Saturday, November 24, 2018

Swasembrono di Zaman Orba



Masih banyak yang salah sangka di zaman Orba kita swasembada pangan. Padahalkan bukan itu maksudnya, dulu itu swasembada beras.

Apa beda? Iyakklah...

Swasembada beras, ya beras. Jadi nasi kalau sudah matang, bisa juga bubur kalau lagi pengen, bisa jadi kerupuk kalau sudah di jemur. Kalau pangan, ya bisa macam-macam, ada singkong, jagung, kedelai, martabak, terang bulan, pisang molen, pentol goreng dan seterusnya.

Tahun 1984, negara kita memang dapat penghargaan dari FAO dibawah naungan PBB, ya semacam organisasi yang konsen urus-urus pangan gitulah. Mungkin, karena waktu itu Indonesia sempat impor 100 ton beras ke Afrika. Tapi apa benar waktu itu beras kita swasembada atau swasembrono?

Ah rupanya ndaklah, pak Amran, Menteri Pertanian bilang tahun 84 itu justru kita impor beras 414 ribu ton. Ya artinya memang kita berhamburan beras pada waktu itu. Tapi beras impor ya...

Berarti yang pengen balik ke zaman dimana orang gampang hilang, dimana orang2 masih beromantisme zaman Orbab*, swasembarang saja ngomongnya.

Kalau ndak salah, kita baru swasembada beras nanti tahun 85-86. Artinya pemerintah tidak impor beras sama sekali. Tapi tahun berikutnya, tahun 87, kita impor lagi 😜  dan puncaknya, tahun 96, negara impor sampai 2 juta ton 😝😝🤮🤮 (asli mual, habis baca data-data).

Jadi wajarlah, tahun ini propaganda zaman Orba itu kembali muncul di permukaan. Ada kepanikan dari Cendana (nama kayu), karena pemerintah sedang memburu aset Supersemar yang nilainya triliunan. 

Kata alm. Gus Dur, "Pak Harto itu jasanya sama bangsa ini besar sekali, walaupun dosanya juga besar". 😌 Sami'na wa atho'na.

Sekarang, kita bisa berekspresi, nulis status dan menyoroti rezim Orba di zaman sekarang. Ndak perlu takut dengan penculikan. Ya paling kita hanya bisa waspada sama semprotan Air Keras. Ntar wajah tamfanmu bisa berubah jadi zombie 💀


Kendari, 24 November 2018

Sunday, September 23, 2018

Kopi, Minuman Para Sufi

Kopi Toraja. Photo: yadilaode
Dalam sebuah artikel "Coffee - The Wine of Islam, dikisahkan bahwa kopi punya kaitan erat dengan peradaban islam. Kopi pertama kali hadir di Abyssina, atau sekarang Ethiopia. Adalah orang Yaman yang pertama membudidayakan kopi.

Di abad 13, kelompok sufi Shadhiliyya mengenal kopi dari para pengembala Ethiopia. Bun, adalah istilah yang digambarkan tanaman dan buah kopi. Kelompok sufi itu lalu membawa bibit-bibit Bun.

Di Yaman, minuman sehitam malam itu dikenal dengan "qahwa". Itu mirip dengan bahasa daerah dikampung saya, "qahawa". Di Buton, tanaman kopi memang tidak begitu banyak. Tanaman kopi hanya tumbuh didaerah rendah dengan kualitas standar.


Istilah qahwa awalnya dipakai untuk Wine. Makanya kopi dijuluki sebagai "The Wine of Islam. Saat itu, qahwa dipercaya bisa membuat kuat dan tahan ngantuk. Dalam ritual agama, kopi disajikan saat hendak berzikir dan sholat hingga subuh. Ritual ngopi itu juga mirip dengan yang dilakukan para tetua adat dikampung saya pada saat acara-acara adat maupun keagamaan.

Jika dulu kopi hanya dinikmati oleh para sufi, maka kini kopi telah menemukan popularitasnya. Kedai dan warung-warung kopi telah menjamur di berbagai kota. 

Malam ini, sufi minta ditraktir ngopi. Adakah?

Pagi yang Mereka Harapkan



Pada mereka yang bekerja sejak malam hingga menembus pagi, setidaknya pagi mereka tak ada lagi ketakutan dari gedoran pintu berkali-kali.

Pada mereka yang sudah merias diri agar terlihat manis dan seksi, setidaknya pagi yang mereka harapkan telah didapat.

Pada mereka yang malam itu berusaha melayani tetamu, setidaknya pagi mereka tak ada lagi rasa lapar.

Mereka hanya lupa, kalau kebahagiaan itu datangnya pagi ini, saat menyaksikan cahaya mentari dan bunga-bunga mulai bermekaran.

Tuesday, September 4, 2018

Cara Anak Muda Membangun Desa Lewat Media Sosial

Desa Bajo di Pulau Buton. Pic by yadilaode
JAUH sebelum kita terhubung dengan dunia internet dan dapat melakukan akses ke berbagai media sosial, kehidupan kita terasa begitu jauh dari berbagai informasi. Begitupun dengan sarana komunikasi, internet telah mengkoneksikan penduduk bumi dari belahan manapun. Maka tak heran, kita dapat berteman dengan siapapun dan dimana pun ia berada melalui saluran facebook, twitter, instagram, blog, dan media sosial lainnya. Kita dapat berkomunikasi dengan saling bertatap muka dalam situasi apapun sepanjang kita tetap terhubung dengan internet. 

Informasi dengan begitu cepat juga dapat di akses. Peristiwa yang terjadi dari berbagai benua kita bisa dapatkan. Begitupun di tanah air, informasi-informasi penting menyangkut politik, sosial, hukum, ekonomi, pendidikan, hingga kabar-kabar lain tentang hiburan dengan mudah kita akses melalui perangkat smartphone, komputer, atau laptop, sepanjang terhubung dengan internet. Begitulah era teknologi bekerja, dimana internet sudah menjadi kebutuhan hidup setiap kita.  

Dalam kehidupan kita, teknologi internet tidak hanya mampu diakses oleh penduduk kota atau kaum urban, namun internet telah masuk dan menyentuh masyarakat hingga pelosok desa. Internet tidak hanya menjadi kebutuhan oleh mereka yang hari-harinya sibuk sebagai entrepreneur dalam sebuah perusahaan. Internet juga tidak hanya menjadi kebutuhan kalangan anak muda kota yang dianggap paling melek. Belakangan, internet tidak hanya dimanfaatkan oleh kalangan elit politik menjelang momentum politik untuk membangun brand personality, juga tak hanya dipakai sebagai arena pertempuran antar gerbong untuk saling serang, saling caci dan menyebar berita bohong (hoax). Dari temuan Daily Social tentang Distribusi Hoax di Media Sosial 2018, Pertama, informasi hoax paling banyak ditemukan di platform Facebook (82,25%), WhatsApp (56,55%), dan Instagram (29,48%). Kedua, sebagian besar responden (44,19%) tidak yakin memiliki kepiawaian dalam mendeteksi berita hoax, Ketiga, mayoritas responden (51,03%) dari responden memilih untuk berdiam diri (dan tidak percaya dengan informasi) ketika menemukan hoax.   

