Sunday, August 30, 2015

Salah Bawa

SEBAGAI warga baru di kota Bogor, tentu banyak hal-hal baru, aneh, atau bahkan ada hal yang kita tidak duga sebelumnya. Yah, seperti kawan saya yang baru datang ke kota ini. Dugaannya kalau Bogor itu cuacanya dingin, sangat dianjurkan untuk memakai jaket saat kemana-mana. Wajarlah ini kali pertamanya menginjakan kaki dikota seribu angkot dalam rangka menempuh pendidikan.

***

SUATU hari saya ingin mengajaknya keluar kamar tempat ia ngekost. Rencananya kami akan berkeliling sekitar kampus sekedar memanfaatkan waktu kosong sebelum akhirnya kami akan aktif kuliah dan diperhadapkan dengan setumpuk tugas-tugas mata kuliah.

Sumber: nationalgeographic.co.id


Judul  : SALAH-BAWA
Genre : Flash Fiction

"Gimana, udah siap ya bro?" Tanyaku.
"Aduuh, sory kawan. Saya tak bisa kemana-mana saat ini". Ketidaksiapannya tampak dari ia masih bertelanjang dada dan tangannya terus bergerak dalam ember yang dipenuhi buih deterjen.

"Berarti agenda kita batal ya?" Ia kembali melihatku dengan wajah yang penuh harap. 
"Kenapa bro?" Penasaranku kembali membuat pertanyaan.

"Ndak, saya hanya ingin menyelesaikan cucian dulu dan tunggu sampai jemuran kering. Paling sore sudah selesai kok".

"Sepertinya baju kaosmu hanya selembar saja ya? kata ku dengan curiga.
"Yaah begitulah" wajahnya memerah. Ia membuka tas kopernya lalu memperlihatkan kepada saya.

"Lihatlah". Ia menunjukan kepada saya isi tas yang penuh dengan baju serba tebal alias jaket. "Tebal-tebal, kan?"


Bogor, 30 Agustus 2015

Thursday, August 27, 2015

Soal Kapan KEPTON Mekar, Rupanya Ada Yang Tak Berniat Baik


ENTAH apa yang membuat salah seorang anggota DPRD Provinsi dari partai berlambang matahari itu tiba-tiba mempersoalkan letak calon ibukota Provinsi Kepulauan Buton (Kepton). Dalam rapat dengar pendapat antara panitia percepatan pemekaran Kepton bersama DPRD Provinsi Selasa lalu (25/08), salah seorang anggota dewan dengan lantang mengatakan, pemekaran Provinsi Kepulauan Buton masih terkendala lokasi ibukota. Ia berpendapat, soal penempatan calon ibukota Provinsi mesti dijelaskan secara detail di kecamatan mana letak pusat pemerintahan nantinya.

***

DALAM perjalanan percepatan pemekaran Kepton, sejauh ini kerja-kerja dari pihak Sekretariat Bersama (Sekber) yang diberi mandat untuk mengumpul dan menyusun seluruh dukungan baik dari masyarakat maupun pemerintahan yang masuk dalam cakupan wilayah sebagai syarat administrasi sudah hampir rampung. Tetapi, kalau niat dan kesungguhan itu ada, pastinya DPRD Provinsi tidak lagi mempersoalkan dimana letak ibukota Provinsi Kepulauan Buton (Kepton) berada.

Sebenarnya, sudah tak ada lagi persoalan mengenai nama apalagi letak ibukota. Daerah-daerah yang masuk dalam cakupan Provinsi Kepton telah menyepakati letak ibukota Provinsi berada di Kota Baubau. Sebelum persoalan ibukota ini di permasalahkan oleh anggota dewan Provinsi, gonjang-ganjing pergantian nama dari Buton Raya menjadi Kepulauan Buton juga pernah di ributkan. Tetapi tak sampai menghambat proses yang sedang berjalan. 

Pergantian nama tidak lah merubah dan menghilangkan nilai dalam kesejarahan, pergantian nama tak lain karena calon Provinsi yang cakupan wilayahnya bercirikan kepulauan atau gugusan pulau akan mendapat wewenang dan anggaran lebih besar dari pemerintah pusat. 

Beberapa daerah lain yang berciri kepulauan juga sangat optimis dengan perhatian pemerintah pusat dalam mendesain percepatan pembangunan di daerah-daerah yang bercirikan kepulauan. Apalagi, komitmen pemerintah pusat untuk mengembalikan negara Indonesia sebagai negara kepulauan dengan memasukan agenda-agenda strategis untuk menjadikan laut indonesia sebagai poros maritim dunia. 

