Wednesday, July 29, 2020

Study Photography: Black & White Model








































Belajar memotret model di outdoor dengan memanfaatkan cahaya matahari. Pengambilan gambar dilakukan sore hari dengan kondisi low light, tanpa menggunakan flash. 

Editing foto sebatas mengubahnya menjadi Black and White menggunakan Monokrom pada satu aplikasi edit foto. Foto sengaja dibuat BW agar tak menampilkan banyak warna dan terkesan cinematic. 

Foto diambil menggunakan Canon EOS M3, dengan dua lensa: Lensa fix 35mm F1.7 dan Lensa 15-45mm. Hasil gambar lebih tajam dan maksimal. 

-- -- --

Location: Benteng Keraton Buton, Kota Baubau, Sulawesi Tenggara
In frame: (1) Fais, (2) Almin, (3) Ichank

Sunday, July 19, 2020

Ekspedisi Buton Utara


Facebook mengirim kenangan. Kiriman itu berisi foto-foto perjalanan saya ke sisi utara pulau Buton. 

Tahun 2014 silam memang saya pernah melewati jalan rusak dan berlumpur itu, disaat kendaraan kami memasuki wilayah administrasi Kabupaten Buton Utara.

Ketika itu saya ikut dalam satu ekspedisi. Dari Kota Baubau, kami mulai perjalanan pukul 4 subuh. Jaraknya sekitar 147,6 Km, atau 4 jam 34 menit waktu normal. Tapi karena mobil yang kami tumpangi terjebak lumpur, waktu perjalanan sampai delapan jam.

Saya bisa merasakan situasi sulit masyarakat yang tinggal di sepanjang jalan ini. Ketika musim kemarau, mereka dihujani debu. Ketika musim hujan, mereka berjalan di atas lumpur. 

Saya bisa menyaksikan langsung kondisi jalan desa-desa di wilayah ini, terisolir dan memprihatinkan. Padahal sudah cukup lama daerah itu dibentuk menjadi daerah otonom, Januari 2007. Padahal daerah itu memiliki potensi sumber daya alam yang cukup. Tetapi bagaimana menggerakkan sektor-sektornya kalau akses jalan saja masih susah.





Jalan adalah urat nadi ekonomi. Sekian lama masyarakat Buton Utara tidak merasa nyaman dengan lingkungan, akses jalan tempat tinggal mereka. Sekian lama mereka berjibaku hadapi kubangan lumpur. Sering anak-anak mereka jatuh terpeleset di jalan. Sering baju seragam mereka basah, kotor kena tanah sebelum sampai ke sekolah.

Sudah sekian banyak para pemangku kebijakan duduk manis disinggasana tetapi selalu mendahulukan kepentingan kelompok daripada kepentingan rakyat: petani, nelayan, guru, buruh dan pedagang. 

Saya melihat ketimpangan itu begitu nyata. Pembangunan di daerah masih belum seimbang. Ketika elit dalam hitungan politik mereka tidak menguntungkan, terkadang wilayah itu tidak masuk dalam prioritas pembangunan. 

Dalam waktu dekat Pilkada kembali digelar di Buton Utara, sekitar Desember 2020. Para elit daerah kembali memanasi mesin politik. Saya amati di berbagai platform media sosial, perbaikan infrastruktur jalan kembali menjadi jualan.





Saturday, July 18, 2020

Legenda Bukit Lamando


Ada kisah dari sebuah nama bukit. Ada cerita yang saya temukan dari penuturan seseorang di sana. Sebelumnya tak banyak orang tahu mengenai latar, pemberian nama bukit di desa itu.

Bukit Lamando, orang-orang menyebut kawasan perbukitan itu. Saat ini tengah bersolek untuk mengikuti satu ajang nasional pada Anugerah Pesona Indonesia (API) 2020. Bukit Lamando menjadi salah satu nominasi objek wisata dataran tinggi terbaik di Indonesia. 

Di ajang API 2020, Bukit Lamando akan bersaing dengan sembilan daerah lain, yaitu:  (1) Bukit Holbung Kabupaten Samosir, (2) Bukit Fulan Fehan Kabupaten Belu, (3) Gunung Boga Kabupaten Paser, (4) Gunung Jantan Kabupaten Karimun, (5) Kampung Domba Cinyurup Kabupaten Pandeglang, (6) Puncak Sempur Kabupaten Karawang, (7) Puncak Sosok Kabupaten Bantul, (8) Puncak Tempurung Garden Kabupaten Sarolangun, (9) Taman Langit Tangkeban Kota Pemalang.

