Saturday, December 24, 2016

Bahagia itu Sederhana, Tunggu Saja Om Telolet Lewat

Bahagia itu sederhana, tinggal tunggu “Om Telolet” lewat dengan membunyikan klaksonnya, maka tercapailah sudah”, ungkap seorang mahasiswi disebuah halte dekat kampus pertanian di Bogor itu. 

Sumber: Republika Online
Ada yang berbeda dari bunyi klakson kendaraan bermotor pada umumnya. Bunyi klakson yang kerap ramai terdengar di jalan-jalan padat serta kebisingan lain yang menyertai aktivitas kita dalam berkendara. 

Bunyi klakson pada umumnya membuat kita selalu awas terhadap kendaraan lain. Biasanya selalu terjadi di persimpangan traffic light saat menunggu lampu warna favorit, yakni lampu hijau, lampu dimana setiap pengendara diperbolehkan untuk jalan. Meski begitu, ada sebagian pengendara yang tak lagi menunggu lampu hijau, mereka langsung menerobos, tapi pengendara lain memakluminya, karena mereka dianggap ‘buta warna’. 

Siapa sangka, suara klakson mobil bus yang awalnya dianggap biasa kini menjadi populer di banyak orang. Di media sosial, ‘Om Telolet Om’ mendadak jadi trending topik. Saat membuka media sosial, guyonan lucu itu ramai memenuhi halaman facebook dan twitter. Video-video lucu Om Telolet Om itu menayangkan beberapa orang meminta pengemudi bus untuk membunyikan klason mobilnya. Video yang dibuat tidak hanya mobil, mereka juga meminta Pilot Pesawat, Kapten Kapal untuk membunyikan “Om Telolet Om”. Benar-benar lucu.

Teriakan Om Telolet Om bermula dari teriakan biasa sekelompok anak-anak di pinggir jalan. Ketika mobil bus melintas, mereka meminta sang sopir untuk membunyikan klasonnya. Dan saat di bunyikan, anak-anak itu kegirangan mendengar bunyi Telolet dari mobil-mobil bus. Saat ini, bunyi klaskon Telolet itu tidak hanya diburu oleh anak-anak, Telolet kini telah mewabah di kalangan anak-anak muda, mereka rela menunggu di pinggir jalan dan membawa kertas bertuliskan ‘Om Telolet Om’.

Perbincangan Om Telolet Om tidak hanya di bahas di Indonesia, negara-negara lain juga ramai memperbincangkan bunyi klakson itu. Di twitter, facebook, Instagram, dan Youtube, beberapa selebritis dan DJ juga turut membahas ‘Om Telolet Om’. Para DJ ternama seperti DJ Snake, Zedd, The Chainsmokers, Dillon Francis, Martin Garrix, serta Marshmello membuat status di sosial media dengan hastag Om Telolet Om. Diantara mereka memasukan bunyi Telolet dalam musik DJ.

Bunyi klakson Om Telolet Om yang kini ramai diperbincangkan paling tidak sedikit meredam suasana tegang, melemaskan kembali urat-urat saraf, dan menormalkan kembali tensi darah dari perdebatan-perdebatan panjang tentang agama yang akhir-akhir ini memenuhi lini masa. Setidaknya, mereka-mereka yang  hobi berteriak “kafir” bisa diredam dengan bunyi Telolet…Telolet…Telolet…   

Sunday, December 18, 2016

Surat Rachel Untuk Dian


Dik, semoga kau dalam keadaan baik-baik saja.
Malam ini sengaja ku buat panjang, biar tulisan ini bisa mengalir dengan tenang dalam suasana hening. 

Dik, setelah beberapa lama tak bertemu, kekhawatiran selalu saja datang meneror. Kau pasti tahu itu, sekalipun kadar kekhawatiran kita berbeda-beda. 

Dik, aku tahu kita butuh lebih banyak kesibukan agar tidak larut dalam suasana romantisme. Cukup jauh jalan yang pernah kita lalui, sehingga sulit memutar kembali waktu untuk mencari jalan mana saja yang sudah kita lewati.

Dik, sudah terlalu banyak kata-kata yang pernah kita ucapkan, maka terkadang satu kata sekalipun itu tak lagi memiliki makna. 

Dik, aku tak tahu kau dengan siapa, dimana, dan mau kemana. Aku tak ingin menggali lebih dalam tentang dirimu, sebab aku tahu kau berhijab, beragama, dan ber Tuhan. Jika kau penuhi semua kategori itu, berarti aku tak pernah meragukan posisimu saat ini. 

Dik, apa lidahku pernah salah saat menegurmu, kau tersinggung, kau marah? jika benar, apa dengan begitu kau harus mencari lidah lelaki lain yang cocok dengan lidahmu? Ah, semua bisa saja. Dengan begitu, kau memiliki hak untuk melepas semua penanda di anggota badan itu. 

Dik, ketika seorang perempuan begitu mencintai duniawinya, maka konsep "mencari lagi" lebih banyak di dasarkan pada nafsu dunianya, sehingga dia memperlakukan lelaki layaknya barang-barang yang bisa dipakai pada saat dia suka. Disnilah masalah itu selalu terjadi, ia tak bisa menjadi penyeimbang dalam hubungan. 

Dik, disinilah tantangan terbesar perempuan, ia harus selesai dengan dirinya sendiri dulu, karena laki-laki dihadirkan padanya sebagai imam, pemimpin, dan bukan sebagai barang rongsokan.

Dik, apa kau rasakan cuaca malam di luar sana begitu dingin? Ya, aku dapat merasakannya, sedingin hubungan kita saat ini.


1 Desember 2016
Saat malam dan dingin berakrab


Rachel

Thursday, December 15, 2016

Rachel Datang Disaat Hujan


Lampu merkuri ditepi jalan itu telah lama menyala, sebelum malam, atau mungkin tak pernah padam. Sejak tadi Rachel mununggu, berdiri tak jauh dari tiang lampu jalan.

Malam itu langit sedang mendung. Hingga akhirnya, hujan pun turun. Kadang deras, kadang gerimis. Rachel tak beranjak kemana-mana. Lebih baik ia menunggu, menunggu Dian, seseorang yang sangat ia sayangi, seseorang sangat ia cintai. Setelah beberapa lama tak bertemu, Rachel sangat merindukannya.

Hampir setahun lamanya, jarak memisahkan dirinya dengan Dian. Meski begitu, namanya tetap melekat dalam ingatannya. Kemanapun Rachel pergi, sekalipun banyak wajah wanita lain yang pernah dilihatnya, wajah Dian tak pernah hilang dari rekam matanya. Kalaupun, mata dan telinga Rachel tak berfungsi, mungkin ia bisa mengenalinya melalui penginderaan lain. 

Hujan masih membasahi alam, angin belum mau membawa awan hitam itu untuk pergi, begitupun dengan Rachel, dinginnya malam tak mampu membujuk Rachel untuk mencari kehangatan, matanya masih memantau setiap kendaraan yang melintas. Di bawah sinar lampu jalanan, Rachel terus memeluk erat tubuhnya yang sejak tadi dingin, ia kedinginan.

Malam semakin larut, hujan pun masih setia turun menemani Rachel. Bibir Rachel sedikit pucat, hampir sekujur tubuhnya basah, tapi ia tak beranjak selangkah pun, ia masih ditepi jalan yang mulai terlihat sepi. Apa yang dinantinya, belum juga tampak. Rachel tetap menanti, walau dingin karena basah, walau dingin menembus tulang. Meski hujan, Rachel sama sekali tak menyalahkan fenomena alam ini, apalagi marah dengan Sang Penciptanya.

Sebenarnya Rachel khawatir. Sampai selarut ini perempuan yang ditunggunya belum juga pulang. Sesekali ia membuka layar mobile phone, dimatikan, lalu dibukanya lagi. Rachel memang gelisah. "Kenapa ya Dian belum juga pulang, harusnya jam segini ia sudah berada dalam kamar dan berselimut" Rachel membatin.

Dua jam waktu terpakai ditempat itu, tinggal ada satu atau dua kendaraan yang melintasi jalan. Jalanan mulai sepi, hanya ada Rachel bersama hujan dan dingin. Rachel mencoba mengakrabkan diri dengan alam, meskipun hujan dan dingin tak mengenalnya di malam itu. 

Lampu sorot sebuah mobil tampak memantul dari genangan air di sebelah Rachel. Suara ban mobil semakin jelas melejit di jalan yang basah. Mobil itu lambat laun menepi tak jauh dari motor butut Rachel terparkir. Suara mesin mobil itu tak lagi meninggi, diganti dengan suara detak jantung Rachel. Siapa gerangan di dalam mobil itu? 

Rupanya itu Dian, perempuan yang ditunggunya sejak tadi, sebelum hujan, lalu gerimis, sampai hujan lagi. Ya, itu Dian, kekasihnya yang ditunggu sejak beberapa jam lalu. Dengan hati-hati Dian menuruni mobil, sementara Rachel masih berdiri ditempatnya, mematung, wajahnya kusut, hatinya remuk, pikirannya kosong, ia seperti lupa diri. 

Rachel tak menyangka, Dian yang dikenalnya selama bertahun-tahun itu telah bersama seseorang, seorang lelaki yang tak lain adalah teman Rachel semasa sekolahnya dulu. Sungguh, Rachel tak menyangka dengan keadaan ini. Ia tak percaya dengan apa yang di lihatnya. Rachel mencoba untuk memperteguh diri, ia melepas pikiran-pikiran liarnya. Rachel mencoba untuk bersikap tenang, hatinya dibawa riang, ia lalu menyapa Dian yang kelihatan sedikit lelah dan cuek. 

