Sunday, October 30, 2016

Pulau Pari, Nasibnya Kini

Sumber: foto yadilaode
Suatu malam di Muara Angke Jakarta Utara. Mobil kami perlahan memasuki jalan ke dermaga penyebrangan Kepulauan Seribu. Kami di sambut bau amis dari darah ikan yang menyengat dan air laut yang masuk menggenangi ruas jalan. Benar, permukaan air laut sudah rata dengan darat. Sepanjang bibir pantai berjejer rumah-rumah kumuh. Di areal dermaga, para pedagang kaki lima mencoba bertahan dengan membuka lapak. Saat malam begini, mereka hanya membuka kelambu dan tidur sepanjang malam bersama keluarga. Dingin, nyamuk dan bau amis darah ikan sepertinya akrab bagi mereka. Meskipun kondisi ini sangat kontras dengan kehidupan mereka yang hidup nyaman di bangunan berpuluh-puluh lantai itu. 

"Beli rokoknya bu..."suaraku sedikit kencang saat membangunkan pedagang itu. Ibu itu sudah sangat terlelap, saya harus berulang-ulang memanggilnya, saya harus menunggu beberapa lama di depan lapak dagangannya, sementara sang ibu masih memeluk erat sang buah hati yang kelihatan dingin. Ibu itupun akhirnya bangun dan memberikan sebungkus rokok. 

Kapal nanti beroprasi pukul delapan pagi. Malam itu kami harus nginap di terminal dermaga. Mencari tempat yang pas untuk merebahkan badan, kursi dan meja menjadi tempat pembaringan malam itu. Meski serangan nyamuk bertubi-tubi, meski hidung tak bersahabat dengan udara disekitar. Mungkin butuh beberapa lama bisa beradaptasi dengan lingkungan, mungkin sama dengan mereka-mereka yang sejak awal tinggal disekitar sini. Malam terasa begitu lama, berharap pagi dan bergegas pergi dari tempat ini. Rasanya mata ini tak sanggup melihat kehidupan yang begitu jauh dari kata layak. Pagi pun tiba, namun matahari kurang begitu jelas, suhu udara pagi juga terasa panas. Jangan harap, pagi di ibukota akan sama dengan pagi di desa-desa. Pagi di ibukota berkabut asap pabrik.

Dan akhirnya, loket penjualan tiket di buka. Kami memesan tiket untuk empat orang. Tiket di hargai empat puluh ribu rupiah sekali perjalanan. Dengan kapal Kerapu 3, speedboat ini melaju kencang, memakai dua mesin berkekuatan 300 pk. Tak sampai dua jam, kami tiba di pulau Pari, salah satu pulau di Kepulauan Seribu Kabupaten administrasi di Provinsi DKI Jakarta. Ibukota Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu ada di pulau Pramuka. Hanya ada dua kecamatan di Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu, yakni Kecamatan Kepulauan Seribu Utara dan Kecamatan Kepulauan Seribu Selatan. Kecamatan Kepulauan Seribu Selatan memiliki tiga kelurahan yaitu Kelurahan Pulau Tidung, Kelurahan Pulau Pari, dan Kelurahan Pulau Untung Jawa. Kecamatan Kepulauan Seribu Utara juga memiliki tiga kelurahan, yaitu Kelurahan Pulau Kelapa, Kelurahan Pulau Harapan, dan Kelurahan Pulau Panggang.

Sumber: foto yadilaode
Tujuan kami adalah ke pulau Pari. Pulau Pari sendiri hanya memiliki 1 RW dan 4 RT. Ibukota kelurahan ada di pulau Lancang Besar. Pulau ini berada diantara gugusan pulau lain. Keindahan alam pantainya menjadi daya tarik untuk di kunjungi. Kali ini kami datang bukan sebagai wisatawan. Sama ketika kapal kami sandar di dermaga pulau Pari, para Guide mencoba menawarkan tempat tinggal. Rumah-rumah mereka dijadikan homestay yang di persewakan. Biasanya setiap libur tiba, pulau Pari kebanjiran pengunjung, hampir semua homestay terisi. Ada tiga pantai yang menjadi mangnet pulau Pari, yakni pantai Pasir Perawan, Pantai Kresek, dan Pantai Bintang. Pantai-pantai ini untuk sementara masih dikelola oleh masyarakat, tapi tidak menutup kemungkinan akan diambil alih oleh pihak swasta. Perusahaan masuk dalam rangka mengelola kawasan wisata. Hotel-hotel akan dibangun diatas tanah yang mereka beli. 

Pemerintah daerah awalnya menyepakati bahwa kawasan Pulau Pari adalah kawasan pemukiman warga. Sebagaimana Perda RTRW Provinsi DKI Jakarta No. 6 Tahun 1999, bahwa pulau Pari difungsikan untuk perumahan. Dahulu, sumber daya laut pulau Pari masih dapat dimanfaatkan dengan baik oleh masyarakat. Seperti misalnya rumput laut dan ikan. Masyarakat masih bisa memenuhi kebutuhan hidup dari bertani rumput laut dan mencari ikan, "Dulu rumput laut masih bisa di ekspor, sekarang mah sudah tidak bisa lagi, rumput laut banyak yang mati, itu tuh sejak perusahaan masuk, sejak beberapa pulau disini di reklamasi, ditambah lagi reklamasi teluk Jakarta, batu-batu karang disekitar pulau diambil untuk reklamasi. Nah, darisitu tuh hasil tangkapan kita berkurang, rumput laut sudah tidak jadi lagi. Makanya lebih baik menjadi guide dan menyewakan rumah-rumah kami". Ujar seorang warga di pulau Pari.

