Friday, August 13, 2021

Wisata Hutan Kapontori, Seperti Apa?

Foto di atas adalah suasana di atas puncak Padang Kuku, Kapontori, Kabupaten Buton, Sulawesi Tenggara. Saya capture pagi sekali. Mentari perlahan telah menaiki bukit, pelan-pelan menyibak kabut, membuka jalan agar kami dapat begitu jelas menyaksikan teluk Kapontori yang sempat tertutup kabut. 

Saya baru saja bangun dan keluar dari dalam tenda. Udara pagi di puncak hari itu cukup dingin. Saya harus mengenakan jaket tebal, bersarung dan memakai kaos kaki. Sepagi itu, yang kucari adalah tungku api untuk menghangatkan tubuh. Sambil menggantung panci di atas bara untuk mendidihkan air.

Aktivitas pagi selalu dimulai dengan menyeduh kopi atau teh. Beberapa teman sejak pagi buta berinisiatif pergi mengambil air di anak sungai. Mereka menuruni bukit membawa wadah untuk mengisi air. Sumber air di tempat itu sangat jernih. Layak untuk dikonsumsi.
                                                                                  
Jika saya membandingkan dengan air mineral kemasan bermerek terkenal itu, sepertinya sama kejernihannya. Sumber air di kaki puncak Padang Kuku itu sangat jernih, bening sekali. 



Karena memang ekosistem di sini masih baik. Meskipun memang sebagian kawasan hutannya sudah dirusak oleh perusahaan tambang yang pernah mengolah Nikel. Jarak dengan bekas lokasi tambang tidak begitu jauh. Saat masih aktif-aktifnya, perusahaan tambang Nikel itu tidak hanya merusak fungsi hutan, tapi juga mencemari ekosistem laut teluk Kapontori dan melenyapkan banyak biota dan berbagai jenis ikan. Dampak lainnya, banyak nelayan di sekitar teluk kehilangan mata pencaharian dan memilih beralih profesi atau pergi dari desa untuk merantau.

Dari atas puncak, kita bisa melihat panorama teluk yang mempesona. Untuk bisa sampai ke sini, kita masuk dari Desa Lambusango Timur, Kecamatan Kapontori. Sebelum melakukan perjalan ke puncak Padang Kuku, setiap orang harus melapor ke bapak kepala desa, dan membayar biaya administrasi. Kata bapak kepala desa, biayanya 5 ribu per orang, itu telah diatur dalam Perdes. 

Jika memang pengelolaannya oleh Pemdes setempat, sebaiknya tempat itu bisa dikelola lebih baik lagi. Misalnya rambu-rambunya dibuat bagus, ada local guide, atau paling penting disiapkan tempat sampah. 

Jalur pendakiannya sudah dibuat pos. Ada 4 pos yang kami lalui untuk sampai ke puncak. Kalau dihitung jarak dari kampung ke puncak, saat itu kami menghabiskan waktu 3 jam. Padahal normalnya bisa sejam saja. Mungkin jaraknya ada sekitar tiga kilometer ya. 

Yang lama itu pada waktu kami naik menanjak. Kami berkali-kali berhenti untuk mengambil napas. Baru berjalan beberapa meter, kita berhenti lagi. Akhirnya kita tiba di puncak pukul 9 malam.

Padahal perjalanan kita mulai dari desa pukul 4.30 sore. 

Dan dari Kota Baubau pukul 3.15 sore. 
   
Jadi pas tiba langsung buat tungku api dan siap-siap memasak. Perjalanan malam itu menguras banyak energi. Teman-teman sudah lapar. Tidak banyak kata, semua mengambil perannya masing-masing. Ada yang bangun tenda, mencari kayu bakar, meyalakan api, menanak nasi, dan memanggang ikan.

Usai melahap semua makanan, kami memuaskan diri bersama malam, duduk di dekat tungku api, siap-siap dibasahi kabut, dihembus angin dan udara dingin yang menembus hingga ke tulang. Momen inilah yang kami tunggu-tunggu. Sangat cocok kalau segelas kopi hangat menemani hingga tengah malam. 

Melewati malam di puncak sangat mengasyikan. Saya bisa tertidur pulas dan bangun pagi menghirup udara segar. 

Sebenarnya jalur di dalam kawasan hutan ini lebih sering dilewati oleh para petani hutan dan pencari sarang lebah madu. Mereka berhari-berhari berada di dalam hutan untuk berburu lebah madu dan mencari rotan. Hamparan pepohonan di hutan puncak Padang Kuku ini menyatu dengan kawasan Hutan Lambusango, yang memiliki luas 65.000 hektar. Di antaranya 28.000 hektar kawasan konservasi alam: Suaka Marga Satwa Lambusango dan Cagar Alam Kakenauwe. Selebihnya adalah kawasan hutan produksi dan hutan lindung. 

Ekosistem hutan ini dihuni oleh beberapa satwa endemik yang unik dan khas, seperti Anoa, Kuskus, Tarsius, dan Monyet. Selain itu, diketahui ada 120 spesies burung, 36 jenis di antaranya merupakan endemik Sulawesi. 


Perjalanan sehari menuju puncak Padang Kuku saya rasa cukup memuaskan. Camp di puncak itu memberi kesan tersendiri. Di situ menjadi tempat terbaik untuk melewati malam. Setelah berhasil mencapai puncak, kamu bisa merasakan dirimu lebih merdeka. Di puncak, untuk sementara waktu kamu bisa menikmati kebebasan dan terlepas dari segala beban. 

Dan besok setelah kembali, barulah terasa semua lelah dan letih itu. Beberapa tugas-tugas kembali datang menghantui. Setelah pulang ke rumah, kita akan kembali duduk memikirkan kredit bulanan. Waktu terasa begitu cepat. 

****

Popular Posts