Kita bisa lihat, media yang paling sering diakses oleh warganet adalah Facebook dan WhatsApp. Di Facebook, segala informasi berseliweran, hingga orang-orang dengan mudah membagikan konten berita apapun. Begitupun dengan media chat di WhatsApp, informasi dengan cepat di terima. Di WhatsApp, diskusi dengan banyak pengguna bisa dengan mudah dilakukan dalam satu ruang group chat. Namun dari data itu, kita masih melihat cukup banyak masyarakat yang belum ‘canggih’ dalam berpikir untuk mendeteksi mana berita benar dan mana hoax. Begitupun dengan pengguna media sosial yang apatis atau acuh tak acuh ketika menemukan berita-berita bohong (hoax). Mereka lebih baik memilih diam ketika ada berita hoax. 

Tapi akhir-akhir ini di negeri kita, kegaduhan politik menjelang Pemilu Capres dan Cawapres 2019 semakin hangat dan telah menjadi topik-topik khusus diberbagai media pemberitaan. Lebih-lebih di media sosial seperti Facebook, Twitter, dan group-group WhatsApp. Sepanjang pengamatan saya, di tiga platform itu memang paling berisik membahas isu politik. Maka tak heran ditahun politik ini, media sosial telah menjadi arena perang yang sibuk membahas dan menyerang karakter seorang calon presiden. Tensi diskusi bisa memanas jika diskusi tidak mencapai titik temu. Saya sendiri beberapa kali menemukan teman diskusi disalah satu group WhatsApp yang tak puas dengan argumentasi saya ketika membahas satu topik politik. Padahal menurut saya, mengikuti satu diskusi diruang maya tak perlu sampe naik pitam dan baper. Sebab percakapan hanya berakhir diruang itu dan diskusi adalah proses dialektika yang tak lain hanya untuk menambah khasanah pengetahuan dan bukan untuk saling menjatuhkan apalagi mencari permusuhan. Kira-kira begitu guys.


Tapi begitulah era modern saat ini. Teknologi internet dan media sosial bisa bermanfaat dan bisa pula membawa bahaya bagi setiap kita. Tidak sedikit saya menemukan pengguna media sosial yang dengan amat serius menanggapi setiap postingan dengan sikap baper jika melihat apa yang tidak disukainya atau ada suatu hal yang membuatnya tersinggung. Begitu juga orang-orang yang dengan gampang menyebar informasi bohong tanpa ditelusuri dulu sumbernya. Makanya, tak sedikit pengguna media sosial yang berurusan dengan hukum. Mereka di adili dan ditahan karena menyebar berita bohong (hoax). Silahkan kalau ada dari kita yang mau coba-coba.

Tapi kali ini saya tak tertarik membahas lebih jauh tentang kegaduhan di media sosial dan menyikapi setiap orang yang masih sulit move on dari kegalauan mereka menggunakan media sosial. Saya lebih tertarik melihat orang-orang yang mau berbuat sesuatu dengan memanfaatkan internet dan media sosial sebagai sarana untuk menemukan passion mereka dalam meniti karir. Saya lebih suka mengikuti perkembangan media sosial dengan melihat kisah-kisa menarik orang lain sebab bisa menginspirasi banyak orang. Era sekarang, setiap warganet harus lebih bijak dalam menggunakan media sosial. Sebab setiap orang dapat dengan mudah ditelusuri jejak rekamnya melalui konten-konten yang ia buat di media sosial. Seberapa aktif dan bagaimana ia memanfaatkan ruang itu, nah setiap kita dapat mengintip akun-akun itu bekerja di media sosial. 

Diantara pengguna media sosial yang kerap ramai membahas isu politik dan menyebar berita bohong (hoax), tak jarang kita menemukan warganet yang memanfaatkan media sosial untuk berbagi informasi-informasi penting dan bermanfaat. Mereka memanfaatkan media sosial sebagai ruang promosi untuk mengenalkan berbagai potensi daerah yang pernah dikunjunginya. Yang menarik, beberapa kawan saya di daerah mulai memanfaatkan media sosial untuk menunjukkan aktivitas yang sedang dijalani bersama masyarakat desa. Kawan-kawan itu memperkenalkan budaya dan kekayaan alam yang mereka miliki. Di ruang maya, saya mulai mendapatkan informasi-informasi menarik yang disebar oleh anak-anak muda desa itu. Para pemuda milenial yang mulai memanfaatkan teknologi internet sebagai saluran untuk mengenalkan kampung halaman mereka kepada publik.

Kisah-kisah inspiratif tentang kehidupan mereka di desa mulai disebar di media sosial. Narasi serta foto-foto aktivitas masyarakat desa mulai mengisi dinding-dinding facebook. Ketika saya telibat diskusi dengan mereka, pemuda-pemuda di desa itu baru sadar rupanya banyak orang-orang kota justru datang ke desa mereka hanya untuk memburu gambar. Para pemuda di desa itu baru tahu, bahwa beberapa tempat di desa mereka menjadi objek pengambilan gambar dari para fotografer yang berhasil memenangkan lomba. Dititik itu, mereka menangkap ada peluang lain untuk memanfaatkan tempat-tempat itu sebagai objek wisata alam yang bisa dikelola oleh desa bersama masyarakat. Mereka dapat memanfaatkan potensi wisata alam agar mendatangkan pundi-pundi ekonomi yang bisa menambah penghasilan masyarakat desa. Tentu pengelolaannya atas persetujuan masyarakat dan diatur oleh pemerintah desa. Objek wisata itu pun harus dikekola dengan mempertimbangkan faktor-faktor ekologis dan keberlanjutannya. 


Makanya beberapa kawan saya memilih untuk kembali ke desa, mengabdi membantu pemerintah desa. Setelah lulus kuliah, mereka pulang kampung dan bekerja bersama perangkat pemerintah desa. Rata-rata dari mereka membantu dalam tugas-tugas administrasi dengan jabatan sebagai sekretaris desa. Yang diharapkan, mereka bisa membantu menyusun laporan-laporan pertanggungjawaban keuangan desa. Memang kedengarannya cukup sederhana untuk mengurus administrasi di desa. Tapi tidak bagi desa-desa pelosok, terbelakang dan jauh dari teknologi. Apalagi jika ketersediaan sumberdaya manusia dalam pemerintah desa masih kurang. Maka sudah pasti pelayanan pemerintahan desa pun tidak maksimal. Apalagi semenjak desa mendapat kucuran dana segar dari pemerintah pusat yang nilainya cukup besar. Tapi anehnya beberapa kepala desa kita justru dibayang-bayangi rasa takut ketika mengelola dana desa, bahkan hampir dalam setahun dana desa itu tak digunakan sama sekali. Tapi memang, kendala-kendala yang dialami kepala desa terkait pengelolaan dana desa adalah soal petunjuk teknis penggunaan dana desa dan sistem pelaporan keuangan yang cukup rumit bagi mereka. 