Namun, ketika masih ada diantara oknum pemerintah yang sengaja menghalang-halangi proses pemekaran ini, berarti ada sebuah kepentingan besar untuk menggagalkan pembentukan Provinsi baru di jazirah Buton. Sejatinya, para anggota dewan yang terhormat itu bisa kuat dan bersatu untuk mendorong terbentuknya Provinsi Kepton. Bukan malah sebaliknya, mereka menghabat dengan alasan penempatan ibukota atau dengan alasan lain.

Sebagai lembaga politik, DPRD Provinsi harusnya arif dan bijaksana dalam melihat kondisi yang terjadi. Bukan malah menjadikan momentum ini sebagai mainan dan intrik politik yang di olah menjadi bola panas. Mestinya para wakil rakyat bisa lebih peka dengan gejolak yang terjadi di masyarakat. 

Kegelisahan kita untuk mewujudkan Provinsi baru telah lama dinantikan. Kita sudahi aksi-aksi pembakaran, pemboikotan, sampai adanya korban manusia karena kecewa, karena akumulasi kemarahan masyarakat disaat mereka mempertanyakan janji-janji itu. Jika kita tak ingin reaksi anarkis itu terjadi, sudah menjadi tanggung jawab pemerintah daerah bersama elit politik untuk meredam dengan cara saling kerjasama dan bersungguh-sungguh dalam memperjuangkan proses pemekaran ini. 
       
Perjalanan proses pemekaran Provinsi Kepuluan Buton ini memang tidak lah mudah seperti yang kita bayangkan, tidak semulus yang kita inginkan. Ada banyak kendala dan tantangan yang dihadapi, ada banyak pihak-pihak yang mencoba memanfaatkan momen ini untuk kepentingan politik dan membentuk pencitraan. Kesalahan hingga terhambatnya proses pemekaran ini mestinya tidak terulang lagi agar wacana ini tak hanya menjadi angin segar dimasyarakat.

Perjuangan proses pemekaran harusnya tidak sampai berlarut-larut ditangan pemerintah daerah. Saat ini kita menunggu kepastian dari pemerintah Provinsi Sulawesi Tenggara untuk memberikan persetujuan tertulis sebagai syarat administrasi untuk kemudian dibahas lebih lanjut oleh pemerintah pusat hingga Provinsi Kepulauan Buton secepatnya bisa terwujud.

Bogor, 27 Agustus 2015

Thursday, August 20, 2015

Suatu Hari di Desa Balimu Lasalimu Selatan

Sumber: desa Bajo Lasalimu
SEBUAH desa yang terletak di Kecamatan Lasalimu Selatan, Kabupaten Buton. Desa Balimu, merupakan akronim dari Bajo Lasalimu. Sejak berpuluh tahun mereka tinggal dan membangun rumah-rumah di pinggiran pantai. Seperti masyarakat Bajo yang berada diwilayah lain, kehidupan mereka sangat bergantung dengan laut. 

***

LANGKAH kaki seakan tak mau berhenti, ingin melangkah kemanapun perginya. Hari libur memang sedang waktunya, tetapi tidak bagi institusi pemerintah yang wajib memperingati hari kemerdekaan. Karena saya bukan bagian dari mereka, saya pun memanfaatkan hari libur dengan menyusuri kampung-kampung kecil di pinggiran kota. Bukannya tak nasionalis atau mengabaikan momentum bersejarah ini, meski saya tak sama-sama memberi hormat pada bendera dilapangan upacara, tetapi satu kebanggaan bisa hadir ditengah-tengah masyarakat dan merayakan bersama detik-detik kemerdekaan itu.

Sehari sebelum peringatan kemerdekaan itu dilangsungkan, sorenya saya tiba didesa Balimu. Untuk sampai kedesa ini, perjalanan memakan waktu kurang lebih dua jam. Jalannya sudah agak bagus, meskipun beberapa kilo masih dalam tahap perbaikan dan kondisinya berdebu. Saat tiba, seorang kawan mengajakku untuk bermalam dan tinggal dirumahnya. Kawan itu bukanlah penduduk asli Bajo, mereka datang karena tugas dan tanggung jawab. Belum lama mereka tinggal didesa itu. Kebetulan, istrinya adalah seorang perawat yang ditugaskan di Puskesmas Pembantu (Pustu) desa Balimu. Hari-harinya adalah membantu masyarakat yang membutuhkan pelayanan kesehatan.

