Saturday, November 21, 2015

Memperingati Seratus Isi Blog


BIAR bagaimana pun, suka tidak suka, mau tidak mau, saya tetap menghargai dengan memperingatinya. Memang ini bukanlah acara besar yang membutuhkan banyak duit. Sebagaimana kita saksikan para pejabat yang dengan gampang “mengopet” uang negara hanya untuk sebuah acara tak bermutu. Ini hanya acara biasa, tapi mungkin luar biasa. Ini acara biasa yang tak perlu mengundang banyak artis dan penceramah agama. 

Ini bukan acara peringatan ulang tahun dengan lilin dan nasi tumpeng diatas. Bukan pula memperingati hari perkawinan se Dunia (World Marrige Day). “Ngapain, toh saya belum pernah dimintai sumpah dalam Ijab Kabul”. Nah satu lagi, ini bukan party dalam sebuah PUB atau diskotik, yang menampilkan wanita-wanita malam, yang dengan lincah menari diatas panggung lalu melilit disebuah tiang dan di iringi musik Dj tanpa sehelai benang. Ini memang menarik, sebagaimana kita saksikan pejabat-pejabat kampung yang sesekali berkunjung ketempat itu. Bukan itu, ini acara biasa yang wajib saya peringati. Sebagai refleksi, untuk melihat kembali tentang apa-apa yang pernah kucatat dalam setiap lembarnya. 

***

SAYA harus banyak berterima kasih kepada Evan Williams yang telah menciptakan Blog. Berkatnya, saya bisa memperingati isi tulisan yang ke SERATUS dalam blog pribadi saya beberapa tahun terakhir ini. Blog merupakan sebuah layanan publikasi yang menjadi milik perusahaan Pyra Labs dan telah di akuisisi oleh Google sejak tahun 2003. Evan Williams sang penemu, adalah seorang pria yang lahir di Nebraska 31 Maret 1972. Ia adalah seorang wirausahawan Amerika Serikat yang berasal dari keluarga petani. Selain menciptakan Blog, ia juga berperan besar dalam pembuatan twitter bersama Jack Dorsey. Fungsi Blog sangat beragam, bisa sebagai catatan harian, tempat penyebaran informasi, atau menjadi program-program media lain. 

Hari ini saya memperingatinya. Tepat di malam ini, Minggu (21/11/2015) di sebuah room yang berukuran 2X3 meter, dengan segelas teh hangat dan mendengarkan beberapa lagu dari Coldplay. Acaranya cukup menyenangkan, saya kembali membaca isi tulisan-tulisan itu. Dan rupanya ada hal menarik dan lucu yang pernah kutulis beberapa tahun silam tanpa kuduga sebelumnya. Acaranya cukup menghibur, saya kembali membaca kisah-kisah lama dari anak-anak suku Bajo yang dengan berani mengarungi melaut, kisah seorang Petani Organik yang konsisten tak menggunakan pupuk demi menjaga kualitas tanaman, tentang keindahan alam di Pulau Buton, atau tentang cerita kisah inspiratif dari seorang anak muda yang memilih kembali untuk membangun desa. Konon, lelaki itu sekarang telah mengenakan logo garuda, berseragam putih dan menduduki kursi penting di pemerintahan desa. 

Hari ini adalah hari penting bagi saya, hari dimana saya bisa duduk dalam kesendirian dan merefleksikan banyak hal tentang diri. Tentang harapan, tentang mimipi-mimpi yang hendak ku kejar kemana pun itu perginya. Ini adalah proses meditasi untuk meningkatkan kualitas diri, melatih kesabaran untuk melewati tahap demi tahap kehidupan. Peringatan isi tulisan ke seratus di blog ini adalah momentum bagi saya untuk melatih lagi kepenulisan agar kualitas isi terus mengalami perubahan dan bisa memberi manfaat bagi para pembaca. Peringatan ini, adalah hari dimana saya terus dipacu untuk terus menulis dan mengisi lebih banyak lagi konten yang bisa menginspirasi banyak orang. Ini bukan peringatan apa-apa, bukanlah peringatan seratus hari kerja pemerintahan lalu kita ramai-ramai meminta pertanggungjawaban mereka dengan menggelar unjuk rasa. Ini hanyalah peringatan kecil-kecilan yang bisa memberi makna, kepada saya atau mungkin bagi orang lain. 