Malam itu sebenarnya Rachel ingin mengajak Dian bercerita, cukup lama tak bersua, ia sangat rindu, Rachel ingin duduk berdua, dengan segelas kopi. Tapi, pertemuannya dengan Dian singkat saja. Rachel mencoba untuk memahami Dian yang mungkin kecapean. Sejak pagi ia berkantor sampai malam hari. Rachel paham betul, kalau Dian butuh istrahat. 

Malam itu tak sekedar datangnya hujan, bahkan lebih dari hujan, basah dan dingin. Rachel hanya tertunduk, meratapi apa-apa yang harus disesali. Apa yang ditunggunya hanyalah sebuah mobil, seorang lelaki dan seorang perempuan. Rupanya Rachel datang diwaktu yang tak tepat. Seharusnya ia datang dimusim lain, diwaktu ketika bulan dan bintang-bintang bertaburan dimalam hari.

Saturday, November 5, 2016

Akhir dari Aksi Empat November

Sumber: ilustrasi demonstrasi, pikiran rakyat

EMPAT November sudah berlalu, artinya aksi tanggal empat itu sudah selesai. Yang tersisa hanyalah cerita, yang tersisa hanyalah lelah dari aksi yang melewati batas waktu hingga malam di depan gedung parlemen, yang ditinggalkan hanyalah sisa-sisa sampah yang berserahkan di jalan-jalan ibukota.

Hari yang cukup melelahkan, aksi itu menguras banyak energi dan materi demi menyolidkan barisan muslim dan menentang sang penista agama. Aksi tanggal empat itu menjadi tontonan publik, headline diberbagai tivi tanah air. Di medsos juga ramai di perbincangkan dan menjadi spekulasi yang berkembang liar.

Aksi tanggal empat November itu memang lebih ramai dari aksi Bela Islam jilid I. Ada ribuan atau mungkin ratusan ribu orang yang turun jalan. Mereka datang karena agama sedang dilecehkan, mereka rela datang jauh-jauh untuk berdemonstrasi dan meminta pihak kepolisian segera menahan Ahok. Meskipun ada beberapa dari peserta aksi saat dalam perjalanan mengalami musibah, mobil bus yang mereka tumpangi terbalik dan memakan korban. Mereka memang berduka, tapi tidak menyulutkan gerakan. Kumandang takbir menjadi pemantik untuk menggerakan massa.

Di depan Istana, titik aksi mereka fokuskan. Silih berganti orang-orang yg berorasi, dari yang katanya "ahli agama" sampai Politisi ternama dari gedung senayan. Materi orasi pun bervarisasi, dari materi Ahok yang menista agama sampai materi "Menurunkan Presiden".

Demonstrasi ini menjadi momen, ada banyak yang berkepentingan untuk "nebeng" di masalah penistaan agama Ahok. Saking menariknya, sampai-sampai pak mantan RI 1 (SBY) ikut-ikut berkomentar. Sayangnya, beliau tak tahu pembicaraan dimulai darimana dan diakhiri dengan statemen apa. Publik menilainya, pak mantan Baper dan Curhat lagi.

Pak mantan lebih banyak "menangkis" bahasa-bahasa media yang akhir-akhir ini ramai memberitakannya. Misalnya terkait kasus aktivis HAM Munir, pemberian rumah oleh negara, harta kekayaan yang triliunan, hingga majunya Agus sang anak sebagai calon Gubernur DKI Jakarta. Satu hal yang membuat dirinya "blunder" saat melakukan konferensi pers di kediamannya di Cikeas Bogor. Salah satu statemennya menanggapi rencana aksi tanggal empat itu, ketika ia meminta penegak hukum agar segera memanggil Ahok untuk diproses secara hukum. Nah dari statemen ini, seharusnya pak mantan sering-sering update pemberitaan, bukankah pak Ahok sendiri sudah pernah datang, bukankah pak Ahok sendiri yang berinisiatif untuk datang ke kepolisian.

Dan pada akhirnya, aksi tanggal empat yang katanya damai itu pecah. Kira-kira setelah peserta aksi menjalankan ibadah sholat Isya. Kesabaran mereka sudah tak bisa diajak kompromi lagi. Sejak tadi menunggu kabar kapan pak Presiden pulang ke istana. Di kabarkan, sewaktu aksi itu berlangsung, pak Presiden masih mengecek proyek kereta-bandara di lokasi pekerjaan. Sebenarnya, tugas untuk menemui demonstran sudah diberikan kepada Wakilnya Jusuf Kalla, namun peserta aksi masih merasa belum begitu puas.

Tapi begitulah. Kita mesti memetik banyak pelajaran dari aksi tanggal empat itu, kita mesti mengambil banyak hikmah dari isu penistaan agama. Barangkali Ahok memang salah, sebab ia berani bermain api di dalam SPBU. Percikan api itu dengan cepat membakar amarah banyak orang dan bahkan menghilangkan rasionalitas berpikir mereka. Paling tidak, dari lidah dan ucapan Ahok yang dianggap menistakan agama itu, umat islam sudah membuktikan solidaritasnya, mereka bersatu dan sama-sama turun aksi. Paling tidak, dari rangkaian aksi-aksi itu, ada beberapa kelompok yang sangat diuntungkan, misalnya para pedagang kaki lima yang pendapatannya bisa bertambah berapakali lipat dari hari biasa. Namun apakah ada dari kelompok lain yang juga mendapatkan keuntungan aksi itu? Tentu iya, siapakah mereka? Mari kita bertanya pada rumput yang bergoyang.


Sunday, October 30, 2016

Pulau Pari, Nasibnya Kini

Sumber: foto yadilaode
Suatu malam di Muara Angke Jakarta Utara. Mobil kami perlahan memasuki jalan ke dermaga penyebrangan Kepulauan Seribu. Kami di sambut bau amis dari darah ikan yang menyengat dan air laut yang masuk menggenangi ruas jalan. Benar, permukaan air laut sudah rata dengan darat. Sepanjang bibir pantai berjejer rumah-rumah kumuh. Di areal dermaga, para pedagang kaki lima mencoba bertahan dengan membuka lapak. Saat malam begini, mereka hanya membuka kelambu dan tidur sepanjang malam bersama keluarga. Dingin, nyamuk dan bau amis darah ikan sepertinya akrab bagi mereka. Meskipun kondisi ini sangat kontras dengan kehidupan mereka yang hidup nyaman di bangunan berpuluh-puluh lantai itu. 

"Beli rokoknya bu..."suaraku sedikit kencang saat membangunkan pedagang itu. Ibu itu sudah sangat terlelap, saya harus berulang-ulang memanggilnya, saya harus menunggu beberapa lama di depan lapak dagangannya, sementara sang ibu masih memeluk erat sang buah hati yang kelihatan dingin. Ibu itupun akhirnya bangun dan memberikan sebungkus rokok. 

Kapal nanti beroprasi pukul delapan pagi. Malam itu kami harus nginap di terminal dermaga. Mencari tempat yang pas untuk merebahkan badan, kursi dan meja menjadi tempat pembaringan malam itu. Meski serangan nyamuk bertubi-tubi, meski hidung tak bersahabat dengan udara disekitar. Mungkin butuh beberapa lama bisa beradaptasi dengan lingkungan, mungkin sama dengan mereka-mereka yang sejak awal tinggal disekitar sini. Malam terasa begitu lama, berharap pagi dan bergegas pergi dari tempat ini. Rasanya mata ini tak sanggup melihat kehidupan yang begitu jauh dari kata layak. Pagi pun tiba, namun matahari kurang begitu jelas, suhu udara pagi juga terasa panas. Jangan harap, pagi di ibukota akan sama dengan pagi di desa-desa. Pagi di ibukota berkabut asap pabrik.

Dan akhirnya, loket penjualan tiket di buka. Kami memesan tiket untuk empat orang. Tiket di hargai empat puluh ribu rupiah sekali perjalanan. Dengan kapal Kerapu 3, speedboat ini melaju kencang, memakai dua mesin berkekuatan 300 pk. Tak sampai dua jam, kami tiba di pulau Pari, salah satu pulau di Kepulauan Seribu Kabupaten administrasi di Provinsi DKI Jakarta. Ibukota Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu ada di pulau Pramuka. Hanya ada dua kecamatan di Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu, yakni Kecamatan Kepulauan Seribu Utara dan Kecamatan Kepulauan Seribu Selatan. Kecamatan Kepulauan Seribu Selatan memiliki tiga kelurahan yaitu Kelurahan Pulau Tidung, Kelurahan Pulau Pari, dan Kelurahan Pulau Untung Jawa. Kecamatan Kepulauan Seribu Utara juga memiliki tiga kelurahan, yaitu Kelurahan Pulau Kelapa, Kelurahan Pulau Harapan, dan Kelurahan Pulau Panggang.

Sumber: foto yadilaode
Tujuan kami adalah ke pulau Pari. Pulau Pari sendiri hanya memiliki 1 RW dan 4 RT. Ibukota kelurahan ada di pulau Lancang Besar. Pulau ini berada diantara gugusan pulau lain. Keindahan alam pantainya menjadi daya tarik untuk di kunjungi. Kali ini kami datang bukan sebagai wisatawan. Sama ketika kapal kami sandar di dermaga pulau Pari, para Guide mencoba menawarkan tempat tinggal. Rumah-rumah mereka dijadikan homestay yang di persewakan. Biasanya setiap libur tiba, pulau Pari kebanjiran pengunjung, hampir semua homestay terisi. Ada tiga pantai yang menjadi mangnet pulau Pari, yakni pantai Pasir Perawan, Pantai Kresek, dan Pantai Bintang. Pantai-pantai ini untuk sementara masih dikelola oleh masyarakat, tapi tidak menutup kemungkinan akan diambil alih oleh pihak swasta. Perusahaan masuk dalam rangka mengelola kawasan wisata. Hotel-hotel akan dibangun diatas tanah yang mereka beli. 

