Monday, June 29, 2015

Go Jek: Ojek Online Berbasis Aplikasi Android

Sumber: boomee.co
ANDA pernah menggunakan jasa ojek? salah satu transportasi roda dua yang sering kita jumpai mangkal di pinggir jalan. Nah, di Jakarta kini telah hadir Go-Jek sebagai transportasi altenatif untuk membantu warga di tengah kemacetan jalan ibukota. Go-Jek kini menjadi populer karena berbeda dari ojek-ojek biasa lainnya. Keunikan dari transportasi ini adalah cara pemesanan melalui layanan aplikasi handphone android. Untuk memesannya, kita  tak perlu menunggu lama atau merasa takut karena keamanan saat diantar. Seorang pengojek juga akan mengantar anda kemanapun dengan tarif harga yang sudah tertera di aplikasi handphone. Berarti, setiap penumpang tak perlu lagi tawar menawar harga seperti yang kita lakukan pada sebelum-sebelumnya. Kini, hanya dengan men-download aplikasi Go-Jek dan mendaftar sebagai costumer, maka setiap saat anda bisa memesan Go-Jek untuk melayani anda. 

***

BELUM lama Go-Jek ini beroprasi, transportasi ini juga baru ada di wilayah Jabodetabek. Keberadaan nya bukan lah untuk mematikan ojek-ojek yang lain. Tetapi untuk membantu dan memberikan layanan pada masyarakat yang ingin terhindar dari kemacetan. Saat ini, sudah sekitar lima ratus Go-Jek yang beroprasi dengan seribu lima ratus orang costumer. Memang, awal Go-Jek ini beroprasi telah menuai kecaman dari pengojek lain. Mereka menganggap keberadaan Go-Jek mengganggu dan menurunkan penghasilan mereka setiap hari. Meski baru se bulan berjalan, namun dampak dari keberadaan Go-Jek menimbulkan keresahan bagi para pengojek lain yang sudah lama mengantri di setiap pangkalan pinggiran jalan.

Sumber: screenshot Yadi La Ode
Kehadiran Go-Jek sebagai layanan antar jemput, praktis bisa melayani setiap penumpang dengan mudah dan cepat sampai ketempat tujuan. Go-Jek merupakan alat transportasi yang telah bertransformasi dengan memberikan kenyamanan dan kemudahan bagi setiap calon penumpang. Namun bagi para pengojek yang merasa tersisih dengan keberadaan Go-Jek, semestinya pemerintah daerah bersama pihak perusahaan mengambil langkah untuk melakukan sosialisasi Go-Jek lebih awal. Cara itu dilakukan untuk menghindari konflik antar sesama pengojek sekaligus untuk memberi pengetahuan masyarakat terhadap keberadaan Go-Jek. 

Misalnya adalah Indra, salah seorang Go-Jek yang ku temui saat itu. Meski baru beberapa hari masuk sebagai pengendara, namun sudah beberapa kali ia mendapat teguran dari pengojek lain lantaran mengambil penumpang dekat dengan pangkalan mereka. Padahal, penumpang itu sudah memesannya melalui telepon di nomor hotline nya. Yah sekali lagi, memang butuh sosialisasi yang baik sebelum Go-Jek itu di luncurkan di tengah-tengah masyarakat.

Sumber: Go-Jek pak Indra (foto: Yadi La Ode)
Menurut Indra, pihak perusahaan sebelumnya sudah melakukan pelatihan dan memberi pemahaman kepada para pengendara Go-Jek. Itu dilakukan agar para pengendara nantinya tidak mengambil penumpang di sembarang tempat dan untuk menghargai pengojek lain. Pelatihan juga dilakukan agar setiap Go-Jek mampu menggunakan aplikasi handphone saat menerima pemesanan dari para costumer. Setiap pengendara Go-Jek di lengkapi dengan handphone, helm dan jaket seragam bertuliskan nama perusahaan Go-Jek Indonesia. Untuk mencari Go-Jek, pangkalan mereka ada di http://www.go-jek.com. Di website itu kita bisa mengecek tarif perjalanan dan memilih layanan yang kita pilih. Pelayanan di Go-Jek tak hanya melayani jasa perjalanan, tetapi juga bisa untuk mengantar barang, berbelanja atau memesan menu makanan. ”Tinggal pesan, kita langsung antar sampai ke tempat anda” ucap Indra.

***

BERHARAP, Pemerintah di daerah lain juga memiliki gagasan yang sama dan lebih kreatif dalam melihat moda transportasi yang berkembang saat ini. Pemerintah sudah harus memikirkan solusi untuk mengantisipasi kemacetan dengan melihat penataan kota dan kendaraan yang semakin hari jumlahnya semakin bertambah. Tentu, keberadaan Go-Jek sebagai jasa transportasi alternatif akan memberi pelayanan yang efektif dan efisien di tengah kesibukan masyarakat. Apalagi untuk kota-kota yang berlatar budaya dan wisata, pemerintah mesti menyiapkan fasilitas yang mudah, nyaman dan menyenangkan untuk menarik setiap wisatawan yang akan berkunjung nantinya.