Berada disebuah kampung atau desa, tentu fasilitas akan jauh dengan yang kita dapatkan diperkotaan. Pemenuhan kebutuhan hidup dikota bisa dengan gampang didapat tergantung kekuatan finanansial. Beda hal dengan didesa, kebutuhan hidup masih bisa didapat dengan tidak membeli alias gratis. Itu karena masyarakat didesa masih bisa menyambung hidup dari hasil jerih tanam dan hasil tangkapan mereka dilaut. Artinya, usaha manusia didesa lebih produktif ketimbang mereka yang dikota. Manusia dikota, kebutuhan hidup bisa terpenuhi kecuali harus dengan membeli. Makanya selalu terjadi kelangkaan kebutuhan pokok karena tak sebanding jumlah masyarakat kota yang konsumtif dengan jumlah masyarakat desa yang hari-harinya mencari ikan dan bertani.

Sumber: pelayanan di Pustu desa Balimu
Begitu pula dengan pelayanan dimasyarakat khususnya pelayanan kesehatan. Ada jurang pemisah antara si kaya dan si miskin perihal pelayanan kesehatan kita selama ini. Bagi para pemilik modal, akses untuk mendapatkan pelayanan kesehatan bisa dengan mudah dan cepat. Sementara bagi rakyat miskin, kesehatan begitu mahal dan hampir tak terlayani dengan baik. Kenyataan ini pernah terjadi dihampir setiap pelayanan rumah sakit kita. Mereka tak memberi ruang layaknya pasien lain, juga berbagai alasan yang sering kita dengar dari pihak rumah sakit sehingga penanganan terlihat lambat. Anehnya, kasus serupa terus terulang dan tak hanya disatu daerah saja. Rumah-rumah sakit dikota besar lain juga seolah mengharamkan kaum miskin untuk datang berobat.

***

JAUH dari fasilitas rumah sakit dan penanganan para dokter ahli. Kehadiran Puskesmas Pembantu (Pustu) dan seorang perawat kontrakan sudah sangat membantu setiap warga yang ingin mendapatkan pelayanan kesehatan di desa-desa. Karena jarak, masyarakat sudah merasa cukup hanya memeriksakan diri dengan alat, obat dan tenaga medis seadanya. Terkadang, keterbatasan puskesmas mengharuskan pasien untuk segera dirujuk ke rumah sakit. Namun, banyak dari mereka lebih memilih untuk berobat "kampung" ketimbang harus dirawat dirumah sakit yang serba mahal. Masyarakat lebih mencari obat-obat tradisional dengan biaya murah ketimbang membeli obat-obat generik di apotek.

Perjalanan saya kali ini tak hanya mencari pengalaman, tetapi ini adalah proses melatih, mengasah dan memekakan diri terhadap lingkungan sosial. Perjalanku hanyalah meluangkan sedikit waktu untuk bermain bersama anak-anak desa. Mereka yang berada di desa bukanlah selalu dianggap terpinggirkan. Justru dari mereka, kebutuhan masyarakat kota bisa dapat terpenuhi.


Baubau, 19 Agustus 2015

Thursday, August 13, 2015

Makna Kemerdekaan Bagi Kami


Apakah kemerdekaan itu, ketika penerangan dirumah-rumah kami hanya memakai lentera dan alat penerang seadanya?

Apakah kemerdekaan itu, ketika jalan-jalan di kampung kami berlubang dan berlumpur karena tak di aspal?

Apakah kemerdekaan itu, ketika lahan dan kebun kami kian menyempit ulah para investor yang merambah dan memaksa demi meraup keuntungan yang lebih besar dari kami?

Apakah kemerdekaan itu, ketika anak dan adik kami tak bersekolah karena guru dan bangunan sekolah tak ada di kampung kami?

Apakah kemerdekaan itu, ketika minimnya bantuan serta perhatian dari pemerintah terhadap petani dan nelayan di desa kami?

Rupanya Kemerdekaan itu hanya terdengar lantang dari atas panggung-panggung saat suksesi Pilkada.

Dan kemerdekaan itu, sayang sekali hanya omongan kosong dari para politisi kampungan.

Yah ini hanya kemerdekaan semu, yang selalu saja merusak makna kemerdekaan yang sesungguhnya, yakni kemerdekaan rakyat untuk bisa hidup makmur dan sejahtera.