See u on the show to 200 later       

Tentang Desa, Tentang Petani Yang Terlupakan


TAK jauh dari Dramaga tempat kampus IPB berdiri, sebuah desa yang menjadi lokasi penelitian kami saat itu kembali memberi satu keyakinan pada diri saya, jika desa tak selamanya kumuh dan masyarakatnya selalu di pandang miskin. Desa yang selama ini dinilai buruk karena masyarakatnya tak memiliki pengetahuan apa-apa dan jauh lebih hebat dari mereka-mereka yang tinggal dan hidup ditengah kemewahan kota. Di desa itu saya kembali menemukan makna dari kehidupan yang sebenarnya, makna dari masyarakatnya yang hidup rukun, tentram, dan damai. Saya juga bisa melihat langsung bagaimana masyarakat desa memanfaatkan alam dengan sebaik-baiknya. Saya bisa melihat bagaimana petani membuat sawah dengan rapih sehingga indah dipandang mata, dan bagaimana para petani yang membajak sawah dengan kerbau. Tak ada bunyi mesin traktor, apalagi mendengar suara dari mesin-mesin pabrik yang kerap membuat bising di telinga. Disni, hanya ada suara gemercik air yang mengalir secara bertahap dari tingkat atas sawah sampai ke bawah. Disini hanya ada suara kerbau yang sedang bertugas membantu kerja pak tani yang membajak sawah. Suara kerbau sebagai ucapan selamat datang kepada kami yang saat itu melintasi pematang sawah. Wew...

***

PAGI sekitar pukul 06.15 WIB, saya sudah harus bersiap-siap untuk segera ke kampus menemui beberapa kawan yang rupanya juga belum lama mereka tiba di depan gedung kantor fakultas. Kawan-kawan itu adalah rekan se tim, kelompok yang dibentuk dari tugas mata kuliah Metodelogi Penelitian Sosial (MPS) sejak awal perkuliahan beberapa bulan lalu. Tugas mata kuliah itu yakni melakukan penelitian dimasyarakat. Waktu yang diberikan kurang lebih empat bulan lamanya, dengan proses penilaian akan di lihat dari sejauhmana progres dari tahapan penelitian yang telah dilakukan. Dalam penelitian yang kami lakukan, judul yang diangkat mengenai “Rasionalitas Nilai Kerja Pertanian Pada Masyarakat Pedesaan di Sekitar Perkebunan Kelapa Sawit Desa Kiara Pandak”. Penelitian ini bertujuan untuk memahami rasionalitas nilai kerja pertanian pada masyakat desa Kiara Pandak yang masyarakatnya hidup bersebelahan dengan perkebunan kelapa sawit. Kami ingin melihat sejauhmana masyarakat desa Kiara Pandak mampu mempertahankan tradisi menanam sebagai petani dengan alasan rasional mereka. Ketimbang memilih berkerja di perkebunan skala besar dan meninggalkan pertanian. Disisi lain, kami juga ingin melihat alasan kenapa masyarakat desa memilih keluar desa dan berkerja ketempat lain.

