Friday, July 22, 2016

Pidoano Kuri, Ritual Adat Masyarakat Wabula


ADA saja cara-cara atau kebiasaan-kebiasaan lama yang masih diwarisi secara turun-temurun oleh masyarakat desa. Secara umum, masyarakat desa adalah masyarakat tradisional yang kehidupannya masih banyak dilumuri oleh adat istiadat. Adat istiadat menjadi suatu norma yang mencakup segala konsepsi sistem budaya yang mengatur tindakan atau perbuatan dalam kehidupan. Kehidupan masyarakat desa yang damai dan tenteram menjadi satu penilaian tentang bagaimana cara mereka merawat budaya dengan sungguh-sungguh.

Di pulau Buton Sulawesi Tenggara, sejak ratusan tahun yang lalu ada banyak tradisi yang di wariskan dari para leluhur. Dari sekian banyak tradisi yang di pertahankan itu, diantaranya adalah Pidoano Kuri atau acara adat tahunan masyarakat desa Wabula di Kabupaten Buton Sulawesi Tenggara. Pelaksanaan Pidoano Kuri biasanya dilaksanakan pada bulan Juli atau pasca lebaran Idul Fitri bersamaan dengan pulangnya masyarakat Wabula yang merantau dari berbagai daerah.

Bagi masyarakat Wabula, Pidoano Kuri tidak hanya dilihat sebagai acara tahunan yang wajib dilaksanakan oleh adat, Pidoano Kuri juga tidak hanya sebatas menjalankan serangkaian ritual-ritual adat agar tak hilang ditelan zaman, namun Pidoano Kuri lebih pada rasa syukur masyarakat desa Wabula atas panen yang didapat. Melalui acara adat Pidoano Kuri, ada banyak makna yang tersimpan dalam setiap ritualnya. Masyarakat percaya, acara adat tahunan Pidoano Kuri selama ini telah menjadi pengikat demi memperkuat kekeluargaan mereka di desa, ritual Pidoano Kuri juga lebih mendekatkan mereka pada Maha Pencipta, serta bagaimana masyarakat bisa menjaga sumber daya alam dan memanfaatkannya secara berkelanjutan. Melalui Pidoano Kuri, hasil jerih payah masyarakat bisa dinikmati secara bersama-sama. Masyarakat percaya, munculnya wabah penyakit, terjadinya gagal panen, atau datangnya musibah itu di sebabkan oleh masalah dalam menjalankan adat. Misalnya ketika Parabela (kepala adat) telah menyimpang dari norma kelembagaan adat.  

***

ANGIN di malam itu bertiup cukup kencang. Dari luar Galampa (tempat pertemuan), saya menyaksikan seluruh pemuka adat duduk bersila melingkari ruangan bangunan itu. Dalam pejam, mereka tertunduk seraya memanjatkan doa. Malam itu hening, hanya ada suara-suara bisik yang terdengar dari dalam Galampa, namun suara itu semakin jelas ketika doa-doa terdengar ramai diucapkan. Masyarakat mulai berdatangan dengan membawa Talang (wadah) yang sudah di isi dengan aneka jenis makanan tradisional.



Di hadapan para tetua adat, tersaji aneka jenis makanan yang telah disiapkan oleh para perempuan-perempuan di desa. Sebelum santap bersama, para tetua adat melakukan doa bersama sebagai ucapan syukur dan permohonan agar hasil pertanian dan perikanan selalu diberi keberkahan dan keberlimpahan di tahun-tahun berikutnya.

Usai santap bersama, acara kemudian dilanjutkan dengan tarian. Tarian dimalam itu hanya dilakukan oleh para tetua adat laki-laki, bergantian tak henti hingga subuh menjelang terbitnya fajar. Usai shalat subuh, pagi itu tarian kembali dilanjutkan. Kali ini tak hanya tetua adat laki-laki yang menari, namun perempuan-perempuan di desa itu juga ikut menari bersama.

Gandha kembali di tabuh, terdengar bertalu-talu mengiringi tarian. Tari Linda mengayun lamban mengikuti dentuman Ghanda dan nyanyian para tetua adat. Tari Linda digambarkan sebagai asal usul kehidupan manusia. Selain tari Linda, tari Mangaru memiliki daya tarik tersendiri, sebab para penari menunjukkan jurus-jurus silat, terjadi duel dan saling serang menggunakan tombak, perisai, dan keris yang terhunus. Dahulu tarian ini adalah simbol perlawanan dalam menjaga serangan-serangan pihak luar yang mencoba mengganggu pertahanan dan keamanan teritorial kesultanan Buton.

Bagi masyarakat Wabula, acara adat dilakukan dua kali dalam setahun. Pertama, acara adat yang diselenggarakan di bulan Februari. Masyarakat Wabula mengenalnya dengan acara adat Mata’ano Galampa, dan yang ke kedua di bulan Juli ini adalah ritual adat Pidoano Kuri. Acara adat ini dimulai dengan Dupa’ayano ganda atau pembukaan dengan memukul gendang.



