Tuesday, November 21, 2017

Aroma Cengkeh di Puncak Bukit Babussalam Kolaka Utara


SEPERTI halnya desa-desa di pesisir pantai, desa di wilayah perbukitan juga menyuguhkan keindahan alam yang memukau. Di pesisir pantai, kita bisa saksikan birunya laut, hamparan pasir putih, atau pohon nyiur yang setiap saat melambai. Sementara di puncak bukit kita bisa rasakan sejuknya alam, kabut, serta hamparan pepohonan yang hijau. 

Kali ini saya berkesempatan mengunjungi sebuah desa di Lasusua, Kabupaten Kolaka Utara. Sebuah desa yang letaknya diatas perbukitan dengan ketinggian kira-kira 804,3 meter dari permukaan laut (Mdpl). Meski tak terlalu tinggi, tapi untuk mencapai ke desa itu butuh ekstra hati-hati saat menaiki maupun menuruni bukit. Jalannya meliuk-liuk, disisi kiri tebing sewaktu-waktu bisa longsor dan di sisi kanan adalah jurang yang bisa saja merenggut nyawa. Jalannya terus menanjak, sebagian besar sudah dirabat beton. Saya harus menjaga keseimbangan sepeda motor agar tidak oleng kanan-kiri.  

Desa Babussalam merupakan salah satu dari duabelas desa/kelurahan di Kecamatan Lasusua, Kabupaten Kolaka Utara yang menjadi pemasok komoditas Cengkeh terbesar. Sumber pendapatan utama daerah ini ada disektor perkebunan (Kakao, Kopra, dan Cengkeh). Masyarakat desa selama ini menggantungkan hidup dari berkebun. Bisa dilihat dari topografi wilayah yang di dominasi oleh perbukitan. Tentu tanah di desa ini sangat subur untuk ditanami Cengkeh. 


Dalam perjalanan ke desa Babussalam, saya sering berpapasan dengan warga yang menuruni bukit membawa Cengkeh dengan menggunakan sepeda motor. Nampaknya mereka telah ahli menuruni bukit untuk mengangkut karung-karung Cengkeh menggunakan sepeda motor. Sepeda motor dibawa dengan gesit, mereka mampu menghindari setiap jalan yang berlubang. Pada saat jalan menurun, mesin motor dimatikan demi menghemat bahan bakar. 

Disepanjang perjalanan yang saya lewati, terlihat hampir semua perbukitan ditumbuhi pohon Cengkeh. Tumbuhan ini menjadi daya tarik serta menambah keindahan kawasan perbukitan. Cengkeh merupakan tanaman tropis yang sangat cocok dengan tanah di negara kita. Pada umumnya Cengkeh dapat menghasilkan buah pada usia 4 sampai 7 tahun. Hari itu saya berkesempatan menyaksikan para petani yang sedang memanen Cengkeh. Cara memetik cengkeh sedikit berbeda dengan buah di pohon lain. Memetik Cengkeh perlu menggunakan tangga agar memudahkan pemetikan. 


Pohon Cengkeh memiliki banyak cabang dan daun yang lebat, tidak memungkinkan jika seseorang memanjat tanpa bantuan tangga yang mereka buat. Untuk satu pohon, petani biasanya melakukan tiga kali pemanjatan dari arah yang berbeda. Untuk memetik Cengkeh disatu pohon, bisa memakan waktu setengah hari. Cengkeh tak hanya dipetik, buah-buah yang berjatuhan juga dipungut dan dikumpul dalam karung. Cengkeh yang dipanen pun masih hijau dan belum berbunga. Setelah itu, Cengkeh dikeringkan dengan cara dijemur. Disaat penjemuran itulah aroma Cengkeh keluar.

Petani sangat bergantung pada sinar matahari untuk mengeringkan Cengkeh. Hampir setiap halaman rumah terdapat Cengkeh yang dijemur. Beberapa petani mendesain atap rumah mereka sebagai tempat pengeringan. Caranya, atap rumah mereka dibuat dengan pola buka-tutup. Petani mengeringkan Cengkeh dibawah atap rumah agar memudahkan proses penutupan jika sewaktu-waktu hujan turun. Ketika hujan, atap rumah ditarik menggunakan tali, dan disaat juhan reda, praktis atap rumah dibuka kembali. 

Kehidupan petani Cengkeh di puncak desa Babussalam masih serba berkecukupan. Proses memanen Cengkeh dilakukan secara tradisional dan dengan alat yang sangat sederhana. Tak semua warga memiliki lahan kebun sendiri, beberepa dari mereka bekerja hanya sebagai pemetik Cengkeh. Penghasilan dari Cengkeh juga tidak sepenuhnya memenuhi kebutuhan hidup mereka. Apalagi ketika harga jual Cengkeh masih dalam permainan tengkulak. Sementara tingkat konsumtif masyarakat di desa cukup tinggi. 


Terbentuknya desa Babussalam dipuncak bukit itu dilatarbelakangi oleh perkebunan Cengkeh. Mulanya hanya ada beberapa rumah yang dijadikan rumah kebun, hingga akhirnya warga memilih menetap dengan membangun satu perkampungan. Beberapa sarana dan infrastruktur saat ini sudah terbangun seperti Listrik, Air Bersih, Balai Kantor Desa, Masjid, serta Sekolah. Warga juga menyebut, sekitar 2 km dari desa telah dibangun Villa milik seorang mantan pejabat. Memang, panorama di puncak desa Babussalam terlihat begitu indah dengan hamaparan pohon Cengkeh yang tumbuh memenuhi lereng-lereng bukit. Ini menjadi magnet bagi setiap wisatawan jika mampu dikelola dengan baik. 

Tapi, apakah warga desa mampu mengolah potensi wisata itu menjadi sesuatu yang bernilai secara ekonomi? Bisa saja itu dilakukan demi menopang penghasilan mereka disektor perkebunan. Peran pemerintah desa bersama pemerintah daerah lah yang harus aktif untuk menyusun konsep serta regulasi. Warga desa bisa dilatih untuk menjadi tenaga terampil. So, pendapatan warga desa tidak hanya menunggu waktu panen Cengkeh tiba, tapi mereka bisa mendapatkan pundi-pundi dengan menyuguhkan keindahan alam di desa mereka. Sepanjang wisata alam itu dikelola dengan baik, pastilah desa Babussalam bisa lebih maju dan mandiri.  


Popular Posts