Mereka masih tertatih-tatih setiap kali menyusun program desa karena fokus mereka bukan pada program, tapi format pelaporan yang mungkin mereka belum cukup pengalaman. Pendamping desa yang diberi mandat dan diharap dapat membantu tugas-tugas pemerintahan desa juga seakan tak memahami dan mampu membantu tugas-tugas apartur pemerintah desa. Maka setiap kali masa pelaporan keuangan desa itu tiba, disitulah momok menakutkan bagi para kepala desa. Mereka harus mempertanggungjawabkan dana desa yang telah terpakai. Apalagi, hadirnya oknum-oknum yang mengatasnamakan diri dari satu lembaga pemeriksa keuangan desa. Padahal tujuan mereka untuk memeras dan mengancam dengan harapan kepala desa mau berkompromi dan memberi duit. Memang, ada sih beberapa kepala desa yang sengaja memperkaya diri dari dana desa. Karena perbuatannya, ia lalu dijebloskan ke dalam penjara. Tapi itu dulu, ketika peran-peran anak muda di desa masih belum begitu dibutuhkan.


Desa-desa di masa kini mulai bertransformasi menuju suatu desa yang lebih modern ditandai dengan masuknya teknologi hingga ke pelosok-pelosok desa. Meski demikian, ada beberapa desa yang sangat begitu lekat dengan adat dan tradisi dalam kehidupan mereka, sehingga modernisasi menjadi sanksi ketika masuk di wilayah hukum adat mereka. Saya pikir ini sangat positif bagi desa-desa yang masih mempertahankan nilai-nilai kearifan lokal (local wisdom) dalam kehidupan mereka di desa. Misalnya ketika aturan adat menjadi lebih dominan dalam mengatur masyarakat desa untuk mengelola sumberdaya alam. Ada sanksi-sanksi adat yang tak boleh dilanggar oleh siapapun, dan ketika ada suatu permasalahan sosial maka penyelesaiannya dilakukan secara hukum adat oleh perangkat adat. Kita bisa melihat kewenangan dan peran adat dalam mengelola sumberdaya alam, sebagai contoh adat Sasi di Maluku, Eha dan Mane’e di pulau Kakorotan Sulawesi Utara, Panglima Laot di Aceh, Awig-awig di Bali, dan yang paling dekat dengan tempat saya adalah Ombo yang ada di Wabula Pulau Buton. 

Riset tentang topik-topik ini telah banyak dilakukan oleh para peneliti dan tulisannya telah diterbitkan ke berbagai jurnal nasional maupun internasional. Bahwa dari kesimpulan riset-riset itu, konsep atau model pengelolaan sumberdaya alam yang dilakukan oleh masyarakat hukum adat dinilai lebih efektif dan lebih ramah lingkungan. Pengelolaannya dilakukan secara arif berdasarkan hukum-kuhum adat. Mereka meyakini, sumberdaya alam hanyalah titipan dari Maha Pencipta. Oleh karena itu, kekayaan alam yang mereka milki tetap harus dijaga dan di lestarikan. Jika tidak, maka bencana akan datang suatu saat nanti.

Tentu konsep dan cara masyarakat adat mengelola berbeda dengan model pengelolaan yang diberikan oleh pemerintahan berupa bantuan dan program-program yang skema kerjanya lebih mengejar profit tapi mengabaikan banyak faktor lingkungan. Dari banyak riset, kasus-kasus seperti ini pernah terjadi di beberapa desa adat. Program pemerintah itu telah meninggalkan berbagai masalah dan bahkan konflik antara pemerintah dan masyarakat adat.

Sudah saatnya desa berbenah, mumpung anak-anak muda kita masih mau untuk kembali ke desa. Mereka melihat banyak hal yang harus dilakukan untuk masyarakat desa agar tak lagi melekat stigma-stigma tentang ‘warga miskin dan desa tertinggal’. Sebab stigma itu selalu menjadi jualan dan pintu masuk lembaga-lembaga yang hidupnya selalu bergantung dari lembaga donor. Sudah saatnya desa-desa kita bisa lebih maju dan mandiri dengan memanfaatkan berbagai potensi dan pengelolaan dana desa yang baik dan transparan. Dengan adanya dana desa, pemerintah desa bisa menghidupkan banyak sektor-sektor rill dengan memperkuat peran setiap warganya. Diantaranya adalah peran anak-anak muda desa. Mereka yang ingin mengabdikan diri di desa patut diapresiasi. Tak banyak anak muda generasi saat ini mau memikirkan dan melibatkan diri dalam setiap kegiatan-kegiatan desa. Sebab, anak muda perkotaan zaman sekarang lebih suka bicara politik atau sibuk dalam rutinitas malam yang glamor.


Kembalinya anak-anak muda kita ke desa akan memberi dampak positif seiring dengan majunya teknologi. Kehadiran mereka akan memberi warna baru demi kehidupan masyarakat di desa yang lebih baik dari yang sebelum-sebelumnya. Tidak jarang kita menjumpai anak-anak muda desa yang memilih membangun usaha budidaya perikanan atau melakukan pendampingan kepada kelompok-kelompok tani secara sukarela di desa. Begitu pula dengan kelompok pemuda desa yang ingin mengembangkan usaha pariwisata. Mereka mau mengelola objek wisata di desa agar memberi dampak ekonomi kepada masyarakat desa. Sebagai contoh kita bisa melihat bagaimana pemuda desa di Banyuwangi membuat film dokumenter tentang potensi desanya. Tak hanya itu, ia juga membangun komunitas anak muda yang bergerak di video kreatif. Begitu juga anak-anak muda desa di Banten, mereka memanfaatkan barang-barang bekas untuk membuat produk-produk artistik seperti meja, kursi, dan beragam benda lain. Lebih dekat, di daerah saya beberapa kawan memilih kembali ke desa dan terlibat dalam urusan pemeritahan desa. Ada yang dipercaya menjadi kepala desa dan seorang lagi diberi mandat untuk mengelola BUMDes, sebuah perusahan milik desa untuk mengembangkan produk-produk unggulan di desa mereka. Pilihan mereka untuk kembali ke desa tentu karena adanya idealisme serta jiwa sosial yang masih lekat ketika bermahasiswa dulu. Mereka telah meniatkan diri untuk kembali mengabdi di desa. 

Meski peluang berkarir mereka terbuka dan lebih menjajikan di kota, namun anak-anak muda itu memilih pulang kampung untuk membangun desa mereka dengan mengandalkan pengetahuan selama mengenyam pendidikan di kampus dan semasa berorganisasi. Mereka sangat yakin bisa berbuat sesuatu yang berarti untuk desa dan lingkungan. Dengan harapan, tidak hanya sukses dengan karir mereka sendiri tapi juga turut mengajak masyarakat desa untuk sukses bersama mereka. 