Kami pun berangkat (mas Bayu, Rozi, Rio) dengan menggunakan sepeda motor. Jalanan masih diselimuti kabut. Ini kabut bukan sembarang kabut, bukan dari kabut asap kebakaran hutan. Ini memang benar-benar kabut, kabut yang memberi kesejukan di sepanjang perjalanan kami. Jalanan masih begitu lengang dari kendaraan. Perjalanan kali ini, sedikit membasahi rasa dahaga petualanganku semenjak kembali aktif sebagai mahasiswa dan menghabiskan banyak waktu di dalam ruang kuliah. Mata ini kembali di manjakan dengan bukit dan pegunungan, juga sempat beberapa kali melewati jembatan yang dibawahnya terdapat aliran sungai dengan air yang cukup deras. Tinggal beberapa kilometer lagi kami akan sampai di desa Kiara Pandak, tapi kami memutuskan untuk beristrahat sejenak disebuah warung makan. Dari atas perbukitan, kami tidak hanya menikmati panorama alam yang begitu memukau. Namun, hidangan soto ayam yang berkuah santan khas sunda itu juga membuat lidah kita menari-nari diatas mangkuk sup. Apalagi, segelas kopi hangat dengan hati-hati diantar langsung oleh seorang gadis sunda. “makasih teh” kataku usai ia mengantarkan segelas kopi dimejaku. Saat kuseruput, kopinya memang kurang begitu manis, tapi saat memandang gadis itu, kopi ini kembali manis ku rasa.  

Desa Kiara Pandak, Kecamatan Sukajaya, Kabupaten Bogor. Sejak zaman kerajaan dulu, masyarakatnya sudah diajarkan ilmu dan pola pertanian oleh sesepuh-sesepuh mereka. Dahulu adat masih sangat berperan dalam pertanian. Adat dan pemerintah desa secara bersama-sama membuat aturan tentang pertanian di desa. Misalnya ketika ada warga desa yang mendahului menanam padi, maka mereka akan mendapat sanksi dari adat bersama pemerintah desa. Maksud dari aturan itu sebenarnya untuk memberi kekompakkan warga dalam melakukan penanaman padi. Selain itu, jika aturan adat ini dilanggar, mereka percaya kalau akan berdampak buruk terhadap hasil pertanian. Datangnya serangan hama penyakit padi, wereng, atau tikus yang dapat merusak padi mereka. Benar kemudian, bahwa aturan adat itu juga dimaksudkan untuk meminta kekompakkan masyarakat dengan secara bersama-sama membasmi hama pernyakit yang menyerang padi mereka. Intinya adalah menjaga kekompakkan dan semangat gotong royong masyarakat desa.

Penanaman padi masih sangat sederhana dan tradisional, padi ditanam tidak menggunakan pupuk atau bahan kimia lain yang umumnya digunakan oleh petani-petani lain. Saat musim menanam padi, masyarakat desa selalu berpatokan pada bintang. Kalau bintang wuluku sudah keluar, nah barulah penanaman padi akan dilakukan. Para petani juga sebelumnya sudah menyiapkan lantaya atau tempat penyimpanan padi sebelum dinaikan ke keleyuet atau lumbung nantinya. Namun sayangnnya tradisi itu tidak bertahan berapa lama, dunia luar mulai merambah ke desa-desa dan mempengaruhi prilaku masyarakat. Kini, desa tak lagi menjadi desa sebagimana yang diharapkan oleh para leluhur. Perlahan desa mulai meninggalkan kebiasan-kebiasaan adat mereka. Para orang tua pun tak lagi mengajarkan banyak hal pada anak-anak mereka tentang pentingnya pertanian dan bagaimana pola tanam padi itu dilakukan. Tidak lagi ada generasi dari petani-petani kita saat ini. Muda-mudi telah meninggalkan pertanian hanya untuk mendapatkan kemewahan hidup yang tak pasti.

Seorang tokoh masyarakat di desa Kiara Pandak berkisah tentang kondisi desa saat ini. Menurutnya, hal itu karena kurangnya kedisiplinan para orang tua dalam mendidik anak-anak mereka. Sehingga masyarakat desa terutama yang anak-anak muda pindah ke kota demi untuk mencari suatu pekerjaan yang menjanjikan. Tidak sedikit dari anak-anak muda itu menggeluti satu profesi yang unik, dengan menjadi musisi jalanan. Maksudnya sebagai pengamen yang naik turun angkot. Tak ada pilihan mereka ditengah keterbatasan ekonomi keluarga dan kurangnya sumber daya manusia yang dimilki. Berbeda dengan kaum perempuan desa, kebanyakan mereka masuk kota dengan memilih tinggal dirumah –rumah mewah, yang disetiap sudut rumah terdapat CCTV, di kelilingi pagar kawat berduri, atau didepan rumah itu ada seekor anjing herder. Yah, mereka terpaksa harus berkerja sebagai pembantu rumah tangga (PRT) yang kerap kali mendapat perlakuan kasar dari para majikan.