An Ojek For Every Need


Jakarta, 30 Juni 2015
            

Friday, June 26, 2015

Jakarta Pagi Ini

BUNYI pluit di pagi itu membangunkan ku dari tidur, rupanya suara itu dari stasiun kereta yang jaraknya tak jauh dari penginapan tempat ku tinggal. Tiba-tiba, sebuah kereta datang dan berhenti. Para penumpang yang sejak tadi menunggu, dengan cepat mengisi gerbong-gerbong kosong. Yah, Jakarta pagi ini. Meski matahari belum tampak begitu jelas, namun orang-orang di kota ini sudah mengayuh langkah menuju ke tempat kerja mereka masing-masing. Tentu mereka takut nanti terlambat. Sejak subuh mereka keluar rumah agar terhindar dari jalanan yang super macet. 

Sumber: Stasiun Palmerah Jakarta (foto: Yadi La Ode)
Seperti biasa, di ibukota jangan mengharap pagi yang indah seperti di pelosok sana.  Saya pun tak merasakan kesejukan pagi seperti di desa-desa kampung halaman. Disni, kau tak menemukan embun yang membasahi setiap daun di pepohonan, kau tak mendengar suara kicauan burung, atau mungkin ayam yang sedang berkokok. Kehidupan akan sangat berbeda dengan berada di pedesaan yang tak di jamuri banyak pabrik, gedung-gedung bertingkat, deru suara mesin dan polusi.

***

SUDAH beberapa hari saya berada di kota ini, kota yang menjadi magnet banyak orang untuk datang dan ingin mengadu nasib. Iming-iming pekerjaan begitu nampak dari wajah kota yang menjanjikan sehingga banyak orang tergiur untuk datang beramai-ramai mencari lapangan pekerjaan. Sebagian orang mengira, datang dan berkerja di Jakarta akan sangat gampang dan memberi peluang besar untuk berkerja. Mungkin benar adanya, tetapi semua tidak segampang kita mencangkul di sawah atau kita melempar jaring ikan di laut. Di Jakarta kehidupan akan terasa berat ketika sumber daya manusia kita tak begitu mumpuni. Kelihatannya memang tak adil, namun itulah kenyataan hidup. Persaingan begitu ketat di kota ini, setiap manusia akan bersaing demi mempertahankan hidup. 

Sebagai pusat pemerintahan juga ruang bisnis, Jakarta tentu tidak sepi dan terlihat sibuk. Setiap orang akan terus berpacu dengan waktu, mesin-mesin terus berkerja tiada henti. Baik itu di gedung perkantoran, apartemen, hotel, pabrik, perumahan, sampai jalan raya yang selalu saja macet dan membosankan. Inilah pemandangan yang setiap hari kita jumpai. Ini kesekian kalinya, saya kembali menginjak tanah Jakarta. Tempat sang Presiden dan para petinggi negara lainnya tinggal dan bertugas menjalankan roda pemerintahan.

Saat tiba di kota ini, kesibukan mulai terasa di terminal bandara Soekarano Hatta. Saya bisa melihat orang-orang dengan terburu-buru memasuki pintu keluar. Nampak jelas perbedaan itu dari kehidupan di kampung halaman. Perbedaan lain juga saya bisa melihatnya dari budaya dari kehidupan warga kota yang acuh tak acuh. Suhu kota ini terasa begitu panas dengan udara yang tak begitu baik. Saya merasakan ini jauh lebih baik dari kehidupan di kampung halaman. Kehidupan di Jakarta memang jauh lebih modern dari daerah-daerah lain di timur Indonesia. Gedung-gedung pencakar langit menjadi simbol atas kemegahan. Namun, untuk menadapatkan lingkungan sehat dan panorama alam sangat mahal di tempat ini. Tetapi, ini lah yang namanya kota, dengan segala kesibukan dan keangkuhannya.

Sumber: kota Jakarta (foto: Yadi La Ode)
Waktu terus berputar secepat putaran uang di kota ini. Di Jakarta, uang begitu berharga, berapa pun itu nilainya. Sama halnya dengan waktu, waktu juga sangat berarti. Mereka tak menyia-nyiakan waktu bekerja se efektif mungkin. Yang kulihat, para karyawan swasta justru bekerja secara profesional dan disiplin ketimbang mereka yang berkerja di garis pemerintah. Itu bisa dilihat dari pelayanan dan cara mereka berkerja.

Kata seorang kawan, kita butuh keberanian jika ingin bertahan dan menetap di Jakarta, apalagi hanya dengan modal pas-pasan. Akan banyak tantangan dan ujian yang di lewati suatu hari nanti. Sebab, ada banyak cara untuk bisa bertahan hidup di kota ini, begitu beragam dengan segala bentuk dan warna yang melekat pada setiap orang.