Saat ini, kawan-kawan itu mulai percaya diri dengan mengembangkan ekonomi kreatif seiring berkembangnnya sektor pariwisata di desa mereka. Di ruang maya, kini kita bisa melihat aktivitas masyarakat desa melalui gambar dan narasi-narasi menarik dari setiap postingan anak-anak muda desa. Mereka mulai berlomba memanfaatkan media sosial, bersaing membangun brand dengan memperkenalkan desa-desa mereka kepada publik. Saat ini, desa mulai belajar bagaimana memanfaatkan teknologi dan sarana media sosial untuk menciptakan sesuatu yang bermanfaat bagi masyarakatnya.

Monday, July 23, 2018

Kepiting Rajungan, Ciri Khas Produk Unggulan Desa Batubanawa

Salah satu teluk di Buton Tengah

Desa Batubanawa, sebuah desa eksotik yang terletak di teluk pantai. Konon desa ini merupakan desa tertua di Kecamatan Mawasangka Timur Kabupaten Buton Tengah. Meski demikian, populasi penduduknya terbilang sedikit jika dibanding desa-desa lain di wilayah itu. Rata-rata warganya memilih keluar desa dan tinggal di kota. Sebagian memilih berlayar, merantau ke negeri tetangga. Pilihan keluar dari desa atau merantau menjadi pilihan satu-satunya untuk mencari nafkah. Tidak banyak yang diharapkan untuk bertahan dan bekerja di desa. Di kampung halaman, laut dan pantai hanyalah pemandangan yang bisa disaksikan sehari-hari.  

Sebagai desa pertama atau gerbang pintu masuk menuju ke desa-desa lain di Kecamatan Mawasangka Timur, desa Batubanawa sebenarnya memiliki potensi sumberdaya alam hanya saja belum terkelola dengan baik. Khususnya di sektor kelautan dan perikanan. Sejak lama desa ini terkenal dengan salah satu hewan laut jenis Kepiting Rajungan. Selain menangkap ikan, fokus pencarian masyarakat nelayan di desa ini adalah menangkap kepiting rajungan. Meski laut di teluk desa ini tidak se berlimpah dulu, paling tidak masyarakat sudah menyesali penggunaan racun potasium dan bom ikan yang merusak terumbu karang dan membunuh banyak biota laut. Mereka pada akhirnya merasakan dampak dari penggunaan racun dan bom ikan, mereka tak lagi mendapatkan ikan-ikan dilaut teluk itu. Begitupun dengan hewan-hewan jenis lain seperti kepiting yang semakin berkurang. Pada akhirnya, mereka harus bersusah payah mendayung sampan menuju laut lepas untuk mencari ikan. Sebab, ikan-ikan yang tadinya berumah di karang laut teluk desa mereka telah hancur lebur karena aksi brutal setiap nelayan yang dianggapnya sudah menjadi budaya turun temurun. 

Seorang ibu nelayan di desa Batubanawa

Namun sekarang, masyarakat desa telah sadar jika budaya merusak laut yang mereka paham sejak lama itu menjadi ancaman bagi kerusakan ekologi dan akan menjadi bencana bagi anak cucu mereka dimasa akan datang. Oleh sebabnya, kesadaran kolektif mereka terbentuk dan ramai-ramai untuk siap menjaga laut sebagai ruang kehidupan bagi mahluk-mahluk yang hidup di dalamnya. Masyarakat desa memang perlu dikuatkan oleh berbagai pihak, baik pemerintah desa, pemangku adat/perangkat masjid, bersama pihak keamanan yang bertugas di desa, bahwa kegiatan menangkap ikan dengan metode bom dan racun akan berdampak bahaya bagi diri sendiri dan bagi kelangsungan mahluk lain.
       
Sebagai desa pesisir yang posisinya berada di salah satu teluk Kabupaten Buton Tengah, Desa Batubanawa memiliki ciri khas dalam hal potensi sumberdaya alam yang mulai dikelola menjadi salah satu produk unggulan desa. Meskipun baru dikelola secara serius oleh pemerintah desa, pengelolaan Kepiting Rajungan di Desa Batubanawa mesti mendapat perhatian serius agar pengelolaannya bisa berjalan dengan baik dan berkelanjutan. Misalnya pemerintah desa mau memfasilitasi setiap nelayan agar bisa melakukan budidaya kepiting rajungan dengan baik. Sebab selama ini nelayan tidak memiliki pemahaman yang cukup untuk melakukan budidaya kepiting rajungan. Pemerintah desa perlu memfasilitasi, bisa semacam pelatihan atau kegiatan serupa lainnya agar ada transfer pengetahuan kepada setiap nelayan yang memiliki usaha budidaya kepiting rajungan.

Masyarakat nelayan mulai melirik peluang ekonomi ada pada kepiting rajungan di laut mereka. Itu terlihat dari permintaan pasar terhadap kepiting rajungan lebih banyak dibanding ikan. Jika dulu kepiting rajungan hanya menjadi kebutuhan rumahtangga (subsisten) dan tidak untuk dijual, maka kini setiap nelayan melihat kepiting rajungan sebagai peluang usaha yang menjanjikan. Peluang ini lalu ditangkap oleh pemerintah desa untuk dijadikan sebagai salah satu potensi yang akan dikelolanya. Peluang usaha ini oleh pemerintah desa lalu dikelola bersama Badan Usaha Milik Desa (BUMDes). BUMDes kemudian membangun kerjasama dengan masyarakat desa, khususnya mereka yang hari-harinya menangkap kepiting rajungan dan menjualnya ke BUMDes. Dalam rangka memasarkan kepiting rajungan, pemerintah desa Batubanawa melalui BUMDes juga membangun kerjasama dengan pengusaha yang siap membeli hasil olahan kepiting. Kepiting yang dijual oleh BUMDes sudah dalam bentuk diolah dengan memisahkan isi dari cangkangnya.

Model pengelolaan usaha kepiting rajungan yang dikembangkan yakni dengan membeli kepiting dari setiap nelayan seharga 50 ribu per kilo. Dalam sehari BUMDes bisa mengumpul 35 Kilogram dari nelayan, lalu diolah oleh pekerja dengan memisahkan isi dari cangkangnya. Setelah itu daging kepiting dikemas dalam boks dan siap diantar ke pengusaha yang membeli. Pemerintah desa melalui BUMDes menjualnya dengan harga 280 ribu per kilo, maka dalam sebulan penghasilan BUMDes dari penjualan Kepiting bisa mencapai 15 Juta. 

Pekerja sedang mengolah kepiting di BUMDes



Jika dilihat dari jenisnya, hewan laut ini agak berbeda baik dari fisik, habitat atau rasanya dengan kepiting jenis lain. Di lihat dari fisik, bentuk cangkang rajungan cenderung melebar dan lebih ramping. Sedangkan kepiting lain lebih bulat dan tebal. Capit kepiting rajungan juga cenderung memipih dengan ukuran lebih panjang. Begitupun dengan warna kulit yang berwarna kehijauan dengan bercak putih (betina) dan kebiruan bercak putih terang (jantan). Sementara kepiting lain, baik jantan atau betina hanya ada satu warna, yakni hijau kecoklatan. Saat dikonsumsi, rasa kepiting rajungan terasa lebih manis dibanding dengan kepiting lain. Habitat kepiting rajungan berada di laut yang cukup dalam dan mampu berenang di dalam air, sementara kepiting lain berada di laut yang dangkal, atau lebih sering kita temukan di tepi pantai. 
  
