Wednesday, February 20, 2019

Cara Anak Muda Desa Membangun Gerakan Lingkungan

Teluk lasongko

PAGI di teluk Lasongko. Matahari mulai menyengat, menyelinap masuk diantara dinding-dinding papan sebuah rumah panggung, tempat kami diberi tumpangan.

***

KEBETULAN waktu itu sedang libur sekolah. Anak-anak muda desa sedang ramai di pinggir pantai. Makanya sejak pagi buta mereka sudah dilaut. Kadang menyuluh ikan saat air laut sedang surut. Kalau air laut surut, bisa sampai satu kilometer jaraknya. 

Para nelayan, yang kebanyakan dari mereka masih muda, lebih tepatnya usia dewasa, ada yang masih remaja, bergegas ke perahu, membunyikan mesin lalu melejit diatas air. Di usia produktif seperti itu, waktu mereka lebih banyak diwakafkan untuk bekerja, mencari nafkah di laut.

Sama ketika waktu sekolah tiba. Tidak untuk ke laut, ke kebun atau bermain sepakbola. Jam berlajar di sekolah dimanfaatkan dengan sebaik-baik mereka menimba ilmu di bangku pendidikan. Bagi mereka, sekolah adalah tuntutan mendapat pengajaran. Sementara di rumah, adalah tuntutan menyambung hidup, menjalani hari-hari dari aktivitas menjaring atau menebar jala ikan di laut.

Sejak malam, kami sudah merancang kegiatan pelatihan untuk masyarakat desa, khususnya bagi komunitas anak-anak muda desa. Kegiatan itu difasilitasi oleh Wahana Lingkungan Hidup Indonesia atau Walhi Sultra. Kegiatan tersebut diniatkan untuk meningkatkan pemahaman warga desa mengenai isu-isu ekologi, serta membangun kesadaran mereka dalam menjaga keseimbangan ekosistem.  

Ini menjadi komitmen Walhi. Informasi dan pemahaman seperti itu dapat disemai agar ada kesadaran setiap kita demi mewujudkam lingkungan yang berkelanjutan. Melalui kegiatan itu, Walhi berharap akan tumbuh komunitas-komunitas anak muda desa yang fokus kerjanya pada misi penyelematan lingkungan.


Saat sedang berlangsung kegiatan pelatihan Walhi
Anak-anak muda desa bisa lebih kritis dalam melihat persoalan. Karena mereka punya diferensiasi dari anak muda perkotaan yang cenderung apatis dan pasif. Anak muda desa punya semangat kolektif ketimbang anak muda kota yang individual dan kadang anti sosial.

Seperti halnya anak-anak muda di desa ini. Tidak sedikit kontribusi atau dedikasi yang sudah mereka berikan kepada desa. Mulanya dari kumpul-kumpul biasa, membentuk komunitas dan mulai tergerak dalam setiap kegiatan sosial dan lingkungan. Selain itu, mereka juga aktif di sosmed, melakukan promosi objek-objek wisata yang ada di desa mereka. 

Di setiap kegiatan yang mereka lakukan, para anak muda desa sering melakukan sosialisasi. Juga kerap seminggu sekali melakukan bakti sosial, aksi bersih-bersih pantai yang mereka sebut. Kegiatan-kegiatan kecil, tapi bisa memberi dampak ke banyak hal. Hal yang paling penting, bisa menghilangkan kebiasaan buruk masyarakat, budaya yang hampir mengakar, yakni kebiasaan nyampah.

Aksi mereka kadang menyasar objek-objek wisata yang ramai dikunjungi masyarakat. Mereka juga membuat bahan kampanye, papan informasi dan tempat sampah disekitar objek itu.  

