Sunday, January 31, 2016

Babak Baru Pertarungan Pilkada Kabupaten Muna

PERHELATAN Pilkada Serentak 9 Desember 2015 sudah berakhir. Pesta demokrasi lokal berskala “nasional” kali ini membawa warna baru dalam pemilihan kepala daerah di tanah air. Tentu, kebijakan pemerintah menyelenggarakan Pilkada serentak telah melalui pertimbangan dan beberapa faktor. Diantaranya adalah untuk menimalisir konflik-konflik yang sering terjadi dan efisiensi penggunaan anggaran Pilkada. Namun, apakah setiap perjalanan Pilkada bisa berjalan dengan baik tanpa ada kecurangan serta konflik yang selalu melibatkan kebanyakan masyarakat kita? Tentu hal ini bisa terlihat dari kedewasaan berpolitik dan berdemokrasi kita hari ini. Dari 9 Provinsi 36 Kota dan 224 Kabupaten yang menyelenggarakan Pilkada serentak gelombang pertama 9 Desember 2015 lalu, setidaknya da lima dari Provinsi Sulawesi Tenggara, salah satunya adalah Kabupaten Muna. Meski pesta demokrasi telah selesai, namun pertarungan kedua Pasangan Calon (Paslon) masih berlanjut sampai ditingkat Mahkamah Konstitusi (MK).

Betapa tidak, dari tiga Pasangan Calon yang bertarung di kabupaten Muna yakni, Paslon nomor urut 1 Rusman Emba-Malik Ditu memperoleh 47.434 suara, kemudian Paslon nomor urut 2 Arwaha Ady Saputra-La Ode Samuna memperoleh 5.408 suara, dan Paslon nomor urut 3 LM. Baharuddin-La Pili memperoleh 47.467 suara. Melihat perbedaan perolehan suara begitu tipis 33 suara antara Paslon nomor urut 1 dengan Paslon nomor urut 3, maka perjalanan Pilkada Kabupaten Muna berujung sengketa di MK. Di Mahkamah Konstitusi, sidang pembacaan putusan 147 permohonan gugatan perselisihan hasil pemilihan kepala daerah 2015 telah diselesaikan. Dari jumlah tersebut, hanya 7 daerah yang diterima untuk dilanjutkan ke sidang pokok perkara ditambah satu yakni Kabupaten Halmahera Selatan diminta untuk melakukan penghitungan suara ulang.

Ketujuh daerah tersebut yakni; Kabupaten Muna, Kabupaten Teluk Bintoni, Kabupaten Mamberamo Raja, Kabupaten Bangka Barat, Kabupaten Kuantan Singingi, Kabupaten Kepulauan Sulaa, dan Kabupaten Solok. Dari jadwal yang ditetapkan, sidang MK akan digelar pada 1 - 2 februari 2016 mendatang. Gonjang-ganjing pasca pemilihan kepala daerah yang berujung sengketa sudah seringkali terjadi dan menjadi tontonan kita bersama. Hasil perhitungan yang dilakukan KPUD sebagai penyelenggara pemilihan ditingkat daerah bukanlah akhir dari pertarungan dan menjadi kemutlakan. Sepanjang Undang-Undang memberi kewenangan kepada Mahkamah Konstitusi untuk menyelesaikan konflik-konflik Pilkada, maka dititik itu MK selalu ramai dari laporan dugaan kecurangan di setiap pemilihan kepala daerah.

Fenomena yang terjadi di Pilkada Muna misalnya, salah satu pasangan calon Rusman Emba-Malik Ditu telah melaporkan dugaan kecurangan berdasarkan data-data dan temuan yang mereka dapatkan dilapangan. Ada beberapa persoalan yang menjadi dasar untuk disengketakan. Sebelumnya, pasangan calon Rusman Emba-Malik Ditu juga pernah melaporkan kecurangan itu ke Panwas Kabupaten Muna dan telah ditanggapi dengan dikeluarkannya rekomendasi pemungutan suara ulang (PSU) dibeberapa tempat. Tetapi, hal itu bertentangan dengan PKPU Nomor 2 Tahun 2015, dimana PSU sudah tidak bisa diulang lagi sebab waktunya telah lewat. Tidak hanya itu, KPUD juga dinilai melanggar amanat PKPU Nomor 2 Tahun 2015.