Pemerintah Desa Batubanawa melalui BUMDes saat ini memang terlihat serius untuk mengembangkan usaha Kepiting jenis Rajungan ini. Pemerintah desa ingin mengoptimalkan BUMDes agar tidak hanya menjadi sumber pendapatan desa, namun bisa membuka peluang kerja bagi masyarakat desa. Meskipun tak banyak yang bisa dihadirkan oleh desa, namun sebagai desa pesisir yang posisinya berada di teluk, Desa Batubanawa optimis dengan memanfaatkkan potensi laut sebagai salah satu potensi sumberdaya alam yang kini sedang digenjot. Kekayaan alam yang terhampar di laut teluk Batubanawa tentu butuh pengelolaan yang baik jika sasarannya adalah pasar untuk mendorong perekonomian di desa. Pemerintah desa mesti jeli dalam melihat peluang usaha ini jika memang arahnya adalah untuk meningkatkan usaha warga dan ekonomi mereka. BUMDes diharap mampu melahirkan industri-industri kreatif sehingga dapat meningkatkan pendapatan dan menyerap tenaga kerja di desa. 

Namun dalam hal pengelolaan sumberdaya potensi ekonomi yang di miliki oleh desa, pemerintah desa melalui BUMDes perlu pemahaman yang cukup agar bisa mengelolanya secara produktif dan berkelanjutan, sebagaimana tujuan BUMDes yang telah diamanatkan dalam UU No 6 tentang Desa, yakni: meningkatkan perekonomian desa, mengoptimalkan asset desa agar bermanfaat untuk kesejahteraan desa, meningkatkan usaha masyarakat dalam pengelolaan potensi ekonomi desa, mengembangkan rencana kerjasama usaha antar desa dan/atau dengan pihak ketiga, menciptakan peluang dan jaringan pasar yang mendukung kebutuhan layanan umum warga, membuka lapangan kerja, meningkatkan kesejahteraan masyarakat melalui perbaikan pelayanan umum – pertumbuhan - dan pemerataan ekonomi desa, meningkatkan pendapatan masyarakat desa dan pendapatan asli desa. 

Kepiting Rajungan yang kini menjadi produk unggulan Desa Batubanawa merupakan salah satu dari sekian banyak komoditas perikanan yang mempunyai nilai ekonomis cukup tinggi, maka pengelolaannya pun perlu ditingkatkan, mulai dari cara budidaya, pengolahan dengan memisahkan isi dari cangkang, hingga pemasarannya agar bisa menjangkau pasar lebih luas. Sebab permintaan pasar terhadap daging kepiting tidak hanya dari dalam negeri, tapi juga datang dari luar negeri. Bisa ditelusuri, daging kepiting distok dibanyak rumah makan mewah, restoran-restoran seafood, hingga hotel-hotel berbintang. Setiap konsumen memburu kelezatan, nilai gizi, protein yang terkandung dalam hewan laut itu. 

Hingga sampailah pada satu titik jenuh tulisan ini, bahwa di desalah sumber-sumber kehidupan itu tumbuh berkembang. Bahwa apa yang masyarakat lakoni sebagai orang desa, hanyalah persepsi orang di kota terhadap mereka yang dianggapnya kumuh dan miskin di desa, begitupun pandangan orang desa terhadap orang kota yang serba mewah dan konsumtif. Padahal tanpa mereka sadari, perut-perut mereka di kota setiap harinya di suplay oleh mereka yang harinya-harinya bepeluh dengan gabah padi dan jaring ikan. 


Buteng, 23 Juli 2018

Wednesday, June 13, 2018

TUJUH Kebiasaan Mudik Lebaran di Kampung Halaman


Kapal penyeberangan antar pulau, kapal Feri di Teluk Baubau. Foto: yadilaode
Musim mudik telah tiba, sebab lebaran tidak berapa lama lagi. Orang-orang mulai kembali ke kampung halaman, ingin berlebaran, berkumpul dan bersilaturahim bersama keluarga tercinta. Musim mudik itu menjadi momen istimewa bagi mereka yang ingin merayakan hari raya berkumpul bersama keluarga, mengunjungi saudara, sepupu, kerabat, tetangga yang sempat terpisah oleh lintas batas, lautan dan pulau-pulau, wilayah dan daerah. Oleh karena kerinduan mereka yang meluap selama ditanah rantau, kembalilah satu per satu mereka merayakan hari lebaran bersama keluarga di kampung halaman. 

Tidak lengkap rasanya jika lebaran tak berkumpul bersama keluarga. Apalagi, jika Tuhan masih bisa memberi kesempatan untuk bersimpuh seraya memohon maaf kepada kedua orangtua. Begitulah budaya kita, momen paling ditunggu saat lebaran bersama keluarga. Dengan begitu, kita telah menunjukkan tanda bakti kepada mereka. 
Kapal penumpang ekspress antar daerah. Foto: yadilaode
Melalui momen lebaran Idul Fitri tahun ini, ada hal-hal menarik dari kebiasaan kita orang desa saat hendak dan berlebaran bersama keluarga di kampung halaman:

Pertama, pulang mudik bersama rombongan. Bagi mahasiswa rantau, janjian untuk mudik bareng sudah direncanakan beberapa hari sebelumnya. Persiapan mulai direncakan dengan memilih menggunakan transportasi apa, mengecek jadwal keberangkatan, sampai dengan mempersiapkan kegiatan selama dalam perjalanan. Bagi yang mudik dengan kapal laut, biasanya waktu di isi dengan bermain kartu atau nongkrong di kafetaria dek kapal. Mudik bareng menjadi seru kalau perjalanan bisa berhari-hari. Bisa menggunakan kapal atau mobil bis. Di perjalanan itu, ada kisah-kisah lucu dan menarik yang bisa dibawa pulang. 

Kedua, Biasanya beberapa hari menjelang lebaran, berbagai kesibukan mulai memadati hari-hari kita dikampung halaman dengan berkumpul bersama teman lama atau dengan mengadakan reunian disuatu tempat. Di acara reunian itu, banyak cerita-cerita lama yang kembali diungkap. Ada nostalgia, atau cerita seorang kawan yang mau berkisah tentang suatu peristiwa lucu yang pernah terjadi masa lalu. Di acara reunian itu lebih sekedar membangun cerita-cerita lama atau sekedar berbagi kisah dan pengalaman masing-masing. Biasanya saling 'pamer' sesuatu yang berharga dari kesuksesan yang sudah dicapai. Tapi, banyak pula kawan yang inisiasi untuk tak sekedar kumpul biasa. Beberapa dari mereka mengusulkan dengan kegiatan-kegiatan sosial. Bisa kerja bakti, bagi-bagi sembako kepada warga miskin, atau kegiatan-kegiatan sosial lain yang bernilai manfaat untuk orang-orang yang membutuhkan. 