Bukit Lamando ingin lebih dikenal lagi, khususnya bagi mereka yang memiliki minat bertualang di alam terbuka. Tapi apakah orang-orang tahu cerita tentang nama bukit itu? Apa orang-orang sudah mengenal kearifan lokal, budaya masyarakat adat Rongi? Apa kita tahu apa saja tradisi, larangan serta adat istiadat dari Masyarakat Hukum Adat (MHA) Rongi di desa Sandang Pangan?

Pemerintah daerah sendiri mungkin belum memiliki arsip tentang sejarah bukit itu. Pemda hanya mencoba menyiapkan tempat itu menjadi kawasan wisata berkelas. Di kontes API 2020, Pemda hanya memasukkan dokumentasi tarian dan pagelaran budaya untuk menambah nilai budaya yang dimiliki daerah.

Sementara ada beberapa tahap yang akan dilalui dalam ajang, pertama sosialisasi dan promosi, kedua polling SMS, dan ketiga pengumuman pemenang. Sosialisasi dan promosi harus begitu masif dilakukan agar masyarakat dapat mengirimkan dukungan mereka melalui SMS. Jika promosi bisa dilakukan dengan baik, bisa saja Bukit Lamando bertengger di tiga besar. 

Keikutsertaan Bukit Lamando dalam ajang API 2020 mestinya membuka banyak peluang dan tak sekedar mengemasnya menjadi kawasan objek wisata, tapi juga bagaimana setiap orang bisa tergugah untuk belajar, menyerap kisah dari setiap tempat yang dikunjungi. Daerah bisa membuat konsep pariwisata dengan menjadikan budaya sebagai objek. Di banyak daerah, strategi pengembangan wisata dibuat dengan konsep berbasis budaya dan kearifan lokal. 

Kita bisa berkaca pada objek-objek wisata di daerah lain yang memikat serta memberi kesan setiap pengunjung. Ada legenda atau cerita sejarah yang kita temukan saat mengunjungi satu tempat wisata. Objek wisata perbukitan di kampung Rongi sendiri punya cerita menarik yang dapat dikisahkan, sehingga kenapa orang-orang menyebut bukit itu dengan nama Lamando. Tidak hanya menjadi cerita, tapi oleh masyarakat adat Rongi, kisah Lamando menjadi syair yang selalu mereka angkat dalam proses ritual adat.  

***

Di tengah proses ritual adat di dalam kawasan benteng Rongi, empat orang perempuan ikut hadir menyaksikan prosesi adat. Masyarakat kampung merasa ganjil, ada keanehan. Orang-orang kampung tak mengenali mereka. Termasuk seorang lelaki yang terus mengawasi mereka.

Lelaki itu adalah Lamando, seorang masyarakat biasa dari kampung adat Rongi. Ia belum terlalu tua, juga belum memiliki istri. Ia begitu penasaran, sekaligus terpesona dengan kecantikan perempuan-perempuan itu. Kulit dan rambutnya tak sama dengan kebanyakan perempuan-perempuan lain di dalam kampung. Ia sangat yakin, mereka bukan orang dalam yang menjadi bagian dari masyarakat adat Rongi. 

Lamando seperti sudah hafal betul semua perempuan yang tinggal di dalam kampung. Ia bisa dengan jelas membedakan, mana orang dalam dan mana orang dari luar kampung. Matanya terus melototi mereka satu per satu. Tetapi perempuan-perempuan itu merasa acuh dan tak menunjukkan rasa takut. Lamando semakin dibuat penasaran. 

Rasa penasaran membuatnya untuk menghampiri mereka. Dalam suasana di mana pusat perhatian semua orang tertuju pada prosesi adat, Lamando berjalan mendekati mereka. Ia mencoba menghujani pertanyaan, bertanya perihal tujuan mereka hadir di situ. 

Tetapi tak ada sepatah katapun keluar dari mulut mereka. Lamando baru sebentar membalikkan badan, ia tiba-tiba tak melihatnya lagi. Orang asing itu menghilang dalam sekejap, bak petir yang menyambar. Mereka hilang di antara kerumunan orang-orang.

Lamando seakan tak percaya dengan apa yang ia alami. Ia semakin penasaran dengan wujud perempuan yang datang di kampungnya. Rasa penasaran membuatnya untuk keluar kampung, melakukan semacam perjalanan spritual untuk mencari para perempuan yang datang tapi tak dalam undangan adat. 

Lamando berjalan seorang diri di dalam hutan adat terlarang (Kaombo), hutan belantara yang masih begitu terawat kelestariannya. Hutan adat yang tak seorangpun berani memotong tangkai pohon sekalipun. 