Suatu kesempatan, kawan itu berkisah tentang dirinya saat datang ke Jakarta untuk melanjutkan pendidikan. Ia sudah menyelesaikan strata satu dan ingin melanjutkan ke strata dua. Gelar kesarjaannya itu di dapat dari salah satu kampus di kota Baubau. Besar keinginan untuk lanjut, ia nekat untuk melanjutkannya ke Jakarta. Entah, apa yang mendorongnya untuk kuliah di tanah jawa. Namun satu hal yang ingin ia harapkan, yaitu membangun jejaring dan bisa bersilaturahmi dengan orang-orang Buton di perantauan. Awal keberangkatannya ke Jakarta, ia hanya memiliki uang enam ratus ribu rupiah. Kawan itu menaiki sebuah kapal selama tiga hari perjalanan. Sesampainya di Jakarta, ia tak tahu hendak kemana. Dan pada akhirnnya, ia memutuskan untuk menginap di sebuah masjid di pusat Jakarta. 

Beberapa hari ia berkelana di tengah hiruk pikuk dan panasnya kota Jakarta. Ia juga beberapa kali menghubungi kawan-kawan lama. Namun, sama saja hasil yang di dapat. Ia tetap harus mencari kos-kosan yang dianggapnya layak dan murah. Hari-harinya, ia mulai dari kos-kosan itu. Dari semangat dan usahanya, ia diterima di sebuah kampus dan mendapatkan proses perkuliahan layaknya mahasiswa-mahasiswa lain.

Kisah seorang kawan tadi, memberi saya satu keyakinan dan semangat baru. Bahwa tak ada yang tidak mungkin jika niat baik itu adalah untuk melanjutkan pendidikan. Bahwa jangan pernah pesimis untuk menggapai keinginan itu meski berada di tengah wajah kota yang glamor. Sepanjang yang dilakukan itu adalah menuntut ilmu, maka pasti selalu saja ada jalan kemudahan menanti orang-orang mengalami kesusahan. 

Jakarta pagi ini, memberi satu gambaran tentang warna-warni kehidupan, tentang sebuah tantangan dan pengalaman baru. 


Jakarta, 26 Juni 2015




Wednesday, June 17, 2015

Gemuruh Air Terjun Samparona

Sumber: berpose bersama sebelum akhirnya pulang
KITA butuh lebih banyak keberanian untuk menghadapi kehidupan sehari-hari, kehidupan yang bisa saja mengancam keselamatan jiwa kita. Jika dilihat, justru kehidupan itu lebih mengancam keberadaan kita di kota ketimbang dengan melakukan petualangan di dalam hutan belantara. Ada banyak peristiwa mengerikan yang kerap kita jumpai di kehidupan ini, yang sumbernya karena ulah manusia itu sendiri. Kehidupan manusia di kota tidak hanya menampilkan kemodernan, namun juga telah lalai dan melakukan banyak pengrusakan dimana-mana. Pengrusakan lingkungan, pengrusakan tatanan masyarakat, pengrusakan moral yang berujung pada perampokan dan pembunuhan. Meski begitu, bukan berarti kehidupan di kota menjadi runyam lalu kita lari jauh dari kehidupan itu. Mesti ada kesadaran dari kita semua untuk saling menjaga dan menjalani kehidupan dengan tentram dan damai.

***

PAGI itu cuaca bersahabat, sangat baik untuk bisa berlibur atau berpetualang ke berbagai objek wisata. Sehari sebelum kami melakukan perjalanan ke suatu tempat, saya bersama, Asra, Iman, Ajeng, Idar dan Wawan sudah merencanakan dan mendiskusikan berbagai hal mengenai kesiapan untuk bermalam beberapa hari di suatu tempat. Namun, semua harus di pikirkan secara matang-matang. Sebab, segala kemungkinan buruk bisa terjadi dan berakibat fatal kalau saja tidak ada persiapan serius dengan menyiapkan segala sesuatu yang menjadi keperluan nantinya. 

Sumber: Foto Yadi La Ode
Perjalanan kali ini, kami akan menapaki air terjun yang kini ramai di kunjungi oleh wisatawan. Dari beberapa air terjun yang diketahui, kami bersepakat untuk memilih air terjun Samparona sebagai tempat yang menurut beberapa kawan cukup menantang untuk di jelajahi. Air terjun Samparona yang berada di Kota Baubau, tepatnya di Keluarahan Kaisabu Kecamatan Sorawolio.

Bagi Wawan, Idar, Ajeng dan Iman, perjalanan jauh dengan medan berat yang menantang menjadi sangat mengasyikan. Namun bagi saya, itu menjadi hal baru dan membuat saya selalu penasaran untuk di telusuri. Sebelumnya, semua peralatan sudah harus disiapkan dan dicek kelayakannya. Beberapa kawan juga sudah melakukan latihan dan simulasi sebelum terjun langsung ke lapangan. Itu dilakukan untuk memastikan kondisi fisik dan kesiapan mental nantinya. Perjalanan kami kali ini cukup berat. Saat tiba di pintu masuk air terjun, motor-motor kami harus di simpan di salah seorang rumah warga sebelum perjalanan kami lanjutkan dengan berjalan kaki sejauh enam kilometer. Lama waktu perjalanan kurang lebih satu setengah jam. Medan yang di lalui cukup berat sebab kita harus naik turun bukit dan melewati beberapa tebing. Hutan ini begitu padat dan rapat hingga matahari siang itu enggan menyinari langsung. Suara burung seakan menyambut kedatangan kami di alam rumah-rumah mereka.