Ketiga, berlebaran di kampung halaman identik dengan kegiatan-kegiatan keagamaan, acara adat atau kegiatan pertandingan olahraga oleh pemuda-pemudi desa. Beberapa desa dikampung halaman saya menggelar acara adat yang biasa dilakukan beberapa hari setelah lebaran. Momentum pesta kampung begitu ramai bersamaan dengan banyaknya perantau yang pulang berlebaran. Begitupun dengan kegiatan-kegiatan lain yang melibatkan seluruh warga desa. Fenomena tahunan itu menjadi momen menarik bagi setiap orang yang berkunjung ke desa-desa. Setiap tamu akan dijamu dengan baik, mulai dari menyiapkan tempat nginap, menyajikan makanan penganan khas lokal, sampai dengan mempersilahkan mengikuti setiap acara yang digelar oleh warga desa. Di titik itu, warga desa menjadi masyarakat yang konsumtif, kebutuhan warga makin banyak. Hasil-hasil panen yang disimpan dan sudah disiapkan jauh hari sebelumnya akan di masak lalu disantap secara kolosal. Desa menjadi ramai dari berbagai aktivitas. Tidak hanya warga desa, setiap tamu atau pengunjung yang berdatangan akan memenuhi setiap sudut desa. Mereka mengikuti setiap acara yang dilakukan warga desa lalu mengabadikan dalam setiap bidikan kamera. 
Tampak kota Baubau
Keempat, bersilaturahmi ke rumah keluarga. Usai sholat Ied, biasanya keluarga mulai membuat jadwal kunjungan silaturahmi ke rumah-rumah saudara, keluarga, sahabat atau tetangga. Hari pertama lebaran begitu padat dengan agenda silaturahmi. Begitupun dengan mereka yang datang bertamu ke rumah. Maka sudah pasti, tuan rumah harus menyiapkan yang terbaik buat setiap tamu yang datang. Mulai dari penampilan dengan baju terbaik, sajian kue dan makanan, hingga mendekorasi ruangan tamu menjadi lebih baik. Inilah lebaran, dimana setiap keluarga saling mengunjungi satu sama lain. Dimana setiap kita saling berjabat tangan sebagai simbol saling memaafkan. Di hari raya itu, kita bisa saksikan kekeluargaan begitu lekat. Kita bisa rasakan suasana bahagia sekaligus mengharukan ketika satu keluarga yang sekian puluh tahun berpisah namun dapat bertemu kembali di momen lebaran. Tapi begitulah lebaran, ada yang sedih dan ada yang bahagia. Yang sedih ketika mereka tak lagi dapat berlebaran bersama orang-orang yang dicintainya. Sementara bagi mereka yang berbahagia, ketika masih dapat berlebaran bersama dan di pertemukan kembali dengan orang yang tercinta. 

Kelima, berziarah ke makam keluarga. Di hari pertama dan hari kedua lebaran, biasanya tempat pemakaman selalu ramai dari para peziarah. Mereka datang membersihkan area makam, membaca kitab suci, memanjatkan doa lalu menabur bunga diatas makam. Meski dalam agama tidak menjadi kewajiban, namun bagi masyarakat desa di kampung kami, berziarah ke makam-makam keluarga telah menjadi tradisi turun-temurun. Tujuan melakukan ziarah diatas tanah makam tak lain adalah untuk mendoakan agar almarhum yang sudah mendahului dapat diterima dan dihapus dosa-dosanya selama hidup.  

Keenam, momen lebaran yang paling ditunggu adalah liburan ke tempat-tempat wisata. Ya, setelah beberapa lama tak pulang kampung, keluarga mengajak berlibur ke suatu tempat. Biasanya ke tempat-tempat yang dulu menjadi spot wisata andalan biar mengingatkan kembali masa-masa dulu ketika selalu berkumpul bersama. Selain itu, libur bersama keluarga selalu menjadi berkesan ketika mengunjungi tempat-tempat lama yang memiliki banyak cerita. Biasanya keluarga mengajak untuk melihat kembali tempat kelahiran di pelosok desa, dan disana masih berdiri kokoh rumah lama yang telah terjual murah dimasa tempoe doeloe. Di desa itu, ada kenangan yang begitu kuat. Ketika melintas, selalu terbayang jika di taman halaman depan rumah masih tersimpan cerita masa-masa kecil dulu. Sayangnya rumah itu telah berpindah tangan karena keluarga memilih pindah ke kota. Andai waktu dapat mundur ke belakang, ingin rasanya kembali tinggal bersama dirumah mungil, di desa yang nyaman itu.

Ketujuh, pasca lebaran, pemudik kembali mempersiapkan kembali ke tanah rantau. Memang berat bagi orangtua yang merasa anak-anaknya jauh dari sisi mereka. Sedih antara keluarga satu dengan yang lain ketika perpisahan itu terjadi lagi. Momen lebaran yang sempat mempertemukan itu terasa sangat singkat ketika waktu berpisah itu tiba. Masing-masing mulai sibuk mempersiapkan keberangkatan. Orangtua kembali merasakan sedih dan isak tangis. Anak-anak mereka akan pergi beberapa lama dan menunggu lagi hingga mereka datang kembali. 

Tapi begitulah, bukankah setiap pertemuan akan selalu ada perpisahan? Semoga lebaran kali ini penuh dengan kesan yang baik serta membuka pintu maaf atas semua khilaf yang pernah kita lakukan. Semoga lebaran ini menjadi refleksi atas diri kita dalam keluarga, tentang cita-cita dan harapan yang belum sempat digapai, tentang capaian apa saja yang sudah diperoleh selama hidup, demi menjadi lentera, penerang bagi keluarga. Semoga kita semua masih dapat berkumpul bersama keluarga tercinta di momen lebaran berikutnya. 

Selamat Hari Raya Idul Fitri 1 Syawal 1439 H



Baubau, 13 Juni 2018

Friday, May 25, 2018

Selamat Jalan Hernowo Hasim

Photo by yadilaode

Buku Mengikat Makna karya Hernowo Hasim, buku yang pernah diberikan langsung oleh Kang Yus kepada saya - karena sedih ketika itu melihat saya berjalan tertatih-tatih di dunia literasi. Saya tak pernah terbayang untuk mau berkelana di Bumi aksara. Tapi dengan keberanian dan penuh percaya diri, pada akhirnya bisa juga melahirkan karya tulis. Memang masalahnya bukan karena tidak mampu menulis, tapi soal kemauan untuk memulai, sehingga keragu-raguan tidak selalu datang menghantui.  

Buku Mengikat Makna menjadi buku pertama yang mengasah kemampuan saya untuk menulis. Buku yang menggugah saya agar mau menyusun kata per kata menjadi sebuah kalimat. Buku itu menjadi virus yang memacu adrenalin saya agar berani menuangkan gagasan menjadi sebuah tulisan. Buku Mengikat Makna, sukses memprovokasi saya agar menulis apa saja - dengan gaya saya sendiri - tanpa ada kriteria khusus mengenai style, tata bahasa, atau struktur kalimat. Sebagaimana tulisan karya ilmiah yang serba kaku itu. 