Pemerintah daerah awalnya menyepakati bahwa kawasan Pulau Pari adalah kawasan pemukiman warga. Sebagaimana Perda RTRW Provinsi DKI Jakarta No. 6 Tahun 1999, bahwa pulau Pari difungsikan untuk perumahan. Dahulu, sumber daya laut pulau Pari masih dapat dimanfaatkan dengan baik oleh masyarakat. Seperti misalnya rumput laut dan ikan. Masyarakat masih bisa memenuhi kebutuhan hidup dari bertani rumput laut dan mencari ikan, "Dulu rumput laut masih bisa di ekspor, sekarang mah sudah tidak bisa lagi, rumput laut banyak yang mati, itu tuh sejak perusahaan masuk, sejak beberapa pulau disini di reklamasi, ditambah lagi reklamasi teluk Jakarta, batu-batu karang disekitar pulau diambil untuk reklamasi. Nah, darisitu tuh hasil tangkapan kita berkurang, rumput laut sudah tidak jadi lagi. Makanya lebih baik menjadi guide dan menyewakan rumah-rumah kami". Ujar seorang warga di pulau Pari.

Perubahan ini tidak hanya terjadi dalam masyarakat, namun perubahan juga terjadi pada lingkungan, dimana keanekaragaman hayati telah di rusak. Industri pariwisata memang menggiurkan, dimana keuntungan bisa didulang dari jumlah pengunjung yang datang. Tapi apakah sektor ini bisa menguntungkan masyarakat pulau atau justru menjadi ancaman atas kerusakan ekologi dan keberlanjutan hidup manusia. Kita tunggu catatan selanjutnya.

Monday, October 17, 2016

Konservasi Kawasan Ekosistem Leuser Berbasis Kearifan Lokal

APA yang menjadi ancaman atas berkahirnya kehidupan di planet yang bernama bumi ini adalah kerusakan hutan yang menjadi “paru-paru” pada sistem pernapasan Bumi. Paru-paru yang menjadi sistem pernapasan dengan menyerap karbondioksida yang membahayakan manusia dan menghasilkan oksigen yang diperlukan manusia. Hutan menjadi rumah bagi segala satwa, tetumbuhan, dan sumber penghidupan manusia. Nah ketika deforestasi hutan terjadi dimana-mana, maka proses pernapasan Bumi menjadi sesak, bahkan kehilangan denyut dan mati. Pada titik itu, kehidupan bisa dikatakan berakhir. Kerusakan hutan alam menjadi ancaman serius bagi keberlangsungan hidup kita di planet Bumi ini. Ketika hutan kita lenyap, maka tak ada lagi hubungan antara makhluk hidup dengan lingkungannya. Hutan bagian dari ekosistem, yang memberi suatu tatanan kesatuan secara utuh dan menyeluruh antara segenap unsur lingkungan hidup yang saling mempengaruhi.  Ironinya, terjadinnya kerusakan hutan adalah akibat dari ulah manusia itu sendiri.

***

INDONESIA merupakan pemilik hutan tropis ketiga di dunia dengan luas kawasan mencapai 130,68 juta hektare. Kondisi ini juga menempatkan Indonesia sebagai salah satu negara dengan keanekaragaman hayati tertinggi di dunia. Data FAO menyebutkan, hutan Indonesia secara total menyimpan 289 gigaton karbon dan memegang peranan penting menjaga kestabilan iklim dunia. Meski demikian, laju deforestasi hutan juga begitu cepat membuat luas hutan berkurang. Tercatat, setiap tahun ada 450 ribu hektare hutan yang mengalami degradasi dan deforestasi. Kerusakan dan ancaman paling besar terhadap hutan alam kita adalah penebangan liar, alih fungsi hutan menjadi perkebunan, kebakaran hutan, perburuan satwa liar, eksploitasi hutan yang tidak ramah lingkungan, ekspansi pemukiman, industri, serta kegiatan ekstrasi lain yang menyebabkan terganggunya keseimbangan ekosistem hutan dan lingkungan disekitarnya. 

Sebagaimana hutan-hutan lain di Indonesia, luas total tutupan hutan Indonesia dari data dari Forest Watch Indonesia (FWI), Papua merupakan daerah yang memiliki proporsi tutupan hutan terluas di Indonesia, dengan presentase 38,72 persen, di ikuti Kalimantan 31,02 persen, Sumatera 13, 39 persen, Sulawesi 10,25 persen, Maluku 4,26 persen, Bali-Nusa Tenggara 1,34 persen dan Jawa 1,02 persen. Tutupan hutan sebagai salah satu indikator kondisi hutan terus berkurang sejalan dengan intervensi dan eksploitasi yang dilakukan oleh manusia. Satu dari sekian kawasan hutan yang di lindungi di Indonesia adalah Kawasan Ekosistem Leuser (KEL) yang terletak di dua provinsi, yakni Aceh dan provinsi Sumatera Utara. Oleh UNESCO, pada tahun 2004 Kawasan Ekosistem Leuser dinyatakan sebagai Situs Warisan Dunia. Kawasan ini telah menjadi rumah dari 105 spesies mamalia, 382 spesies burung dan setidaknya 95 spesies reptil. Kawasan Ekosistem Leuser selain menjadi ‘spon raksasa’ sebagai daerah reasapan air, kawasan ini juga masih dihuni spesies-spesies langka seperti Harimau, Orang Utan, Gajah, dan Macan Tutul. Namun keberadaan hewan-hewan ini semakin terancam seiring dengan perburuannya yang begitu masif. 

Melihat kerusakan yang terus terjadi, pemerintah melalui Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 memberikan kewenangan kepada pemerintah Aceh dalam hal pengelolaan dan pelestarian lingkungan. Kemudian dua tahun setelahnya pemerintah menetapkan Kawasan Ekosistem Leuser  sebagai Kawasan Strategis Nasional melalui Peraturan Pemerintah (PP) nomor 26 Tahun 2008 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional. Meski begitu, terjadi tarik-menarik kepentingan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Peningkatan status kawasan menjadi Kawasan Strategi Nasional rupanya tak disambut baik oleh pemerintah daerah Aceh. Tepatnya di tahun 2013 lalu, ketika Qanun atau peraturan daerah yang mengatur penyelenggaraan pemerintah di Provinsi Aceh ditetapkan. Pemerintah daerah Aceh kemudian menetapkan Qanun atau peraturan daerah tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Aceh tahun 2013-2033, dengan sengaja tidak memasukan KEL dalam RTRW Aceh. Padahal status KEL sudah ditingkatkan menjadi Kawasan Strategis Nasional sebagaimana yang tertuang dalam PP No. 26 tahun 2008. Alih-alih pemerintah daerah dengan tidak memasukan KEL dalam desain rencana tata ruang Aceh tentu patut dipertanyakan. Ironisnya lagi, Peraturan Daerah (PERDA) tersebut dibuat tidak merujuk dan mengabaikan peraturan yang telah ditetapkan oleh pemerintah pusat. Singkatnya, Qanun RTRW Aceh melanggar sejumlah Undang-Undang dan berpotensi merusak hutan di Kawasan Ekosistem Leuser. Potensi kerusakan hutan yang dimaksud adalah kewenangan pemerintah daerah dalam hal pengelolaan hutan serta pemberian izin kepada investor tambang, izin perkebenunan kelapa sawit serta izin pengolahan kayu di dalam Kawasan Ekosistem Leuser. Pastinya, ketika KEL tidak memiliki kekuatan hukum, maka akan membuka keran sejumlah pihak untuk melakukan eksploitasi lingkungan hidup. Pada titik ini, terjadilah deforestasi hutan dan kehancuran ekosistem.

***

PERTUMBUHAN jumlah penduduk memberi tekanan besar pada bumi, pola konsumsi manusia semakin berlebih serta tuntutan manusia terhadap lingkungan semakin besar dan menimbulkan kerusakan alam. Maka, kehadiran manusia akan menjadi ancaman terhadap jaringan kehidupan bumi. Rupanya tanpa kita disadari, manusia sudah melampaui daya dukung biosfer dengan memberi beban lebih pada kapasitas metabolisme planet untuk menyerap, memperkaya, dan mendaur ulang.

Alam sudah menunjukkan tanda-tanda kerusakan itu kepada kita. Ketika tuntutan manusia terhadap lingkungan semakin besar maka dampaknya adalah terjadi degradasi tanah, polusi, hilangnya keanekaragaman hayati, serta lenyapnya hutan dari permukaan bumi. Tanda-tanda lain ketika alam menunjukkan batas-batasnya yakni menyusutnya cadangan air. Di beberapa daerah masyarakat semakin kesulitan untuk mendapatkan air bersih, gelombang panas mulai terjadi, turunnya populasi hewan, dan berkurangnya hasil panen yang kini mulai dirasakan para petani dan nelayan-nelayan kita.