Perubahan ini tidak hanya terjadi dalam masyarakat, namun perubahan juga terjadi pada lingkungan, dimana keanekaragaman hayati telah di rusak. Industri pariwisata memang menggiurkan, dimana keuntungan bisa didulang dari jumlah pengunjung yang datang. Tapi apakah sektor ini bisa menguntungkan masyarakat pulau atau justru menjadi ancaman atas kerusakan ekologi dan keberlanjutan hidup manusia. Kita tunggu catatan selanjutnya.

Monday, October 17, 2016

Konservasi Kawasan Ekosistem Leuser Berbasis Kearifan Lokal

APA yang menjadi ancaman atas berkahirnya kehidupan di planet yang bernama bumi ini adalah kerusakan hutan yang menjadi “paru-paru” pada sistem pernapasan Bumi. Paru-paru yang menjadi sistem pernapasan dengan menyerap karbondioksida yang membahayakan manusia dan menghasilkan oksigen yang diperlukan manusia. Hutan menjadi rumah bagi segala satwa, tetumbuhan, dan sumber penghidupan manusia. Nah ketika deforestasi hutan terjadi dimana-mana, maka proses pernapasan Bumi menjadi sesak, bahkan kehilangan denyut dan mati. Pada titik itu, kehidupan bisa dikatakan berakhir. Kerusakan hutan alam menjadi ancaman serius bagi keberlangsungan hidup kita di planet Bumi ini. Ketika hutan kita lenyap, maka tak ada lagi hubungan antara makhluk hidup dengan lingkungannya. Hutan bagian dari ekosistem, yang memberi suatu tatanan kesatuan secara utuh dan menyeluruh antara segenap unsur lingkungan hidup yang saling mempengaruhi.  Ironinya, terjadinnya kerusakan hutan adalah akibat dari ulah manusia itu sendiri.

***

INDONESIA merupakan pemilik hutan tropis ketiga di dunia dengan luas kawasan mencapai 130,68 juta hektare. Kondisi ini juga menempatkan Indonesia sebagai salah satu negara dengan keanekaragaman hayati tertinggi di dunia. Data FAO menyebutkan, hutan Indonesia secara total menyimpan 289 gigaton karbon dan memegang peranan penting menjaga kestabilan iklim dunia. Meski demikian, laju deforestasi hutan juga begitu cepat membuat luas hutan berkurang. Tercatat, setiap tahun ada 450 ribu hektare hutan yang mengalami degradasi dan deforestasi. Kerusakan dan ancaman paling besar terhadap hutan alam kita adalah penebangan liar, alih fungsi hutan menjadi perkebunan, kebakaran hutan, perburuan satwa liar, eksploitasi hutan yang tidak ramah lingkungan, ekspansi pemukiman, industri, serta kegiatan ekstrasi lain yang menyebabkan terganggunya keseimbangan ekosistem hutan dan lingkungan disekitarnya. 

Sebagaimana hutan-hutan lain di Indonesia, luas total tutupan hutan Indonesia dari data dari Forest Watch Indonesia (FWI), Papua merupakan daerah yang memiliki proporsi tutupan hutan terluas di Indonesia, dengan presentase 38,72 persen, di ikuti Kalimantan 31,02 persen, Sumatera 13, 39 persen, Sulawesi 10,25 persen, Maluku 4,26 persen, Bali-Nusa Tenggara 1,34 persen dan Jawa 1,02 persen. Tutupan hutan sebagai salah satu indikator kondisi hutan terus berkurang sejalan dengan intervensi dan eksploitasi yang dilakukan oleh manusia. Satu dari sekian kawasan hutan yang di lindungi di Indonesia adalah Kawasan Ekosistem Leuser (KEL) yang terletak di dua provinsi, yakni Aceh dan provinsi Sumatera Utara. Oleh UNESCO, pada tahun 2004 Kawasan Ekosistem Leuser dinyatakan sebagai Situs Warisan Dunia. Kawasan ini telah menjadi rumah dari 105 spesies mamalia, 382 spesies burung dan setidaknya 95 spesies reptil. Kawasan Ekosistem Leuser selain menjadi ‘spon raksasa’ sebagai daerah reasapan air, kawasan ini juga masih dihuni spesies-spesies langka seperti Harimau, Orang Utan, Gajah, dan Macan Tutul. Namun keberadaan hewan-hewan ini semakin terancam seiring dengan perburuannya yang begitu masif. 