Ada semacam larangan yang dibuat oleh lembaga adat dan harus dipatuhi oleh seluruh masyarakat desa Wabula. Misalnya ada larangan untuk mengadakan pesta atau acara-acara dengan membunyikan gendang dan memainkan alat musik. Bentuknya seperti diberlakukan “buka-tutup” yang memang sudah diatur dalam adat. Di bulan Februari, kegiatan adat berlangsung selama tiga hari, acara adat ini dikenal juga dengan Mata’ano Galampa sekaligus menjadi awal kalau selama beberapa bulan masyarakat dilarang menabuh Ghanda (alat musik tradisional) dan membuat acara-acara besar sampai menunggu waktu dibukanya kembali acara adat berikutnya di bulan Juli. Acara adat ini dikenal dengan Pidoano Kuri.

***

DESA Wabula berada di wilayah pesisir selatan pulau Buton. Pantainya menghadap langsung dengan laut Banda. Kegiatan menangkap ikan adalah salah satu sumber mata pencaharian mereka dilaut. Masyarakat membuat Keramba di sepanjang pantai. Ketika air laut surut, kita bisa berjalan sejauh satu kilometer. Dalam mengelola sumber daya alam, masyarakat masih memegang erat pada kebiasaan-kebiasaan dalam adat. Seperti misalnya larangan dalam mengambil ikan pada waktu-waktu tertentu. Ketika laut masih dalam status Ombo, masyarakat dilarang untuk mengambil hasil laut.

Adat sangat berperan mengatur masyararakat dalam mengakses sumber daya alam. Modelnya adalah kepemilikan bersama. Namun dalam pemanfaatannya kembali pada aturan-aturan adat. Parabela (kepala adat) menjadi aktor yang berperan penting dalam menegakkan hukum adat. Parabela bersama Imam dan Kepala Desa juga saling mengisi. Mereka secara bersama merumuskan suatu kebijakan melalui rapat-rapat musyawarah adat. Parabela adalah seorang yang dipercaya dan ditunjuk berdasarkan silsilah garis keturunan. Dalam menjalankan tugasnya, Parabela bersama Imam dan kepala desa saling bersinergi. Melihat karakteristik masyakarat desa Wabula, mereka sangat tunduk pada hukum-hukum adat.



Adat begitu kental di masyarakat, misalnya saja ketika ada dua belah pihak yang bertikai. Maka permasalahan tersebut diserahkan ke adat, Parabela bersama perangkatnya melakukan musyawarah guna mencari jalan keluar atas permasalahan diantara mereka. Untuk mencari siapa benar dan siapa salah, maka perangkat adat bersama imam melakukan ritual adat, atau di kenal dengan Kaleo-leo untuk membuktikan kebenaran diantara mereka. Setelah dilakukan musyawarah adat, kedua orang yang berseteru itu lalu di bawa ke laut untuk dimandikan. Mereka tak hanya disaksikan oleh para pemuka adat dan imam, tapi seluruh masyarakat desa ikut menyaksikan prosesi Kaleo-leo demi mencari tahu siapa sebenarnya yang telah menyembunyikan kesalahan itu. Dalam ritual Kaleo-leo, keduanya ditenggelamkan secara bersamaan, jika ada salah satu diantaranya yang bersalah, maka ia tak tahan menahan pedihnya air laut. Tubuhnya serasa ditusuk-tusuk ketika terkena air laut.  Sementara bagi yang tidak bersalah, ia bisa bertahan dalam air laut.

***

DESA Wabula menjadi salah satu desa yang menjadi fokus perhatian pemerintah daerah dalam mendorong sektor pariwisata di Kabupaten Buton. Umumnya, rumah-rumah di desa ini masih berbentuk rumah panggung namun sudah ditunjang dengan fasilitas yang cukup memadai, seperti sarana air bersih, listrik dan jaringan telepon seluler. Sepanjang pantainya ditumbuhi pohon kepala dan dibangun beberapa wale-wale atau semacam pondok-pondok tempat peristrahatan nelayan.   

Potensi desa Wabula untuk dijadikan sebagai desa adat sangat memungkinkan bila dilihat dari karakteristik masyarakatnya yang masih berpegang pada hukum-hukum adat. Peran kelembagaan adat tidak hanya menjaga harmonisasi hubungan diantara mereka, namun juga mempertebal iman, hubungan antara manusia dan Maha Pencipta, atau hubungan antara manusia dan alam. Nah, pada titik ini mestinya pemerintah daerah tidak hanya gencar menjual desa Wabula sebagai desa adat. Tetapi mesti ada satu bentuk pengakuan secara yuridis untuk mengesahkan desa Wabula sebagai desa adat.



Buton, 22 Juli 2016 

Popular Posts