Hal tersebut terlihat ketika KPUD melebihi waktu dalam melakukan tahapan dari jadwal yang sudah ditentukan. Kini, sekelumit persoalan pemilihan kepala daerah Kabupaten Muna telah masuk dalam agenda sidang di Mahkamah Konstitusi, sebagai lembaga negara yang memiliki kewenangan untuk menyelesaikan setiap sengketa dalam Pilkada. Masuknya nama kabupaten Muna di MK, sebagai salah satu daerah yang bersengketa dalam Pilkada, memberi tugas tambahan bagi pihak penyelenggara. Perolehan suara terbanyak yang diraih Paslon nomor urut 3 LM. Baharuddin dan La Pili pada posisi ini belum dipastikan aman. Sebab, berbagai kemungkinan bisa saja terjadi, tergantung bagaimana MK melihat dan memutuskan siapa yang berhak memenangkan pertarungan Pilkada di Kabupaten Muna nanti. Disisi lain, tidak sedikit publik menilai miring MK dalam menangani setiap kasus-kasus sengketa yang masuk. Rupanya, citra MK masih belum begitu baik dimata publik karena sempat rusak akibat ulah mantan Hakim MK Akil Mochtar yang memainkan sejumlah Pilkada yang bersengketa di MK termasuk didalamnya Pilkada Kabupaten Buton yang juga dari Sultra. Kita sudah menyaksikan bagaimana hakim-hakim korup memanfaatkan moment ini sebagai bisnis dalam praktik politik. Apakah itu akan terulang lagi? Entahlah. Yang jelas, sepandai apapun tupai melompat pasti akan terjatuh. Secerdik apapun korupsi yang mereka lakukan, suatu saat akan tertangkap, diseret ke meja hijau dan mendekam di hotel prodeo.

Kini, jutaan rakyat di negri ini sangat berharap kepada MK untuk senantiasa menjujung tinggi hukum dan tidak mencenderai nilai-nilai demokrasi. Melihat kasus sengketa di Kabupaten Muna, ada banyak spekulasi yang berkembang dimasyarakat. Perseturuan antara Paslon nomor urut 1 dan nomor urut 3 tidak hanya terjadi dilevel elit, namun juga terjadi di dalam kubu masyarakat yang mendukung pasangan ini. Berbagai kemungkinan buruk bisa saja terjadi. Ketika keputusan MK tidak bisa diterima dengan lapang dada dan suhu politik meninggi, maka yang terjadi adalah konflik horizontal. Konflik-konflik yang terjadi dimasyarakat menjadi sulit terkontrol ketika rasionalitas mereka hilang karena iming-iming dan janji politik.

Permainan wacana menjadi sangat mudah dimainkan dan menggiring masyarakat untuk masuk dalam pusaran politik. Sementara, publik tidak begitu paham dengan apa yang terjadi dibelakang panggung. Mereka hanya menangkap dari apa yang tampak, tanpa melakukan penelusuran lebih dalam. Mereka hanyalah obyek yang selalu larut dalam wacana politik. Menjawab peluang siapa yang memenangkan sengketa di MK tentu menjadi sulit bagi kita yang awam terhadap politik. Kita hanya berharap para hakim MK bisa berkerja secara profesional dan selalu terbuka dalam menyelesaikan setiap sengketa Pilkada. Mahkamah Konstitusi menjadi titik terakhir ketika proses-proses demokratis terlihat melenceng dan merugikan salah satu kontestan. Para pihak-pihak yang bersengketa dan yang mengadukan dugaan kecurangan Pilkada ke MK tentu semua dilatarbelakangi oleh berbagai temuan-temuan yang mereka dapat, serta dinilai sebagai bentuk pelanggaran terhadap undang-undang.


Apalagi, ketika kekalahan itu adalah permainan oknum yang dengan sengaja menggelembungkan suara untuk memenangkan salah satu pasangan calon lain. Saat ini, kita juga bisa menangkap beberapa fakta dari proses-proses penyelesaian sengketa Pilkada di MK. Bahwa Mahkamah Konstitusi (MK) tengah melakukan perbaikan secara internal. MK pelan-pelan mulai memberi warna dan bersikap tegas dalam menghadapi setiap kasus sengketa Pilkada yang sekarang ditangani. Hal tersebut adalah cara untuk mengembalikan kepercayaan publik terhadap marwah lembaga yang sebelumnya sempat tercoreng karena hakim-hakim bermental korup. Sebagaimana harapan kita bersama, adalah dengan melalui program Revolusi Mental yang selalu didengungkan oleh Presiden Jokowi. Semoga, dari hasil keputusan MK nanti, pihak-pihak yang terlibat dalam sengketa Pilkada di kabupaten Muna bisa menerima itu dengan lapang dada.