Melihat kerusakan yang terus terjadi, pemerintah melalui Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 memberikan kewenangan kepada pemerintah Aceh dalam hal pengelolaan dan pelestarian lingkungan. Kemudian dua tahun setelahnya pemerintah menetapkan Kawasan Ekosistem Leuser  sebagai Kawasan Strategis Nasional melalui Peraturan Pemerintah (PP) nomor 26 Tahun 2008 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional. Meski begitu, terjadi tarik-menarik kepentingan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Peningkatan status kawasan menjadi Kawasan Strategi Nasional rupanya tak disambut baik oleh pemerintah daerah Aceh. Tepatnya di tahun 2013 lalu, ketika Qanun atau peraturan daerah yang mengatur penyelenggaraan pemerintah di Provinsi Aceh ditetapkan. Pemerintah daerah Aceh kemudian menetapkan Qanun atau peraturan daerah tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Aceh tahun 2013-2033, dengan sengaja tidak memasukan KEL dalam RTRW Aceh. Padahal status KEL sudah ditingkatkan menjadi Kawasan Strategis Nasional sebagaimana yang tertuang dalam PP No. 26 tahun 2008. Alih-alih pemerintah daerah dengan tidak memasukan KEL dalam desain rencana tata ruang Aceh tentu patut dipertanyakan. Ironisnya lagi, Peraturan Daerah (PERDA) tersebut dibuat tidak merujuk dan mengabaikan peraturan yang telah ditetapkan oleh pemerintah pusat. Singkatnya, Qanun RTRW Aceh melanggar sejumlah Undang-Undang dan berpotensi merusak hutan di Kawasan Ekosistem Leuser. Potensi kerusakan hutan yang dimaksud adalah kewenangan pemerintah daerah dalam hal pengelolaan hutan serta pemberian izin kepada investor tambang, izin perkebenunan kelapa sawit serta izin pengolahan kayu di dalam Kawasan Ekosistem Leuser. Pastinya, ketika KEL tidak memiliki kekuatan hukum, maka akan membuka keran sejumlah pihak untuk melakukan eksploitasi lingkungan hidup. Pada titik ini, terjadilah deforestasi hutan dan kehancuran ekosistem.

***

PERTUMBUHAN jumlah penduduk memberi tekanan besar pada bumi, pola konsumsi manusia semakin berlebih serta tuntutan manusia terhadap lingkungan semakin besar dan menimbulkan kerusakan alam. Maka, kehadiran manusia akan menjadi ancaman terhadap jaringan kehidupan bumi. Rupanya tanpa kita disadari, manusia sudah melampaui daya dukung biosfer dengan memberi beban lebih pada kapasitas metabolisme planet untuk menyerap, memperkaya, dan mendaur ulang.

Alam sudah menunjukkan tanda-tanda kerusakan itu kepada kita. Ketika tuntutan manusia terhadap lingkungan semakin besar maka dampaknya adalah terjadi degradasi tanah, polusi, hilangnya keanekaragaman hayati, serta lenyapnya hutan dari permukaan bumi. Tanda-tanda lain ketika alam menunjukkan batas-batasnya yakni menyusutnya cadangan air. Di beberapa daerah masyarakat semakin kesulitan untuk mendapatkan air bersih, gelombang panas mulai terjadi, turunnya populasi hewan, dan berkurangnya hasil panen yang kini mulai dirasakan para petani dan nelayan-nelayan kita.

Masyarakat perkotaan terlalu bangga akan gaya hidup material mereka. Kebiasaan konsumsi yang di lakukan orang-orang kota ini meminta ongkos yang sangat besar dari lingkungan. Pemakaian energi secara berlebihan, dibukanya tambang, limbah pabrik, asap kendaraan, gedung-gedung mewah, dan hal-hal lain membuat atmosfer, perairan pesisir, sungai, hutan, dan tanah akan mengalami masalah besar. Sistem daya dukung bumi ini beresiko akan dirusak oleh semakin tingginya gelombang konsumsi manusia. Bahayanya, orang-orang desa mulai mengidamkan gaya hidup orang-orang kota.
Mungkin kondisi inilah yang oleh Stiglitz disebut sebagai “Kutukan Sumber Daya Alam”. Sebuah kondisi ironis yang timbul dari melimpahnya kekayaan SDA yang justru malah menciptakan kehancuran. Mengapa Stiglitz menyebut sumber daya alam yang melimpah dengan “Kutukan Sumber Daya Alam”? alasannya adalah pemerintah terlalu mengandalkan sumber daya alam bahkan dalam pengelolaannya menyerahkannya pada insvestor. Pemerintah terlanjur terjebak dalam lubang globalisasi dan tidak mampu mengendalikan kuasa pasar bebas untuk mengeruk komoditas yang dihasilkan SDA. Sehingga pemerintah tidak mampu melakukan konservasi dan recovery. Menurut Stiglitz (2007), hal ini merupakan akibat kegagalan globalisasi. Lebih lanjut, dengan sangat tajam Stiglitz menggambarkan apabila ada banyak berlian di tengah ruangan, setiap orang di dalamnya akan berusaha mengambilnya. Orang yang paling kuat mempunyai kesempatan besar untuk berhasil, dan tidak ingin membagi dengan yang lain kecuali apabila mereka dipaksa harus melakukannya.
Kasus yang terjadi di Aceh dan Sumatera Utara tidak ubahnya demikian. Kekayaan sumber daya alamnya mengundang banyak orang untuk berebut menguasainya. Berbagai cara dilakukan untuk dapat meraup sebanyak-banyak hasil alamnya. Semangat inilah yang terkandung dalam kapitalisme yang membonceng globalisasi ekonomi. Ada banyak cara yang perlu kita lakukan agar keberlanjutan menjadi suatu kenyataan. Kita bisa memupuk suatu etika pribadi untuk bersikap sederhana secara material yang disertai dengan kesadaran akan lingkungan. Secara praktis, ini bentuk komitmen kita agar lebih sedikit dalam mengkonsumsi bahan-bahan yang merusak lingkungan. 