Di kegiatan Walhi di desa Batubanawa, anak-anak muda desa begitu antusias mengikuti rangkaian materi selama dua hari. Hari terakhir, mereka menyusun Rencana Tindak Lanjut (RTL), membuat peta desa secara partisipatif. Mereka diberi alat gambar, kemudian secara bersama menentukan letak-letak bangunan, membuat jalur dan nama nama jalan, menandai spot-spot wisata, serta memetakan letak potensi sumber daya alam yang kini dikembangkan masyarakat desa. Tapi, proses pembuatannya dilakukan dengan amat sederhana dan dengan alat gambar seadanya. 



Mula-mula, banyak coretan dan kesalan ketika mereka menentukan tempat-tempat di dalam gambar peta. Tapi mereka terus mencoba, mengumpulkan keping demi keping ingatan mereka. Diskusi mereka bangun agar ada pendapat, saran dan masukan. Juga untuk mengkonfirmasi lokasi, benar atau tidak. Makanya mereka terjun langsung ke lokasi untuk memastikan tempat-tempat itu.

Selain menjadi media pembelajaran, peta desa yang mereka buat itu akan bermanfaat karena memberi informasi bagi orang-orang baru yang datang di desa mereka.


Apapun itu, semangat koletivitas mereka begitu tinggi. Rasa persaudaraan diantara mereka juga kuat. Mereka aktif diberbagai kegiatan desa. Pada akhirnya mereka dapat memahami dan tergerak untuk berbuat sesuatu demi lingkungan, demi desa, kampung kecil mereka di pesisir teluk Lasongko Mawasangka Timur. 

Mereka juga tak tanggung-tanggung melancarkan kritik terhadap siapa pun yang mencemari dan merusak lingkungan. Sama seperti mereka dengan cepat merespon pembangunan tempat pembuangan akhir sampah (TPA), yang rencanannya akan dibangun di sebelah utara, tak jauh dari desa mereka. Bagi mereka, sudah saatnya bergerak melawan.

***

BUTON TENGAH atau Buteng memang belum lama keluar dari induknya, yakni Kabupaten Buton. Setelah resmi menjadi daerah otonom tahun 2014, sebagai anak baru di wilayah Sulawesi Tenggara, Buteng mulai merias diri, menata wilayahnya agar tampak menjadi sebuah kota.

Sebuah kota tidak hanya identik dengan bangunan-bangunan megah, tapi juga urusan lingkungan, masalah limbah ataupun sampah. Nah urusan sampah kota menjadi urusan dan tanggungjawab pemerintah daerah agar menyiapkan tempat pengolah atau tempat akhir pembuangan sampah yang jauh dari pemukiman dan dipastikan tidak menimbulkan keresahan sosial. Mengingat besarnya potensi gangguan terhadap lingkungan, maka pemilihan lokasi TPA harus dilakukan dengan sangat hati-hati.

Namun keputusan pemerintah daerah Buton Tengah menetapkan lokasi TPA dinilai grasa-grusu, atau terlalu gegabah. Belakangan, rencana pembangunan TPA itu mendapat penolakan dari warga. Memang mengherankan, tanpa ada pertimbangan lain, sang Bupati menyerukan agar segera dibangun tempat pembuangan akhir sampah (TPA) dikawasan desa Batubanawa Kecamatan Mawasangka Timur.

Tentu warga desa dengan keras menolak. Terlebih bagi anak-anak muda desa, mereka begitu geram mendengarnya. Mereka mengadakan aksi protes. Beberapa kali melakukan demonstrasi dan meminta kepada pemerintah daerah agar lokasi pembuangan akhir sampah ditinjau kembali karena lokasi yang dimaksud di desa mereka tidak sesuai peruntukannya. 

Demo penolakan TPA. (Dok. Amrin)
Gelombang aksi penolakan terus dilakukan oleh kelompok pemuda desa. Namun tak jarang, gerakan mereka mendapat teror, intimidasi dari oknum birokrasi. Beberapa dari mereka di imingi sesuatu, mau diberi duit agar aksi penolakan tidak lagi dilakukan. Tapi sepertinya anak-anak muda desa itu punya komitmen yang kuat dalam garis perjuangan. Hingga pada akhirnya, sekelompok pasukan bertopeng yang tak dikenal menghadang long march, aksi mereka. Satu diantara mereka menjadi korban pemukulan dari orang tak dikenal. Wajahnya lebam kena hantaman.   