Saturday, January 23, 2016

Mengawal Transformasi Sosial Masyarakat Desa


ADA semacam anggapan bahwa tidak berkembangnya suatu desa disebabkan oleh memudarnya budaya masyarakatnya. Belum lagi karena ketidaktepatan pendekatan pembangunan yang dilakukan oleh pemerintah. Pemerintah kurang jeli dalam memahami kebutuhan masyarakat di desa. Mengawal transformasi sosial masyarakat desa, perlu kesadaran yang kuat dari setiap individu-individu, kesadaran untuk menerima setiap perubahan-perubahan yang selalu terjadi.

Kelompok masyarakat atau individu-individu di desa melihat moderniasi adalah suatu keharusan agar tercapainya kemajuan budaya bangsa, meningkatnya industri yang memungkinkan masyarakat lebih sejahtera, meningkatnya efisiensi dan efektivitas kerja, transportasi dan komunikasi, serta meningkatnya sektor ekonomi, pendidikan, kesehatan dan kualitas sumber daya manusia. Harapannya, kedepan desa-desa kita di Indonesia semakin kuat serta memiliki kualitas-kualitas manusia yang baik.

Di era pembangunan ini, desa secara terus mengalami perubahan. Perubahan itu saling kait-mengkait antara aspek satu dengan aspek yang lain. Baik dari segi pendidikan, ekonomi, budaya, politik pemerintahan, serta banyak hal lain yang tidak terpisah dari masyarakat itu sendiri. Perubahan dalam pendidikan misalnya, masyarakat desa dituntut agar memiliki kualitas sumber daya manusia yang lebih baik. Kemudian perubahan pada aspek ekonomi, isu kemiskinan selalu tidak terpisakan dari masyarakat desa. Meski sebenarnya hanyalah persepsi orang kota yang selalu memandang orang desa itu selalu identik dengan kemiskinan. 

Padahal bagi masyarakat desa, memilih survive dengan keadaan mereka berkerja sebagai petani adalah lebih dari cukup. Meskipun dari hasil yang mereka kerjakan hanya bisa memenuhi kebutuhan rumahtangga saja (subsisten). Hanya saja, tantangan yang mereka alami saat ini adalah masuknya mekanisasi pertanian yang menuntut adanya keterampilan baru bagi setiap pekerja. Para petani kini mulai menggunakan mesin pengolah sawah dengan keberanian meminjam modal dalam jumlah besar. Dan ketika hal ini tidak diimbangi dengan sistem organisasi dan manajemen yang kuat, maka yang terjadi adalah tunggakan kredit dimana-mana. Realitas, banyak petani memilih untuk menjual sawah karena sudah tidak memiliki kemampuan modal dalam mengembangkan usaha tani mereka. 

Hal ini tentu membawa perubahan budaya tani masyarakat desa, sebagai akibat dari hadirnya modernisasi ditengah masyarakat yang belum siap untuk mengembangkan sesuatu yang baru. Masuknya teknologi baru di pedesaan menyebabkan kegiatan saling membantu dan kerjasama semakin menipis. Penggunaan tenaga mesin yang menggantikan tenaga manusia (mekanisasi) menyebabkan hubungan pekerja bersifat kontrak. Tenaga kerja yang berkembang adalah tenaga kerja dengan kemampuan terbatas. Lambat laun, di pedesaan akan muncul organisasi formal tenaga kerja sebagai akibat terspesialisasi dan meningkatnya pembagian kerja. 

Namun disisi lain, bagi kalangan petani yang memiliki wawasan lebih luas dan terbuka, menerima perubahan ini sebagai upaya untuk menuju kepada kecenderungan mencari sistem yang lebih terbuka sebagai jalan keluar terbaik bagi kegiatan produksi yang tengah dijalani. Kalangan petani ini cenderung mempertahankan usaha taninya dengan mengandalkan diri sepenuhnya (atau sebagian) kepada ketersedian input eksternal. Bagi mereka, moderniasasi dapat membuka peluang inovasi. Dan inovasi yang selaras dengan kebutuhan pertanian adalah inovasi yang berkaitan erat dengan input industri dan proses industrialisasi serta pemasaran yang baik. 

Dari kondisi tersebut diatas, kita bisa saksikan ketika desa-desa mulai terjamah oleh kemajuan teknologi, budaya mulai tergerus dengan hadirnya modernisasi yang berhasil mengikis budaya-budaya lokal. Kita bisa saksikan perubahan sosial itu mempengaruhi tradisi menanam yang menjadi warisan para leluhur. Masyarakat desa memilih untuk menjual tanah dan sawah lalu beralih ke usaha lain. Pemuda-pemuda desa pun memilih untuk mencari kerja ke kota dan tidak ingin mewarisi pekerjaan bertani orang-orang tua mereka. Fenomena perginya anak muda dari desa dan pertanian dapat kita lihat dimana-mana. Mereka menganggap hidup di desa dan berkeja sebagai petani adalah hidup yang tidak menjanjikan.