Masyarakat perkotaan terlalu bangga akan gaya hidup material mereka. Kebiasaan konsumsi yang di lakukan orang-orang kota ini meminta ongkos yang sangat besar dari lingkungan. Pemakaian energi secara berlebihan, dibukanya tambang, limbah pabrik, asap kendaraan, gedung-gedung mewah, dan hal-hal lain membuat atmosfer, perairan pesisir, sungai, hutan, dan tanah akan mengalami masalah besar. Sistem daya dukung bumi ini beresiko akan dirusak oleh semakin tingginya gelombang konsumsi manusia. Bahayanya, orang-orang desa mulai mengidamkan gaya hidup orang-orang kota.
Mungkin kondisi inilah yang oleh Stiglitz disebut sebagai “Kutukan Sumber Daya Alam”. Sebuah kondisi ironis yang timbul dari melimpahnya kekayaan SDA yang justru malah menciptakan kehancuran. Mengapa Stiglitz menyebut sumber daya alam yang melimpah dengan “Kutukan Sumber Daya Alam”? alasannya adalah pemerintah terlalu mengandalkan sumber daya alam bahkan dalam pengelolaannya menyerahkannya pada insvestor. Pemerintah terlanjur terjebak dalam lubang globalisasi dan tidak mampu mengendalikan kuasa pasar bebas untuk mengeruk komoditas yang dihasilkan SDA. Sehingga pemerintah tidak mampu melakukan konservasi dan recovery. Menurut Stiglitz (2007), hal ini merupakan akibat kegagalan globalisasi. Lebih lanjut, dengan sangat tajam Stiglitz menggambarkan apabila ada banyak berlian di tengah ruangan, setiap orang di dalamnya akan berusaha mengambilnya. Orang yang paling kuat mempunyai kesempatan besar untuk berhasil, dan tidak ingin membagi dengan yang lain kecuali apabila mereka dipaksa harus melakukannya.
Kasus yang terjadi di Aceh dan Sumatera Utara tidak ubahnya demikian. Kekayaan sumber daya alamnya mengundang banyak orang untuk berebut menguasainya. Berbagai cara dilakukan untuk dapat meraup sebanyak-banyak hasil alamnya. Semangat inilah yang terkandung dalam kapitalisme yang membonceng globalisasi ekonomi. Ada banyak cara yang perlu kita lakukan agar keberlanjutan menjadi suatu kenyataan. Kita bisa memupuk suatu etika pribadi untuk bersikap sederhana secara material yang disertai dengan kesadaran akan lingkungan. Secara praktis, ini bentuk komitmen kita agar lebih sedikit dalam mengkonsumsi bahan-bahan yang merusak lingkungan. 

Sebagaimana kita lihat masyarakat adat di pulau Kakorotan, Kabupaten Talaud, Sulawesi Utara. Mereka melakukan konservasi melalui tradisi Eha dan Mane’e. Eha dan Mane’e adalah pengelolaan sumber daya alam berbasis kearifan lokal (local wisdom). Eha dan Mane’e adalah suatu bentuk pengelolaan sumber daya alam dengan mempertimbangkan dampak yang akan terjadi di masa akan datang. Ketika sumber daya alam di eksploitasi secara berlebihan, maka akan berujung pada terjadinya tragedy of the common. Sejak dulu, masyarakat Kakorotan memiliki mekanisme dalam memanfaatkan dan melestarikan sumber daya alam secara berkelanjutan. Mereka merumuskan aturan dalam pemanfaatan sumber daya alam bersifat common property. Aturan adat tersebut di pahami sebagai bentuk kearifan lingkungan yang harus di jalankan dalam tata nilai kehidupan. Hal itu telah menyatu dalam bentuk agama, budaya, dan adat istiadat. Sebagaimana Keraf (2002), bahwa semua bentuk pengetahuan, keyakinan, pemahaman atau wawasan serta adat kebiasaan atau etika yang menuntun perilaku manusia dalam kehidupan di dalam komunitas ekologis. Lembaga adat sangat berperan dalam mengatur aspek-aspek kehidupan masyarakat desa. Mulai dari sistem kepemilikan lahan, pengelolaan laut dan pesisir, sampai pada urusan pernikahan. Meski demikian, lembaga adat tidak berjalan sendiri. Pemerintahan desa dan lembaga gereja (dewan jemaat) saling bersinergi dalam menjaga tatanan sosial termasuk menjalankan dan mematuhi larangan-larangan yang telah disepakati dalam Eha dan Mane’e.

Tidak hanya di Pulau Kakorotan, di beberapa daerah lain juga bentuk pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya alam secara kearifan lokal juga dilakukan secara turun-temurun. Misalnya, Awig-Awig di Lombok dan Bali yang memuat aturan adat dalam berinteraksi dan mengelola sumber daya alam dan lingkungan, Kapamalian di Banjar di Kalimantan Selatan yang memuat aturan-aturan (pantangan) dalam pengelolaan lingkungan misalnya larangan membuka hutan keramat, Sasi di Maluku yang juga memuat aturan adat dalam mengelola lingkungan termasuk pemanfaatan sumber daya alam, atau Panglima Laot di Aceh, yang mengatur tata cara penangkapan ikan di laut (meupayang).

***

SALAH satu yang menjadi hak masyarakat adat adalah mempertahankan identitas kultural demi generasi selanjutnya serta memperoleh akses hak atas tanah dalam mengelola sumber daya alam. Namun di negara kita, peraturan hukum belum memberi ruang bagi masyarakat adat dalam mengelola hutan sebagai sumber mata pencaharian mereka. Pada titik ini, posisi negara berada dalam kepentingan korporasi dan kapital. Hukum adat dibenturkan dengan hukum negara demi kepentingan masuknya investor.

Kebiasaan masyarakat adat dalam memanfaatkan hutan secara tradisional adalah salah satu cara untuk menjaga hutan dari kegiatan eksploitatif yang berlebihan. Banyak fakta di negara kita, misalnya ketika ekspansi perkebunan kelapa sawit menggerus luasan hutan alam yang selama ini menjadi penyangga bagi ekosistem alam dan ketahanan pangan bagi masyarakat adat yang berada didalamnya. Terjadinya konversi lahan menjadi areal perkebunan kelapa sawit mengakibatkan sejumlah areal pertanian tanaman pangan masyarakat lokal mengalami kerusakan serius. Bagi masyarakat lokal yang di dalam dan sekitar hutan, deforestasi dan degradasi hutan sangat berdampak pada seluruh aspek kehidupan.

Bagi masyarakat adat disekitar maupun didalam hutan, kehilangan hutan adat menyebabkan masyarakat tidak mampu lagi mengatur hidupnya sendiri. Kehilangan hutan adat mereka salah satunya karena ekspansi perkebunan kelapa sawit semakin meluas. Mau tak mau, masyarakat lokal yang tadinya masih dapat mengelola hutan untuk bertahan hidup, kini tak lagi dapat mengolah lahan pertanian dan terpaksa harus bekerja pada perusahan-perusahan kelapa sawit. Kenyataan lain yang tidak dapat dipungkiri ketika kekuasaan para pemodal lebih berkuasa ketimbang para pejabat setempat yang memberi izin untuk membuka lahan perkebunan kelapa sawit. Praktek-praktek buruk seringkali diperlihatkan oleh mereka, seperti adanya kriminalisasi, pengambilan paksa lahan masyarakat, penggusuran perkampungan dan masih banyak lagi praktek-praktek lain yang merampas hak-hak manusia.

***

PERJUANGAN masyarakat dalam menjaga hutan di Kawasan Ekosistem Leuser bukan baru kali ini, namun sudah terjadi jauh sebelum undang-undang itu lahir, jauh sebelum Perda pemerintah Aceh tentang RTRW itu ditetapkan. Sekitar tahun 1920 silam, para tetua adat lebih dulu berkumpul dalam suatu musyawarah untuk menyelamatkan KEL. Mereka telah memiliki pandangan bahwa suatu saat kawasan itu benar-benar akan menjadi surga terakhir bagi satwa di Sumatera. 

Oleh karena itu, "Mengingat pentingnya keberadaan ekosistem dan keanekaragaman hayati, maka sudah seharusnya pemerintah memberikan perlindungan serta payung hukum yang bisa menjamin keberlangsungannya dimasa depan. Di Aceh, Kawasan Ekosistem Leuser (KEL) adalah mata rantai uama bagi lingkungan sekitarnya. Upaya untuk melindunginya harus ditempuh dengan tetap memasukkannya dalam perencanaan ruang, serta tidak menurunkan statusnya karena pertimbangan pragmatis."




Monday, October 10, 2016

Sepenggal Kisah Petani Kopi dalam Kronik Agraria

Ilustrasi (Sumber: food.detik.com)
Seperti hari-hari lain, segelas kopi ku sesap dengan pelan dan hati-hati. Dengan pelan biar terasa nikmat, dengan hati-hati agar lidah tak hangus. Pagi ini bersama segelas kopi dan catatan dari A.N. Luthfi, Razif, M. Fauzi tentang Kronik Agraria Indonesia.

Catatan ini sedikit menyinggung nasib para petani kopi di Pasundan Jawa Barat sekitar tahun 1720 silam. Dimana VOC mewajibkan warga Pasundan untuk menanam kopi dengan jumlah dan harga yang sudah ditentukan. Tak hanya itu, cara kerja petani kopi pun dipaksa dan mendapat perlakuan kasar dari VOC. Nanti sekitar tahun 1870, mereka melakukan perlawanan dan tanam paksa kopi pun dihentikan.

***

Tentang nasib petani kopi dizaman itu, perjalanan mereka penuh dengan kegetiran dan tekanan dari rezim VOC yang melakukan penguasaan tanah. Politik agraria yang lahir dari rezim VOC, Kolonial Hindia-Belanda, Orde Lama, Orde Baru, hingga pemerintahan kita sekarang adalah cerminan sikap dan cara mereka menghadapi pertumbuhan kapitalisme.

“Agraria adalah akibat, Kapitalisme adalah Sebab”. Saya kemudian menatap tajam cairan di dalam gelas, ini berisi kopi yang menurutku tak hanya terbatas pada frame warna hitam, ini tak segampang kita menghabiskan cairan kopi lalu meninggalkan ampas dalam gelas, atau duduk berjam-jam disudut warung kopi dan menjadi pengamat politik amatiran di kampung-kampung, ini diluar kebiasaan hari-hari kita bersama kopi, bahwa ada jejak atau peristiwa yang memilukan dari para petani kopi kita, yang dulu dipaksa dan hak-hak mereka dirampas. 