Saat Walhi meninjau lokasi yang dimaksud, memang jarak antara lokasi yang rencananya akan dibangun “tong sampah raksasa” itu  cukup dekat dengan perkampungan warga. Lebih dekat lagi dengan bibir pantai dan laut, kawasan ekosistem yang dihuni oleh beragam jenis ikan dan biota.   

Penolakan warga bukan tanpa alasan, mereka sangat mengkhawatirkan dampak yang timbul dari keberdaaan TPA yang cukup dekat dengan tempat tinggal mereka. Tidak ada penjelasan yang pasti dari pemerintah daerah mengenai pembangunan TPA. Terlebih sosialisasi kepada publik terkait kajian lingkungan, bagaimana metode pengolahan atau sistem operasionalnya, sehingga TPA memang benar-benar dianggap aman dan layak untuk dibangun di desa itu.

Rapat dengar pendapatan di kantor DPRD Buteng (Dok. Amrin)
Entah apa yang ada di kepala sang Bupati, yang mau menjadikan kawasan pesisir itu sebagai lokasi pembuangan akhir sampah. Padahal kalau dilihat, tempat itu merupakan kawasan bebatuan yang berongga, atau memiliki banyak celah yang mudah di aliri air. Maka bisa dipastikan, sampah-sampah basah yang menumpuk, yang jumlahnya berton-ton itu kelak airnya akan meresap dan mengalir kemana-mana hingga mencamari laut dan air di dalam gua.

Kabupaten itu dikenal memiliki banyak gua. Tidak sedikit warga memanfaatkan air di dalam gua-gua sebagai kebutuhan rumah tangga. Masalah ini yang belum clear untuk dikaji lebih jauh oleh pemerintah daerah. Mungkin saja mereka tahu, tapi dikesampingkan demi meraup keuntungan dari adanya proyek pembangunan daerah. Sungguh, ini miris.  

***

BUTENG tidak hanya unik, tapi juga khas dengan wisata gua nya. Potensi wisatanya menjadi daya tarik tersendiri daerah itu. Adat dan tradisi hingga kini juga masih hidup dan terjaga. Kekayaan sumber daya alamnya cukup berlimpah, baik di laut dan di darat. Potensi sumber daya lautnya bisa kita lihat di desa-desa pesisir. Nelayan melakukan budidaya rumput laut, ikan dan kepiting rajungan. Sementara di sektor perkebunan, jambu mete menjadi komoditi yang sejak lama dikembangkan masyarakat tani. Sayang kalau pemerintah tidak melihat ini sebagai suatu peluang untuk digenjot demi memakmurkan rakyat disana. 

Sebagai daerah yang baru mekar, Buteng memang sedang gencar melakukan berbagai upaya pembangunan. Infrastruktur dan perbaikan layanan dasar menjadi prioritas untuk segera dikerjakan. Dalam pemerintahan, selalu ada target-target. Ada capaian yang harus dikejar. Apalagi ini daerah Daerah Otonomi Baru (DOB). Statusnya masih dalam pengawasan pemerintah pusat. Kalau tidak ada progres dan mencapai target, pemerintah pusat akan mengambil alih dan dikembalikan lagi ke induk.

Tapi apapun kerja keras pemerintah dalam membangun daerah, bukan menjadi alasan untuk memaksakan suatu pembangunan dengan mengabaikan banyak aspek sosial dan lingkungan. Salah satunya memaksakan pembangunan TPA, dengan meligitimasi banyak kesalahan. 

***

Hmm… Tampak semburat merah di langit biru. Matahari perlahan tenggelam di balik bukit. Hari sudah memasuki malam. Perahu-perahu mulai merapat ke dermaga. Satu per satu nelayan merapikan jaring dan bergegas kembali ke rumah. Berharap, hari esok akan lebih baik lagi.