Kemerdekaan harusnya dimaknai sebagai perjuangan suci para pahlawan kita, yang dengan berani mempertaruhkan nyawa demi tercapainya kemerdekaan. Makna kemerdekaan mestinya bisa diresapi bersama, sebagai cinta dan penghargaan yang setinggi-tingginya atas pengorbanan itu.

Sungguh mereka-mereka yang telah bersumpah atas nama agama dan rakyat tetapi justru ingkar karena ambisi dan keserakahan.

Perjuangan melawan penjajah memang telah sirna sejak 70 tahun yang lalu, tapi sayang kemerdekaan itu masih belum dirasakan mereka-mereka yang berada dipelosok.


Di momentum hari kemerdekaan ini, tidak lah cukup kita memperingatinya hanya dengan berbagai acara dan kegiatan yang lazim dilaksanakan setiap tahun. Tapi melalui sebuah perenungan yang dalam, maka akan lahir jiwa dan semangat yang sama dari kita semua. Semangat untuk mewujudkan cita-cita bangsa dan negara, yaitu terwujudnya masyarakat adil makmur. 

Dirgahayu Republik Indonesia



Tuesday, August 11, 2015

Menemukan Kembali Keragaman Bahasa di Tanah Buton


PERNAH anda ke Pulau Buton? Pernah melihat keragaman budayanya? ataukah pernah anda mendengarkan langsung percakapan masyarakatnya yang menggunakan bahasa daerah? Buton tak hanya kaya dengan alamnya, tapi kekayaan itu juga sangat nampak dari keragaman budayanya. Tradisi atau kebiasan masyarakatnya masih terus terjaga hingga kini, termasuk kebiasan masyarakat dalam berkomunikasi sehari-hari. Bahasa menjadi identitas masyarakat di setiap daerah, bahasa adalah alat menyampaikan sesuatu dari hati. Lebih jauh, bahasa adalah sebuah sistem yang dibentuk oleh sejumlah komponen yang berpola dan dapat di kaidahkan. Bahasa adalah sistem lambang bunyi yang arbitrer, yang digunakan oleh semua orang untuk berinteraksi dan mengidentifikasi diri dalam bentuk percakapan yang baik.

***

DI pulau Buton, ada banyak bahasa lokal dengan ciri dan dialek yang berbeda-beda. Meski begitu, masyarakat menganggap keragaman itu adalah kekayaan yang mesti dipertahankan sebagai aset. Tak banyak daerah di Indonesia memiliki bahasa lokal dengan jumlah yang banyak untuk digunakan oleh masyarakat dalam satu pulau kecil. Kalau kita melihat masyarakat di daerah-daerah lain semisal masyarakat lokal di pulau jawa yang wilayahnya begitu luas dan jumlah penduduknya yang padat, masyarakat hanya menggunakan bahasa jawa sebagai bahasa daerah mereka. Kalau kita bandingkan dengan luas wilayah Buton yang kira-kira 4.408 km² dengan jumlah penduduk sekitar 500 ribu jiwa, tentu tak sebanding dengan pulau jawa dan pulau-pulau lain seperti Kalimantan dan Sumatera. Dari keunikan itulah, beberapa peneliti asing datang untuk melakukan riset tentang bahasa lokal masyarakat Buton. Mereka melihat, Buton tak hanya menyimpan banyak cerita tentang sejarah tetapi dengan keragaman budayanya bisa tergambar banyaknya bahasa yang digunakan oleh masyarakat dalam kehidupan mereka sehari-hari.

Diantara para peneliti itu, adalah Mr. Nicholas seorang peneliti asal Harvard University di Cambridge, Massachusetts, Amerika Serikat. Untuk kesekian kalinya, ia datang ke pulau Buton seorang diri. Sebagai seorang antropolog, tak segan ia terjun langsung ke desa-desa untuk mencari tahu asal usul serta mendengar langsung keunikan bahasa yang digunakan masyarakat setempat. Setiap kali ke lokasi riset, tentu ia tak sendiri. Ia ditemani oleh seorang penerjemah dan seorang anak muda yang hobi berpetualang. Pemuda itu adalah Syarir Ramadhan, ia pernah bermahasiswa dengan mengambil program pascasarjana di Universitas Gajah Mada (UGM) jurusan Antropologi. Kebetulan jurusannya sama dengan peneliti asal Amerika itu. Kali ini ia ditemani Ulfa mahasiswi asal Buton yang saat ini sedang dalam proses penyelesaian studi strata satu di Universitas Dayanu Ikhsanudin Baubau dengan mengambil jurusan bahasa inggris.

