Saturday, April 30, 2016

Sumpah TKW Indonesia: Makna dan Peran Gender

"SUMPAH TKW INDONESIA"
TKW - Tak Kenal Waktu
  • Kami TKW Indonesia dengan ini menyatakan perasaan kami, hal-hal yang mengenai gaji dan potongan diatur oleh agensi.
  • Kami TKW Indonesia berkerja tak kenal waktu, siang jadi malam, malam jadi siang.
  • Kami TKW Indonesia merasa bangga dijuluki pahlawan devisa, #^%^*%&^.... (dalam bahasa Jawa)
  • Kami TKW Indonesia, kami tercipta dali/ri (keseleo) rusuk tapi alhamdulillah menjadi tulang punggung, tulang punggung keluarga.
  • Kami TKW Indonesia, perginya loyo pulangnya gagah, tapi ana bae sih ^%&%*&(* (dalam bahasa jawa).
  • Kami TKW Indonesia berterimakasih kepada facebook yang memudahkan kami berkomunikasi dengan sesama dan keluarga.
  • Kami TKW Indonesia kami bercita-cita punya rumah gedung dan sawah luas. ….*^(*&^(*&^( (dalam bahasa jawa).
  • Kami TKW Indonesia berterimakasih sama “Babe Haris” (entahlah siapa dia) yang merubah nama BABU menjadi ARUNGTA alias Asisten Rumah Tangga *&^^*&^(^( (dalam bahasa jawa).
  • Kami TKW Indonesia, kami merasa senang berkerja diluar negeri, karena nggak dapat tempat didalam negeri.
  • Kami TKW Indonesia, kami menangis dikala lebaran dan hari raya, tapi kami gembira disaat menginjakan kaki kami kembali ke tanah air.
  • Kami TKW Indonesia, dilihat sebelah mata oleh dunia, karena pekerjaan kami dianggap hina dan rendahan
  • Kami TKW Indonesia titip salam kepada sang Presiden, bahwa kami baik-baik saja, karena kami turut memilih anda.
  • Kami TKW Indonesia, kami tak banyak menuntut dan tak banyak mengeluh, walaupum kami dianggap hina.
  • Kami TKW Indonesia, merasa bangga karena kami masih memiliki tanah air sendiri, tanah air Indonesia.
Terimakasih dan salam sejahtera Negeri Formosa

Atas nama Nina Armila.
TKW asal Sidareja, Cilacap, Jawa Tengah


Klik Videonya DI SINI


ilustrasi. foto: antarasulsel.com

***

VIDEO ini diunggah di Youtube sejak 30 Agustus 2015 lalu. Video dengan durasi 2.59 detik ini tentang isi hati seorang Tenaga Kerja Wanita (TKW) asal Sidareja, Cilacap, Jawa Tengah yang kini berkerja di Taiwan. Sebelumnya, juga pernah beredar luas video Prista Apria Risty, TKW yang berkerja di Hongkong. Ia juga pernah meluapkan curahan hatinya tentang bagaimana berkerja diluar negeri. Namun berbeda dengan yang dilakukan Nina Armila di negeri Formosa itu. Ia menyatakan sejumlah sumpah yang diberi nama "Sumpah TKW". Memang sumpah TKW ini tak sesakral sumpah-sumpah lain. Misalnya Sumpah Mahasiswa yang hanya populer dikalangan mahasiswa era reformasi, atau Sumpah Pemuda yang hanya bisa membakar semangat kaum muda. Begitu pula dengan sumpah TKW ini, yang hanya bisa dibahasakan oleh para TKW-TKW kita.

Berdasarkan Data Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BNP2TKI) sepanjang 2014 mencatat penempatan TKI ke berbagai negara di dunia sebanyak 429.872 orang. Jumlah itu meliputi 219.610 (58%) TKI formal dan 182.262 orang (42%) TKI informal (BNP2TKI, 2014). Dari data yang ada, penempatan TKI selama empat tahun terakhir (2011-2014) terjadi naik turun. Ada tiga penyebab (kemungkinan) kenaikan jumlah prosentase penempatan TKI formal dan penurunan penempatan TKI informal, yaitu: (1) Penurunan TKI Formal karena pembenahan penempatan TKI di beberapa negara dikawasan Timur Tengah, (2) diberlakukan langkah pengetatan penempatan TKI dengan memberlakukan durasi waktu pelatihan yang dibuktikan melalui kehadiran sistem sidik jari (finger print), (3) ketersediaan tenaga kerja unskill di daerah yang benar-benar berkurang.