Dengan melihat kondisi orang-orang desa di kota, lalu dengan ramai-ramai orang kota mengambil satu kesimpulan bahwa masyarakat desa selalu terbelakang dari masyarakat kota. Bahwa cara berpikir orang kota lebih canggih ketimbang orang desa. Bahwa dikota selalu dekat dengan kemewah dari pada di desa. Kemungkinan besar, hal inilah yang merubah pola pikir masyarakat desa dengan memilih pindah ke kota ketimbang memiilih bertani. Tanah dan sawah dijual untuk membangun rumah ditengah kota, tanah dan sawah dijual untuk membeli sepeda motor demi memenuhi keinginan sang anak tersayang, dan masih banyak lagi alasan-alasan mereka kenapa harus meninggalkan tradisi menanam di desa. “ngapainlah capek-capek tani, udah ja jual tuh sawah, beli’in motor”. kata bapak itu mencontohkan anak-anak muda di desa. Lanjut bapak itu dengan gaya kritiknya, “sepeda motor mah, semakin lama semakin karatan. Nah, kalau sawah. Semakin lama semakin bagus uey, tanahnya semakin subur”.

Mungkin ini maksud dari rasionalitas itu. Rasionalitas nilai kerja masyarakat desa yang memilih berkerja sebagai petani demi mendapatkan nafkah penghidupan (livelihood) dan mempertahankan tradisi menanam untuk kesejahteraan mereka. Kalau kita menggunakan pendekatan teori tindakan dari Max Weber, dimana tindakan sosial merupakan cara dalam menganalisa bagaimana suatu tindakan sekelompok orang atau masyarakat memiliki korelasi positif terhadap produk tindakan. Kita tahu, bahwa teori sosiologi klasik menempatkan evolusi masyarakat sebagai titik tolak bangunan teoritisnya, sebagaimana kita melihat perhatian Max Weber disini. Weber sangat serius dalam hal memahami kecenderungan tindakan atau motivasi yang dilakukan oleh subyek dalam memutuskan pilihan. Keyakinan Weber bahwa setiap tindakan atau keputusan yang dilakukan oleh salah satu individu bisa ditemukan makna obyektifitasnya.

Konsepnya tentang rasionalitas sebagai suatu metode analisa untuk mengurai arti atau tindakan dari setiap individu di dalam bertindak atau dalam memutuskan pilihan menjadi kerangka acuan bersama secara luas dimana aspek-aspek subyektif perilaku dapat dinilai secara obyektif. Meskipun teori ini paling banyak di pengaruhi oleh ilmu ekonomi, tetapi teori pilihan rasional dalam sosiologi berbeda dengan yang diterapkan dalam ilmu ekonomi. Dalam Economy and Society, Weber menetapkan garis pemisah antara ekonomi dan sosiologi ekonomi dengan mengajukan tiga unsur, yaitu (1) bahwa tindakan ekonomi adalah tindakan sosial; (2) tindakan ekonomi selalu melibatkan makna; (3) tindakan ekonomi selalu memperhatikan kekuasaan (Damsar, 2002).

Pemahaman Weber tentang tindakan rasional. Menurutnya, tidak semua perilaku dapat dimengerti sebagai manifestasi dari rasionalitas. Weber membagi tindakan rasional menjadi dua, yaitu rasionalitas instrumental dan rasionalitas yang berorientasi nilai. Rasionalitas instrumental merupakan rasionalitas paling tinggi yang meliputi pertimbangan dan pilihan yang sadar, berhubungan dengan tujuan tindakan, serta alat yang dipergunakan untuk mencapai tujuan tersebut. Sedangkan rasionalitas yang berorientasi pada nilai yaitu rasionalitas yang tujuan-tujuannya sudah ada dalam hubungannya dengan nilai-nilai individu yang bersifat absolut atau merupakan nilai akhir baginya. Sementara alat-alat hanya sebagai obyek pertimbangan dan perhitungan secara sadar semata. Secara spesifik tindakan sosial menganalisa masyarakat dari segi pelakunya, tujuan-tujuannya, situasinya, norma-norma, makna yang ada didalamnya.