Bertualang di alam bebas membawa saya kembali menemukan makna kehidupan. Jiwa ini kembali di basuh dengan keberanian untuk menjelajahi alam yang luas ini. Tiba-tiba saja kaki-kaki saya begitu kuat melangkah, padahal beban tas yang ku pikul cukup berat membuat otot-otot punggungku menjadi keram. Wawan dan Idar menjadi leader pada perjalanan kali ini, mereka sudah hafal setiap jalur yang kami lewati. Setelah beberapa lama berjalan, aliran air mulai nampak di balik dedaunan, itu berarti  tak jauh lagi kami akan sampai di air terjun Kantongara. Hutan ini memiliki dua air terjun dengan daya tarik tersendiri. Jika air terjun Samparona memiliki ketinggian, maka air terjun kantongara dengan lebarnya. Nah, untuk sampai ke air terjun Samparona, kita lebih dahulu mendapatkan air terjun Kantongara. Debit air yang dimiliki kedua air terjun ini relatif sama dan jernih. Namun bila musim hujan tiba, debit air meningkat dan warnanya berubah kecoklatan.

Sumber: Foto Yadi La Ode
Perjalanan kami lanjutkan kembali, dan tak beberapa lama kami tiba di air terjun Samparona. Rupanya pengunjung tak hanya kami disitu, beberapa turis asing dan wisatawan lokal juga datang menikmati indahnya air terjun Samparona. Ini kali pertamaku melihat air terjun yang setinggi ini. Belum lama kami tiba, Wawan dan Idar langsung menyiapkan peralatan seperti Kernmantle atau tali pengaman, Harnest atau alat pengikat di tubuh, Carabiner atau cincin kait, Webbing dan beberapa alat lainnya di cek terlebih dahulu kondisinya. Itu untuk memastikan keselamatan saat melakukan Rappeling atau teknik menuruni tebing pada daerah ketinggian.

Sumber: saat pengibaran spanduk di air terjun Samparona (foto: Yadi La Ode)
Olah raga menuruni tebing atau Rappeling yang di lakukan Idar dan Wawan kali ini terbilang cukup ekstrim. Sebab mereka tidak hanya turun dengan bantuan peralatan, namun mereka akan mengibarkan spanduk berukuran dua kali satu meter yang bertuliskan tim ekspedisi Provinsi Kepulauan Buton. Tingkat kesulitan yang mereka dapatkan saat menuruni tebing adalah saat membentangkan spanduk dan di hujani air terjun. Idar hampir tak kuat menahan beban air yang terus meluncur, sebab posisinya tepat langsung dibawah air. Apalagi, ia harus menyesuaikan ketinggiannya dengan Wawan agar posisi spanduk bisa sejajar. Pada ketinggian dua puluh lima meter dari bawah, spanduk berhasil di bentangkan.

Sumber: air terjun Samparona
Meski begitu, spanduk itu hanya bisa bertahan beberapa saat, sebab beban air yang mengenai mereka semakin berat. Pada akhirnya mereka memutuskan untuk naik kembali. Pada posisi seperti itu, di butuhkan kelenturan, kekuatan, kecerdikan, kerja sama, serta keterampilan menyiasati tebing itu sendiri. Mereka tak pernah bermain-main dengan olah raga ini, sekali lagi kalau belum memilki keterampilan jangan sekali-kali melakukannya sendiri tanpa di dampingi orang-orang ahli. Selain alat-alatnya yang mahal, mulanya olah raga ini bersifat petualangan murni yang belum memiliki peraturan yang jelas.

Seiring bekembangnya olah raga ini dari waktu ke waktu, maka di bentuk standar baku dalam setiap aktivitas. Banyaknya tuntutan dalam perkembangan olah raga ini, memberi alternatif pada unsur petualangan itu sendiri dengan mengedepankan unsur olah raga murni. Tampaknya, olah raga memanjat atau menuruni tebing di alam bebas yang selama ini kita lihat tidak sekedar hobi dan gagah-gagahan saja. Namun juga bentuk penyatuan diri kepada alam. Rock Climbing, Rappeling atau jenis kegiatan lain membutuhkan latihan dan keterampilan khusus serta teknik-teknik tertentu.  

***

PAGI masih di selimuti kabut. Gemuruh air yang jatuh, percik airnya langsung membasahi wajah-wajah kusam kami yang baru saja bangun dan keluar dari tenda kemah. Sontak membuat kantuk ku hilang seketika. Pandangan saya terus melihat air terjun yang terus memuntahkan air, pesonanya membuat saya ingin terus berlama-lama. Ingin ku terus merasakan kesejukan tempat ini, berenang di kolam air dan medengar siulan suara-suara burung. Ini surga, alam yang kaya sudah semestinya kita sadar untuk selalu menjaganya agar tidak dirusak dan dikotori. Itu bisa dilihat dari tumpukan sampah yang berserahkan di sekitar air terjun, juga saya melihat beberapa ukiran nama-nama orang pada dinding tebing. Entahlah, mungkin mereka ingin juga dikenal oleh pengunjung-pengujung lain kalau mereka juga pernah kesini. Padahal, menurutku mereka sudah salah menempatkan nama. Seharusnya ukiran nama-nama itu berada pada salah satu prasasti atau sebuah piala karena prestasi. Bukan pada dinding tebing atau pada batang sebuah pohon didalam hutan belantara. Sebab pada waktu-waktu tertentu, hanya ada gerombolan monyet dan hewan lain saja yang melihatnya. Keren kan?