Dalam konteks gender, jumlah penempatan TKI perempuan selama empat tahun terakhir (2011-2014) masih tergolong tinggi dibanding laki-laki. Budaya patriarki menyebabkan perempuan harus melakukan peran ganda, sehingga banyak perempuan yang mencari kerja sebagai TKW. Mereka meninggalkan keluarga tercinta demi mendapatkan pekerjaan, demi sesuap nasi. Dominasi laki-laki hampir disemua aspek kehidupan sosial, ekonomi, politik dan budaya. Peran perempuan menjadi kelas kedua dalam kehidupan. Ada banyak orang menganggap bahwa tugas-tugas rumahtangga dan mengasuh anak adalah tugas perempuan, meskipun perempuan tersebut telah berkeja diluar rumah.

Perkembangan studi gender di Indonesia tidak dapat dilepaskan dari perkembangan studi gender di berbagai negara. Perspektif Women in Development (WID) menuntut agar terdapat persamaan kesempatan antara laki-laki dan perempuan dalam proses pembangunan. Hal ini erat kaitannya dengan paradigma Women In Development (WID) yang memperkenalkan konsep Gender and Development (GAD), dimana studi tentang perempuan dihubungkan dengan laki-laki. Gender and Development (GAD) menekankan pada redistribusi kekuasaan dalam relasi sosial perempuan dan laki-laki. Kekuasaan laki-laki di bidang ekonomi, sosial, dan budaya terus dipertanyakan. Dalam pendekatan ini, dipandang bahwa yang menciptakan ketidakadilan antara laki-laki dan perempuan adalah struktur dan proses sosial politik. Ketidakadilan antara laki-laki dan perempuan terlihat pada akses dan kontrol terhadap sumber daya, kesempatan dan manfaat, serta dalam pengambilan keputusan. Untuk itu pendekatan dalam GAD ini mengubah cara berpikir dan praktek untuk mendukung persamaan kesempatan, pilihan, dan kesetaraan.

Kehadiran Tenaga Kerja Wanita (TKW) telah memberi dampak terhadap ekonomi kita. Prestasinya memberi sumbangan devisa yang cukup besar. Sayangnya prestasi itu dinilai hanya berdasarkan indikator ekonomi, sehingga terkesan keluar dari  subtansi persoalan  yang sesungguhnya menutupi kelemahan pihak penyelenggara program. Program pengiriman TKW ke luar negeri terlalu didominasi motif pendekatan bisnis yang sesuai dengan selera kepentingan kelompok kapitalis. Prinsip hitung-hitungan ekonomi selalu menjadi ukuran. Hal ini menjadi sangat sensitif karena melibatkan perempuan yang berstatus istri dari seorang suami sekaligus ibu bagi sejumlah anak. Sebenarnya, keterlibatan perempuan dalam kegiatan ekonomi ini bisa ditentukan oleh sistem nilai adat istiadat yang memberikan peluang sekaligus pembatasan berupa etika tentang apa yang boleh dan apa yang tidak boleh dilakukan. Dalam prosesnya, perempuan mengarah pada terjadinya identifikasi pekerjaan-pekerjaan yang sesuai dengan sifat keperempuanannya. Hanya saja secara langsung konstruksi ini menegaskan posisi subordinat perempuan dan superioritas laki-laki, yang menempatkan laki-laki di ujung satu dan perempuan di ujung yang lain disebuah garis vertikal. 

Jika dikaitkan konsep doing gender dengan diskriminasi dan penindasan pada perempuan, maka dapat dikatakan bahwa bentuk diskriminasi dan penindasan pada perempuan telah lama terjadi. Penindasan dan diskriminasi yang dialami oleh perempuan ini setidaknya disebabkan oleh beberapa faktor, yakni: tradisi budaya yang masih patriarki, kebijakan negara yang tidak responsif gender seperti pada UU Perkawinan tahun 1974 pasal 1 di negara Indonesia yang secara eksplisit menyebutkan bahwa laki-laki/suami adalah kepala rumah tangga dan perempuan/istri adalah ibu rumah tangga, dan doktrin-doktrin agama yang ditafsirkan secara misoginis. Bentuk-bentuk penindasan pada perempuan itu sendiri biasanya berbentuk kekerasan baik fisik atau-pun non-fisik, marjinalisasi, pengekangan hak asasi, perampasan materi, eksploitasi tubuh seperti protitusi. 