Persoalan agraria akan menjadi persoalan serius ketika kita telah memisahkan tanah dari ikatan sosio-kulturalnya dan menempatkan tanah sebagai barang komiditi. Ketika memasukan tanah dalam mekanisme pasar, menjadikan bahan dagangan, ditawar-tawar, dimonopoli, maka akan melahirkan guncangan dalam masyarakat, baik secara sosial, ekonomi, politik, ekologi, dan budaya. 

Dari sepenggal kisah petani kopi dalam kronik agrarian Indonesia, membawa saya untuk memahami perjuangan para petani kopi saat itu. Perjuangan itu tak hanya untuk mendapatkan hak-hak mereka atas tanah, tapi mereka juga melakukan perlawanan dan berhasil keluar dari belenggu VOC.  
***

Segelas kopi ini tak hanya berisi air dengan komposisi gula dan kopi hitam. Tapi lebih dari apa yang ku sesap pada setiap tetesnya. Saatnya untuk menuntaskan tugas-tugas hari ini. 

Monday, October 3, 2016

Tradisi Maritim Orang Batuatas

perahu Lambo (Boti) di Pulau Batuatas

Tradisi bahari masyarakat Batuatas hingga saat ini masih terus berlangsung. Layar-layar perahu mereka masih terus terkembang mengarungi laut, menyusuri pulau-pulau nusantara, hingga melalui setiap gelombang di laut lepas. Dari generasi ke generasi, tradisi berlayar masyarakat Batuatas tidak lain hanyalah ingin membuka jalur-jalur pelayaran, sebagai penyambung antar pulau, menjadi jasa kapal pengangkut, serta dalam rangka mempertegas identitas mereka sebagai masyarakat maritim yang telah berlangsung secara turun temurun.

Dalam perkembangannya, pelayaran yang dilakukan oleh masyarakat Batuatas telah bergeser ke wilayah Timur Indonesia. Misalnya, sejak dibukanya tempat penampung di Ternate dan Bitung. Maka pelayaran tidak lagi terkosentrasi ke pulau Jawa. Masyarakat Batuatas mulai memfokuskan jalur pelayaran ke wilayah Sulawesi Utara dan Maluku. Selain karena alasan akses pelayaran dekat dengan pulau Batuatas di Kabupaten Buton Selatan Provinsi Sulawesi Tenggara, juga harga jual barang tidak jauh berbeda dengan harga di Jawa. Jika pelayaran ke Gresik Jawa Timur membutuhkan waktu paling cepat dua puluh hari atau paling lama satu bulan, maka pelayaran ke Ternate atau Bitung hanya membutuhkan waktu sepuluh hari lamanya. Komoditas yang paling banyak di perjualbelikan yakni Kopra, Cengkeh, dan Teripang Laut.

***

Siang itu, matahari terasa sejengkal diatas kepala, padahal waktu masih menunjukkan pukul 08.00 pagi waktu setempat. Sepagi itu, matahari terasa memanggang sekujur tubuh. Tadinya, dari sinar mentari pagi itu saya ingin menyerap vitamin untuk tubuh. Namun tak mungkin kurelakan kulit ini gosong begitu saja. Panas menyengat di pulau Batuatas itu terlihat jelas dari topografi pulau yang didominasi batu dan pantai. Apalagi daerah ini kering dengan curah hujan sangat rendah.

Untuk kebutuhan sehari-hari dalam rumahtangga, sebagian masyarakat masih mengandalkan air hujan. Bak-bak penampung air itu dibuat besar untuk waktu beberapa lama. Ada beberapa sumber mata air dan dibuat sumur yang juga dimanfaatkan masyarakat, hanya saja airnya terasa payau. Mesin desalinasi bantuan dari pemerintah hanya beberapa tahun beroperasi. Setelah itu, mesin tidak difungsikan lagi karena rusak. Beginilah nasib desa yang berada dipulau-pulau terluar dan jauh dari akses kota. Setiap bantuan yang berikan dan diharapkan bisa menjawab persoalan atas kebutuhan mereka justru hanya sesaat dirasakan. Alat atau mesin yang diberikan hanya mampu dioperasikan beberapa lama, setelah itu rusak dan menjadi barang rongsokan.
 
aktivitas masyarakat di dermaga Batuatas

Masalah teknis itu tidak hanya terjadi di pulau Batuatas, namun juga beberapa pulau lain di pulau Buton yang sempat ku kunjungi. Setelah ku telusuri, kesulitannya jika terdapat alat mesin yang rusak, mereka sulit untuk menggantinya, sebab alat-alat yang dicari tidak mereka dapatkan di toko-toko kota terdekat. Seperti halnya mesin desalinasi di pulau Batuatas. Cukup lama mesin itu tak digunakan lagi, sebab satu instalasi pipa mesinnya pecah sehingga air tidak dapat mengalir dengan baik ke mesin lain. Kata seorang bapak yang dipercaya menangani langsung mesin itu, alatnya harus dipesan keluar daerah. Ia sudah pernah menghubungi pihak teknisi yang pernah memasang mesin itu. Namun belum ada jawaban dari mereka. Bukan sesuatu yang baru dan aneh, segala keterbatasan di desa-desa terluar seperti itu menjadi faktor yang cukup berpengaruh dalam menentukan kebiasaan-kebiasaan masyarakat itu sendiri.

Pulau Batuatas merupakan salah satu wilayah kecamatan yang berada di Kabupaten Buton Selatan Provinsi Sulawesi Tenggara. Kecamatan Batuatas memiliki luas wilayah 7,18 Km2  , atau terdapat 7 desa yang kini dihuni 10.587 jiwa (tahun 2014), yakni: Desa Batuatas Liwu, Desa Batuatas Barat, Desa Tolando Jaya, Desa Batuatas Timur, Desa Wacuala, Desa Taduasa, dan Desa Wambongi. Ditahun 2014, jumlah penduduk laki-laki lebih besar dibandingkan jumlah penduduk perempuan, yang ditunjukkan dari nilai sex ratio melebihi 100 persen, yakni 101,81 persen. (Batuatas dalam angka, BPS Kab. Buton 2016).

Di pulau Batuatas, jumlah laki-laki memang lebih unggul dengan jumlah perempuan, namun pada waktu-waktu tertentu, jumlah perempuan di pulau itu bisa lebih banyak dari jumlah laki-laki. Pengembaraan dan pelayaran yang dilakukan oleh kaum lelaki mengungkap satu fakta bahwa mereka lebih banyak menghabiskan waktu di luar pulau Batuatas ketimbang melakukan aktivitas di dalam pulau. Sebagaimana kisah bapak La Ode Risari (60), beliau menunjukkan tekad bulat yang ditunjang dengan pengalaman dan pengetahuan yang cukup luas tentang ruang laut dan pengalaman melakukan pelayaran domestik. Baginya, pengalaman yang didapat dari teman atau pelaut-pelaut lain merupakan motivasi tersendiri yang ditunjang dengan pengalaman diri sendiri. Oleh karena itu, pengetahuan dan wawasan itu lebih banyak tumbuh dari pengalaman nyata ketimbang diperoleh melalui pendidikan formal.

ketika layar dikembangkan

Ada beberapa hal yang mendorong orang Batuatas untuk melanjutkan tradisi berlayar mereka; Pertama, letak geografis yang strategis pada jalur pelayaran dan perdagangan nusantara dan internasional. Secara geografis, sebelah Utara Kecamatan Batuatas berbatasan dengan Laut Banda, sebelah Selatan berbatasan dengan Laut Flores, sebelah Timur berbatasan dengan Laut Flores, dan sebelah Barat berbatasan dengan Laut Flores. Kedua, keadaan alam yang berbukit dan berbatu sehingga kurang mendukung untuk dimanfaatkan sebagai lahan pertanian. Jenis tanaman bahan makanan yang paling banyak ditanam yaitu tanaman ubi kayu. Selain itu, tanaman perkebunan hanya ditanami jambu mete dan kelapa. Untuk peternakan, ada dua jenis yang dikembangkan yaitu ternak kecil (kambing) dan unggas (ayam dan bebek). Sementara disektor perikanan, masyarakat Batuatas kurang begitu menggelutinya. Aktivitas mencari ikan tidak menjadi salah satu sasaran untuk mengembangakan ekonomi mereka. Mencari ikan hanya untuk memenuhi kebutuhan rumahtangga saja. Ketiga, falsafah hidup mereka yang menjunjung tinggi semangat kebaharian. Sejarah pelayaran dan perdagangan maritim masyarakat Batuatas telah mengungkap adanya jalinan hubungan sosial, ekonomi, dan politik yang telah terbangun dan menjadi dasar bagi terbentuknya integrasi bangsa dalam perkembangan kemaritiman di Indonesia. Hal tersebut dapat terlihat dari kelompok-kelompok etnis yang telah menjalin persahabatan dan persaudaraan sebagai buah dari jaringan pelayaran dan perdagangan maritim, pada titik ini pelaut-pelaut Batuatas telah memainkan peranan besar.

Tradisi pengembaraan pelaut Batuatas sebagai pewaris budaya maritim telah melalui pengalaman yang cukup panjang. Mereka telah memiliki peta jalur pelayaran yang digolongkan menjadi empat arah angin, yakni Barat, Timur, Utara, dan Selatan. Pertama, pelayaran menuju barat dari Pulau Batuatas kemudian menyusuri Selat Selayar menuju Selat Madura hingga tiba di pelabuhan Gresik atau Probolinggo, dan selanjutnya ada yang terus menuju Singapura, Johor, Pulau Pinang di Malaysia Barat. Mereka menggunakan perahu layar tanpa mesin, melalui rute dari Batuatas-Buton-Selat Selayar-Selat Karimata-Laut Cina Selatan dengan menyusuri Pesisir Timur Semenanjung Malaysia-Pesisir Timur Thailand, menyeberangi Teluk Siam, ke Pesisir Selatan Kamboja, menyusuri pesisir Timur Vietnam-Hongkong sampai ke daratan Cina (Kanton, Shanghai dan menyusuri sungai sampai di Peking). Di Negeri Cina, mereka tinggal selama 4-6 bulan bekerja di perkebunan kapas sambil menunggu angin utara untuk kembali ke Batuatas melalui Selat Buton dengan rute seperti tersebut atau melalui rute Cina-Kepulauan Jepang-Kepulauan Philipina-Laut Sulawesi-Kepulaun Maluku/Pesisir Timur Sulawesi-sampai kembali di Batuatas.