Sumber: di lokasi kamp air terjun Kantongara
Hari sudah memasuki senja, kami memutuskan untuk segera kembali. Semua barang bawaan kami kemasi lagi, tak lupa sampah-sampah di bawa serta. Satu per satu peralatan di cek kembali agar tak ada yang tertinggal. Yaah, dua hari berada di dalam hutan. Dari pengalaman ini, saya mendapatkan banyak pengetahuan tentang alam, saya mendapatkan banyak pelajaran tentang istilah dan teknik memanjat dari para penggiat panjat tebing, saya dilatih untuk bisa bertahan hidup di tengah hutan belantara dengan peralatan dan logistik se adanya. Tentu, cara ini adalah untuk mengenal alam lebih dekat sekaligus mengobati kepenatan selama beraktivitas di tengah hiruk pikuk perkotaan.



Baubau, 17 Juni 2015


Wednesday, June 10, 2015

Kursus Bahasa Ala Eco English Camp

berfoto bersama di akhir acara
LINGKUNGAN belajar tak selalu berada dalam sebuah ruangan kelas atau dengan memakai seragam. Bagi kelompok kursus bahasa inggris Eco English Camp, belajar di ruang terbuka akan sangat menyenangkan dan lebih cepat dalam menerima setiap materi yang dibawakan. Belajar di ruang terbuka atau alam, bisa memberi banyak hal baru dan tak kaku. Mereka akan lebih memahami alam atau kehidupan mahluk hidup lainnya. Mereka bisa langsung merasakan betapa pentingnya alam bagi kehidupan manusia.

Bagi mereka, belajar di alam bebas tanpa sekat seperti ini akan membuka banyak pengetahuan dan menumbuhkan semangat belajar. Mereka tidak hanya membuka kursus berbahasa inggris, tetapi juga mencoba membuat bentukan lain melalui kemampuan mereka berbahasa inggris dan menjadikan lingkungan sebagai wahana untuk belajar. Dalam kepengurusan, mereka terdiri dari mahasiswa aktif dan juga bekas mahasiswa lulusan sebuah kampus swasta di kota ini. Dari dikusi-diskusi kecil, mereka membentuk satu jenis kegiatan yang bertemakan lingkungan sebagai ruang belajar, ruang melatih diri, dan ruang bermain. Pesertanya adalah pelajar dan mahasiswa yang punya kemauan besar untuk belajar berbahasa inggris. Dan kini, kegiatannya terus berlanjut seiring dengan hasrat belajar yang tinggi dari mereka yang ingin terlibat dalam setiap kegiatan Eco English Camp.

***

HARI itu tengah berlangsung pembukaan acara kegiatan Eco English Camp yang di inisiasi oleh sebuah lembaga kursus bahasa inggris di kota ini. Pesertanya datang dari beberapa kota di Sulawesi Tenggara. Dan kota Baubau kali ini adalah sebagai tuan rumah. Kegiatan ini sudah berjalan sejak delapan tahun lalu. Di acara pembukaan, terlihat pemerintah daerah menyambutnya dengan sangat baik. Apalagi, kegiatan ini bertema lingkungan dan edukasi. Tentu kegiatan tersebut sangat positif untuk setiap pelajar dan bagi kemajuan suatu daerah. Di rencanakan, kegiatan tersebut akan berlangsung selama tiga hari dan bertempat di Bumi Perkemahan Samparona sebagai lokasi Camp. Saya berkesempatan ikut saat itu, sebab Komite Nasional Pemuda Indonesia Kota Baubau bersama lembaga Course English Society menjadi pelaksana dalam kegiatan. Makanya saya dan beberapa kawan juga di persilahkan untuk membuat Camp di lokasi tempat mereka berkemah.

saat mengikuti materi dari para turis
tenda-tenda yang kami tempati
Cikal bakal adanya kegiatan tersebut di mulai dari niat tulus beberapa orang pemuda yang secara sukarela meluangkan waktu dan pikiran mereka untuk berbagi pengetahuan dibidang bahasa inggris. Sebelum membentuk organisasi ini, tidak banyak yang dilakukan mereka selain membuka kursus dan menjadi pemandu wisatawan keberbagai tempat. Kemampuan berbahasa inggris itu rupanya tak hanya saat jasa mereka dipakai oleh bule-bule asing yang tak tahu berbahasa indonesia itu. Namun, mereka ingin agar ada bibit-bibit baru yang juga punya kemampuan sama dalam berbahasa inggris. Menurut mereka, bahasa inggris sangat penting di era ini. Memang tak menjadi suatu kewajiban bagi masyarakat Indonesia untuk menggunakan bahasa inggris sebagai bahasa keseharian. Namun akan menjadi penting ketika pendidikan mensyaratkan kita untuk memiliki kemampuan bahasa inggris. Seiring dengan itu, ramainya turis-turis asing yang datang ke berbagai daerah menjadi tantangan baru buat kita yang berada di daerah.