Namun seiring berjalannya waktu, globalisasi seolah-olah hadir sebagai ‘dewa penolong’ yang memberikan harapan dan menyelematkan kaum perempuan terhadap penindasan dan diskriminasi yang selama ini dialami mereka. Bentuk-bentuk penindasan dan diskriminasi pada perempuan memang seolah-olah kian memudar seiring hadirnya globalisasi yang ditandai dengan munculnya gerakan-gerakan feminisme di seluruh dunia. Tujuan utamanya adalah memperjuangkan persamaan dan penghapusan terhadap segala bentuk ketidakadilan yang dialami perempuan. Meski begitu, globalisasi belum sepenuhnya mampu menghapus bentuk-bentuk penindasan pada perempuan yang justru menimbulkan sebuah bentuk penindasan baru yang dialami oleh mereka, utamanya para buruh perempuan.

***

WANITA itu serupa pemimpin demonstran yang sedang berorasi didepan gedung wakil rakyat dengan ribuan massa pendukungnya lalu menyatakan Sumpah Mahasiswa. Atau sedikit mirip dengan ditahun 1928 ketika bait-bait Sumpah Pemuda pertama kali digelorakan oleh Moehamad Yamin. Peristiwa itu sebagai salah satu tonggak utama dalam sejarah pergerakan kemerdekaan Indonesia. Yang pasti, beda zaman, beda cerita, beda pula semangatnya. Nina Armila hanyalah salah seorang yang memanfaatkan media sosial sebagai akses untuk menyalurkan aspirasinya. Semangatnya adalah ingin mengangkat harkat dan martabat para TKW yang berkerja diluar negeri. Mereka ingin adanya keadilan mengenai gaji pekerja diluar negeri. Para TKW juga ingin pekerjaan mereka tak dipandang sebelah mata karena pekerjaan mereka yang rendahan.

Jakarta, 30 Juli 2016



Wednesday, April 27, 2016

Sebuah Paradoks Gerakan LSM

Sumber: opusfilm.com
MELIHAT krisis lingkungan hidup di Indonesia yang tak pernah bisa diselesaikan, apakah masalah kerusakan hutan, lingkungan dan penyakit yang ditimbulkan oleh usaha-usaha pertambangan dan migas, pencemaran lahan dan air oleh perluasan areal perkebunan kelapa sawit yang pengelolaannya bergantung pada penggunaan bahan kimia dan racun, atau menghilangnya ruang terbuka hijau di kota yang tiba-tiba disulap menjadi Mal, gedung perkantoran dan pemukiman elit. Kabut misterius yang meliputi kota-kota besar dengan pertumbuhan jumlah kendaraan dan industri skala besar. Siapapun yang melihat masalah-masalah seperti ini, akan cepat menarik kesimpulan bahwa ketidakberdayaan kita untuk mengatasi bencana-bencana sepertinya disebabkan terutama bukan oleh kegagalan teknis tetapi kegagalan politik.

***

BELUM lama ini kita telah memperingati hari Bumi, sebagai bentuk rasa keprihatinan kita terhadap dampak yang ditimbulkan oleh ancaman kehancuran ekosistem Bumi. Hal ini juga diperparah oleh perubahan iklim global yang dihasilkan dari kegiatan industri. Berbagai bentuk aksi dan kegiatan yang dilakukan para pemerhati untuk mengkampanyekan hari Bumi. Jauh sebelumnya, gerakan ini sudah dimulai ditahun 1970, dimana saat itu dicetus inisiatif bersifat global demi meningkatkan kesadaran akan pemeliharaan Bumi. Baik lewat konservasi, melawan perubahan iklim, atau menjaga spesies yang hampir punah.

Di Negara kita, peringatan hari Bumi mulai ramai menyusul menjamurnya komunitas, Ornop, LSM serta organisasi dibidang pelestarian lingkungan hidup. Hanya saja, peringatan-peringatan semacam ini masih dianggap sebagai ajang berkumpulnya para aktivis namun minim tindak lanjut secara nyata dilapangan. Berbagai kerusakan lingkungan hidup di Bumi masih saja terjadi dan menyebabkan penurunan kualitas lingkungan hidup serta mengakibatkan terjadinya berbagai bencana alam. Sementara kesadaran masyarakat cenderung menurun untuk menjaga, merawat, serta melestarikan lingkungan hidup. Upaya melestarikan lingkungan hidup justru tidak didorong oleh mereka yang berada dalam satu kelompok, LSM, atau organisasi yang selama ini fokus pada isu-isu lingkungan.