Sebagaimana kita lihat masyarakat adat di pulau Kakorotan, Kabupaten Talaud, Sulawesi Utara. Mereka melakukan konservasi melalui tradisi Eha dan Mane’e. Eha dan Mane’e adalah pengelolaan sumber daya alam berbasis kearifan lokal (local wisdom). Eha dan Mane’e adalah suatu bentuk pengelolaan sumber daya alam dengan mempertimbangkan dampak yang akan terjadi di masa akan datang. Ketika sumber daya alam di eksploitasi secara berlebihan, maka akan berujung pada terjadinya tragedy of the common. Sejak dulu, masyarakat Kakorotan memiliki mekanisme dalam memanfaatkan dan melestarikan sumber daya alam secara berkelanjutan. Mereka merumuskan aturan dalam pemanfaatan sumber daya alam bersifat common property. Aturan adat tersebut di pahami sebagai bentuk kearifan lingkungan yang harus di jalankan dalam tata nilai kehidupan. Hal itu telah menyatu dalam bentuk agama, budaya, dan adat istiadat. Sebagaimana Keraf (2002), bahwa semua bentuk pengetahuan, keyakinan, pemahaman atau wawasan serta adat kebiasaan atau etika yang menuntun perilaku manusia dalam kehidupan di dalam komunitas ekologis. Lembaga adat sangat berperan dalam mengatur aspek-aspek kehidupan masyarakat desa. Mulai dari sistem kepemilikan lahan, pengelolaan laut dan pesisir, sampai pada urusan pernikahan. Meski demikian, lembaga adat tidak berjalan sendiri. Pemerintahan desa dan lembaga gereja (dewan jemaat) saling bersinergi dalam menjaga tatanan sosial termasuk menjalankan dan mematuhi larangan-larangan yang telah disepakati dalam Eha dan Mane’e.

Tidak hanya di Pulau Kakorotan, di beberapa daerah lain juga bentuk pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya alam secara kearifan lokal juga dilakukan secara turun-temurun. Misalnya, Awig-Awig di Lombok dan Bali yang memuat aturan adat dalam berinteraksi dan mengelola sumber daya alam dan lingkungan, Kapamalian di Banjar di Kalimantan Selatan yang memuat aturan-aturan (pantangan) dalam pengelolaan lingkungan misalnya larangan membuka hutan keramat, Sasi di Maluku yang juga memuat aturan adat dalam mengelola lingkungan termasuk pemanfaatan sumber daya alam, atau Panglima Laot di Aceh, yang mengatur tata cara penangkapan ikan di laut (meupayang).

***

SALAH satu yang menjadi hak masyarakat adat adalah mempertahankan identitas kultural demi generasi selanjutnya serta memperoleh akses hak atas tanah dalam mengelola sumber daya alam. Namun di negara kita, peraturan hukum belum memberi ruang bagi masyarakat adat dalam mengelola hutan sebagai sumber mata pencaharian mereka. Pada titik ini, posisi negara berada dalam kepentingan korporasi dan kapital. Hukum adat dibenturkan dengan hukum negara demi kepentingan masuknya investor.

Kebiasaan masyarakat adat dalam memanfaatkan hutan secara tradisional adalah salah satu cara untuk menjaga hutan dari kegiatan eksploitatif yang berlebihan. Banyak fakta di negara kita, misalnya ketika ekspansi perkebunan kelapa sawit menggerus luasan hutan alam yang selama ini menjadi penyangga bagi ekosistem alam dan ketahanan pangan bagi masyarakat adat yang berada didalamnya. Terjadinya konversi lahan menjadi areal perkebunan kelapa sawit mengakibatkan sejumlah areal pertanian tanaman pangan masyarakat lokal mengalami kerusakan serius. Bagi masyarakat lokal yang di dalam dan sekitar hutan, deforestasi dan degradasi hutan sangat berdampak pada seluruh aspek kehidupan.

Bagi masyarakat adat disekitar maupun didalam hutan, kehilangan hutan adat menyebabkan masyarakat tidak mampu lagi mengatur hidupnya sendiri. Kehilangan hutan adat mereka salah satunya karena ekspansi perkebunan kelapa sawit semakin meluas. Mau tak mau, masyarakat lokal yang tadinya masih dapat mengelola hutan untuk bertahan hidup, kini tak lagi dapat mengolah lahan pertanian dan terpaksa harus bekerja pada perusahan-perusahan kelapa sawit. Kenyataan lain yang tidak dapat dipungkiri ketika kekuasaan para pemodal lebih berkuasa ketimbang para pejabat setempat yang memberi izin untuk membuka lahan perkebunan kelapa sawit. Praktek-praktek buruk seringkali diperlihatkan oleh mereka, seperti adanya kriminalisasi, pengambilan paksa lahan masyarakat, penggusuran perkampungan dan masih banyak lagi praktek-praktek lain yang merampas hak-hak manusia.