Di tempat kegiatan, saya merasa seperti berada di suatu negara yang penduduknya mayoritas menggunakan bahasa inggris. Saya melihat, tak ada satupun dari mereka yang menggunakan bahasa indonesia. Dalam berbagai aktivitas peserta Eco English Camp diharuskan memakai bahasa inggris. Tujuannya adalah untuk melatih kebiasaan mereka dalam berbahasa. Keseriusan itu sangat nampak pada setiap peserta, mereka saling berkomunikasi demi memantapkan bahasa yang sudah dipelajari. Tak hanya itu, panitia juga menghadirkan turis asing agar peserta bisa langsung berkomunikasi dengan mereka. Dan ternyata memang peserta sangat menunggu kehadiran para bule-bule itu. Setiap peserta ingin mempraktekkan nya langsung sekaligus melatih untuk menangkap setiap ucapan dari para turis. Sungguh, saya mendengar bahasa mereka sudah sangat baik dalam berbicara. Mereka sudah sama dengan bule-bule itu, bisa mengerti dan dengan lancar berbicara bahasa inggris.

Kata sang penggagas, sudah banyak jebolan dari organisasinya yang kini berkeliling di beberapa negara. Bahkan, ada yang beruntung mendapatkan beasiswa sampai melanjutkannya keluar negeri. Disisi lain ia melihat, potensi pariwisata di daerah kita sangat menarik ketika bisa dikelola dengan baik. Kita tak hanya memilki wisata alam pantai dan pegunungan saja, kita juga memiliki wisata budaya yang tak kalah menariknya dari daerah-daerag lain. Hanya saja, tempat-tempat wisata itu didukung pada fasilitasnya, tetapi juga didukung dengan keahlian setiap pengelolanya. Sebenarnya, yang dimaksud adalah kemampuan berbahasa inggris yang dimiliki setiap pekerja. Tidak lain adalah untuk kenyamanan pada setiap pelayanan pengunjung nantinya. Sebab, para wisatawan tidak hanya datang dari dalam negeri tetapi juga banyak datang dari luar negeri.

Selama beberapa hari di tempat itu, saya mendapatkan satu energi positif yang dipercikkan melalui kegiatan-kegiatan mereka di Eco English Camp. Peserta yang jauh-jauh datang tidak semata hanya untuk menggelar tikar dan membuat perkemahan saja. Namun, mereka juga bisa meningkatkan kemampuan bahasa inggris dan mendekatkan diri dengan alam. Bahwa sebenarnya, belajar dialam bebas jauh lebih bersahabat dan memberi banyak pengalaman baru.




Baubau, 10 Juni 2015

Monday, June 1, 2015

Ritual Menanam, Warisan Para Leluhur

SEBUAH desa di Kabupaten Buton. Kurang lebih dua puluh tahun lamanya desa itu berdiri dan memegang erat sebuah tradisi menanam. Desa Labuandiri adalah salah satu desa yang berada di Kecamatan Siotapina, Kabupaten Buton yang masih melestarikan budaya dan memiliki adat istiadat yang kuat. Letak dan Posisinya berada di daerah perbukitan menjadikan tanah desa cukup subur. Itulah sebabnya masyarakat memanfaatkan lahan untuk menanam beraneka jenis tanaman. Namun, ada hal yang menjadi keharusan bagi masyarakat desa Labuandiri. Masyarakat diwajibkan untuk menanam padi ladang sebagai bentuk pelestarian budaya yang sejak lama tertanam di masyarakat desa Labuandiri.

Sumber: bersama Bonto Desa Labuandiri
Beras padi ladang yang dihasilkan berbeda dengan beras yang umumnya masyarakat konsumsi. Padi ladang berasnya berwana merah, kenyal dan harum. Cara menanamnya pun berbeda dengan beras putih kebanyakan. Umumnya, masyarakat menanam padi ini di dataran tinggi dan mengandalkan hujan sebagai sumber air. Makanya, masyarakat baru bisa menanamnya ketika musim hujan tiba. Hampir seluruh masyarakat desa ini berkerja sebagai petani padi ladang. Ada semacam aturan yang dibuat perangkat adat desa dalam bertani, yang pelaksanaannya selalu dilakukan dengan rangkaian ritual adat. Setelah hasil panen padi di dapat, maka masyarakat desa membuat acara pesta panen yang diatur oleh perangkat adat desa sebagai bentuk persembahan kepada para leluhur. Ini juga bentuk rasa syukur mereka dari hasil jerih payah selama menanam.