Perkembangan LSM di Indonesia memang terlihat lebih cepat, namun tidak diiringi dengan hasil yang nyata dalam proses kerja-kerja mereka. Idealnya LSM menjadi organisasi dengan kesadaran dan semangat sukarelawan yang lahir dari ranah sipil dalam rangka memperjuangkan hak-hak sipil sebagai agen alternatif pembangunan. Akan tetapi, pada kenyataannya agen pembangunan alternatif ini tidak bebas kepentingan (Ufford dan Giri, 2002). Sebagaimana Petras dan Veltemeyer (2002) dalam Assa’di, Hussain et, al (2009) mengemukakan sebagai berikut:

“Ornop-ornop diseluruh dunia telah menjadi alat terakhir untuk mobilitas naik bagi kelas-kelas terdidik yang ambisius. Para akademisi, jurnalis dan professional telah semakin jauh dari kepedulian awal mereka pada gerakan kiri dan miskin dana. Dan mereka kini mengejar karier yang menguntungkan dengan mengelola Ornop yang akan memberikan keterampilan organisatoris dan retorika serta kosa kata populis tertentu. Sekarang ini ribuan direktur Ornop setiap hari naik kendaraan roda empat seharga US $ 40.000 sebagai sarana transportasi dari rumah atau apartemen modern mereka di pinggiran kota ke kantor-kantor dan kompleks bangunan sangat lengkap. Sementara mereka meninggalkan anak-anak dan pekerjaan rumahtangga ditangan pembantu dan juga kebun-kebun mereka untuk dirawat oleh para tukang kebun. Mereka lebih akrab dan menghabiskan waktu ditempat-tempat konferensi internasional tentang kemiskinan yang mereka ikuti (Washington, Bangkok, Tokyo, Brussels, Roma dan lainnya) dari pada dikampung-kampung berlumpur dinegara mereka sendiri. Mereka lebih mahir menyusun proposal baru untuk mendapatkan uang demi para ‘professional’ yang layak ditolong dari pada mengambil resiko terpukul kepalanya oleh polisi yang menyerang demonstrasi guru sekolah di desa yang gajinya tidak dibayar penuh. Para pemimpin Ornop adalah kelas baru yang tidak mendapatkan harta kekayaan dari kepemilikan atau sumber-sumber pemerintah, tetapi dari dana imperial dan kemampuannya sendiri untuk mengontrol kelompok-kelompok rakyat yang signifikan”  
Pernyataan diatas menyiratkan fakta lapangan yang jauh dari idealism LSM sebagai bagian dari masyarakat sipil yang berjuang untuk kesejahteraan masyarakat. LSM menjadi semacam perusahaan profit yang mengambil keuntungan sebesar-besarnya ditengah penderitaan rakyat sipil yang diperjuangkan. Lebih lanjut Petras dan Velmeyer (2002) mengatakan:

“Para pemimpin Ornop bisa dipandang sebagai semacam kelompok neo-komprador yang tidak memproduksi komoditas apapun yang bermanfaat, tetapi berperan memproduksi jasa untuk Negara-negara donor dan menjual kemiskinan domestik untuk kekayaan pribadi”
Petras dan Veltemeyer (2002) memberikan pandangan bahwa LSM melakukan komodifikasi kemiskinan dan isu pembangunan tanpa melihat lembaga donornya karena semua terjebak pada kondisi ini. Kutipan diatas juga menyiratkan kinerja LSM hanya berorientasi keuntungan pribadi atau kelompok LSM dibanding memperjuangkan hak-hak sipil.  Munculnya istilah menjual isu lingkungan, isu kemiskinan, isu pemberdayaan dengan mengatasnamakan LSM adalah bentuk respon publik terhadap diskursus ini. Dalam konteks ini, LSM dicurigai marak membuat pengajuan dana dan kemudian aktivitasnya didanai oleh donor dan LSM hanya sebagai kepanjangan tangan dari kepentingan donor.