***

PERJUANGAN masyarakat dalam menjaga hutan di Kawasan Ekosistem Leuser bukan baru kali ini, namun sudah terjadi jauh sebelum undang-undang itu lahir, jauh sebelum Perda pemerintah Aceh tentang RTRW itu ditetapkan. Sekitar tahun 1920 silam, para tetua adat lebih dulu berkumpul dalam suatu musyawarah untuk menyelamatkan KEL. Mereka telah memiliki pandangan bahwa suatu saat kawasan itu benar-benar akan menjadi surga terakhir bagi satwa di Sumatera. 

Oleh karena itu, "Mengingat pentingnya keberadaan ekosistem dan keanekaragaman hayati, maka sudah seharusnya pemerintah memberikan perlindungan serta payung hukum yang bisa menjamin keberlangsungannya dimasa depan. Di Aceh, Kawasan Ekosistem Leuser (KEL) adalah mata rantai uama bagi lingkungan sekitarnya. Upaya untuk melindunginya harus ditempuh dengan tetap memasukkannya dalam perencanaan ruang, serta tidak menurunkan statusnya karena pertimbangan pragmatis."




Monday, October 10, 2016

Sepenggal Kisah Petani Kopi dalam Kronik Agraria

Ilustrasi (Sumber: food.detik.com)
Seperti hari-hari lain, segelas kopi ku sesap dengan pelan dan hati-hati. Dengan pelan biar terasa nikmat, dengan hati-hati agar lidah tak hangus. Pagi ini bersama segelas kopi dan catatan dari A.N. Luthfi, Razif, M. Fauzi tentang Kronik Agraria Indonesia.

Catatan ini sedikit menyinggung nasib para petani kopi di Pasundan Jawa Barat sekitar tahun 1720 silam. Dimana VOC mewajibkan warga Pasundan untuk menanam kopi dengan jumlah dan harga yang sudah ditentukan. Tak hanya itu, cara kerja petani kopi pun dipaksa dan mendapat perlakuan kasar dari VOC. Nanti sekitar tahun 1870, mereka melakukan perlawanan dan tanam paksa kopi pun dihentikan.

***

Tentang nasib petani kopi dizaman itu, perjalanan mereka penuh dengan kegetiran dan tekanan dari rezim VOC yang melakukan penguasaan tanah. Politik agraria yang lahir dari rezim VOC, Kolonial Hindia-Belanda, Orde Lama, Orde Baru, hingga pemerintahan kita sekarang adalah cerminan sikap dan cara mereka menghadapi pertumbuhan kapitalisme.

“Agraria adalah akibat, Kapitalisme adalah Sebab”. Saya kemudian menatap tajam cairan di dalam gelas, ini berisi kopi yang menurutku tak hanya terbatas pada frame warna hitam, ini tak segampang kita menghabiskan cairan kopi lalu meninggalkan ampas dalam gelas, atau duduk berjam-jam disudut warung kopi dan menjadi pengamat politik amatiran di kampung-kampung, ini diluar kebiasaan hari-hari kita bersama kopi, bahwa ada jejak atau peristiwa yang memilukan dari para petani kopi kita, yang dulu dipaksa dan hak-hak mereka dirampas. 

Persoalan agraria akan menjadi persoalan serius ketika kita telah memisahkan tanah dari ikatan sosio-kulturalnya dan menempatkan tanah sebagai barang komiditi. Ketika memasukan tanah dalam mekanisme pasar, menjadikan bahan dagangan, ditawar-tawar, dimonopoli, maka akan melahirkan guncangan dalam masyarakat, baik secara sosial, ekonomi, politik, ekologi, dan budaya. 

Dari sepenggal kisah petani kopi dalam kronik agrarian Indonesia, membawa saya untuk memahami perjuangan para petani kopi saat itu. Perjuangan itu tak hanya untuk mendapatkan hak-hak mereka atas tanah, tapi mereka juga melakukan perlawanan dan berhasil keluar dari belenggu VOC.  
***

Segelas kopi ini tak hanya berisi air dengan komposisi gula dan kopi hitam. Tapi lebih dari apa yang ku sesap pada setiap tetesnya. Saatnya untuk menuntaskan tugas-tugas hari ini. 

Monday, October 3, 2016

Tradisi Maritim Orang Batuatas

perahu Lambo (Boti) di Pulau Batuatas

Tradisi bahari masyarakat Batuatas hingga saat ini masih terus berlangsung. Layar-layar perahu mereka masih terus terkembang mengarungi laut, menyusuri pulau-pulau nusantara, hingga melalui setiap gelombang di laut lepas. Dari generasi ke generasi, tradisi berlayar masyarakat Batuatas tidak lain hanyalah ingin membuka jalur-jalur pelayaran, sebagai penyambung antar pulau, menjadi jasa kapal pengangkut, serta dalam rangka mempertegas identitas mereka sebagai masyarakat maritim yang telah berlangsung secara turun temurun.