***

MENJELANG sore saya tiba di desa itu. Cukup jauh untuk sampai Desa Labuandiri bila perjalanan dimulai dari Kota Baubau. Namun saya selalu menikmati setiap perjalanan, apalagi kondisi jalan yang sudah bagus dan mulus. Dengan menggunakan sepeda motor, saya melewati banyak panorama alam yang sesekali membuat saya terhenti untuk mengabadikan beberapa gambar dan momen menarik. Teriknya matahari tak mematahkan semangat. Sepeda motor terus kupacu, jalan lurus yang memanjang, disisinya terdapat pantai yang eksotik cukup untuk mengobati rasa lelah selama dalam perjalanan.

Sumber: diskusi bersama perangkat adat di rumah kepala desa Labuandiri
Dan akhirnya saya pun tiba di desa itu. Sayangnya, kawan-kawan dari Jaringan Kerja Pemetaan Partisipatif (JKPP Bogor) dan Wahana Lingkungan Hidup Sulawesi Tenggara (Walhi Sultra) tak lama lagi akan pulang meninggalkan desa. Sebab, kegiatan yang sudah berlangsung selama tiga hari itu telah selasai. Mereka lebih dulu ada didesa dengan melakukan pelatihan pemetaan yang melibatkan masyarakat. 

Di rumah panggung yang ukurannya tak begitu luas, saya bertemu mereka. Rumah itu milik kepala desa, ia adalah bapak La Baruni yang baru dua bulan menjabat sebagai kepala desa Labuandiri. Dirumahnya, duduk bersilah para peserta pelatihan. Diantara peserta itu, hadir beberapa orang perangkat adat desa. Salah seorang diantaranya adalah bapak Asmara, beliau adalah seorang Bonto atau ketua adat di desa Labuandiri. Sejak lama beliau dipercayakan sebagai seorang Bonto untuk melanjutkan tradisi dan menjalankan aturan-aturan yang disepakati dalam adat. 

Dalam struktur lembaga adat, Bonto dibantu dengan seorang Wati dan Kausa. Bagi masyarakat desa Labuandiri, tradisi menanam merupakan kekayaan budaya yang hingga kini masih terus terjaga. Untuk itu, maka setiap kali melakukan penanaman padi, dilakukan rangkaian ritual adat yang di yakini dari turun temurun. 

Sebelum memulai tanam, lembaga adat melakukan musyawarah bersama pemuka agama dan masyarakat. Tujuan dilakukannya pertemuan itu adalah untuk membicarakan hal-hal menyangkut waktu yang tepat saat dimulai penanaman. Penyambutan musim tanam atau Bhongkana Barata adalah bagian dari ritual adat untuk menyambut datangnya musim tanam. Waktu tanam yang diambil biasanya sekitar bulan Agustus sampai bulan November, saat musim hujan tiba. 

Di mulai dari merintis atau membuka lahan, lahan yang sudah dibersihkan lalu dibagi-bagi kepada masyarakat yang mau menanam. Namun sebelum dilakukan ritual Tingkaha, masyarakat masih belum dibolehkan untuk menebang pohon. Penanaman baru bisa dilakukan usai masyarakat memberi makan tuan tanah atau melakukan ritual Pekandeane Ounuwite. Kemudian masyarakat menyepakati dilahan siapa awal dilakukan penanaman. Tetapi, biasanya lahan Bonto menjadi awal dari dimulainya penanaman lalu di ikuti oleh masyarakat. Proses itu, tidak hanya di tanah siapa kemudian penanaman perdana dilakukan. Namun, di dalam rapat musyawarah adat juga disepakati seorang pawang tanam atau Parika yang diberi mandat sebagai orang pertama yang melakukan penanaman. Masyarakat yang memiliki lahan, sebelumnya mencari seorang Parika atau pawang tanam yang memiliki kemampuan ilmu padi atau memilki ilmu menanam yang baik. Masyarakat percaya, bahwa untuk mendapatkan hasil panen yang berlimpah bisa tergantung dari siapa yang menjadi pawang tanamnya. Makanya, masyarakat dapat menyeleksi dan menyepakati siapa Parika yang akan melakukan penanaman padi dilahan mereka. 

Dan penanaman perdana pun dilakukan diatas lahan Bonto oleh Paria, seorang pawang tanam yang sudah disepakati sebelumnya dalam adat. Saat berlangsung penanaman, ada ritual lain yang di yakini masyarakat sebagai proses interaksi manusia dengan alam. Interaksi itu adalah syair-syair untuk mendapatkan keberkahan dari apa yang ditanam. Sebuah nyanyian mengiringi gerak masyarakat saat melakukan penanaman padi. Sambil bernyanyi, kayu runcing menancap ke tanah dan membuat sebuah lubang kecil. Dari lubang-lubang itu, ditaburkan bibit-bibit padi dan kemudian ditutup kembali dengan tanah. Antara pagi sampai siang, lagu-lagu yang dinyanyikan adalah Wasakunde dan Lele-Lele, dan dari Siang hingga menjelang malam Lapambai, Laule dan Lamenggai-nggai. Semua nyanyian memiliki maksud dan tujuan, kemudian masuk dalam proses ritual dan diikuti secara bersama-sama.  