***

PADA akhirnya, masyarakat harus keluar dari lingkaran dan kepentingan-kepentingan LSM. Masyarakat juga bisa lebih kritis serta membangun solidaritas. Masyarakat tidak lagi dlihat sebagai objek pembangunan. Konsep empowerment pada dasarnya adalah upaya menjadikan suasana kemanusiaan yang adil dan beradab menjadi semakin efektif secara struktural, baik dalam kehidupan keluarga maupun dimasyarakat. Gagasan pembangunan yang mengutamakan pemberdayaan masyarakat perlu dipahami sebagai suatu proses transformasi dalam hubungan sosial, ekonomi, budaya, dan politik. Perubahan struktur diharapkan berlangsung secara alamiah. Proses ini diarahkan agar setiap upaya pemberdayaan masyarakat dapat meningkatkan kapasitas masyarakat (capacity building). Proses transformasi ini harus dapat digerakan sendiri oleh masyarakat.

Sunday, April 24, 2016

Membisu Bersama Benji

foto: yadilaode
BENJI (12), seorang bocah suku Bajo bertubuh mungil tapi kekuatan mendayung perahunya jangan diragukan. Otot-otot kecilnya mampu mendayung perahu hingga ke laut lepas. Bersama sang ayah, hari-hari Benji adalah laut dan perahu. Makanya ada sebutan lain dari orang-orang Bajo sebagai “manusia perahu”, karena kehidupan mereka lebih banyak dengan perahu dan lautan. Strategi bertahan hidup (livelihood) masyarakat suku Bajo berada diatas laut. Budaya laut mereka diturunkan dari para leluhur. Bagi mereka, filosofis laut adalah sebuah masa lalu, masa kini dan masa depan. Dalam beberapa catatan para Antropolog, selama berabad-abad suku Bajo tinggal diatas perahu dan hidup bebas dilaut lepas. Suku Bajo pernah menguasai perairan Nusantara di masa silam, hampir disemua pulau di Nusantara ini mereka tempati. Mereka sering dianggap sebagai jembatan penghubung pulau-pulau Nusantara dan menjadi cermin dari keunggulan negeri bahari ini.

Benji tidak sendiri, ia hanyalah satu dari sekian anak suku Bajo yang hari-harinya adalah perahu dan lautan. Hari itu aku bersama mereka disebuah perkampungan suku Bajo di pulau Buton. Mengenai populasi masyarakat suku Bajo, saat ini populasi terbesar suku Bajo ada di Wakatobi. Namun secara umum di pulau Buton, suku Bajo tersebar dibeberapa wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil. Masyarakat suku Bajo tadinya hidup berpindah-pindah (nomaden), namun kembali menetap di suatu wilayah. Perubahan perilaku mereka bisa disebabkan oleh beberapa faktor, misalnya penurunan potensi sumber daya alam untuk pemenuhan kebutuhan hidup, kebijakan pemerintah setempat, atau adanya pengaruh budaya dari masyarakat luar.

Perubahan-perubahan lain yang terjadi misalnya: (1) Masuknya sistem pendidikan formal, anak-anak suku Bajo mulai disekolahkan demi hadirnya pengetahuan baru. Pemerintah mulai menyediakan sarana ruang belajar dan guru. Meskipun kondisinya masih belum begitu baik, kondisi ruang belajar yang belum memadai, tenaga pengajarnya pun terkadang jarang masuk mengajar, serta fasilitas baca yang masih kurang. (2) Terciptanya lapangan pekerjaan baru, masyarakat nelayan suku Bajo mulai menekuni pekerjaan baru dan perlahan meninggalkan kebiasaan-kebiasaan mereka dilaut. Mereka mencari pekerjaan baru diluar pekerjaan mereka sebagai nelayan. (3) Modernisasi sistem perikanan, dalam komunitas nelayan, perubahan yang nampak adalah berubahnya pola kerja. Perubahan pola kerja dari penggunaan teknologi lama yang masih sangat sederhana menjadi teknologi baru. Moderniasasi nelayan menimbulkan diferensiasi yakni munculnya unit-unit sosial baru yang berdampak pada perubahan struktur sosial masyarakat nelayan. Meski begitu, kita tidak bisa memahami semua perubahan sosial akan berdampak positif. Ada dampak negatif yang timbul dari perubahan tersebut dan mempengaruhi budaya masyarakat suku Bajo. Misalnya, ketika hilangnya tradisi melaut mereka, reorientasi pandangan hidup, serta munculnya pola hidup konsumtif.  