Selama lima hari, mereka akan menemani Mr. Nicholas untuk melakukan penelitian di beberapa tempat di pulau Buton. Tempat-tempat yang dikunjungi diantaranya desa Wabou di Lawele Kabupaten Buton, Desa Kioko di Kabupaten Buton Utara, Desa Kaimbulawa di Pulau Siompu dan Desa Bahari di Kabupaten Buton Selatan.

A Trip To The Village Of Wabou

Petualangan pun di mulai, kali ini saya berkesempatan ikut bersama-sama mereka. Syahrir Ramadhan lah yang mengajakku saat itu. Yah, sekedar mencari pengalaman baru dan mengisi pengetahuan. Apalagi, hobi berpetualang selalu saja menggerakkan kaki-kaki ini untuk terus melangkah jauh, menjelajahi setiap keindahan alam, melihat kebiasaan hidup masyarakat desa yang mandiri dan sederhana, mendengarkan langsung kisah dan pengalaman hidup mereka yang masih bergantung pada alam.

Sumber: beberapa anak di desa Wabou
Sumber: dialog bersama masyarakat desa Wabou
Di desa Wabou, Nicholas mencoba menggali informasi dan memahami setiap bahasa yang digunakan oleh masyarakat setempat. Desa Wabou adalah sebuah kampung kecil yang lokasinya berada tak jauh dari hutan Lambusango. Sejak tahun 2000 silam, masyarakat desa Wabou sudah membuka area untuk dijadikan satu kampung. Sebenarnya, jauh sebelum mereka hadir, masyarakat sudah ada yang pernah tinggal dikampung itu sebelumnya. Namun, kekerasan rezim orde baru sekitar tahun 1971 mengharuskan mereka untuk pindah dari perkampungan dan memilih tinggal di atas perbukitan.

Dari penuturan masyarakat, bahasa yang mereka gunakan adalah bahasa Kalende. Bahasa ini berbeda dengan bahasa-bahasa lain di pulau Buton. Meski begitu, mereka bisa dapat mengerti dan bisa memakai bahasa Wolio. Kehidupan masyarakat desa Wabou sebagian besar bertani dan berkebun. Dalam cerita sejarah, desa Wabou memiliki hubungan erat dengan kampung Wagari, sebuah desa yang secara kultur masih serumpun dengan Wabou. Setiap tahun, masyarakat desa ini melakukan acara ritual sebagai rasa syukur atas hasil panen yang pernah ditanam. Penggunaan bahasa kalende tidak sepenuhnya masyarakat gunakan sebagai bahasa keseharian. Seperti anak-anak desa, pendidikan disekolah lah yang mempengaruhi perkembangan setiap anak dalam berbahasa sehari-hari.

Menurut bapak Sahisa, seorang tokoh yang dituakan dikampung itu. Bahasa Kalende dikenal ada tiga logam, tiga logam maksudnya adalah tiga logat. Ketiga jenis logat itu adalah, Kalende Singku, Kalende Rompo/Kalende Ko’o (Hutan), dan Kalende Lawunta. Ketiga jenis Kalende ini memiliki logat yang berbeda-beda. Meski begitu, pemakaian bahasa ini tak selalu membedakan orang-orang didesa. Masih dalam cerita sejarah, dimata kesultanan Buton, masyarakat Kalende dipandang sebagai masyarakat “liar” yang keras dan tak selalu mengikut perintah. Itulah kenapa Kalende selalu lari dan berada jauh dari pusat pemerintah kesultanan. Meski begitu, tetap mereka berada dalam satu Kadie yang dilegitismasi oleh pemerintah kesultanan Buton.

A Trip To The Village Of Kaimbulawa Island Siompu

Hari kedua setelah perjalanan lalu dari desa Wabou. Riset kedua Nicholas dilanjutkan ke desa Kaimbulawa Kecamatan Siompu Kabupaten Buton Selatan. Siang dibawah terik matahari kami menunggu jadwal keberangkatan di pelabuhan jembatan batu kota Baubau. Tak lama lagi, kami akan menumpangi jenis kapal Speed boat. Untuk sampai ke pulau siompu, waktu yang dibutuhkan sekitar satu jam. Gelombang laut cukup tenang dan perjalanan laut kami terbayarkan oleh pemandangan pantai dan laut yang menakjubkan. Aktivitas dilaut dari kapal dan perahu nelayan adalah ciri masyarakat kepulauan yang menjadikan laut sebagai sandaran untuk menambah pendapatan ekonomi mereka selama ini. Ini merupakan kali pertama saya mengunjungi pulau yang dikenal sebagai penghasil jeruk terbaik di pulau Buton.