Pak Hernowo justru memberi cara agar menulis dengan cara sendiri. Terserah apa yang anda inginkan. Yang penting anda merasa nyaman dan tidak ada tekanan ketika menulis. Kata beliau, menulis lah untuk diri sendiri (Selfish). ”Seolah-olah kita hanya hidup sendiri di dunia ini, mungkin orang-orang menganggap egois, tetapi bila sudah menemukan selfish untuk menulis. Maka, menulis sudah seperti bernafas”.

Namun, hari ini saya mendapat kabar duka dari percakapan disatu group WhatsApp. Tuhan memanggil Pak Hernowo dan meninggalkan kita untuk selama-lamanya. Terakhir, saya sempat mengkuti kuliah singkatnya melalui group WhatsApp Odeliterasi beberapa bulan lalu. Dalam kuliah singkat itu, beliau kembali memberi motivasi tentang manfaat membaca dan menulis, bagaimana mengatasi masalah membaca dan menulis, juga memberi rasa percayaan diri untuk terus menulis. 

Kepergian beliau tidak hanya meninggalkan duka mendalam dari keluarga dan para kerabat, tapi juga setiap kita yang pernah mendapat kebaikan dari nasihat dan ajaran-ajaran beliau semasa hidup. Atas semua kebaikan yang pernah diberikan, doa kupanjatkan untuk almarhum, semoga beliau tenang di alam sana. Semoga amal dan perbuatan almarhum dapat diterima disisi-Nya. Amin.

Jakarta, 25 Mei 2018



Friday, May 18, 2018

PILKADA, Usaha Merebut Pemilih Generasi Milenial

Investasi-Milennial.com
PEMILIHAN Kepala Daerah (PILKADA) serentak tahun 2018 sudah di depan mata. Dengan begitu, pemilihan Walikota dan Wakil Walikota Baubau untuk periode 2018-2023 tinggal menghitung hari. Setiap kandidat yang terjun dimedan pertempuran semakin ekstra mempersiapkan segala hal untuk meraih kemenangan. Taktik dan strategi semakin dimantapkan. Barisan tim pemenangan pun kian dikuatkan. Mesin-mesin partai yang menjadi kendaraan politik kandidat, sudah bersiap melesat dengan kecepatan tinggi. 

Di arena Pilkada, partai-partai politik banyak mendapat panggung untuk bersosialisasi. Momentum ini menjadi kesempatan partai untuk menggalang dukungan. Ruang di pemilihan kepala daerah cukup besar bagi kader-kader partai merebut hati masyarakat. Polarisasi  yang dibangun dengan memperkenalkan latar ideologi, menawarkan aneka program, serta bagaimana setiap partai politik mampu menunjukkan keberpihakan mereka kepada rakyat. Sejurus dengan partai politik, para calon kepala daerah juga berjuang merebut hati pemilih dengan menawarkan janji dan program.

***

DALAM Konteks pemilihan kepala daerah, misi partai politik dan misi calon kepala daerah sedikit berbeda. Partai politik sejatinya menjadi garda terdepan dalam memenangkan calon kepala daerah yang diusungnya. Partai politik dianggap lebih mengakar dimasyarakat harus mampu menggerakan people power agar dapat memenangkan pertarungan. Tapi apa daya, keberadaan partai politik di daerah kita tidak selalu dilihat dengan citra yang baik. Pandangan mereka menjadi seperti itu, sebab partai politik selalu salah dalam menjalankan perannya sebagai penggerak demokrasi. 

Terlepas dari apapun misi dan agenda-agenda partai politik, mayoritas masyarakat daerah kita tidak dalam wacana memenangkan partai politik. Menjelang hari pemilihan Walikota dan Wakil Walikota saat ini, masing-masing kita tengah dalam kesibukan mencitrakan kandidat serta mengajak orang-orang disekitar kita agar mau ikut terlibat dalam kampanye-kampanye politik. Masing-masing tim pemenangan menyajikan program, kefiguran, serta alasan-alasan menjatuhkan pilihan kepada pasangan calon tertentu. Berbagai upaya dilakukan setiap tim sukses untuk menggalang dukungan dari masyarakat. Strategi dan metode dijalankan untuk mengefektifkan kerja-kerja tim dilapangan. 

Kita bisa melihat, karakteristik pemilih di kota kita cenderung mulai terbuka dan sedikit moderen. Tentu berbeda dengan pemilih di desa yang awam dengan politik praktis. Karakteristik desa yang jauh dari hiruk-pikuk politik, masih berada dalam politik tradisional. Masyarakat desa lebih tertutup dalam hal urusan politik. Bagi mereka, lebih baik tertutup soal pilihan politik demi menjaga rasa kekeluargaan dan persaudaraan yang telah lama membudaya dalam kehidupan mereka sehari-hari. 

Belakangan ini beberapa survey menyajikan data tentang kecenderungan masyarakat kita yang akan memilih pasangan calon karena program-program yang ditawarkan lebih tepat untuk kebutuhan daerah serta kebijakan yang pro terhadap masyarakat lapis bawah. Hasilnya, relatif banyak pemilih yang ingin menyumbangkan hak suara kepada pasangan calon karena memiliki visi serta inovasi-inovasi besar membangun daerah. Visi dan programnya bisa membawa Kota Baubau ke arah yang lebih baik lagi. Meskipun sebenarnya, pilihan dari mereka beberapa masih dilatari oleh alasan-alasan tertentu. Misalnya karena satu suku, satu kepentingan kelompok, atau masih satu garis keturunan dan lain-lain.

Dari catatan survey, tidak sedikit pemilih dari kalangan anak muda mengutarakan alasan-alasannya menginginkan ada sosok baru dalam pemerintahan. Alasan mereka cukup rasional, yakni memilih kandidat karena program-programnya menyasar langsung ke kelompok anak muda. Alasan lain yang mereka pilih, karena kandidat menghadirkan program yang bisa menghidupkan kelompok-kelompok ekonomi kreatif di kalangan anak muda. Bagi kaula muda, program-program pemerintah bisa memberi manfaat dan dampak ekonomi secara langsung kepada mereka. Sebab, apa yang mereka alami ketika produk dan inovasi telah dibuat, pemerintah tidak hadir memberi dukungan. Padahal, buah tangan hasil kerja mereka bisa bernilai ekonomi yang dampaknya bisa memicu geliat ekonomi daerah. 

Salah satu sasaran setiap calon kepala daerah adalah dengan merekrut kelompok-kelompok anak muda. Kita bisa lihat, tidak hanya elit politik daerah yang merangkul pemilih kaum muda. Para elit politik nasional mulai menunjukkan keberpihakan mereka ke setiap kelompok ini. Di kota Baubau, kategori pemilih untuk usia muda atau rentang usia antara 17 sampai 35 tahun, pemilihnya ada sekitar 35-40% suara yang bisa di perebutkan. Banyak diantara mereka masih berstatus sebagai pelajar dan mahasiswa. Di luar itu, selebihnya mereka bergelut dalam dunia seni, usaha dan jasa. 