Ubi Kayu, kebutuhan pokok masyarakat Batuatas

Kedua, pelayaran menuju timur ke Maluku, Irian Jaya, dan Kepulauan Pasifik seperti ke Negara Palau. Pelayaran menuju kawasan ini dimulai dari Pulau Batuatas melalui Selat Buton, Kepulauan Maluku, Irian Jaya, Papua Nugini, dan beberapa negara di Kawasan Pasifik Selatan seperti Kepulauan Palau, Samoa, dan Kaledonia Baru. Ketiga, pelayaran menuju utara ke Sulawesi Tengah (Banggai dan Toli-Toli), Sulawesi Utara (Gorontalo, Bitung, dan Manado), sebagian diantara mereka langsung ke Malaysia Timur melalui Tarakan, Nunukan (Kalimantan Timur), ke Kalimantan Utara melalui Sabah (Tawau, Lahaddatuk, dan Sandakan), sampai ke Brunai Darussalam. Di beberapa wilayah ditemukan pemukiman etnis Buton termasuk di dalamnya suku Cia-Cia-Batuatas. Mereka bekerja dalam berbagai sektor kehidupan bahkan diantara mereka telah ada yang menjadi warga negara Malaysia. Sebagian lagi menuju ke Philipina Selatan melalui Kepulauan Sulawesi Utara dan Maluku. Keempat, pelayaran menuju ke selatan melalui rute Pulau Batuatas, Flores, Solor, Sumbawa, Kupang, Dili, dan bahkan diantara mereka tidak sedikit melakukan pelayaran sampai ke perairan Benua Australia atau dipantai Utara Benua Australia.

Pola pemukiman mereka umumnya tidak jauh dari pelabuhan, dan hidup berdampingan dengan pemukiman orang Bugis/Makassar. Mereka bermukim dengan sistem koloni yaitu pola pemukiman berkelompok sesuai dengan etnisnya, tidak berbaur secara bebas dengan penduduk etnik lainnya. Tetapi mereka dapat hidup berdampingan dengan koloni (perkampungan) Orang Bugis/Makassar. Ini dapat diterima karena kedua etnik ini memiliki persamaan latar belakang sosial ekonomi yaitu sistem mata pencaharian sebagai pelayar/nelayan dan pedagang.

Sebelum ditemukan teknologi navigasi, masyarakat Batuatas dalam melakukan pelayaran menggunakan tanda-tanda alam dan melalui instuisi. Tanda-tanda alam tersebut antara lain adalah bentuk awan, keadaan langit, warna dan jenis air laut, pantulan sinar matahari atau cahaya bulan, letak bintang di langit, hembusan angin, letak pulau, gunung, tanjung, teluk, dan selat. Dengan intuisi mereka dapat mengetahui jika akan ada bahaya yang mengancam. Inilah yang dijadikan sebagai pengganti kompas dalam pelayaran mereka. Pelayar Batuatas (Suku Cia-cia) mengenal istilah "pilotase" yaitu seorang navigator dapat memperhitungkan posisinya cukup dengan melihat berbagai tanda alam yang tampak di darat, "rewu’i tayi" yaitu kotoran di laut, dan kabut di udara.

Seorang navigator dapat melakukan perhitungan deduksi dengan melihat kedudukan matahari, bulan, dan bintang. Perkembangan pelayaran niaga orang Batuatas sejalan dengan ditemukannya teknik berlayar "O’opal" (bahasa Cia-cia) yang sebelumnya hanya dikenal teknik berlayar "ngoi’i belaka" (bahasa Cia-cia) dan teknik "nopusilangi" (bahasa Cia-cia). " ngoi’i belaka" adalah teknik berlayar lurus yaitu arah angin datang dari belakang. "Nopusilangi" pelayaran dengan posisi menyilang dan membentuk sudut antara 90-180 derajat. Berlayar "Opal" adalah teknik berlayar bersiku-siku sampai di tempat tujuan. Dalam teknik "O’opal" ini diperlukan keahlian dalam mengarahkan haluan sebab arah angin datang hampir dari muka (membentuk sudut antara 0-90 derajat).
Dalam melakukan pelayaran, para pelaut Batuatas melakukan kegiatan niaga (perdagangan). Barang komoditi ekspor yang dibawa oleh para pelayar niaga Batuatas pada umumnya adalah rotan, damar, agel, kopra, cengkeh, pala, teripang, dan berbagai hasil laut lainnya. Komoditas rotan, damar, kopra, cengkeh, pala, kulit binatang, dan teripang diekspor ke Singapura dan Malaysia, sedangkan untuk ke Cina, diekspor agel dan teripang. Sejak tahun 1926 dimulai perdagangan kopra, cengkeh, dan pala dari Kepulauan Maluku ke kawasan Barat Nusantara sampai ke Singapura dan Malaysia.

Batuatas tampak dari bukit

Pada mulanya perdagangan tersebut mendapat rintangan dari pemerintah Belanda, karena keuntungannya berlipat ganda sehingga para pelayar harus melakukan pelayaran secara ilegal khususnya ke Singapura dan Malaysia. Fenomena tersebut berlanjut sampai akhir abad XX ini, di mana para pelayar niaga orang Batuatas dan orang Buton dan Buton Selatan pada umumnya tetap melakukan pelayaran niaga ke Singapura, Malaysia, Philipina, dan Australia serta wilayah Pasifik lainnya. Bagi pelaut Batuatas, pengalaman pengembaraan yang panjang diakuinya telah memperkaya pengetahuan dan wawasan ruang samudera dengan dunia internasional.

***

Dalam perjalanan pulang dari pulau Batuatas, saya mengajak cerita salah seorang ABK kapal yang kami tumpangi. Di usia tuanya, bapak itu sedikit bercerita tentang pengalamannya melakukan pelayaran. Tadinya bapak itu tidak hanya melakukan pelayaran domestik dengan mengunjungi pulau-pulau di tanah air saja. Namun beliau juga pernah sampai negara-negara tetangga seperti Malaysia dan Philipina, bahkan beliau memiliki seorang istri disana. Dari cerita-cerita saya dengan bapak itu, beliau berkisah tentang pengalamannya membawa kapal layar yang tak bermesin hingga sampai ke negara-negara itu. Ber bulan-bulan lamanya, hanya dengan mengandalkan tiupan angin dan sistem navigasi tradisional melalui bacaan bintang dilangit atau dengan intuisinya.

kapal yang kami tumpangi

Mengunjungi desa-desa terluar seperti ini, banyak hal menarik yang dapat dipetik dan menjadi daya tarik tersendiri. Kita dapat belajar banyak dari mereka, tentang lingkungannya, tentang strategi bertahan hidup masyarakatnya, tentang adat dan budaya yang terus dipertahankan itu. Bahwa ditengah gersangnya tanah di pulau itu, masyarakat Batuatas mempunyai satu cara tersendiri untuk mendapatkan sumber kehidupan. Bahwa dengan memanfaatkan ruang laut, mereka dapat memenuhi kebutuhan hidup. Mencari kehidupan dilaut dan melakukan pelayaran ke pulau-pulau memang bukan perkara mudah. Aktivitas dilaut bisa lebih berbahaya ketimbang mereka melakukan aktivitas didarat. Namun hal itu bukan satu-satunya pilihan diantara pilihan lain yang dianggapnya nyaman.


Friday, July 22, 2016

Pidoano Kuri, Ritual Adat Masyarakat Wabula


ADA saja cara-cara atau kebiasaan-kebiasaan lama yang masih diwarisi secara turun-temurun oleh masyarakat desa. Secara umum, masyarakat desa adalah masyarakat tradisional yang kehidupannya masih banyak dilumuri oleh adat istiadat. Adat istiadat menjadi suatu norma yang mencakup segala konsepsi sistem budaya yang mengatur tindakan atau perbuatan dalam kehidupan. Kehidupan masyarakat desa yang damai dan tenteram menjadi satu penilaian tentang bagaimana cara mereka merawat budaya dengan sungguh-sungguh.

Di pulau Buton Sulawesi Tenggara, sejak ratusan tahun yang lalu ada banyak tradisi yang di wariskan dari para leluhur. Dari sekian banyak tradisi yang di pertahankan itu, diantaranya adalah Pidoano Kuri atau acara adat tahunan masyarakat desa Wabula di Kabupaten Buton Sulawesi Tenggara. Pelaksanaan Pidoano Kuri biasanya dilaksanakan pada bulan Juli atau pasca lebaran Idul Fitri bersamaan dengan pulangnya masyarakat Wabula yang merantau dari berbagai daerah.