Sumber: wawancara bersama kepala desa Kaimbulawa 
Sumber: Baruga di desa Kaimbulawa Siompu
Secara geografis, pulau Siompu terpisah dengan Pulau Buton. Luas wilayah pulau Siompu sekitar  60 km². Karakteristik pulau ini didominasi oleh bebatuan yang cadas dan berkarang. Meski keadaannya begitu, masyarakat memanfaatkan lahan untuk bertani jeruk. Masyarakat Buton umumnya mengenal Siompu karena jeruknya yang khas. Karena rasanya yang begitu manis, jeruk Siompu menjadi sangat laku dipasaran. Biasanya, musim jeruk Siompu berada pada bulan Juni sampai bulan Setember disetiap tahun. Waktu yang tepat dengan kedatangan kami di pulau Siompu kali ini. Para petani belum lama memanen jeruk-jeruk mereka di kebun. Makanya, saat tiba di Desa Kaimbulawa, sang kepala desa menyambut kedatangan kami dengan menawarakan langsung jeruk Siompu. Tanpa menunggu lama, Nicholas mengupas kulit jeruk dan segera memakannya. Karena rasanya yang manis, Nicholas tak puas dengan buah pertama lalu kembali mengupas buah yang kedua. Wah, mungkin saja Mr. Nic sedang kelaparan. 

Di baruga atau tempat pertemuan masyarakat ini kami bercerita banyak dengan kepala desa Kaimbulawa. Mr. Nicholas kembali mengajukan beberapa pertanyaan mengenai bahasa lokal yang sehari-hari digunakan oleh masyarakat setempat. Dan rupanya desa Kaimbulawa juga memiliki bahasa yang berbeda dengan bahasa lokal lain di Pulau Buton. Keunikan bahasa Kaimbulawa dikenal dengan bahasa “burung”, yang kalau di dialogkan beberapa kalimat pengucapannya mengalami penekanan suara di kerongkongan leher kita. Nah, bahasa ini masih tetap terjaga keasliannya hingga kini dan terus dipakai dalam aktivitas keseharian masyarakat desa. Tak hanya orang-orang tua, anak-anak pun menggunakan bahasa Kaimbula yang unik ini saat disekolah dan lingkungan bermain mereka.

Cukup lama kami berdiskusi dan mencoba menggali secara detail sejarah muculnya bahasa Kaimbulawa. Sayang, informan yang kami dapat tak bisa memberi banyak informasi. Ia hanya bisa menjelaskan sebatas apa yang di ketahuinya. Meski begitu, Nicholas cukup puas dan sangat memahami kondisi masyarakat setempat. Apalagi penerimaan masyarakat pada pengunjung seperti kami sangat baik dan selalu ramah. Usai wawancara itu, kami lalu diajak makan siang bersama di salah satu keluarga. Salah seorang dalam keluarga itu adalah rekan dari Syahrir Ramdhan yang sejak tadi menemani perjalanan kami dan memperkenalkan beberapa tempat di pulau Siompu. Ia adalah seorang guru, kami lalu dijamu dengan menu tradisional khas Buton (Ikan bakar, colo-colo, sayur tumis, kasoami) yang sudah tersaji dan siap untuk disantap. Dan kali ini Mr. Nic tak segan-segan untuk beberapa kali mengisi piring kosongnya.

Sumber: upaya wawancara yang sedang dilakukan Nic
Sumber: jenis permainan yang sering dimainkan anak-anak desa Kaimbulawa

Tak lama usai santap siang bersama, kami pun berpamitan pulang dan kembali ke Baubau. Saat perjalanan menuju dermaga, kami dapat menikmati indahnya pantai dan laut dari perbukitan yang kami lalui. Tak hanya itu, pohon-pohon jeruk yang berjejer rapi di sepanjang jalan juga menjadi daya tarik pulau ini sebagai pulau penghasil jeruk terbaik karena rasanya yang khas. 