Buteng, 20 Februari 2019


Thursday, February 14, 2019

Rangkaian Konflik dan Kemiskinan Sekitar Hutan

Sebuah Catatan Tentang Kampung Wabou

Rumah warga di kampung Wabou

KONFLIK itu pecah tengah malam, usai pelaksanaan ritual adat, pesta kampung tahunan desa. Tak disangka warga langsung beringas, tak terkontrol lagi, menyerang barisan aparat polisi yang ditugaskan untuk mengawal proses pesta adat kampung. Mereka adalah sekelompok pemuda, yang menurut keterangan polisi, anak-anak muda itu beberapa ada yang mabuk, habis meneguk alhokohol. Polisi tak menyangka, warga begitu marah lalu melempar batu ke arah barisan mereka. Apa boleh buat, polisi mengeluarkan senapan, peluru gas air mata di muntahkan ke arah mereka yang masih melawan. Warga tetap bertahan, mereka melihat ada beberapa kendaraan roda dua dan sebuah mobil dinas Polri terpakir dekat dan ditinggal begitu saja. Beberapa dari anak muda itu lalu melampiaskan emosi dengan membakar motor dan mobil dinas milik polisi. Malam itu, situasi desa begitu mencekam. Beberapa hari setelah kejadian, polisi melakukan konferensi pers dan menetapkan sebelas orang tersangka. Ada diantaranya masih dibawah umur. 

Peristiwa kelam itu terjadi pada Sabtu (20/10/2018), dan menjadi sorotan publik. Pemberitaannya ramai di media massa. Beberapa lama pasca konflik, saat saya mengunjungi desa itu, desa Lawele di Kecamatan Lasalimu Kabupaten Buton, saya masih menemukan puing, sisa-sisa pembakaran. Beberapa warga yang saya temui juga masih menyimpan trauma atas kejadian di malam pesta kampung, yang sebelumnya mereka tak menyangka akan berakhir dengan konflik. Mereka ingin menutup cerita mengenai peristiwa kelam di malam itu. 

Saya bisa saksikan, traumatik yang dialami warga desa Lawele itu masih ada, meski konflik telah berlalu beberapa bulan lalu. Saat kendaraan kami berhenti di kampung Wabou, saya melihat seorang ibu tampak begitu ketakutan. Ia dengan lekas masuk ke dalam rumah. Namun kami coba datang dengan baik, kami bertamu layaknya tamu. Awalnya hanya cerita biasa, basa-basi soal kunjungan kami. Dan saya coba bertanya pada ibu tadi, rupanya benar, ia takut dengan kehadiran kami. Sebab, anaknya menjadi salah seorang tersangka dan kini di tahan di Lembaga Pemasyarakatan (LAPAS) atas kasus pembakaran mobil polisi di malam perayaan pesta kampung tahunan desa Lawele.

***

PERISTIWA yang terjadi di desa Lawele bukan yang pertama kalinya. Beberapa orang tua desa mengisahkan konflik antara masyarakat desa dengan Brimob juga pernah terjadi sekitar tahun 1950-an. Seorang tetua adat berkisah tentang bagaimana Lawele mengalami proses sejarah yang cukup pelik. Desa itu dulunya berubah menjadi medan pertempuran. Konflik itu terkait dengan pemberontakan, kemudian ditandai dengan masuknya Brimob dan menjadikan Lawele sebagai basis operasi mereka. Berdirinya pangkalan Brimob di desa Lawele membuat ribuan warga desa melarikan diri mencari perlindungan. Mereka kemudian menyebar ke berbagai tempat di wilayah perbukitan, bersembunyi diatas gunung, sebagian memilih untuk keluar desa dan berpencar di wilayah lain, hingga keluar pulau Buton. Operasi anti komunis itu berlangsung cukup lama. Operasi itu menyisakan traumatik orang-orang desa, yang pada akhirnya memilih mengungsi meninggalkan desa Lawele. Hingga mereka menganggap desa benar-benar aman untuk kembali dihuni. 


