masyarakat disana. Ia sangat tergetar usai menyaksikan film The Mahuzes. Semenjak dirinya keluar dan menetap sementara waktu di Bogor untuk kuliah, ia tidak melihat secara pasti tentang kondisi dan situasi di tanah itu. Informasi yang didapat hanya melalui komunikasi pesan singkat atau pembicaraan di telepon genggamnya.

Dalam diskusi yang berlangsung, ia sangat berapi-api dan melancarkan sejumlah kritik. Kritiknya tidak hanya pada pemerintah, tapi juga dari kalangan penggiat sosial, aktivis lingkungan, para akademis, atau peneliti yang sering keluar masuk pintu desa dan hutan hanya untuk mencari kepentingan bahan riset tanpa melakukan kerja-kerja advokasi untuk kepentingan langsung masyarakat.

Barangkali mesti ada konsep baru untuk melakukan kerja-kerja sosial dengan mengikhlaskan sebagian waktu dan tenaga. Ikhlas untuk sementara waktu menanggalkan berbagai atribut, pangkat, dan jabatan. Kerja-kerja sosial seperti yang dilakukan dua orang Jurnalis Ekspedisi Indonesia Biru, dengan rela mereka pergi jauh ke daerah pelosok hanya untuk memahami semua kelakuan para cukong yang selama ini bersemayam di balik gedung-gedung mewah. Penyerobotan tanah yang dialami marga Mahuze di Merauke Papua hanyalah satu keping dari banyaknya persoalan yang terjadi di berbagai daerah.


Bogor, 17 Oktober 2015

Wednesday, October 14, 2015

Berlatih Menulis di Rumana IPB Sulsel

HARI itu, Minggu 11 Oktober 2015. Forum Mahasiswa Pascasarjana IPB Sulawesi Selatan (Rumana) membuat satu kegiatan pelatihan kepenulisan di salah satu tempat di kampus Institut Pertanian Bogor. Mendengarnya, saya pun tertarik untuk ikut serta. Apalagi, salah satu pembicara dalam pelatihan itu adalah Yusran Darmawan yang selama ini menjadi patron menulis saya. Saya ingin mengetahui secara langsung bagaimana beliau melatih orang-orang dalam membuat satu karya tulis. Walaupun sebenarnya telah banyak materi tentang kiat-kiat serta motivasi menulis yang ia telah tumpahkan ke dalam blog pribadinya.

Suasana pelatihan
Sejak lama saya mengikuti dan menjadi pembaca setia tulisannya. Melalui catatan-catatannya di blog, saya mulai tertarik untuk terjun dalam kegiatan tulis-menulis. Tahap demi tahap saya mempelajari karya-karyanya untuk menemukan banyak ide dan inspirasi. Beberapa tulisannya, memberi jalan terang bagi saya agar terjun dalam lautan kata-kata, menyelami banyak data dan fakta, lalu pada akhirnya saya tak ingin beranjak dan terus di basahi oleh ide-idenya. Tulisannya menjadi motivasi bagi saya, menggerakan energi untuk terus menulis. Tulisannya, menjadi virus yang menyebar kemana-mana lalu menjangkiti banyak orang.

***

DI awal memulai menulis, memang terasa berat. Menulis seperti kita memikul beban. Atau seperti kita tersesat di dalam hutan belantara. Itulah kenapa sejak kecil, sejak kita duduk di bangku sekolah dasar, kita di pandu untuk membiasakan diri membaca dan menulis. Kita mulai di perkenalkan dengan huruf, lalu mengeja kalimat demi kalimat. Atau tangan kita di latih untuk terbiasa menggerakan sebuah pena lalu menyusun kata-kata diatas lembar-lembar kertas. Tetapi, itu hal yang sangat teknis yang sejak lama kita dapatkan. Seiring hadirnya teknologi, banyak alat atau media yang membantu kita untuk menulis sebanyak-banyaknya hingga menjadi sebuah buku. Mulai dari hadirnya mesin ketik yang memakai pita dengan teknik mengetik "sebelas jari" hingga kita sudah mendapatkan komputer, laptop, gadget, atau bahkan kita nanti diperkenalkan dengan sebuah alat canggih dengan tidak menekan huruf dan angka lagi di papan ketik. Sungguh luar biasa kemudahan itu.