Bagi masyarakat Wabula, Pidoano Kuri tidak hanya dilihat sebagai acara tahunan yang wajib dilaksanakan oleh adat, Pidoano Kuri juga tidak hanya sebatas menjalankan serangkaian ritual-ritual adat agar tak hilang ditelan zaman, namun Pidoano Kuri lebih pada rasa syukur masyarakat desa Wabula atas panen yang didapat. Melalui acara adat Pidoano Kuri, ada banyak makna yang tersimpan dalam setiap ritualnya. Masyarakat percaya, acara adat tahunan Pidoano Kuri selama ini telah menjadi pengikat demi memperkuat kekeluargaan mereka di desa, ritual Pidoano Kuri juga lebih mendekatkan mereka pada Maha Pencipta, serta bagaimana masyarakat bisa menjaga sumber daya alam dan memanfaatkannya secara berkelanjutan. Melalui Pidoano Kuri, hasil jerih payah masyarakat bisa dinikmati secara bersama-sama. Masyarakat percaya, munculnya wabah penyakit, terjadinya gagal panen, atau datangnya musibah itu di sebabkan oleh masalah dalam menjalankan adat. Misalnya ketika Parabela (kepala adat) telah menyimpang dari norma kelembagaan adat.  

***

ANGIN di malam itu bertiup cukup kencang. Dari luar Galampa (tempat pertemuan), saya menyaksikan seluruh pemuka adat duduk bersila melingkari ruangan bangunan itu. Dalam pejam, mereka tertunduk seraya memanjatkan doa. Malam itu hening, hanya ada suara-suara bisik yang terdengar dari dalam Galampa, namun suara itu semakin jelas ketika doa-doa terdengar ramai diucapkan. Masyarakat mulai berdatangan dengan membawa Talang (wadah) yang sudah di isi dengan aneka jenis makanan tradisional.



Di hadapan para tetua adat, tersaji aneka jenis makanan yang telah disiapkan oleh para perempuan-perempuan di desa. Sebelum santap bersama, para tetua adat melakukan doa bersama sebagai ucapan syukur dan permohonan agar hasil pertanian dan perikanan selalu diberi keberkahan dan keberlimpahan di tahun-tahun berikutnya.

Usai santap bersama, acara kemudian dilanjutkan dengan tarian. Tarian dimalam itu hanya dilakukan oleh para tetua adat laki-laki, bergantian tak henti hingga subuh menjelang terbitnya fajar. Usai shalat subuh, pagi itu tarian kembali dilanjutkan. Kali ini tak hanya tetua adat laki-laki yang menari, namun perempuan-perempuan di desa itu juga ikut menari bersama.

Gandha kembali di tabuh, terdengar bertalu-talu mengiringi tarian. Tari Linda mengayun lamban mengikuti dentuman Ghanda dan nyanyian para tetua adat. Tari Linda digambarkan sebagai asal usul kehidupan manusia. Selain tari Linda, tari Mangaru memiliki daya tarik tersendiri, sebab para penari menunjukkan jurus-jurus silat, terjadi duel dan saling serang menggunakan tombak, perisai, dan keris yang terhunus. Dahulu tarian ini adalah simbol perlawanan dalam menjaga serangan-serangan pihak luar yang mencoba mengganggu pertahanan dan keamanan teritorial kesultanan Buton.

Bagi masyarakat Wabula, acara adat dilakukan dua kali dalam setahun. Pertama, acara adat yang diselenggarakan di bulan Februari. Masyarakat Wabula mengenalnya dengan acara adat Mata’ano Galampa, dan yang ke kedua di bulan Juli ini adalah ritual adat Pidoano Kuri. Acara adat ini dimulai dengan Dupa’ayano ganda atau pembukaan dengan memukul gendang.



Ada semacam larangan yang dibuat oleh lembaga adat dan harus dipatuhi oleh seluruh masyarakat desa Wabula. Misalnya ada larangan untuk mengadakan pesta atau acara-acara dengan membunyikan gendang dan memainkan alat musik. Bentuknya seperti diberlakukan “buka-tutup” yang memang sudah diatur dalam adat. Di bulan Februari, kegiatan adat berlangsung selama tiga hari, acara adat ini dikenal juga dengan Mata’ano Galampa sekaligus menjadi awal kalau selama beberapa bulan masyarakat dilarang menabuh Ghanda (alat musik tradisional) dan membuat acara-acara besar sampai menunggu waktu dibukanya kembali acara adat berikutnya di bulan Juli. Acara adat ini dikenal dengan Pidoano Kuri.

***

DESA Wabula berada di wilayah pesisir selatan pulau Buton. Pantainya menghadap langsung dengan laut Banda. Kegiatan menangkap ikan adalah salah satu sumber mata pencaharian mereka dilaut. Masyarakat membuat Keramba di sepanjang pantai. Ketika air laut surut, kita bisa berjalan sejauh satu kilometer. Dalam mengelola sumber daya alam, masyarakat masih memegang erat pada kebiasaan-kebiasaan dalam adat. Seperti misalnya larangan dalam mengambil ikan pada waktu-waktu tertentu. Ketika laut masih dalam status Ombo, masyarakat dilarang untuk mengambil hasil laut.

Adat sangat berperan mengatur masyararakat dalam mengakses sumber daya alam. Modelnya adalah kepemilikan bersama. Namun dalam pemanfaatannya kembali pada aturan-aturan adat. Parabela (kepala adat) menjadi aktor yang berperan penting dalam menegakkan hukum adat. Parabela bersama Imam dan Kepala Desa juga saling mengisi. Mereka secara bersama merumuskan suatu kebijakan melalui rapat-rapat musyawarah adat. Parabela adalah seorang yang dipercaya dan ditunjuk berdasarkan silsilah garis keturunan. Dalam menjalankan tugasnya, Parabela bersama Imam dan kepala desa saling bersinergi. Melihat karakteristik masyakarat desa Wabula, mereka sangat tunduk pada hukum-hukum adat.



Adat begitu kental di masyarakat, misalnya saja ketika ada dua belah pihak yang bertikai. Maka permasalahan tersebut diserahkan ke adat, Parabela bersama perangkatnya melakukan musyawarah guna mencari jalan keluar atas permasalahan diantara mereka. Untuk mencari siapa benar dan siapa salah, maka perangkat adat bersama imam melakukan ritual adat, atau di kenal dengan Kaleo-leo untuk membuktikan kebenaran diantara mereka. Setelah dilakukan musyawarah adat, kedua orang yang berseteru itu lalu di bawa ke laut untuk dimandikan. Mereka tak hanya disaksikan oleh para pemuka adat dan imam, tapi seluruh masyarakat desa ikut menyaksikan prosesi Kaleo-leo demi mencari tahu siapa sebenarnya yang telah menyembunyikan kesalahan itu. Dalam ritual Kaleo-leo, keduanya ditenggelamkan secara bersamaan, jika ada salah satu diantaranya yang bersalah, maka ia tak tahan menahan pedihnya air laut. Tubuhnya serasa ditusuk-tusuk ketika terkena air laut.  Sementara bagi yang tidak bersalah, ia bisa bertahan dalam air laut.

***

DESA Wabula menjadi salah satu desa yang menjadi fokus perhatian pemerintah daerah dalam mendorong sektor pariwisata di Kabupaten Buton. Umumnya, rumah-rumah di desa ini masih berbentuk rumah panggung namun sudah ditunjang dengan fasilitas yang cukup memadai, seperti sarana air bersih, listrik dan jaringan telepon seluler. Sepanjang pantainya ditumbuhi pohon kepala dan dibangun beberapa wale-wale atau semacam pondok-pondok tempat peristrahatan nelayan.   

Potensi desa Wabula untuk dijadikan sebagai desa adat sangat memungkinkan bila dilihat dari karakteristik masyarakatnya yang masih berpegang pada hukum-hukum adat. Peran kelembagaan adat tidak hanya menjaga harmonisasi hubungan diantara mereka, namun juga mempertebal iman, hubungan antara manusia dan Maha Pencipta, atau hubungan antara manusia dan alam. Nah, pada titik ini mestinya pemerintah daerah tidak hanya gencar menjual desa Wabula sebagai desa adat. Tetapi mesti ada satu bentuk pengakuan secara yuridis untuk mengesahkan desa Wabula sebagai desa adat.



Buton, 22 Juli 2016 

Wednesday, June 22, 2016

Eha dan Mane'e, Konservasi Berbasis Kearifan Lokal


Ketika pertumbuhan jumlah penduduk memberi tekanan besar pada bumi, ketika pola konsumsi manusia semakin berlebih, ketika tuntutan manusia terhadap lingkungan semakin besar dan menimbulkan kerusakan alam, atau ketika kehadiran manusia justru menjadi ancaman jaringan kehidupan bumi. Rupanya tanpa kita disadari, manusia sudah melampaui daya dukung biosfer dengan memberi beban lebih pada kapasitas metabolisme planet untuk menyerap, memperkaya, dan mendaur ulang.

Alam sudah menunjukkan tanda-tanda kerusakan itu kepada kita. Ketika tuntutan manusia terhadap lingkungan semakin besar maka dampaknya adalah terjadi degradasi tanah, poplusi, hilangnya keanekaragaman hayati, dan hutan gundul semakin luas. Tanda-tanda lain ketika alam menunjukkan batas-batasnya yakni menyusutnya cadangan air. Di beberapa daerah masyarakat semakin kesulitan untuk mendapatkan air bersih, gelombang panas mulai terjadi, turunnya populasi hewan, dan berkurangnya hasil panen yang kini mulai dirasakan para petani dan nelayan-nelayan kita.

Masyarakat perkotaan terlalu bangga akan gaya hidup material mereka. Kebiasaan konsumsi yang di lakukan orang-orang kota ini meminta ongkos yang sangat besar dari lingkungan. Pemakaian energi secara berlebihan, dibukanya tambang, limbah pabrik, asap kendaraan, gedung-gedung mewah, dan hal-hal lain membuat atmosfer, perairan pesisir, sungai, hutan, dan tanah akan mengalami masalah besar. Sistem daya dukung bumi ini beresiko akan dirusak oleh semakin tingginya gelombang konsumsi manusia. Bahayanya, orang-orang desa mulai mengidamkan gaya hidup orang-orang kota.