Orang-orang Lawele dan Kalende yang menempati perbukitan kawasan hutan Lambusango, menjadikan kawasan itu sebagai tempat suci untuk kegiatan ritual adat. Terdapat beberapa situs sejarah. Ada reruntuhan benteng tua, letaknya dibawah lereng curam yang tinggi. Keberadaan benteng tua itu menjadi saksi atas sejarah keberadaan leluhur mereka yang pernah bermukim di kawasan hutan Lambusango. Benteng tua itu kini masuk dalam desa Benteng, yang dulu masih menjadi bagian dari desa Lawele. Namun orang-orang mulai turun dari bukit dan menetap di desa hingga saat ini.

Di tahun 1980, mereka mulai bercocok tanam. Masyarakat awalnya menanam Kakao dan Kopi. Kemudian di tahun 1982, batas-batas kawasan konservasi ditetapkan untuk menunjukkan batas-batas wilayah mereka bertani dan berkebun. Terutama bagi mereka yang berladang dan berpindah-pindah. Dari waktu ke waktu desa Lawele mengalami perubahan, khususnya dalam pertanian mereka. Pada tahun 1991, bendungan dan irigasi dibangun untuk memenuhi kebutuhan pertanian masyarakat desa. Teknologi mulai berkembang dengan menggunakan mekanisasi pertanian. Lahan pertanian dan perkebunan di desa Lawele memang memiliki potensi yang cukup baik untuk dikembangkan. 

Dalam kesatuan masyarakat adat desa Lawele, orang Kalende adalah bagian dari masyarakat adat desa Lawele. Keberadaan orang Kalende tidak lepas dari sejarah Lawele itu sendiri. Orang Kalende adalah juga orang Lawele. Mereka lah yang awalnya tinggal di wilayah perbukitan kawasan hutan Lambusango, yang pada masa itu belum ditetapkan sebagai hutan konservasi oleh pemerintah. 

Kalende adalah sub etnis Buton, yang masyarakatnya tinggal di kampung Wabou, sebuah kawasan perkampungan di wilayah administratif pemerintah desa Lawele. Sejak lama masyarakat Wabou mengusulkan agar kampung mereka ditetapkan menjadi sebuah dusun. Namun, baik pemerintah desa maupun pemerintah daerah belum menetapkan kampung itu menjadi sebuah dusun. Entah apa yang menjadi alasan sehingga para pemangku kebijakan belum berani memutuskan. Padahal, sejak beberapa tahun lalu masyarakat kampung Wabou sudah mengusulkan perubahan status kampung mereka diganti menjadi nama dusun. 

Memang, pemerintah mesti hati-hati dalam memutuskan, mengubah status suatu kawasan. Apalagi, kampung Wabou sangat dekat dengan kawasan hutan konservasi, hutan Lambusango, salah satu icon di Kabupaten Buton. Menurut penuturan beberapa warga yang sejak lama mendiami kampung Wabou, awal mula mereka membangun rumah di kampung Wabou ketika diberi izin oleh seorang tokoh masyarakat (orang tua kampung), yang memiliki lahan kebun cukup luas di sekitar kawasan hutan Lambusango. Namun, pemberian lahan hanya sebatas mengolah kebun dan tidak untuk diperjual belikan kepada pihak lain. Tapi belakangan, setelah sekian lama mereka diberi hak kelola, beberapa dari mereka mulai mengklaim kepemilikannya. Orang-orang luar mulai ramai datang membuka dan mencaplok lahan-lahan disekitar kawasan hutan. Melihat itu, pemerintah daerah bersikap, dengan menertibkan orang-orang yang masif melakukan penebangan pohon dengan alasan membuka lahan kebun, serta mereka yang membangun rumah di pinggiran hutan, tak jauh dari kawasan hutan konservasi.