Hutan itu begitu dikeramatkan. Ada sanksi bagi siapa saja yang melanggar. Ada prosesi adat yang mereka harus ikuti untuk menyatukan pemahaman bersama. Setiap masyarakat hukum adat Rongi tunduk dan patuh terhadap aturan-aturan lembaga adat.

Dalam perjalanannya di dalam hutan, Lamando menyusuri sungai, mengikuti aliran air terjun yang membentang di tengah hutan lebat. Hingga ia tiba di satu tempat, langkah kakinya terhenti, Lamando mendengar suara perempuan sedang asik bermain air, ia lalu menyelidik siapa orang-orang di tempat itu.

Rupanya mereka adalah perempuan yang selama beberapa hari ia cari. Lamando begitu kaget karena melihat tubuh mereka sepenggal berbadan buaya. Sejak awal melihatnya, Lamando memang telah menaruh curiga kalau perempuan-perempuan itu bukanlah makhluk biasa.

Lamando mencoba mencari tahu siapa sesungguhnya mereka. Satu di antara perempuan itu di ambil penutup badannya, selembar kain yang ia simpan di atas batu di tepi sungai. 

Kain yang diambil Lamando lalu dibawa lari sembunyi. Sementara ketiga perempuan jelmaan itu meninggalkan kawannya seorang diri tak berbusana di sungai. Ia tak tahu siapa yang mengambil penutup tubuhnya. Ia tak mungkin bertelanjang, makanya ia terus berada di dalam air dan menutup sebagian badannya dengan kulit dan berwujud buaya.

Perempuan itupun akhirnya berjanji, siapapun yang menemukan kainnya, ia akan menjadikan saudara jika ia adalah seorang perempuan. Tapi jika ia adalah seorang laki-laki, maka ia akan menjadikannya seorang suami. 

Hingga tiba satu waktu, Lamando kembali bertemu perempuan itu. Ia telah berniat mengembalikan kain sarung penutup tubuhnya. Atas janji yang telah dibuat, perempuan itu akhirnya memutuskan untuk menikah dengan Lamando. 

Pernikahan mereka tak berlangsung lama. Lamando tak dapat mempertahankan hubungan keluarga sebab perempuan yang dinikahinya bukanlah perempuan seutuhnya manusia. 

Kekasihnya pergi meninggalkan Lamando setelah janji pernikahan itu telah ia penuhi. Lamando ditinggal pergi oleh perempuan jelmaan yang telah menjadi istrinya. Ia kembali seorang diri dengan perasaan sedih. 

Perempuan itu hanya menitip pesan kepadanya sebelum akhirnya ditinggal pergi: naiklah ke puncak bukit dan panggilah dia dengan teriakan kencang di situ. Ia pasti akan datang menemuinya. 

Bukit itu menjadi tempat Lamando sebagai ruang untuk melepas dahaga rindunya. Bukit itu menjadi tempat beradu kasih bersama istrinya. Setiap kali ingin bertemu, Lamando selalu naik ke puncak bukit. Bukit itu selalu menariknya, memantik kenikmatan romantis.

Hingga kini, namanya begitu melekat dalam ingatan, memori kolektif orang-orang lokal di sana. Tapi tak banyak di antara mereka yang mengetahui kisah di balik nama bukit Lamando. Lamando hanya populer sebagai nama perbukitan, tapi kisahnya tak dikenang oleh generasi-generasi baru, termasuk setiap orang yang berkunjung di kampung adat Rongi, desa Sandang Pangan, Buton Selatan. 

***

Sejak perbukitan itu terkenal dan ramai dikunjungi, desa Sandang Pangan atau kampung adat Rongi menjadi satu destinasi wisata andalan di Kabupaten Buton Selatan. 

Dari pemukiman, jarak ke bukit tidak begitu jauh. Ada sebuah bangunan sekolah berdiri kokoh di lembah itu. Dari benteng kampung adat Rongi, kita bisa melihat dengan jelas gugusan bukit yang membentang luas.

Nampaknya pengaruh luar begitu kuat memberi dampak terhadap pariwisata kita di daerah. Kita tidak hanya sering mengunjungi pantai dan air terjun di waktu libur. Kita mulai mencari spot wisata baru di hutan, gunung atau perbukitan. Kita selalu mencari tempat-tempat baru yang ramai dikunjungi. Bukit Lamando menjadi satu objek wisata Buton Selatan yang mulai ramai dikunjungi. Sayang, tak banyak yang mengenal siapa dia.

 

 


Popular Posts