Kedepannya, desa-desa kita di Indonesia akan semakin modern. Masyarakat melihat ini sebagai penunjang kehidupan. Meski sebenarnya dampak dari perubahan itu, masyarakat menjadi sulit terkontrol. Perubahan sosial membuat masyarakat desa memiliki perubahan cara berpikir dari non analitik menjadi analitik. Masyarakat akan lebih rasional dalam berpikir dan mengelola apa yang dikerjakannya. Masyarakat desa yang tadinya mengelola sumber daya yang didasari kebiasaan, berubah kearah efisiensi teknis maupun ekonomis. Sistem ekonomi yang subsistem dengan insentif moral dan sosial bergeser menjadi sistem ekonomi yang mengejar pemuasan kebutuhan berlimpah dengan mekanisme pasar. Pola perekonomian masyarakat yang tadinya produktif, berubah kearah yang konsumtif.

Perubahan sosial dapat dikatakan sebagai suatu perubahan dari gejala-gejala sosial yang ada pada masyarakat. Perubahan sosial meliputi struktur, fungsi, nilai, norma, pranata, dan semua aspek yang dihasilkan dari interaksi antar manusia, organisasi, atau komunitas. Termasuk perubahan dalam hal budaya. Jika perubahan sosial dapat bergerak ke arah suatu kemajuan (progress), pastinya masyarakat akan berkembang. Sebaliknya, perubahan sosial bisa menyebabkan kehidupan masyarakat mengalami kemunduran (regress). Perubahan sosial inilah yang terjadi dalam masyarakat desa. Masyarakat desa mulai mengenal kebudayaan-kebudayaan dari luar. Meski begitu, tidak semua masyarakat desa mau menerima nilai-nilai baru dari modernisasi.

Perdebatan tentang perubahan sosial memang tidak pernah selesai untuk dibicarakan. Ada yang optimis dan pula yang pesimis dengan perubahan sosial. Dalam ilmu sosial, ada tiga dimensi waktu yang berbeda yakni; dulu (past), sekarang (present), dan masa depan (future). Oleh karenanya, masalah sosial terkait perubahan merupakan masalah yang pelik untuk diatasi. Hampir semua masalah sosial yang muncul adalah dampak dari perubahan. Tidak hanya itu, masalah lain dari adanya perubahan ini merembes hingga ke masalah lingkungan. Dampak ekologis ini akibat prilaku hidup masyarakat yang berubah dan tidak lagi memperhatikan kondisi alam.

Friday, January 8, 2016

Problematika dan Romantisme Tentang Desa


DI sebuah desa terpencil di bawah kaki gunung Halimun Salak, desa yang hijau dan sejuk. Hari itu, langit tampak mulai gelap, matahari mulai ditutup dengan awan-awan tebal dan hitam. Hujan tak lama lagi akan mengguyur, sepeda motor yang kami bawa mulai melaju dengan cepat. Perjalanan menantang dengan medan yang cukup berbahaya. Jalannya menanjak, disebelahnya terdapat jurang yang begitu curam. Tak berapa jauh, kembali sepeda motor kami menuruni lembah dengan kondisi jalan tanah dan bebatuan. Tetapi perjalanan kembali terbayar dengan pemandangan yang sungguh menakjubkan. Sejauh mata memandang, kita bisa melihat bentangan sawah yang dibuat para petani serupa tangga-tangga. Saya bisa melihat dari kejauhan, kerbau-kerbau sedang membantu petani menggembala sawah. Saya juga bisa melihat, bagaimana para petani mengumpulkan beras hasil panen mereka. Padi-padi dikumpul lalu diikat seperti buah apel. Itulah kenapa mereka sering menyebutnya padi apel. 

***

WAKTU sudah memasuki siang, saat kami singgah disalah satu desa. Disitu, saya bertemu dengan beberapa orang warga. Kami berbincang-bincang disatu warung sambil menyeruput kopi sekedar menghangatkan badan ditengah cuaca dingin sehabis hujan dan masih diselimuti kabut. Mendengarkan cerita-cerita warga, beberapa dari mereka berkeja sebagai buruh tani. Masyarakat desa yang tidak memiliki lahan, memilih untuk mengelola sawah milik orang lain yang hasilnya nanti akan dibagi. Mereka lebih baik menjadi buruh tani untuk memenuhi kebutuhan rumahtangga. Beras-beras yang dihasilkan pun tak mampu memenuhi kebutuhan pasar. Sementara, warga lain memilih untuk berdagang yang modalnya dipinjam dari para rentenir dengan bunga berlipat-lipat.