A Trip To The Village Of Bahari

Sebenarnya sehari sebelum perjalanan ke desa Bahari, Mr. Nic sudah dulu ke desa Kioko di Buton Utara. Namun karena satu dan lain hal saya tak bisa ikut perjalan mereka saat itu. Itu lah sebabnya saya tak banyak tahu tentang bahasa lokal yang dianggap unik disana. Tapi dari hasil “nguping” dan cerita kawan yang sempat ikut, bahasa lokal yang sehari-hari gunakan masyarakat disana adalah bahasa Kioko yang masih memiliki irisan dengan bahasa Kulisusu di Ereke Buton Utara. Sayangnya, secara perlahan bahasa lokal mereka mulai ditinggalkan dan lebih banyak menggunakan bahasa Indonesia dalam kehidupan sehari-hari mereka.

Sumber: seorang warga di desa Bahari sedang di wawancarai
Sumber: pembuatan kapal di desa Bahari
Baiklah, perjalanan terakhir kami dari agenda riset kali ini ada di desa Bahari Kabupaten Buton Selatan. Kami mulai perjalanan di pagi itu, waktu yang kami tempuh kurang lebih 2 jam. Jarak antara desa Bahari dan Kota Baubau kira-kira 60 km. Kondisi jalannya masih dalam tahap perbaikan. Secara administratif, desa Bahari masuk dalam Kecamatan Sampolawa Kabupaten Buton Selatan. Jika dilihat dari nama desa, desa Bahari memang berada dipinggir pantai. Nama Bahari juga senafas dengan aktivitas masyarakatnya yang ulet mencari nafkah dilaut. Usaha dan kerja keras mereka dilaut tak bisa dianggap enteng, hanya dengan kapal-kapal kayu berukuran kecil mereka dengan berani melintasi laut yang gelombangnya tak main-main. Perjalanan mereka dilaut bisa sampai berbula-bulan lamanya, ke Maluku, Nusa Tenggara, hingga ke Papua.  

Di desa Bahari, Nicholas mencoba untuk kembali berdialog dengan salah seorang nelayan yang juga ahli merancang kapal. Beberapa dari mereka juga pandai dalam membuat jenis kapal, dari kapal yang ukurannya kecil sampai kapal yang berukuran besar. Masyarakat desa Bahari dikenal masih serumpun dengan etnis cia-cia di desa Wabula Kabupaten Buton. Bahasa yang digunakannya pun sama dengan bahasa Cia-Cia yang digunakan oleh etnis cia-cia di desa lain di pulau Buton. Kalau pun ada perbedaan, toh itu hanya dialek tapi tidak ada yang membedakan antara bahasa cia-cia yang digunakan masyarakat desa Bahari dengan bahasa Cia-Cia didesa lain. Begitu pun dengan bahasa daerah lain di Buton. Sebenarnya ada puluhan bahkan sampai ratusan jenis dan dialek bahasa daerah di pulau Buton. Namun banyak diantara kita yang awam sepintas mendengar bahasa itu adalah sama. Semisal di desa Bahari, bahasa cia-cia di desa ini ada sedikit perberbedaan dengan bahasa Cia-Cia di desa Wabula dari segi pengucapan. Meski begitu, tak ada pengklaiman atas kepemilikan yang sah dari orisinalitas budaya. Semua berada dalam satu payung besar yang bernama budaya Buton agar selalu hidup rukun dan mempertahankan nilai-nilai budaya sebagai kekayaan, sebagai aset, sebagai warisan yang terus dijaga kemurniannya. 


Baubau, 11 Agustus 2015

Sunday, August 9, 2015

Ketika Kemerdekaan Harus di Bayar Mahal

Sumber: ilustrasi (foto: yadi laode)

ANAK perempuan itu terlihat murung dan tertunduk diam di hadapan ibunya, ia juga sesekali menghapus air mata yang terlanjur membasahi pipi. Tampaknya anak yang berseragam merah putih itu hatinya sedang tak bagus setelah ia menyodorkan selembar kertas pada ibunya. Kertas kusut itu adalah rincian biaya kostum yang akan dikenakan saat mengikuti gerak jalan memperingati hari kemerdekaan nanti, ia terima dari gurunya usai latihan sore itu. Ungkapnya, memang sekolah telah menyiapkan pakaian seragam untuk dipakai saat lomba gerak jalan antar sekolah. Sayang, setiap siswa yang menjadi peserta tak bisa mengambilnya secara cuma-cuma. Mereka harus membelinya pada sekolah dengan harga yang tak murah. 