***

MENJELANG siang dirumah seorang tokoh masyarakat desa Kiara Pandak. Perbincangan masih berlanjut, bapak itu masih berbicara soal pertanian. Menurutnya, ada beberapa masalah yang dihadapi oleh petani-petani di desa ini. Misalnya, banyaknya lahan yang tidak digarap menjadi lahan produktif itu karena kebanyakan masyarakat desa menjual tanah mereka pada pengusaha. Kemudian setelah terbeli oleh pengusaha, tanah itu tidak di jadikan apa-apa. Rupanya pengusaha-pengusaha yang membeli tanah itu hanya mau berinventasi saja, tanpa mau menggarapnya. Tentu ini akan berdampak pada lambatnya pertumbuhan ekonomi masyarakat desa. Masalah lain adalah ketidakjelasan status kawasan hutan yang ditetapkan oleh pemerintah sehingga hal ini menyulitkan masyarakat dalam memanfaatkannya.   



Kemudian dari masalah lahan tadi, bapak itu merasakan betul perubahan perilaku masyarakat desa di banding dulu. Masyarakat desa yang mulai meninggalkan kebiasaan-kebiasaan adat. Masyarakat yang makin individualis dan meninggalkan kebiasaan saling membantu dan berkerjasama. Menurut bapak itu, kalau orang sunda bilang manusia sekarang itu sudah pangalitan, artinya setiap sikap maupun prilaku tidak sesuai dengan keadaan. Seharusnya, masyarakat tidak menjadi konsumtif dengan membeli kebutuhan dari luar. Kebutuhan di desa sudah cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Misalkan untuk makan sehari-hari, ada beras, ada sayur, ada ikan dan lain sebagainya. Padahal disaat bersamaan, masyarakat kota mencari kebutuhan mereka di desa. Sebab, apa yang mereka makan sehari-hari dikota itu, asalnya dari desa, hasil kerja dan keringat petani-petani kita.

Memang, beberapa masyarakat desa masih memegang teguh adat dan mempertahankan kebiasaan bertani mereka. Kalaupun ada perubahan, itu datangnya dari penyuluh pertanian pemerintah dalam hal ini dinas-dinas terkait. Toh masyarakat masih menyesuaikan dengan tradisi yang mereka yakini selama ini. Misalnya, penanaman padi secara serempak, tata cara pengobatan dan lain sebagainya. Yah, semoga apa yang menjadi harapan masyarakat desa, harapan kita semua, desa tidak lagi dipersepsikan sebagai yang terbelakang, tertinggal dari kehidupan mereka yang di kota yang dianggapnya lebih sejahtera. Semoga saja tak ada lagi yang namanya “soma-soma” yang artinya memanfaatkan budaya para leluhur (adat), dari para “bangsat berdasi” yang kerap kali merusak budaya masyakarat desa.


Bogor, 21 November 2015

Friday, November 20, 2015

Hiruk Pikuk Menjelang Kongres HMI

Sumber: newsdetik.com
HARI itu 14 Rabiul Awal 1366 hijriyah yang bertepatan dengan 5 februari 1947. Di dalam sebuah rapat mendadak di Yogyakarta, lelaki itu dengan lantang menyatakan terbentuknya organisasi mahasiswa islam, “Hari ini adalah pembentukan organisasi islam, karena persiapan yang di perlukan sudah beres, yang mau HMI sajalah yang mau diajak mendirikan HMI. Dan yang menantang, biarlah dia menantang toh tanpa mereka organisasi ini masih bisa berdiri dan berjalan”. Sosok itu adalah Lafran Pane, seorang yang dikenal sebagai pendiri Himpunan Mahasiswa Islam (HMI). Latar belakang pemikiran berdirinya HMI adalah melihat dan menyadari bahwa kehidupan manusia dan mahasiswa islam pada waktu itu, yang pada umumnya belum memahami dan mengamalkan ajaran agamanya. 