Dalam perkembangannya, pelayaran yang dilakukan oleh masyarakat Batuatas telah bergeser ke wilayah Timur Indonesia. Misalnya, sejak dibukanya tempat penampung di Ternate dan Bitung. Maka pelayaran tidak lagi terkosentrasi ke pulau Jawa. Masyarakat Batuatas mulai memfokuskan jalur pelayaran ke wilayah Sulawesi Utara dan Maluku. Selain karena alasan akses pelayaran dekat dengan pulau Batuatas di Kabupaten Buton Selatan Provinsi Sulawesi Tenggara, juga harga jual barang tidak jauh berbeda dengan harga di Jawa. Jika pelayaran ke Gresik Jawa Timur membutuhkan waktu paling cepat dua puluh hari atau paling lama satu bulan, maka pelayaran ke Ternate atau Bitung hanya membutuhkan waktu sepuluh hari lamanya. Komoditas yang paling banyak di perjualbelikan yakni Kopra, Cengkeh, dan Teripang Laut.

***

Siang itu, matahari terasa sejengkal diatas kepala, padahal waktu masih menunjukkan pukul 08.00 pagi waktu setempat. Sepagi itu, matahari terasa memanggang sekujur tubuh. Tadinya, dari sinar mentari pagi itu saya ingin menyerap vitamin untuk tubuh. Namun tak mungkin kurelakan kulit ini gosong begitu saja. Panas menyengat di pulau Batuatas itu terlihat jelas dari topografi pulau yang didominasi batu dan pantai. Apalagi daerah ini kering dengan curah hujan sangat rendah.

Untuk kebutuhan sehari-hari dalam rumahtangga, sebagian masyarakat masih mengandalkan air hujan. Bak-bak penampung air itu dibuat besar untuk waktu beberapa lama. Ada beberapa sumber mata air dan dibuat sumur yang juga dimanfaatkan masyarakat, hanya saja airnya terasa payau. Mesin desalinasi bantuan dari pemerintah hanya beberapa tahun beroperasi. Setelah itu, mesin tidak difungsikan lagi karena rusak. Beginilah nasib desa yang berada dipulau-pulau terluar dan jauh dari akses kota. Setiap bantuan yang berikan dan diharapkan bisa menjawab persoalan atas kebutuhan mereka justru hanya sesaat dirasakan. Alat atau mesin yang diberikan hanya mampu dioperasikan beberapa lama, setelah itu rusak dan menjadi barang rongsokan.
 
aktivitas masyarakat di dermaga Batuatas

Masalah teknis itu tidak hanya terjadi di pulau Batuatas, namun juga beberapa pulau lain di pulau Buton yang sempat ku kunjungi. Setelah ku telusuri, kesulitannya jika terdapat alat mesin yang rusak, mereka sulit untuk menggantinya, sebab alat-alat yang dicari tidak mereka dapatkan di toko-toko kota terdekat. Seperti halnya mesin desalinasi di pulau Batuatas. Cukup lama mesin itu tak digunakan lagi, sebab satu instalasi pipa mesinnya pecah sehingga air tidak dapat mengalir dengan baik ke mesin lain. Kata seorang bapak yang dipercaya menangani langsung mesin itu, alatnya harus dipesan keluar daerah. Ia sudah pernah menghubungi pihak teknisi yang pernah memasang mesin itu. Namun belum ada jawaban dari mereka. Bukan sesuatu yang baru dan aneh, segala keterbatasan di desa-desa terluar seperti itu menjadi faktor yang cukup berpengaruh dalam menentukan kebiasaan-kebiasaan masyarakat itu sendiri.

Pulau Batuatas merupakan salah satu wilayah kecamatan yang berada di Kabupaten Buton Selatan Provinsi Sulawesi Tenggara. Kecamatan Batuatas memiliki luas wilayah 7,18 Km2  , atau terdapat 7 desa yang kini dihuni 10.587 jiwa (tahun 2014), yakni: Desa Batuatas Liwu, Desa Batuatas Barat, Desa Tolando Jaya, Desa Batuatas Timur, Desa Wacuala, Desa Taduasa, dan Desa Wambongi. Ditahun 2014, jumlah penduduk laki-laki lebih besar dibandingkan jumlah penduduk perempuan, yang ditunjukkan dari nilai sex ratio melebihi 100 persen, yakni 101,81 persen. (Batuatas dalam angka, BPS Kab. Buton 2016).

Di pulau Batuatas, jumlah laki-laki memang lebih unggul dengan jumlah perempuan, namun pada waktu-waktu tertentu, jumlah perempuan di pulau itu bisa lebih banyak dari jumlah laki-laki. Pengembaraan dan pelayaran yang dilakukan oleh kaum lelaki mengungkap satu fakta bahwa mereka lebih banyak menghabiskan waktu di luar pulau Batuatas ketimbang melakukan aktivitas di dalam pulau. Sebagaimana kisah bapak La Ode Risari (60), beliau menunjukkan tekad bulat yang ditunjang dengan pengalaman dan pengetahuan yang cukup luas tentang ruang laut dan pengalaman melakukan pelayaran domestik. Baginya, pengalaman yang didapat dari teman atau pelaut-pelaut lain merupakan motivasi tersendiri yang ditunjang dengan pengalaman diri sendiri. Oleh karena itu, pengetahuan dan wawasan itu lebih banyak tumbuh dari pengalaman nyata ketimbang diperoleh melalui pendidikan formal.