Beberapa bulan kemudian menjelang panen raya. Para tokoh adat, pemuka agama bersama masyarakat desa kembali melakukan musyawarah dalam rangka membicarakan hal-hal mengenai persiapan panen. Dilakukan ritual Bela’aneitao atau memberi luka tahun. Sebenarnya arti dari ritual ini adalah memberi luka padi. Namun belakangan masyarakat sering menyebutnya dengan memberi luka tahun. Atau waktu dimana masyarakat melakukan pemotongan padi. Masa panen adalah waktu yang ditunggu-tunggu oleh masyarakat. Proses memanen tidak serta merta mengambil begitu saja dari apa yang pernah ditanam. Namun, dilakukan dulu beberapa ritual adat sebagai persembahan kepada yatim piatu dan rasa syukur mereka atas hasil panen yang di dapat dari sang pencipta.   

Tradisi menanam di Desa Labuandiri hanya lah satu diantara acara ritual lain yang diwariskan. Semua aturan dalam adat adalah wajib dan patuh untuk dijalankan. Jika ada dari masyarakat yang melanggar, maka ada sanksi adat atau denda yang harus dibayar. 

Dari semua rangkaian proses menanam tadi, puncaknya ada pada ritual adat di Gunung Siotapina. Suatu keharusan bagi masyarakat desa yang masuk dalam rumpun Sukanayo dan Matanayo untuk mengikuti ritual adat yang dilaksanakan beberapa hari di tempat itu. Sebuah tempat yang di dalamnya terdapat makam Sultan Buton, Sultan Himayatuddin Muhammad Saidi atau Oputa Yi Koo sang gerilyawan Gunung Siotapina yang namanya pernah disebut-sebut sebagai pahlawan nasional. Beberapa hasil panen masyarakat dibawa ke Gunung Siotapina atau masyarakat mengenalnya dengan mengantar Tutura. Dan saat masyarakat kembali ke desa masing-masing, mereka mengadakan pesta kampung atau disebut dengan Kalawati. Semua acara berkesinambungan, mulai dari menanam, memanen, sampai mengadakan syukuran melalui ritual-ritual adat yang masih dipercaya hingga saat ini.

***

MENDENGAR penjelasan dari sang Bonto, saya seperti berada ditengah-tengah para leluhur dan mengikuti setiap proses ritual adat. Ditempat itu, saya mendapat banyak pengetahuan tentang budaya, tentang kesakralan adat, tentang ritual-ritual yang diyakini dapat membawa keberkahan bagi masyarakat. Sayangnya, bapak Asmara melihat ada fenomena lain yang terjadi pada budaya dan adat istiadat kita saat ini. Beliau sangat prihatin dengan kondisi budaya yang mulai terkikis oleh zaman dan masyarakat yang mulai keluar dari kebiasaan adat. Beliau meyakini, datangnya berbagai macam bencana tidak terlepas dari prilaku manusia yang sudah menyimpang dari norma agama dan adat istiadat. “Kita jangan heran dengan daerah kita yang sering mendapat bencana,kekurangan kita saat ini karena sudah tidak bisa lagi menjaga hubungan antara rakyat dan pemimpin nya atau seorang pemimpin yang lupa dengan  rakyatnya” keluh pak Asmara. Soal kesultanan, beliau menyerahkan sepenuhnya kepada para perangkat adat kesultanan Buton dalam menjaga dan mepertahankan nilai-nilai budaya.

Sumber: bapak Asmara Bonto Desa Labuandiri
Setiap masalah tentu memilki jalan keluar masing-masing. Adat sangat berperan penting untuk menyelesaikan persoalan-persoalan kerap terjadi di dalam masyarakat. Sepanjang persoalan itu masih bisa diselesaikan lewat hukum adat, maka akan diselesaikan lewat aturan di adat. Kecuali itu menyangkut agama, perangkat adat menyerahkan sepenuhnya pada hukum-hukum agama. Bagi masyarakat desa Labuandiri, penyelesaian masalah lewat adat lebih baik dan cepat terselaikan ketimbang melibatkan pihak-pihak dari luar. Sebab, penyelesaian masalah lewat adat atau agama di internal desa tidak menyisakan dendam antara pihak –pihak yang berseteru. Lembaga adat bisa memediasi dan mencarikan jalan terbaik agar masalah itu tidak berlarut-larut. Tentu, semua dilakukan untuk menjaga harmonisasi kekeluargaan dalam desa Labuandiri.  

Sebenarnya, ada banyak yang ingin ku tuliskan mengenai kebiasaan masyarakat desa Labuandiri dalam melestarikan budaya. Tentang tradisi atau kebiasaan adat dalam melakukan ritual di Gunung Siotapina yang sudah dilakukan secara turun temurun. Meski belum sampai kesana, tetapi pikiran saya sudah ingin menjelajahi kebiasaan-kebiasaan masyarakat adat. Menariknya, ritual di Gunung Siotapina dilakukan selama beberapa hari dengan waktu perjalanan selama kurang lebih tiga hari. Ada banyak wisatawan asing maupun lokal yang berkunjung saat kegiatan berlangsung di tempat itu. Tentu ini menjadi petualangan menarik kalau saya bisa kesana nanti. Semoga.


Baubau, 01 Juni 2015

Popular Posts