***

DENGAN melihat kondisi bangsa, selang dua tahun pasca kemerdakaan Republik Indonesia. Peranan organisasi kemahasiswaan memang belum memberi pengaruh besar di dalam dan diluar perguruan tinggi. Mahasiswa secara umum belum banyak dalam bertindak dan berperan untuk kepentingan umat dan bangsa. Terlebih pemahaman mereka terhadap islam yang masih kurang. Karenanya, terbentuknya HMI tidak hanya merubah kondisi saat itu, tetapi juga untuk menjawab tantangan di masa depan. Organisasi mahasiswa ini seyogyanya mempunyai kemampuan untuk mengikuti alam pemikiran manusia yang selalu menginginkan inovasi atau pembaharuan dalam segala bidang. Termasuk pemahaman dan penghayatan agamanya, yakni agama Islam. Tentu, tujuan tersebut tidak dilaksanakan kalau NKRI belum merdeka dan rakyatnya masih dibawah bayang-bayang penjajah. Oleh karena itu, HMI sangat penting untuk mengambil peran dalam menjaga dan mempertahankan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) baik dari dalam maupun dari luar, serta upaya untuk memperhatikan dan mengusahakan kemakmuran rakyat.

Itikad baik dari para founding father dalam mendirikan organisasi ini tidaklah diniatkan sebagai bargaining untuk mencapai kekuasaan dalam pemerintah dan untuk mendapatkan sesuatu di bangsa ini. Lahirnya HMI adalah niat suci dari hati yang bening dan api yang menggelora dari semangat pemuda-pemuda islam saat itu. Kesadaran mereka lahir berangkat dari realitas sosial kondisi umat dan bangsa yang belum bangkit dari tidur panjangnya. Mestinya, setiap mahasiswa menyadari akan tanggung jawab mereka, mestinya mereka tahu bahwa seorang mahasiswa tidak hanya berada dalam satu perguruan tinggi untuk mendapatkan predikat, mestinya mereka sadar jika masalah bangsa tidak dapat diselesaikan hanya dengan membaca membaca tafsir dan mengahafal banyak teori. Tapi melainkan dengan the action of the real atau aksi nyata dalam melakukan perubahan. Sejak berdiri enam puluh delapan tahun yang lalu, perkembangan HMI sangat nampak dari banyaknya jumlah mahasiswa islam yang berhimpun di bawah bendera “hijau-hitam”. Mereka tersebar di berbagai perguruan tinggi, dalam dan luar negeri, mereka berasal dari suku dan latar belakang yang berbeda-beda tetapi identitas dan nafas mereka tetap satu, yaitu mahasiswa yang bernafaskan islam. Keberadaan mereka terbentang dari sabang sampai merauke, dari bunaken sampai rote, mereka tetap bersatu dalam satu himpunan yang bernama Himpunan Mahasiswa Islam (HMI). Meski demikian keadaannya, apakah mereka akan mampu melewati segala rintangan yang menghadang di depan sana, apakah mereka mampu menaiki setiap tapak tangga untuk menaiki puncak-puncak kejayaan, apakah mereka mampu mempertahankan marwah dan khittah perjuangannya dengan berbagai perkembangan dan dinamika yang seringkali memudarkan idealisme para intelektual muda ini?. Untuk melihatnya, kita bisa merefleksikan perjalanan HMI beberapa tahun terakhir ini. 