***

DALAM sepotong kertas yang ia terima dari sang guru, berikut ini rincian biaya yang harus ia bayar; 

- Sepatu        Rp. 130.000
- Baju            Rp. 65.000
- Rok              Rp. 15.000
- Topi             Rp. 15.000
- Dasi             Rp. 15.000
- Bordiran    Rp. 10.000
- Lokasi         Rp. 3.000
- Kaos Kaki   Rp. 10.000
   Total           Rp. 328.000,-

Mungkin bagi mereka yang merasa mampu tak mempersoalkan biaya yang dimaksud, tetapi bagi siswa lain seperti Bunga (nama samaran) sangat membebani ekonomi mereka. Latar belakang keluarga yang serba cukup tentu menjadi sangat berat untuk memenuhi keinginan bunga membeli kostum itu. Dengan sangat terpaksa orang tuanya mengeluarkan dia dari keikutsertaannya di kegiatan gerak jalan. Rupanya, pengalaman itu tak hanya dialami keluarga Bunga, para orang tua murid lain juga mengeluhkan hal serupa, dan mereka memilih untuk mengeluarkan anaknya dari dalam barisan.

Bunga harus rela dengan keputusan itu, beruntung ia sangat memahami kondisi ekonomi keluarganya saat ini. Bunga adalah anak kedua dari dua bersaudara, saat ini ia duduk dikelas lima disalah satu sekolah dasar negeri di Kota Baubau. Ayahnya hanyalah tukang ojek dengan penghasilan tak seberapa, sementara ibunya berjualan dengan membuka kios kecil didepan rumah. Mungkin kali ini ia tak seberuntung anak-anak lain yang bisa ikut dalam gerak jalan tujuh belasan, tetapi bukan berarti ketidak-ikutsertaannya bersama anak-anak lain membuat semangatnya patah di hari kemerdekaan ini.

Sumber: foto Yadi La Ode
Sudah tujuh puluh tahun lamanya Indonesia tak lagi terjajah, Indonesia terbebas dari segala bentuk penindasan. Tepat di tanggal 17 Agustus nanti, warga indonesia kembali memperingatinya dengan upacara pengibaran bendera dan mendengarkan kembali pembacaan teks Proklamasi. Selain yang wajib bagi pemerintah, masyarakat umumnya mengisi hari kemerdakaan dengan berbagi jenis kegiatan dan lomba. Tidak terkecuali dengan kegiatan baris berbaris. Baris berbaris tidak hanya dilakukan dilapangan upacara. Di kota kecil seperti Baubau menjadi wajib bagi setiap sekolah untuk mengutus siswa-siswinya dalam mengikuti baris berbaris atau biasa mereka mengenalnya dengan lomba gerak jalan indah. Pesertanya mulai dari sekolah dasar sampai sekolah menengah atas bahkan dari kalangan umum seperti karang taruna, pemuda atau kelompok masyarakat lain yang juga turut serta dalam lomba ini. Semangat itu tidak lain adalah semangat nasionalisme yang tertanam dan tumbuh subur disetiap jiwa-jiwa masyarakat kita. Tentu, mereka tak sekedar meramaikan dan mencari keuntungan besar di momentum ini, mereka ingin berkontribusi melalui kreatifitas dan sebuah usaha yang ditampilkan di hari kemerdekaan. Melalui berbagai kegiatan dan lomba, mereka ingin buktikan jika semangat itu masih menyala-nyala.

Kemerdekaan harusnya dimaknai dengan sangat dalam, kemerdekaan untuk seluruh rakyat Indonesia. Bila kita merefleksi perjalanan sejarah bangsa, tidak sedikit orang yang mengikhlaskan dan merelakan nyawa hanya untuk memperjuangkan kemerdekaan bangsa ini. Sederet nama para pahlawan yang tercatat dalam setiap lembar sejarah tak direnungi atas perjuangan keras mereka yang hasilnya kita sudah rasakan hingga kini.

Kisah bunga kali ini hanyalah sepenggal dari banyaknya pengalaman yang pernah dialami anak-anak lain di sekolah perkotaan. Ada banyak cerita yang pernah kita dengar tentang seorang anak yang memilih berhenti sekolah karena masalah ekonomi. Terbukti beberapa catatan dari Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang pernah menangani kasus anak putus sekolah, banyak diantara anak-anak itu beralasan karena tak mampu membeli seragam dan buku sekolah. Rupanya, sekolah gratis yang selalu gencar dikampanyekan pada setiap sekolah tak sepenuhnya terbebas dari biaya.


Baubau, 09 Agustus 2015

Popular Posts