***

Karena rasa penarasan saya tentang cerita Eha dan Mane’e di pulau Kakorotan, malam itu saya kembali mendatangi bapak ketua adat Ratumbanua di kediamannya. Ini kali berikutnya saya mengajak beliau bercerita. Sebab, di malam sebelumnya cerita kami terputus karena beliau ingin beristrahat.

kepala desa kakorotan (baju hitam) bersama Inanguanua/permaisuri raja (baju putih)
dalam do'a
Mengawali cerita, bapak ketua adat Ratumbanua selama ini mengkhawatirkan kondisi lingkungan hidup di pulau mereka. Pulau yang tak begitu luas ini setiap tahun semakin tergerus. Air laut mulai naik ke daratan. Sekitar lima meter daratan pulau itu terkikis oleh hantaman ombak dan sudah menumbangkan banyak pohon yang tumbuh disekitar pantai. Abrasi tersebut menjadi ancaman serius keberadaan pulau Kakorotan. Jika tidak dilakukan pencegehan, maka bisa dipastikan pulau Kakorotan akan rata dengan permukaan air laut. Tidak lain, masalah ini di karenakan oleh aktivitas manusia itu sendiri. Dampak pemanasan global ditambah dengan reklamasi pantai yang kini masif terjadi di sejumlah daerah menjadi penyebab naiknya suhu bumi dan naiknya permukaan air laut.   

Kesadaran masyarakat desa Kakorotan untuk menjaga ekosistem begitu kuat. Pesan-pesan agar selalu menjaga kelestarian lingkungan tidak hanya disuarakan dalam rapat-rapat bersama pemerintah desa, tapi juga dalam setiap musyawarah adat atau disetiap pertemuan-pertemuan keagamaan. Masyarakat begitu peduli dengan lingkungan. Kesadaran kolektif mereka terbentuk atas sejarah dan peristiwa yang dialami oleh para pendahulu mereka di pulau Kakorotan. Ketika gempa yang disusul dengan gelombang tsunami meluluhlantakan dan menenggelamkan sebagian daratan pulau mereka. Tentu mereka masih menyimpan trauma atas kejadian itu. Apalagi keberadaan pulau mereka yang langsung berhadapan dengan laut lepas samudera pasifik.

Perubahan iklim yang terjadi berdampak pada perubahan sosial dan budaya. Berbagai kajian sosial menemukan bahwa pola hubungan sosial berkaitan erat dengan pola perubahan iklim. Jika tidak ada upaya dari kita untuk memperbaiki kondisi lingkungan mulai dari sekarang, maka dampak yang ditimbulkan akan semakin besar. Sistem pembangunan berkelanjutan semakin sulit untuk dicapai. Pemecahan jangka panjang pada masalah degradasi lingkungan terletak pada konsep keberlanjutan. Meskipun hal ini sulit untuk di definisikan dengan tepat. Gagasan dasarnya adalah menggunakan sumber daya bumi dalam rangka memenuhi kebutuhan kita dengan cara yang sedemikian, sehingga generasi-generasi masa depan masih mampu memenuhi kebutuhan mereka dalam standar kehidupan yang cukup nyaman.

Ada banyak cara yang perlu kita lakukan agar keberlanjutan menjadi suatu kenyataan. Kita bisa memupuk suatu etika pribadi untuk bersikap sederhana secara material yang disertai dengan kesadaran akan lingkungan. Secara praktis, ini bentuk komitmen kita agar lebih sedikit dalam mengkonsumsi bahan-bahan yang merusak lingkungan. Sebagaimana masyarakat adat di pulau Kakorotan yang melakukan konservasi melalui tradisi Eha dan Mane’e. Eha dan Mane’e adalah pengelolaan sumber daya alam berbasis kearifan lokal (local wisdom). Eha dan Mane’e adalah suatu bentuk pengelolaan sumber daya alam dengan mempertimbangkan dampak yang akan terjadi di masa akan datang. Sebab ketika sumber daya alam dieksploitasi secara berlebihan, maka akan berujung pada terjadinya tragedy of the common.

abrasi di pulau Kakorotan

Sejak dulu, masyarakat Kakorotan memiliki mekanisme dalam memanfaatkan dan melestarikan sumber daya alam secara berkelanjutan. Mereka merumuskan aturan dalam pemanfaatan sumber daya alam bersifat common property. Aturan adat tersebut di pahami sebagai bentuk kearifan lingkungan yang harus di jalankan dalam tata nilai kehidupan. Hal itu telah menyatu dalam bentuk agama, budaya, dan adat istiadat. Sebagaimana Keraf (2002), bahwa semua bentuk pengetahuan, keyakinan, pemahaman atau wawasan serta adat kebiasaan atau etika yang menuntun perilaku manusia dalam kehidupan di dalam komunitas ekologis.

Lembaga adat sangat berperan dalam mengatur aspek-aspek kehidupan masyarakat desa. Mulai dari sistem kepemilikan lahan, pengelolaan laut dan pesisir, sampai pada urusan pernikahan. Meski begitu, lembaga adat tidak berjalan sendiri. Pemerintahan desa dan lembaga gereja (Dewan Jemaat) saling bersinergi dalam menjaga tatanan sosial termasuk menjalankan dan mematuhi larangan-larangan yang telah disepakati dalam Eha dan Mane’e.

Mengenai Eha, ruangnya dibuat menjadi dua bagian, yakni Eha darat dan Eha Laut. Dalam  Eha darat, pada waktu-waktu tertentu masyarakat dilarang untuk mengambil hasil kebun mereka. Apalagi sampai mengambil hasil kebun milik orang lain tanpa di tahu oleh pemiliknya. Selain berdasarkan kepemilikan, Eha juga melarang setiap orang untuk melakukan penebangan pohon. Bahkan merobek selembar daun pun ada sanksinya.

Berbeda dengan Eha darat, Eha Laut berada di laut. Wilayah Eha laut adalah wilayah Ranne yang merupakan zona dimana masyarakat dilarang untuk menangkap atau mengambil hasil laut dalam periode waktu tertentu. Wilayah-wilayah yang masuk dalam Ranne diberi bendera sebagai penanda agar masyarakat tidak masuk dalam wilayah itu sebelum Mane’e di buka. Selama Eha laut berlangsung, seluruh masyarakat patuh terhadap aturan-aturan dalam adat yang sebelumnya sudah disepakati bersama. Masyarakat Kakorotan juga wajib menjaga wilayah-wilayah yang masuk dalam Eha, baik Eha darat maupun Eha laut.


Eha dan Mane’e adalah karifan lokal yang dimiliki masyarakat desa Kakorotan dan sudah berlangsung sejak turun-temurun. Tradisi yang mereka miliki terus di pertahankan demi menjaga lingkungan dan keberlanjutan hidup. Masyarakat percaya, bahwa upacara tahunan Mane’e tidak hanya sebagai acara seremonial dengan menghadirkan pejabat publik, tapi bagaimana memaknai prosesi acara Mane’e, bahwa ada relasi antara Tuhan, alam, dan manusia yang saling terintegrasi satu sama lain.

Ratumbanua sebagai pemimpin tertinggi dalam adat (raja), Inanguanua sebagai pendamping raja (permaisuri), serta anggota kelembagaan adat lainnya memiliki tugas dan tanggungjawab masing-masing dalam menjalankan segala keputusan yang telah diambil dalam setiap musyawarah adat. Demikian dengan pemerintah desa dan dewan jemaat, yang juga saling mengisi dan memberi masukan dalam setiap pengambilan keputusan.

Di beberapa daerah lain, juga ada kearifan lokal yang serupa dengan Eha dan Mane’e dalam mengelola dan memanfaatkan sumber daya alam secara berkelanjutan. Misalnya, Awig-Awig di Lombok dan Bali yang memuat aturan adat dalam berinteraksi dan mengelola sumber daya alam dan lingkungan, Kapamalian di Banjar di Kalimantan Selatan yang memuat aturan-aturan (pantangan) dalam pengelolaan lingkungan misalnya larangan membuka hutan keramat, atau Sasi di Maluku yang juga memuat aturan adat dalam mengelola lingkungan termasuk pemanfaatan sumber daya alam.

***

Sebagai pemimpin adat di desa Kakorotan, Ratumbanua dengan tegas menjalankan aturan-aturan adat. Fungsi pengawasan dalam adat terus di jalankan. Masyarakat desa pun tergerak untuk saling berkerjasama, merawat harmonisasi diantara mereka, menjaga lingkungan demi keberlangsungan hidup mereka. Bahwa jauh sebelum pemerintah mengeluarkan satu kebijakan tentang konservasi, masyarakat adat desa Kakorotan sudah lebih dulu mengenal model konsevasi berdasarkan pengetahuan dan kearifan lokal yang mereka miliki.

tapal batas negara

Di desa Kakorotan, saya mendapat banyak pelajaran tentang bagaimana masyarakat adat mengelola dan memanfaatkan lingkungan hidup tanpa merusaknya. Saya pun kian menyadari, bahwa selama ini kita hanya ingin hidup nyaman, tapi setiap tindakan untuk mencapai kenyamanan itu kita sering mengorbankan mahluk lain dan lingkungannya. Mestinya orang-orang kota mau bertanggung jawab atas kondisi alam yang telah dirusaknya, dari emisi gas rumah kaca dan bahan-bahan penyebab polusi lainnya. Sementara masyarakat desa hanya mendapatkan polusi udara, air, suara, dan timbel dari mereka yang hidup nyaman. Ketidakadilan lingkungan bukan hanya produk dari perbedaan ekonomi, tetapi juga karena ketidaksetaraan sosial dan rasial.


22 Juni 2016   

Popular Posts