Di usianya yang telah melewati separuh abad, HMI masih begitu aktif dalam mewarnai setiap perjalanan bangsa. Bila melihat kebelakang, begitu banyak nama dan tokoh yang ikut mengambil peran strategis di hampir semua lini dalam percaturan negara ini. Mereka tidak hanya yang sukses dalam birokrasi, akademisi, dan politisi, tapi juga dalam dunia bisnis bahkan tidak sedikit yang tertarik untuk kembali ke desa demi membumikan ilmu dan pengetahuan yang telah didapat. Memang benar kemudian, bahwa HMI bukanlah organisasi partai politik, bukan pula organisasi pemerintah yang secara struktur berada dalam kordinasi pemerintahan. HMI adalah organisasi independen yang selalu setia mengamalkan nilai-nilai islam dan pancasila. HMI bukanlah “sales” yang dengan pandai beretorika demi merekrut banyak anggota dikampus-kampus. HMI tidak butuh banyak anggota agar terlihat garang, namun HMI butuh gagasan yang kuat serta memilki kesadaran dan rasa tanggung jawab yang tinggi demi terwujudnya masyarakat adil makmur. Sebagaimana yang tertuang dalam kitab konstitusi HMI itu sendiri, “Terbinanya insan akademis, pencipta, pengabdi yang bernafaskan islam dan bertanggung jawab atas terwujudnya masyarakat adil makmur yang diridhoi Allah swt”. (Bab III, Pasal 4 Tujuan, AD HMI).

HMI memang tak muda lagi, sebagaimana kita menyaksikan semangat anak-anak muda yang dengan gagah berdiri di atas mimbar lalu dengan lantang meneriakan kata-kata perlawanan terhadap ketidakadilan. Seiring dengan menuanya HMI, justru kader HMI juga ikut-ikut “pikun” akan tanggungjawab mereka. Barangkali kita terlalu lama bernostalgia dalam cerita-cerita sukses HMI sehingga lupa kalau ada setumpuk masalah yang harus segera diselesaikan. Sepertinya kita memang benar-benar lupa, lupa akan pernyataan keras dari seorang tokoh cendekia muslim sekaligus pernah menjadi ketua umum Pengurus Besar HMI saat itu. Adalah Nurcholis Madjid (cak nur) yang telah mengingatkan kita semua, “HMI Bubarkan Saja”. Dalam pandangannya, Cak Nur berbicara dalam konteks internal karena HMI telah melenceng dari khittah perjuangannya. Begitupun dengan kondisi saat ini, dimana banyaknya kritik terhadap HMI yang dilayangkan dari kader-kader HMI itu sendiri. Kritik terhadap HMI bukanlah hal baru. Kritik berangkat dari kegelisahan kita atas sejumlah persoalan yang kian melilit HMI. Hal tersebut terlihat ketika banyak dari kita terlalu fokus pada satu titik persoalan di internal HMI, tanpa mau move on demi melakukan perubahan-perubahan nyata dimasyarakat. Persoalan internal memang sangat penting untuk segera diselesaikan. Sederhananya hanya dengan selalu meletakan Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga (AD/ART) sebagai dasar dan aturan main yang berlaku di HMI. Persolan pelik lain dan dominan terjadi adalah perebutan struktur kekuasaan, yang konfliknya biasa diawal dan diakhir Konferensi berlangsung. Biasanya penyakit dendam dan balas dendam adalah penyakit kronis yang merasuki mental kader. Kiranya hal inilah yang perlu diluruskan dan segera di obati dalam tubuh HMI. Penyakit menua ini harus secepatnya disembuhkan dan bangkit dari tidurnya. Agar kedepan, kita tak lagi disibukkan untuk mengurai satu persatu benang kusut di HMI. Dan kritik, lebih diarahkan pada arah yang membangun demi terciptanya suasana yang aman dan kedewasaan berorganisasi. 