Bisa kita rasakan, keuntungan yang didapat dari dagang kecil-kecilan itu hasilnya tak seberapa. Bahkan beberapa warga “gulung tikar” karena hasil dari penjualan tak bisa didapat. Lain hal dengan mereka yang berkerja sebagai gurandil atau penambang ilegal pertambangan emas dibawah kaki gunung pongkor. Sejak masuknya PT Antam di Desa Bantarkaret Kecamatan Nanggung, Kabupaten Bogor, Jawa Barat. Masyarakat dari berbagai daerah mulai berdatangan. Mereka tidak hanya datang menambang secara sembunyi-sembunyi, namun juga membangun camp sebagai rumah-rumah mereka. Ditempat itu tidak hanya diramaikan para pendatang yang mencari emas, tapi juga para pedagang yang datang membuka lapak-lapak jualan. Tak disangka, tempat itu kini serupa kampung dengan berbagai aktivitas. Sesekali juga tempat itu diramaikan oleh aparat penegak hukum berbaju cokelat yang meminta jatah dari para penambang ilegal (gurandil). 

Diantara orang-orang yang menemani saya bercerita saat itu, seorang bapak mengaku sebagai gurandil dengan pengalaman pernah mencari emas dibeberapa daerah yang memiliki tambang emas. Bapak itu mulai menggeluti pekerjaan gurandil sejak dua puluh tahun silam. Ia sudah merasakan pahit manisnya menambang dari satu daerah ke daerah lain. Salah satu daerah yang pernah dikunjunginya adalah Kabupaten Bombana, satu daerah di Sulawesi Tenggara. Ia berkisah tentang bagaimana suka dukanya menjadi seorang penambang liar dengan resiko yang begitu tinggi. Ia bercerita bagaimana menyusuri lorong-lorong sempit dan tinggal selama berhari-hari dalam terowongan tambang. Ia juga bercerita tentang pengalaman pahit melihat teman-temannya yang tewas tertimbun tanah saat sedang mencongkel emas. Meski pengalamannya begitu menyeramkan, ia tak pernah takut dan kapok untuk terus menambang. Dan mungkin, kegiatan menambang itu sudah menjadi bagian dari dirinya. Pekerjaan yang memacu adrenalin dengan tantangan-tantangan berat. “Meskipun sudah puluhan tahun menggurandil, tapi kehidupan saya masih biasa-biasa saja”, ucapnya. 

Sejak perusahan masuk dan mengekspoitasi tambang emas, prilaku hidup masyarakat desa mulai berubah. Pekerjaan yang tadinya ke sawah dan ke kebun mulai ditinggalkan demi satu pekerjaan yang belum tentu bisa membawa keberkahan. Demi “Kilau Emas” yang nilai keuntungannya bisa lebih besar dari nilai bulir-bulir beras. Secara perlahan, masyarakat disekitar tambang mulai meninggalkan kebiasaan-kebiasaan mereka dalam adat. Beberapa tokoh dan pemimpin di desa memilih untuk berkongsi dengan para kapital demi mempertahankan peran-peran penting dan untuk mendapatkan keuntungan lebih besar dari pertambangan. Tanpa harus berkerja susah payah menggarap sawah atau tanpa harus menunggu lama padi-padi mereka panen. Praktis, mereka lebih baik menjual tanah dan sawah kepada para pengusaha dengan harga tak seberapa. Praktis, mereka lebih baik berkerjasama dengan pemerintah yang memperbolehkan perusahaan menambang diatas tanah-tanah leluhur mereka hanya karena iming-iming kemakmuran dan kesejahteraan. 

Di desa itu, tradisi menanam mulai ditinggalkan. Secara perlahan masyarakat desa pun berubah menjadi masyarakat yang konsumtif. Mereka lebih baik membeli beras, cabe, singkong, sayur, atau tempe di mall-mall ketimbang capek-capek menanam dan memproduksinya sendiri. Saat ini, fenomena sosial seperti kemiskinan merupakan salah satu fokus perhatian para peneliti. Dengan dasar bahwa pembangunan suatu negara tidak hanya dilihat dari sisi pertumbuhan ekonomi saja, melainkan juga harus dilihat dari segi pemerataan pembangunan itu sendiri sebagai tolok ukur keberhasilan pembangunan suatu negara. Ketidakmerataan dalam suatu pembangunan nasional sesungguhnya tidak terbatas dari masalah kemiskinan saja. Golongan masyarakat miskin muncul sebagai akibat perubahan struktur ekonomi menuju modern yang tidak seimbang. Jika dalam suatu pembangunan mengabaikan pemerataan ekonomi maka dampak yang timbul dari pembangunan tersebut adalah masalah-masalah kemiskinan dan kesenjangan sosial.