Pemilih generasi milenial ini memiliki karakter khusus dalam menentukan pilihan politik. Mereka akan memilih jika kandidat mampu membaca trend dan perilaku anak muda. Logika politik mereka sedikit berbeda dengan pemilih usia tua. Kecenderungan pemillih usia muda yang belum terpola dan berafiliasi dalam kelompok politik atau tim sukses, masih belum menentukan sikap dalam pemilihan. Anak-anak muda itu lebih memilih sibuk dengan apa yang disebut sebagai passion mereka di dunianya masing-masing. 

***

PEMILIHAN kepala daerah hanya berlangsung beberapa saat, tapi persaudaraan diantara kita akan terus berlangsung sepanjang masa. Praktik-praktik politik mestinya dijalankan dengan baik dan bisa memberi edukasi pada setiap generasi. Kebebasan dan hak memilih bagi setiap warga tetap harus dilindungi tanpa ada tekanan dari pihak manapun. Pesta demokrasi tidak dilihat sebagai euforia politik, tapi bagaimana menjadikan momentum pemilihan sebagai pembelajaran politik bagi kita di daerah. Tentu dengan tetap menjujung tinggi nilai-nilai budaya dan kearifan lokal yang kita miliki. 

Masyarakat juga harus bijak dalam menggunakan media sosial. Setiap pesan dan pendapat yang disampaikan melalui postingan, tidak menimbulkan fitnah dan cacian. Sebab setiap tulisan di media sosial, akan mencerminkan diri kita sebenarnya. Segala hal yang memicu lahirnya konflik, bisa diredam dengan tidak menebar kebencian. Jika melihat catatan kelam kejadian beberapa waktu silam, konflik banyak dipicu oleh hal-hal sepeleh. Padahal, kelompok ini sangat rentan terpola dan dimanfaatkan oleh kepentingan segelintik orang yang menginginkan konflik. 

Oleh karenanya, menjadi tugas kita bersama untuk saling mengingatkan dan saling melindungi, sekalipun pilihan dalam politik nanti berbeda. Karena kita tahu bersama, kota Baubau merupakan salah satu kota penting dan amat diperhitungkan dari daerah-daerah lain di Provinsi Sulawesi Tenggara. Kota ini diharapkan mampu berkembang lebih cepat dengan memanfaatkan segala potensi sumberdaya yang ada.

Kita harapkan, melalui peran anak muda, generasi milenial ini bisa memberi kontribusi positif demi kemajuan daerah. Sebagaimana Irwan Waris (2013), pemilih muda sejatinya ikut menentukan keterpilihan pemimpin, baik di tingkat nasional maupun di tingkat lokal. Siapapun mereka yang hari ini bertarung dalam pemilihan kepala daerah, tugas kita yang paling penting adalah menciptakan iklim demokrasi yang sehat dan dewasa.


Jakarta, 18 May 2018

Friday, April 27, 2018

Andai Saya Seorang Sultan


Di kampus UI, Prof Susanto Zuhdi memberi hadiah buku pada saya, Sejarah Buton yang Terabaikan Labu Rope Labu Wana. 

Sebenarnya saya cukup terlambat memilikinya. Karena sebelumnya buku ini sudah di diskusikan pada 4 April lalu di Auditorium Gedung VI FIB UI. 

Tapi bersyukur, di blog www.timur-angin.com saya bisa melahap tulisan Kang Yusran yang sudah membahas buku Pak Prof dengan apik. 

Buku Labu Rope Labu Wana telah membuka banyak fakta sejarah mengenai Buton dimasa lampau. Buku ini menjadi rujukan untuk memahami latar sejarah orang Buton yang sesungguhnya agar tidak terjebak dalam berbagai mitos yang membingungkan. 

Sebelumnya, buku-buku tentang sejarah Buton ini juga sudah ditulis keroyok oleh para Ode legendaris. Pemuda-pemuda Buton yang kini tersebar entah kemana. 

Nah daripada gelar kebangsawanan itu di obral kemana-mana, sibuk memprotes sana-sini. Mending tokoh-tokoh itu duduk bersama membahas hal-hal subtansi mengenai kelestarian adat dan budaya kita di tanah Buton.


Andaikan saya seorang Sultan, simbol dan gelar itu baiknya diberikan kepada mereka yang pantas. Termasuk diberikan kepada Prof Susanto Zuhdi yang sudah menyalakan lentera pengetahuan di lorong-lorong sejarah. 

Diakhir pertemuan, Pak Prof membuat catatan dihalaman depan buku, "untuk Pak Yadi, semoga sukses dengan studinya". Disitu saya teringat dosen pembimbing tesis. Saya sedang diburu deadline ujian. Seram...


Depok, 27 April 2018

Tuesday, January 2, 2018

Yang Terekam di Tahun 2017

KITA baru selangkah meninggalkan tahun 2017, tahun penuh kenangan dengan beragam cerita serta kisah pahit-manis.

Setidaknya tahun 2017 memberi banyak kesempatan untuk menjelajahi banyak tempat di semesta ini. Tahun 2017 telah memberi pengalaman dari apa yang sudah kita telusuri.  

***

SEBAGAI pemotret pemula, di tahun 2017 lalu saya lebih hobi mencari objek gambar, baik menggunakan kamera handphone ataupun DSLR. 

Dari sedikit tempat yang pernah saya kunjungi, wilayah yang paling sering dijadikan tempat memburu objek adalah wilayah pesisir. Itu juga mencirikan saya sebagai anak pulau. 

Di setiap tempat, saya tidak hanya membidik pesona alam yang menjadi latar dari setiap aktivitas para nelayan dan masyarakat pesisir dengan lensa kamera. Saya pun menyerap setiap kisah dari mereka yang hari-harinya bergantung pada sumberdaya laut demi menyambung hidup. 

Bahwa dibalik keindahan alam pantai dan laut, ada sekelumit persoalan yang dirasakan masyarakat pulau. Kemiskinan menjadi masalah pelik dan mengancam keberlanjutan hidup mereka di wilayah itu. 

Berikut beberapa gambar yang terekam dan saya abadikan untuk tahun 2017: 













































 





























Lokasi pengambilan gambar: Pulau Sulawesi (Kab. Buton - Kab. Buton Tengah - Kota Baubau - Kab. Kepulauan Talaud - Kab. Buton Utara - Kab. Buton Selatan - Kab. Kolaka Utara).

***

TIAP-TIAP kita ingin lebih baik dari tahun sebelumnya, setiap kita ingin ada perubahan di tahun ini. Apa yang belum tercapai di tahun sebelumnya, tentu di tahun ini penuh harapan untuk segera digapai. 

Kita baru saja memasuki tahun baru, selamat datang di tahun 2018. Tahun penuh harapan dan setumpuk agenda yang harus segera diselesaikan. 

Popular Posts