*** 

PELAKSANAAN Kongres HMI XXIX yang diselenggarakan di Riau tak berapa lama lagi akan di gelar. Hiruk pikuk susana menjelang di bukanya Kongres kian terasa. Kali ini kota Riau menyatakan kesiapannya sebagai tuan rumah Kongres HMI. Hal itu terlihat dari direspon pemerintah Provinsi Riau yang menyambut baik pelaksanaan Kongres tersebut. Apalagi, dalam pembukaan nantinya akan dibuka langsung oleh Presiden Joko Widodo yang hadir bersama Wakil Presiden Jusuf Kalla dan sejumlah pejabat tinggi negara lainnya. Disetiap sudut kota, jalan-jalan utama kota Riau telah dipenuhi atribut bendera dan spanduk ucapan selamat datang peserta Kongres HMI. Kader-kader HMI dari seluruh cabang pun mulai berdatangan dan membanjiri kota yang memilki semboyan “Bumi Bertuah Negeri Beradat”. 

Pelaksanaan Kongres kali ini, tentu berbeda dengan pelaksanaan kongres-kongres sebelumnya yang tingkat kesiapannya sedikit lebih baik. Pengurus Besar (PB HMI), Steering Commite (SC) dan Panitia Pelaksana sangat berharap pelaksanaan Kongres kali ini tidak hanya sebagai ajang konsolidasi kader HMI di seluruh Indonesia dengan agenda merumuskan rekomendasi internal dan eksternal saja. Namun dalam hal penjaringan kandidat calon ketua umum, telah dibentuk tim seleksi yang bertugas melakukan penjaringan kandidat melalui uji publik di lima kampus yang telah dipilih. Itu dilakukan sebelum Kongres dilaksanakan. Dengan tujuan agar proses rekruitmen kepemimpinan tertinggi di HMI dapat terlaksana secara berkualitas. 

Hendaklah para kandidat calon ketua umum PB HMI periode 2015-2017 adalah mereka-meraka telah matang. Mereka yang siap memikul amanah, mereka yang siap membaktikan diri pada umat dan bangsa, mereka yang tidak terjebak dalam komunitas kader yang menjadi pengkritik melulu tanpa mengambil suatu peran yang dikerjakan sebagai solusi, mereka yang bukan mengejar posisi tertinggi dalam HMI untuk berkuasa secara sewenang-wenang. Yang di impikan adalah, mereka yang selalu menjunjung tinggi etika dan profesionalitas. Yang memiliki kesadaran, dimana semua kader memang tak mungkin bisa menduduki kursi ketua. Ibarat petani menanam buah jeruk dan tiba dimana waktu panen. Tidak semua buah jeruk yang ditanamnya dapat berbuah manis. Ada beberapa diantara buah itu terasa kecut, belum masak, atau bahkan terdapat buah yang rusak. Sebagaimana tumbuhan yang membutuhkan tanah, udara dan air agar proses pertumbuhannya bisa dengan baik, kader HMI pun juga mesti bisa tumbuh dengan membaca, menulis dan berdiskusi agar kualitas hidupnya bisa lebih baik. Dan kelak tumbuhan itu bisa berbuah manis dan dipetik oleh banyak orang. Disinilah pentingnya kita bisa merawat kualitas dan tradisi HMI. 

Proses kematangan seseorang tidak hanya diukur dengan seberapa lama ia “tinggal di Sekretariat HMI”, tetapi juga bisa dilihat dari kualitas iman, kualitas ilmu, dan kualitas amalanya. Kriteria seorang leader yang memiliki integritas dan kualitas yang baik untuk menjalankan organisasi akan sangat tampak dari diri kita sendiri yang menilainya. 

Berlangsungnya Kongres, tidaklah di persepsikan sebagai ajang saling “gontok-gontokan” karena hilangnya rasionalitas. Kongres bukanlah untuk arena mencari cara untuk meloloskan sang jagoan dengan cara yang tak benar. Kongres tidak hanya untuk menjawab berbagai masalah yang telah lama bersarang di tubuh HMI. Namun yang paling pokok dan utama adalah bagaimana memperbaiki dan menambal satu demi satu kebocoran di kapal besar yang bernama HMI ini, kelak mampu melewati gelombang besar serta bertahan di tengah gempuran era globalisasi. Olehnya, mari kita kembalikan khittah perjuangan HMI di rel yang sebenarnya.    

Billahitaufiq wal hidayah 
Yakin Usaha Sampai 

Bogor, 20 November 2015

Popular Posts