ketika layar dikembangkan

Ada beberapa hal yang mendorong orang Batuatas untuk melanjutkan tradisi berlayar mereka; Pertama, letak geografis yang strategis pada jalur pelayaran dan perdagangan nusantara dan internasional. Secara geografis, sebelah Utara Kecamatan Batuatas berbatasan dengan Laut Banda, sebelah Selatan berbatasan dengan Laut Flores, sebelah Timur berbatasan dengan Laut Flores, dan sebelah Barat berbatasan dengan Laut Flores. Kedua, keadaan alam yang berbukit dan berbatu sehingga kurang mendukung untuk dimanfaatkan sebagai lahan pertanian. Jenis tanaman bahan makanan yang paling banyak ditanam yaitu tanaman ubi kayu. Selain itu, tanaman perkebunan hanya ditanami jambu mete dan kelapa. Untuk peternakan, ada dua jenis yang dikembangkan yaitu ternak kecil (kambing) dan unggas (ayam dan bebek). Sementara disektor perikanan, masyarakat Batuatas kurang begitu menggelutinya. Aktivitas mencari ikan tidak menjadi salah satu sasaran untuk mengembangakan ekonomi mereka. Mencari ikan hanya untuk memenuhi kebutuhan rumahtangga saja. Ketiga, falsafah hidup mereka yang menjunjung tinggi semangat kebaharian. Sejarah pelayaran dan perdagangan maritim masyarakat Batuatas telah mengungkap adanya jalinan hubungan sosial, ekonomi, dan politik yang telah terbangun dan menjadi dasar bagi terbentuknya integrasi bangsa dalam perkembangan kemaritiman di Indonesia. Hal tersebut dapat terlihat dari kelompok-kelompok etnis yang telah menjalin persahabatan dan persaudaraan sebagai buah dari jaringan pelayaran dan perdagangan maritim, pada titik ini pelaut-pelaut Batuatas telah memainkan peranan besar.

Tradisi pengembaraan pelaut Batuatas sebagai pewaris budaya maritim telah melalui pengalaman yang cukup panjang. Mereka telah memiliki peta jalur pelayaran yang digolongkan menjadi empat arah angin, yakni Barat, Timur, Utara, dan Selatan. Pertama, pelayaran menuju barat dari Pulau Batuatas kemudian menyusuri Selat Selayar menuju Selat Madura hingga tiba di pelabuhan Gresik atau Probolinggo, dan selanjutnya ada yang terus menuju Singapura, Johor, Pulau Pinang di Malaysia Barat. Mereka menggunakan perahu layar tanpa mesin, melalui rute dari Batuatas-Buton-Selat Selayar-Selat Karimata-Laut Cina Selatan dengan menyusuri Pesisir Timur Semenanjung Malaysia-Pesisir Timur Thailand, menyeberangi Teluk Siam, ke Pesisir Selatan Kamboja, menyusuri pesisir Timur Vietnam-Hongkong sampai ke daratan Cina (Kanton, Shanghai dan menyusuri sungai sampai di Peking). Di Negeri Cina, mereka tinggal selama 4-6 bulan bekerja di perkebunan kapas sambil menunggu angin utara untuk kembali ke Batuatas melalui Selat Buton dengan rute seperti tersebut atau melalui rute Cina-Kepulauan Jepang-Kepulauan Philipina-Laut Sulawesi-Kepulaun Maluku/Pesisir Timur Sulawesi-sampai kembali di Batuatas.

Ubi Kayu, kebutuhan pokok masyarakat Batuatas

Kedua, pelayaran menuju timur ke Maluku, Irian Jaya, dan Kepulauan Pasifik seperti ke Negara Palau. Pelayaran menuju kawasan ini dimulai dari Pulau Batuatas melalui Selat Buton, Kepulauan Maluku, Irian Jaya, Papua Nugini, dan beberapa negara di Kawasan Pasifik Selatan seperti Kepulauan Palau, Samoa, dan Kaledonia Baru. Ketiga, pelayaran menuju utara ke Sulawesi Tengah (Banggai dan Toli-Toli), Sulawesi Utara (Gorontalo, Bitung, dan Manado), sebagian diantara mereka langsung ke Malaysia Timur melalui Tarakan, Nunukan (Kalimantan Timur), ke Kalimantan Utara melalui Sabah (Tawau, Lahaddatuk, dan Sandakan), sampai ke Brunai Darussalam. Di beberapa wilayah ditemukan pemukiman etnis Buton termasuk di dalamnya suku Cia-Cia-Batuatas. Mereka bekerja dalam berbagai sektor kehidupan bahkan diantara mereka telah ada yang menjadi warga negara Malaysia. Sebagian lagi menuju ke Philipina Selatan melalui Kepulauan Sulawesi Utara dan Maluku. Keempat, pelayaran menuju ke selatan melalui rute Pulau Batuatas, Flores, Solor, Sumbawa, Kupang, Dili, dan bahkan diantara mereka tidak sedikit melakukan pelayaran sampai ke perairan Benua Australia atau dipantai Utara Benua Australia.

Pola pemukiman mereka umumnya tidak jauh dari pelabuhan, dan hidup berdampingan dengan pemukiman orang Bugis/Makassar. Mereka bermukim dengan sistem koloni yaitu pola pemukiman berkelompok sesuai dengan etnisnya, tidak berbaur secara bebas dengan penduduk etnik lainnya. Tetapi mereka dapat hidup berdampingan dengan koloni (perkampungan) Orang Bugis/Makassar. Ini dapat diterima karena kedua etnik ini memiliki persamaan latar belakang sosial ekonomi yaitu sistem mata pencaharian sebagai pelayar/nelayan dan pedagang.