foto: yadilaode
KEHIDUPAN serupa gelombang-gelombang di lautan, yang permukaannya tak pernah teduh dari riak. Kehidupan kita pun demikian, kehidupan terus bergerak tanpa henti. Saat bersama Benji, aku melihat ada begitu banyak harapan di wajah anak itu. Barangkali ia tak bisa mengungkapkan satu per satu tentang apa-apa yang diinginkan, tentang cita-cita, atau tentang laut yang selama ini menjadi rumah besar mereka. Padahal sebenarnya ada sesuatu hal yang ingin dikatakan tentang dirinya ketika melihat teman sebayanya melintas dengan berseragam sekolah. Benji memang tak bersekolah, meski orangtuanya memiliki harapan besar agar Benji bisa bersekolah sebagaimana anak-anak lain. Sebenarnya aku ingin bertanya banyak hal mengenai dirinya. Tetapi ia masih saja diam, akupun ikut diam. Di ujung jembatan perkampungan suku Bajo itu, aku dan Benji duduk membisu. Aku dan dia sama-sama tenggelam dalam sunyi, menikmati secercah cahaya keemasan yang memantul dilaut, terus memandang hingga matahari benar-benar tenggelam digaris horison.

Bogor, 24 April 2016

Thursday, April 21, 2016

Pesan Sang Bidadari

suatu hari didesa Bonetiro Kapuntori Kabupaten Buton
Desa itu penuh dengan warna. 
hijaunya pohon dan sawah, awan putih dan langit biru yang mencerahkan. 
inilah desa, dengan pesona alamnya yang memukau.   
para dewa pun mengutus Bidadari untuk turun ke desa,
seakan menitip pesan kepada kita 
"jaga dan rawat desa-desa ini". 
Jangan kau rusak desa ini dengan membawa nama pembangunan.
Jangan kau buka tambang disana-sini dengan membawa nama kesejahteraan,
Jangan kau kotori budaya masyarakat desa dengan membawa nama modernisasi.



Saturday, April 16, 2016

Dulu Dengan Segelas Kopi


Dulu kita semeja, bersama segelas kopi.
Dulu kita semeja, bercerita dengan dinginnya malam.
Dulu kita semeja, dengan canda dan tawa.
Aku tahu kau tak suka pahitnya kopi, tapi demi manisnya cinta kau relakan seteguk dua teguk.

Dulu kita semeja, bersama kopi dan pekatnya malam.
Dulu kita penikmat kopi, sampai pagi menyambut hari.
Dulu kita pernah merasakan pahit manisnya kopi.
Tetapi itu dulu dan entah kapan lagi kita bisa semeja, bersama malam, segelas kopi dan tawamu.
Itu dulu…


Bogor, 20 April 2016 

Sunday, April 3, 2016

Antara Aku, Kamu, dan Hujan



sumber: foto yadilaode
GEMURUH, langit biru berubah gelap, mendung, awan tebal tak lagi mampu menahan beban air hingga tumpah dan membasahi seluruh alam semesta. Gemuruh dan petir disana-sini. Langit kembali menunjukkan keperkasaannya, langit seakan marah. Aku yakin kamu pasti tahu, semua orang pun tahu. Aku sadar, tidak semua berbahagia ketika langit berubah gelap. Aku yakin tidak semua menginginkan hujan turun sederas kali ini. Aku tak tahu harus mengatakan apalagi, biarkan angin yang menyapu semua ini.

“Hujan pernah merebut seseorang dariku. Ia merampas kebahagiaan yang tumbuh di dadaku. Ia memaksa aku menjadi sendiri.
Hujan juga pernah membuat janji kepadaku. Ia tak akan jatuh lagi di mataku. Namun ia berdusta, ia meninggalkan aku tanpa permisi.
Saat aku merasa hujan hanya datang untuk menyakiti, kamu hadir. Mengajarkan aku bahwa Tuhan tak menciptakan hujan untuk bersedih, tetapi Ia menyiapkan hujan untuk merasa kita pulih.
Aku sadar, terkadang orang yang kita cintai diciptakan Tuhan bukan untuk dimiliki, tetapi aku ingin Tuhan menciptakanmu untuk memilikiku” Boy Candra, Setelah Hujan Reda.


Nb: Disaat waktu luang, disaat hujan, disaat tak tahu harus berbuat apalagi.

Bogor, 3 April 2016

Popular Posts