***

DALAM studi-studi Sosiologi Ekonomi yang pernah dilakukan, sebagian besar studi diarahkan terhadap bagaimana masyarakat memenuhi kebutuhan dan mencapai kemakmuran atau kesejahteraan. Topik itu sering tidak terpisahkan dengan topik-topik kemiskinan yang menjadi fokus perhatian studi Sosiologi Ekonomi. Sosiolog Klasik seperti Weber dan Durkheim memfokuskan bidang studi ini tentang bagaimana aktor atau masyarakat memenuhi kebutuhan hidup mereka. 

Mengenai konsep aktor, penjelasan transaksi ekonomi semuanya dilandasi individualisme. Hal ini juga yang mendasari pemikiran Adam Smith dalam karyanya “An Inquiry into the Nature and Causes of The Wealth of Nations” bahwa motif manusia melakukan kegiatan ekonomi didasari oleh interes pribadi. Motif kepentingan individu yang didorong aliran pemikiran liberalisme akhirnya melahirkan sistem ekonomi pasar bebas yang berkembang menjadi sistem ekonomi kapitalis. Hal inilah yang memiliki perbedaan dari sudut pandang sosiologi. Para ekonom cenderung menganggap tindakan ekonomi dapat ditarik dari hubungan antara preferensi selera dengan harga ataupun jasa pada sisi lainnya. Sementara pandangan sosiolog memberi makna tindakan aktor yang dikonstruksi secara historis. 

Ketika kita mengaitkan dengan melihat perspektif para sosiolog klasik tentang masyarakat modern, mereka mempelajari melalui analisis komparasi dengan masyarakat pra modern atau dikenal dengan masyarakat tradisionil. Marx melihat masyarakat modern dari perspektif ekonomi kapitalisnya, Weber melihat adanya perubahan rasionalisasi menjadi rasionalisasi formal, dan Durkheim melihat adanya peningkatan solidaritas organik dan menurunnya kesadaran kolektif. Kemudian dari perspektif ketiga embah sosiolog itu, mereka mengkhawatirkan arah dan sisi negatif masyarakat modern. Sisi-sisi negatif yang dimaksud adalah; ketika Marx melihat pada alienasi dan eksploitasi yang dialami kalangan buruh, ketika Weber mengkhawatirkan penjara besi rasionalitas (iron cage rasionality), dan ketika Durkheim mengkhawatirkan anomie yang dialami masyarakat karena begitu cepatnya perubahan yang tidak bisa selalu diikuti oleh semua orang. Sama halnya ketika para sosiolog modern seperti, Anthony Giddens, Ulrich Beck, Georde Ritzer, Zygmunt Bauman dan Habermas menggambarkan masyarakat modern. 

*** 

DALAM perjalanan saya ke desa-desa dibawah kaki gunung itu, saya melihat ada beberapa desa yang telah berubah sebagaimana pemahaman kita tentang desa. Bahwa desa yang masyarakatnya masih saling bahu membahu dalam berkerjasama. Desa yang alamnya masih terjaga serta bagaimana petani-petani memanfaatkan lahan untuk bertani dan berkebun. Bahwa desa sebagaimana desa dengan nilai-nilai budaya serta norma-norma yang masih terpelihara. Namun karena perkembangan yang semakin maju, desa tak mampu membendung laju modernisasi. Modernisasi berhasil menggerus segala aspek kehidupan masyarakat. Yang pada akhirnya, desa-desa “jebol” karena tak mampu menahan derasnya arus kapitalisasi yang mulai merambah dan mendominasi struktur-struktur di desa. Desa semakin terpuruk, masyarakatnya menjadi “budak” di negeri sendiri.

Mungkinkah, tema-tema yang selalu hadir tentang membangun desa, atau tentang sejumlah program-program pemberdayaan yang turun langsung dimasyarakat ini tak mampu lagi memberi perubahan sebagaimana masyarakat desa harapkan. Apakah mungkin ini hanya sebuah romantisme ketika kita berbicara tentang desa. Harapan kita terlalu besar untuk mempertahankan desa sebagaimana desa dimasa-masa lalu, yang alamnya masih perawan, yang masyarakatnya masih bergotong royong, yang disana-sini ada sawah, kebun dan aliran sungai. Sayangnya, saat ini kita terlanjur mempersepsikan desa itu miskin, masyarakatnya terbelakang dan jauh dari moderniasi. Kita terlalu cepat mengambil satu kesimpulan bahwa di desa itu identik dengan kemiskinan dan masyarakatnya tak memiliki pengetahuan apa-apa. Sehingga program-program pemberdayaan hanya dilihat sebagai proyek menggiurkan.