Sebelum ditemukan teknologi navigasi, masyarakat Batuatas dalam melakukan pelayaran menggunakan tanda-tanda alam dan melalui instuisi. Tanda-tanda alam tersebut antara lain adalah bentuk awan, keadaan langit, warna dan jenis air laut, pantulan sinar matahari atau cahaya bulan, letak bintang di langit, hembusan angin, letak pulau, gunung, tanjung, teluk, dan selat. Dengan intuisi mereka dapat mengetahui jika akan ada bahaya yang mengancam. Inilah yang dijadikan sebagai pengganti kompas dalam pelayaran mereka. Pelayar Batuatas (Suku Cia-cia) mengenal istilah "pilotase" yaitu seorang navigator dapat memperhitungkan posisinya cukup dengan melihat berbagai tanda alam yang tampak di darat, "rewu’i tayi" yaitu kotoran di laut, dan kabut di udara.

Seorang navigator dapat melakukan perhitungan deduksi dengan melihat kedudukan matahari, bulan, dan bintang. Perkembangan pelayaran niaga orang Batuatas sejalan dengan ditemukannya teknik berlayar "O’opal" (bahasa Cia-cia) yang sebelumnya hanya dikenal teknik berlayar "ngoi’i belaka" (bahasa Cia-cia) dan teknik "nopusilangi" (bahasa Cia-cia). " ngoi’i belaka" adalah teknik berlayar lurus yaitu arah angin datang dari belakang. "Nopusilangi" pelayaran dengan posisi menyilang dan membentuk sudut antara 90-180 derajat. Berlayar "Opal" adalah teknik berlayar bersiku-siku sampai di tempat tujuan. Dalam teknik "O’opal" ini diperlukan keahlian dalam mengarahkan haluan sebab arah angin datang hampir dari muka (membentuk sudut antara 0-90 derajat).
Dalam melakukan pelayaran, para pelaut Batuatas melakukan kegiatan niaga (perdagangan). Barang komoditi ekspor yang dibawa oleh para pelayar niaga Batuatas pada umumnya adalah rotan, damar, agel, kopra, cengkeh, pala, teripang, dan berbagai hasil laut lainnya. Komoditas rotan, damar, kopra, cengkeh, pala, kulit binatang, dan teripang diekspor ke Singapura dan Malaysia, sedangkan untuk ke Cina, diekspor agel dan teripang. Sejak tahun 1926 dimulai perdagangan kopra, cengkeh, dan pala dari Kepulauan Maluku ke kawasan Barat Nusantara sampai ke Singapura dan Malaysia.

Batuatas tampak dari bukit

Pada mulanya perdagangan tersebut mendapat rintangan dari pemerintah Belanda, karena keuntungannya berlipat ganda sehingga para pelayar harus melakukan pelayaran secara ilegal khususnya ke Singapura dan Malaysia. Fenomena tersebut berlanjut sampai akhir abad XX ini, di mana para pelayar niaga orang Batuatas dan orang Buton dan Buton Selatan pada umumnya tetap melakukan pelayaran niaga ke Singapura, Malaysia, Philipina, dan Australia serta wilayah Pasifik lainnya. Bagi pelaut Batuatas, pengalaman pengembaraan yang panjang diakuinya telah memperkaya pengetahuan dan wawasan ruang samudera dengan dunia internasional.

***

Dalam perjalanan pulang dari pulau Batuatas, saya mengajak cerita salah seorang ABK kapal yang kami tumpangi. Di usia tuanya, bapak itu sedikit bercerita tentang pengalamannya melakukan pelayaran. Tadinya bapak itu tidak hanya melakukan pelayaran domestik dengan mengunjungi pulau-pulau di tanah air saja. Namun beliau juga pernah sampai negara-negara tetangga seperti Malaysia dan Philipina, bahkan beliau memiliki seorang istri disana. Dari cerita-cerita saya dengan bapak itu, beliau berkisah tentang pengalamannya membawa kapal layar yang tak bermesin hingga sampai ke negara-negara itu. Ber bulan-bulan lamanya, hanya dengan mengandalkan tiupan angin dan sistem navigasi tradisional melalui bacaan bintang dilangit atau dengan intuisinya.

kapal yang kami tumpangi

Mengunjungi desa-desa terluar seperti ini, banyak hal menarik yang dapat dipetik dan menjadi daya tarik tersendiri. Kita dapat belajar banyak dari mereka, tentang lingkungannya, tentang strategi bertahan hidup masyarakatnya, tentang adat dan budaya yang terus dipertahankan itu. Bahwa ditengah gersangnya tanah di pulau itu, masyarakat Batuatas mempunyai satu cara tersendiri untuk mendapatkan sumber kehidupan. Bahwa dengan memanfaatkan ruang laut, mereka dapat memenuhi kebutuhan hidup. Mencari kehidupan dilaut dan melakukan pelayaran ke pulau-pulau memang bukan perkara mudah. Aktivitas dilaut bisa lebih berbahaya ketimbang mereka melakukan aktivitas didarat. Namun hal itu bukan satu-satunya pilihan diantara pilihan lain yang dianggapnya nyaman.


Popular Posts