Sebelumnya, pemerintah memang sudah menurunkan status kawasan itu menjadi Area Penggunaan Lain (APL), yang kemungkinan besar karena ada kepentingan untuk memberikan izin ekspansi eksplorasi dan eksploitasi tambang Aspal di kawasan hutan itu. Dan benar, tidak berapa lama, PT. Billy masuk dan membebaskan 64 hektar lahan untuk kegiatan pertambangan. Saat itu saya bersama salah seorang perangkat desa, dan ia bercerita mengenai hal itu:
“Awalnya mereka datang, ada pembebasan lahan yang dibebaskan oleh PT. Bily 64 hektar. PT. Bily itu mengurus Tambang Aspal. Ketika masyarakat desa dengar bahwa lahan itu dibeli, baik itu masyarakat Lawele maupun masyarakat Kalende, mereka mengapling lahan disitu. Artinya mereka tidak hanya berkebun di wilayah itu. Ada yang mengapling, ada juga yang berkebun. Mereka merasa tanah itu sudah berharga. Kan tambang Aspal banyak disitu.
Itu dulu kawasan hutan tapi diturunkan statusnya jadi APL. Awalnya itu masyarakat dusun Wabou, mereka yang menjual duluan lahan-lahan disitu. Apalagi mereka dengar sudah diturunkan statusnya. Kalau dulu kan belum ada kejelasan. Sehingga waktu itu kita dapat penurunan status, masyarakat banyak yang tahu. Nah masyarakat desa Lawele mulai mengapling dan membuat batas-batas lahan. Nah, kalau masyarakat suku Kalende mereka berkebun. Mereka langsung merabas, menebang pohon-pohon disitu.”
Di sinilah titik awal mula konflik kepemilikan lahan itu terjadi. Ketika orang-orang luar kampung Wabou merasa memiliki hak, mengklaim dan mencaplok lahan, dengan harapan investor tambang Aspal itu akan membeli lahan-lahan mereka. Konflik lahan itu memanas antara tahun 2014 hingga tahun 2015. Pada periode itu, kegiatan perambahan hutan (deforestasi) terus terjadi. Masyarakat yang merasa memiliki lahan membuka kebun dan membuat batas-batas di kawasan hutan. Sementara pohon, kayu nya dijual dalam skala cukup besar. 


Transaksi jual beli lahan antara warga dengan pihak perusahaan tambang Aspal pun dilakukan. Warga menjualnya dengan harga 6.000 rupiah per meter. Di ketahui, pihak perusahaan telah mengeluarkan biaya sekitar 5 Miliar untuk membeli lahan-lahan warga yang akan di jadikan areal tambang Aspal. Satu-satunya bukti kepemilikan lahan yang di miliki warga hanyalah Surat Keterangan Tanah (SKT), yang dikeluarkan oleh pemerintah desa Lawele. Namun belakangan, surat keterangan yang dikeluarkan pemerintah desa justru menimbulkan pertentangan antara Badan Permusyawaratan Desa (BPD) dengan Kepala Desa. Menurut BPD, memang kebijakan pemerintah desa mengeluarkan SKT dimaksudkan untuk memperjelas status lahan yang dimiliki oleh masyarakat. Namun keputusan itu hanya sepihak, dan tanpa melalui musyawarah desa.

Konflik lahan itu akhirnya melebar. Tak hanya antara orang Kalende dengan warga luar yang terlibat dalam klaim kepemilikan lahan. Konflik itupun telah masuk dalam urusan pemerintahan desa. Masalahnya, karena keputusan diambil secara sepihak, tanpa melibatkan unsur lain di dalam pemerintahan desa. Pada akhirnya pemerintah desa melakukan berbagai upaya demi meredam konflik agar tidak berlarut-larut. Pemerintah desa Lawele mencoba melakukan negosiasi, mediasi, serta fasilitasi antara masyarakat yang berkonflik. Beberapa instansi dari Dinas Kehutanan dan Kepolisian juga pernah terlibat dalam penyelesaian konflik. Namun, langkah itu belum mencapai titik temu. 