So, inilah yang menjadi tantangan kita hari ini.


Bogor, 8 January 2015

Friday, January 1, 2016

Lima Rangkuman Tulisan di Tahun 2016

TAHUN 2016 adalah tahun baru (yaa iyalah). Masih hangat, belum lama diangkat dari dalam "panci" tahun 2015. Tahun 2016 adalah tahun penuh harapan (harap-harap cemas). Tahun emas bagi pedagang emas, atau tahun emas bagi tukang gigi emas. Hiks. Yang pasti, tahun 2016 masih ada dua belas bulan lagi untuk masuk ke tahun 2017 (Semoga, kalau belum kiamat). Tadinya, ditahun 2016 ini ada 365 hari, tapi karena kita sudah memakainya untuk memperingati tahun baru. Yaah jadinya sisa 364 hari saja. Seiring dengan berkurangnya hari ditahun ini, usia kita juga kian berkurang. (Ayo berdoa, menurut kepercayaan masing-masing).

Meskipun kita sudah memasuki tahun 2016. Namun tahun 2015 telah meninggalkan jejak yang begitu bermakna bagi saya, tahun yang membongkar segala kekauan di dunia kepenulisan. Saya tidak menyangka akan ada kejutan-kejutan kecil ditahun 2015 lalu. Saya tidak pernah berpikir sampai se produktif ini menulis. Seperti kecanduan berat, ketika berhenti, saya jadi gelisah, kepala sedikit pusing dan hari-hari dipenuhi dengan kegelisahan. 

Padahal sebelumnya, ketika memulai untuk menulis, saya selalu mendapat hambatan-hambatan seperti; menulis bagaikan beban, frustasi setiap kali menulis, menulis mendatangkan stres, menulis dengan penuh kecemasan, menulis hanya menimbulkan kesia-siaan, sulit menulis karena sibuk, bingung mencari topik, tak berdaya ketika menulis, atau karena tidak percaya diri. Semua itu adalah masalah-masalah kita ketika hendak memulai menulis. Memang, menulis tidak semudah yang kita bayangkan. Tidak semudah kita meng Copy-Paste karya-karya orang, apalagi tidak mencantumkan nama si pengarang.

Namun ketika saya memulai untuk menulis. Saya berhasil keluar dari ketakutan-ketakutan kecil itu. Awalnya, Saya mencoba untuk merangkai kata demi kata, kalimat demi kalimat hingga menjadi sebuah paragraf. Oh rupanya saya bisa, saya bisa untuk melanjutkan lagi sampai menjadi satu karya yang menurutku bisa terbaca, bisa dipahami, dan bisa memberi makna bagi para pembaca. Dititik itu, saya semakin percaya diri untuk terus menulis. Tak peduli pada mereka yang mengkritik, dianggap lucu, atau mereka yang memberi sejumlah komentar. Baik yang sifatnya kritik atau hanya sekedar masukan. Tapi itulah konsekuensi atas sebuah karya tulis. Kita hanya bersiap untuk mempertanggungjawabkan dari apa yang kita tulis. Sepanjang tulisan yang kita buat sesuai fakta dan masuk akal. Tidak ada masalah dan teruslah menulis.

Sebagaimana kata Hernowo dalam bukunya “Mengikat Makna”. Hanya perlu tiga langkah untuk memecahkan problem-problem menulis anda dan menjadikan anda dapat membaca-menulis yang memberdayakan. Pertama, Membangun “Ruang Privat” di dalam pikiran anda. Kedua, Menyelenggarakan kegiatan Membaca dan Menulis secara bersamaan. Ketiga, Berusaha sekuat tenaga untuk meraih makna. Maka ketika semua bisa dipahami dan dipraktekan, saya bisa menulis dengan perasaan bahagia, menulis dengan ringan dan senang, menulis dengan kesabaran tinggi dan tidak terburu-buru, menulis dengan perasaan sangat puas karena senantiasa berhasil menggali materi dari dalam diri. Hasilnya, saya bisa menulis apa saja dengan bebas tanpa beban. Bisa dengan lepas menulis dalam blog pribadi saya. Bahkan, beberapa kawan meminta saya untuk menyumbang tulisan dalam proyek pembuatan buku. Beberapa tulisan-tulisan itu, saya coba rangkum diawal tahun 2016 ini, yakni; 
        