Namun persoalan bukan pada teknik dan alat tulis yang kita miliki. Persoalan bukan secanggih apa media dan aplikasi yang digunakan. Tetapi, masalahnya adalah krisis ide. Kering kerontangnya ide sebab kita tak pernah membuka sumber-sumber air baru. Salah satu sumber mata air itu adalah membaca. Yah membaca, apakah yang dibaca itu buku atau yang bukan buku. Membaca yang bukan buku maksudnya, kita bisa membaca apa saja, apakah tulisan koran, majalah, pamflet, atau membiasakan diri membaca hal-hal sederahana semisal tulisan-tulisan yang terdapat di banyak plastik bungkusan belanjaan, plastik yang menjadi sampah dan kita buang disembarang tempat. Untuk memudahkan menulis memang dibutuhkan bahan bacaan. Sebaliknya, jika tak membaca maka pasti kita mengalami kesulitan saat menulis. Karena untuk menemukan gagasan dalam menulis adalah membaca. Membaca dan menulis serupa mata uang logam yang saling melekat. Nah, tinggal kita bagaimana memadukan kegiatan membaca dan menulis itu.

Belum genap satu semester saya kuliah di kampus IPB. Berbagai aktivitas dan kesibukan mulai ku jalani, masa-masa sulit yang diawal kutemukan perlahan di lalui dan mulai terbiasa. Hari-hariku, mulai padat dengan jadwal kuliah dan tugas-tugas dosen. Jika ada sedikit waktu, itu hanya bisa membaca beberapa buku dan tak sempat lagi mengisi blog. Meski begitu, sebenarnya itu bukan hambatan untuk tak bisa menulis. Masalahnya bukan karena tak punya waktu untuk menulis. Menulis bisa kapan dan dimana saja. Tentu, semua tergantung dari kita sendiri, kita mesti memiliki Passion dan kepercayaan diri agar dengan mudah menjalankan kegiatan menulis tanpa beban.

Sumber: foto yadilaode
Selain tulisan-tulisan di www.timur-angin.com yang menjadi bahan bacaan saya selama ini. Penulis blog itu telah memberi satu petunjuk tentang manfaat dalam kegiatan menulis. Salah satu yang kurasakan selepas menulis adalah saya seperti terbebas keluar dari ruang sempit yang hampa, saya seperti menemukan diri saya yang sebenarnya, ini semacam terapi yang memberi manfaat bagi kualitas hidup kita. Buku "Mengikat Makna Update" yang di tulis oleh Hernowo, juga sangat membantu saya dalam memberdayakan diri lewat membaca dan menulis. Buku itu telah meringankan saya membaca dan menulis, mengahdirkan berbagai manfaat, mengatasi berbagai problem membaca dan menulis, meningkatkan rasa percaya diri menulis, dan memotivasi saya dalam memperbaiki diri.

Disaat pelatihan sedang berlangsung, saya melihat antusias peserta lain dalam kegiatan. Mereka sangat fokus memperhatikan setiap penjelasan dari para pelatih. Saya tidak menyangka, mereka-mereka yang berstatus mahasiswa dan bahkan telah lanjut S2 dan S3 masih mempunyai kenginan besar untuk ikut pelatihan kepenulisan. Dugaan saya, mereka telah mahir dalam menulis. Dugaan saya, mereka telah banyak menulis dan membaca. Dugaan saya, mereka tak butuh lagi pelatihan-pelatihan seperti ini. Tapi rupanya tidak kawan, rupanya kita masih lemah dalam kegiatan menulis. Bagi Hernowo (2009), menulis dan membaca teks bukan sekedar permainan di dunia ide, melainkan tantangan untuk bertanggung jawab di dalam kehidupan. Jika demikian, menulis dan membaca itu bagaikan tugas dan tanggung jawab etis bagi diri kita masing-masing. Jelas, teks atau tepatnya membaca teks adalah bagian hakiki dari kehidupan. Karena itu baginya, seperti kehidupan itu sendiri kaya dalam berbagai aspeknya, teks juga amat kaya dalam berbagai seginya.

Bogor, 14 Oktober 2015

Popular Posts