Beberapa kali masyarakat mengambil inisiasi, dengan menanyakan langsung persoalan itu kepada pemerintah daerah, dalam hal ini Bupati Buton. Sayangnya, jawaban sang Bupati tidak memberi kepastian bagaimana penyelesaian dan jalan keluar agar konflik lahan yang berada disekitar kawasan hutan Lambusango dapat segera di selesaikan. Keinginan masyarakat agar ada peran pemerintah daerah untuk mengatur dan masyarakat desa mendapat kejelasan mengenai wilayah kelola dan status kepemilikan lahan yang mereka sudah klaim. Namun pemerintah daerah seolah lepas tangan dan menyerahkan persoalan itu kepada pemerintah desa. Padahal, konflik yang terjadi cukup pelik dan penyelesaiannya tak hanya bisa mengandalkan peran pemerintah desa. Yang paling berperan dari masalah itu adalah pemerintah daerah, instansi terkait, maupun pemerintah pusat dalam menegakkan aturan tata kelola lahan serta kebijakannya yang selalu memperhatikan aspek ekologis.

***

KAMPUNG Wabou adalah sebuah kawasan pemukiman masyarakat Kalende di pinggiran hutan Lambusango. Orang-orang Kalende yang mendiami kawasan pinggir hutan itu bisa di bilang masih terbelakang dan terjerat kemiskinan di tengah wacana optimalisasi potensi sumberdaya lokal dalam bingkai otonomi daerah. Memang, akses jalan dan beberapa sarana infrastruktur telah di bangun di kampung Wabou. Saya melihat, telah di bangun Sekolah Dasar (SD), Pustu, dan masuknya tiang-tiang listrik ke wilayah perkampungan. Meski demikian, orang-orang Kalende sebagai masyarakat pinggir hutan memiliki ketergantungan yang tinggi terhadap hutan sebagai sumber mata pencahariannya. Dari tahun ke tahun, kampung Wabou mengalami pertumbuhan populasi cukup besar dan menerima penetrasi kapitalisme yang cukup dalam. Sementara orang-orang Kalende masih terjebak dalam kemiskinan. Kecuali sistem sosikultural yang mengikatnya, orang-orang Kalende masih menggunakan simbol budaya sebagai identitas. 


Apa yang terjadi pada peristiwa malam perayaan pesta kampung tahunan di desa Lawele beberapa waktu lalu, adalah rangkaian konflik yang terjadi dalam sejarah desa Lawele, yang tidak terlepas dari keberadaan orang-orang Kalende serta adat dan budaya yang mengikatnya. Konflik masih begitu rentan terjadi kembali, bisa karena beberapa faktor. Hal fundamental yang dapat dilihat adalah adanya kesenjangan ekonomi, yang menuntut masyarakat desa untuk bersaing mendapatkan materi secara berlebihan. Sebagaimana konflik perebutan lahan yang terjadi hingga saat ini di desa itu. 


Masalah lahan yang seringkali menimbulkan konflik memang sulit untuk dipisahkan dari kehidupan masyarakat dan kerap menimbulkan perselisihan. Perselisihan yang terjadi karena adanya perbedaan kepentingan yang saling berlawanan. Perbedaan pendapatan inilah yang sering menimbulkan konflik. Konflik dapat dilihat dalam dimensi, suatu persperktif atau sudut pandang dimana konflik dianggap selalu ada dan mewarnai segenap aspek interaksi manusia dan struktur sosial. 

Konflik lahan yang terjadi pada aras lokal bukanlah faktor yang terjadi secara terpisah dengan aktor kunci yang berdiri sendiri. Konflik lahan akan terjadi dimanapun di negeri ini tatkala pihak-pihak yang memiliki kepentingan kapital mempertahankan haknya yang dianggap paling benar dan mengesampingkan aktor-aktor lain. Sengketa dan konflik lahan adalah bentuk permasalahan yang sifatnya kompleks dan multi dimensi.  

Buton, 14 Februari 2018






Popular Posts