1. Menulis di Buku Wakatobi "Catatan Para Penyaksi"


Buku ini adalah kumpulan kesaksian dari para penyaksi yang hidup dimasa kini. Kesaksian mereka menjelajahi daratan ataupun lautan sebuah tempat atau daerah indah dan luar biasa. Buku ini adalah antologi, yang konsep penyusunannya adalah Traveling dan Adventure. Buku ini dibuat hendak memperkenalkan keindahan Wakatobi, yang ketika orang lain membacanya seolah-olah membawanya dalam sebuah perjalanan menikmati indahnya panorama alam laut dan pantai Wakatobi. Alur dalam buku ini dibuat dengan gaya tulisan reportase. Buku ini di editor oleh M. Mu’min Fahimuddin bersama Yusran Darmawan dan di terbitkan oleh Pusat Studi Pembangunan Pertanian dan Pedesaan IPB kerjasama dengan Kementerian Pembangunan Pedesaan, Daerah Tertinggal dan Transmigrasi, Pemerintah daerah Wakatobi, dan Komunitas Informasi Wisata (KITA) Wakatobi. 

2. Mendapat Juara 2 kompetisi Blog

Saat itu, sebuah pengumuman disebar di media sosial. Pengumuman itu tentang kompetisi Blog oleh sebuah komunitas Kebangsaan_ORG dengan tema Catatan Cinta Kebangsaan. Melihat pengumuman itu, saya pun mencoba untuk ikut. Setelah tulisan selesai kubuat, saya lalu simpan kedalam Blog pribadi dan linknya ku kirim ke alamat lomba. Beberapa minggu kemudian, pagi itu saya dikagetkan dengan pengumuman di facebook kalau Blogku menjadi pemenang kedua dari lomba tersebut. Padahal, saya hanya mencoba-coba dan tak mengharap apapun dari lomba itu. Judul yang ku angkat sangat sederhana, yaitu “Mimpi Pemuda Membangun Desa” sebuah kisah pemuda yang memilih kembali kedesa demi membangun desa. 

3. Menulis di Buku Biografi La Ode Manarfa


Bersama beberapa orang senior (Yusran Darmawan, Syahrir Ramadhan, Nasruddin, dan Mu’min Fahimuddin), saya diminta untuk terlibat dalam penyusunan buku ini. Mulai dari tahap wawancara narasumber, mengumpulkan sumber-sumber informasi, sampai dengan menyusun isi buku. Buku Biografi ini dirancang sebagai sebuah kajian dan bahan naskah akademik yang berisi autobiografi tentang bapak Drs. H. Laode Manarfa. Melalui buku ini, Tim Penyusun hendak berupaya untuk mempublikasikan lebih jauh dan lebih dalam profil dan pemikiran Drs. H. Laode Manarfa yang dikenal sebagai sosok yang kharismatik dan tokoh masyarakat Buton. Biografi La Ode Manarfa ini mengkisahkan lelakon putra seorang Sultan Buton yang hidupnya didedikasikan untuk orang banyak. Manarfa memiliki banyak peran dalam masyarakat Buton.

4. Menulis di e-book bukusendiri.com


Sebuah penerbit bukusendiri.com, yang membuka lomba-lomba menulis. Dari tulisan-tulisan yang di ikutkan dalam lomba, kemudian dikumpul lalu dibuat dalam satu buku. Namun, buku itu tak berupa cetakan sebagaimana buku kertas yang kita sering baca. Buku itu dibuat dalam bentuk aplikasi e-book. Nah, dari sekian banyak penulis yang ikut serta. Tulisan-tulisan dari para penulis itu lalu disusun dalam sebuah buku berbentuk aplikasi. Bagi yang ingin membacanya, bisa mendownload di Playstore atau aplikasi lain di handphone.
    
5. Menulis di Blog dengan Seratus Tulisan


Dalam beberapa tahun, saya bisa melihat tulisan-tulisan itu mulai memenuhi dinding Blog pribadi saya. Saya  bisa membaca ulang setiap tulisan yang pernah kubuat. Saya merasakan karya-karya itu begitu nyata. Saya senang bisa sampai titik ini. Tulisan-tulisan itu ku buat sejak beberapa tahun lalu. Yang isinya hanyalah sepenggal cerita orang-orang kecil di pedesaan, tentang catatan perjalanan ke pelosok-pelesok yang mempesona, atau tentang kisah seseorang yang menginspirasi.

Saya tak hendak menunjukkan seberapa banyak catatan dalam Blogku. Saya hanya ingin menghadirkan sesuatu agar banyak orang yang berkunjung di Blog itu. Saya mencoba untuk mengangkat apa yang belum diketahui agar kita tahu bersama. Saya ingin menyajikan sesuatu dalam catatan-catatan sederhana ini agar menginspirasi dan bermakna untuk kita semua. Semoga di tahun 2016 ini, ada banyak kejutan yang didapat dan bisa lebih bermakna lagi.

Popular Posts