Tuesday, November 21, 2017

Aroma Cengkeh di Puncak Bukit Babussalam Kolaka Utara


SEPERTI halnya desa-desa di pesisir pantai, desa di wilayah perbukitan juga menyuguhkan keindahan alam yang memukau. Di pesisir pantai, kita bisa saksikan birunya laut, hamparan pasir putih, atau pohon nyiur yang setiap saat melambai. Sementara di puncak bukit kita bisa rasakan sejuknya alam, kabut, serta hamparan pepohonan yang hijau. 

Kali ini saya berkesempatan mengunjungi sebuah desa di Lasusua, Kabupaten Kolaka Utara. Sebuah desa yang letaknya diatas perbukitan dengan ketinggian kira-kira 804,3 meter dari permukaan laut (Mdpl). Meski tak terlalu tinggi, tapi untuk mencapai ke desa itu butuh ekstra hati-hati saat menaiki maupun menuruni bukit. Jalannya meliuk-liuk, disisi kiri tebing sewaktu-waktu bisa longsor dan di sisi kanan adalah jurang yang bisa saja merenggut nyawa. Jalannya terus menanjak, sebagian besar sudah dirabat beton. Saya harus menjaga keseimbangan sepeda motor agar tidak oleng kanan-kiri.  

Desa Babussalam merupakan salah satu dari duabelas desa/kelurahan di Kecamatan Lasusua, Kabupaten Kolaka Utara yang menjadi pemasok komoditas Cengkeh terbesar. Sumber pendapatan utama daerah ini ada disektor perkebunan (Kakao, Kopra, dan Cengkeh). Masyarakat desa selama ini menggantungkan hidup dari berkebun. Bisa dilihat dari topografi wilayah yang di dominasi oleh perbukitan. Tentu tanah di desa ini sangat subur untuk ditanami Cengkeh. 


Dalam perjalanan ke desa Babussalam, saya sering berpapasan dengan warga yang menuruni bukit membawa Cengkeh dengan menggunakan sepeda motor. Nampaknya mereka telah ahli menuruni bukit untuk mengangkut karung-karung Cengkeh menggunakan sepeda motor. Sepeda motor dibawa dengan gesit, mereka mampu menghindari setiap jalan yang berlubang. Pada saat jalan menurun, mesin motor dimatikan demi menghemat bahan bakar. 

Disepanjang perjalanan yang saya lewati, terlihat hampir semua perbukitan ditumbuhi pohon Cengkeh. Tumbuhan ini menjadi daya tarik serta menambah keindahan kawasan perbukitan. Cengkeh merupakan tanaman tropis yang sangat cocok dengan tanah di negara kita. Pada umumnya Cengkeh dapat menghasilkan buah pada usia 4 sampai 7 tahun. Hari itu saya berkesempatan menyaksikan para petani yang sedang memanen Cengkeh. Cara memetik cengkeh sedikit berbeda dengan buah di pohon lain. Memetik Cengkeh perlu menggunakan tangga agar memudahkan pemetikan. 


Pohon Cengkeh memiliki banyak cabang dan daun yang lebat, tidak memungkinkan jika seseorang memanjat tanpa bantuan tangga yang mereka buat. Untuk satu pohon, petani biasanya melakukan tiga kali pemanjatan dari arah yang berbeda. Untuk memetik Cengkeh disatu pohon, bisa memakan waktu setengah hari. Cengkeh tak hanya dipetik, buah-buah yang berjatuhan juga dipungut dan dikumpul dalam karung. Cengkeh yang dipanen pun masih hijau dan belum berbunga. Setelah itu, Cengkeh dikeringkan dengan cara dijemur. Disaat penjemuran itulah aroma Cengkeh keluar.

Petani sangat bergantung pada sinar matahari untuk mengeringkan Cengkeh. Hampir setiap halaman rumah terdapat Cengkeh yang dijemur. Beberapa petani mendesain atap rumah mereka sebagai tempat pengeringan. Caranya, atap rumah mereka dibuat dengan pola buka-tutup. Petani mengeringkan Cengkeh dibawah atap rumah agar memudahkan proses penutupan jika sewaktu-waktu hujan turun. Ketika hujan, atap rumah ditarik menggunakan tali, dan disaat juhan reda, praktis atap rumah dibuka kembali. 

Kehidupan petani Cengkeh di puncak desa Babussalam masih serba berkecukupan. Proses memanen Cengkeh dilakukan secara tradisional dan dengan alat yang sangat sederhana. Tak semua warga memiliki lahan kebun sendiri, beberepa dari mereka bekerja hanya sebagai pemetik Cengkeh. Penghasilan dari Cengkeh juga tidak sepenuhnya memenuhi kebutuhan hidup mereka. Apalagi ketika harga jual Cengkeh masih dalam permainan tengkulak. Sementara tingkat konsumtif masyarakat di desa cukup tinggi. 


Terbentuknya desa Babussalam dipuncak bukit itu dilatarbelakangi oleh perkebunan Cengkeh. Mulanya hanya ada beberapa rumah yang dijadikan rumah kebun, hingga akhirnya warga memilih menetap dengan membangun satu perkampungan. Beberapa sarana dan infrastruktur saat ini sudah terbangun seperti Listrik, Air Bersih, Balai Kantor Desa, Masjid, serta Sekolah. Warga juga menyebut, sekitar 2 km dari desa telah dibangun Villa milik seorang mantan pejabat. Memang, panorama di puncak desa Babussalam terlihat begitu indah dengan hamaparan pohon Cengkeh yang tumbuh memenuhi lereng-lereng bukit. Ini menjadi magnet bagi setiap wisatawan jika mampu dikelola dengan baik. 

Tapi, apakah warga desa mampu mengolah potensi wisata itu menjadi sesuatu yang bernilai secara ekonomi? Bisa saja itu dilakukan demi menopang penghasilan mereka disektor perkebunan. Peran pemerintah desa bersama pemerintah daerah lah yang harus aktif untuk menyusun konsep serta regulasi. Warga desa bisa dilatih untuk menjadi tenaga terampil. So, pendapatan warga desa tidak hanya menunggu waktu panen Cengkeh tiba, tapi mereka bisa mendapatkan pundi-pundi dengan menyuguhkan keindahan alam di desa mereka. Sepanjang wisata alam itu dikelola dengan baik, pastilah desa Babussalam bisa lebih maju dan mandiri.  


Monday, October 9, 2017

PEMUDA, Dari Revolusi Hingga Reformasi

Sumber: design Dani

Telah di kisahkan dalam lembar-lembar sejarah, peran pemuda hadir mengisi ruang di setiap momentum, hingga yang paling menegangkan saat merebut kemerdekaan dari tangan penjajah. Sebagaimana di pertengahan Agustus tahun 1945, sekelompok pemuda mendatangi kediaman Soekarno dan memaksanya untuk segera membacakan proklamasi kemerdekaan. Dialog antara pemuda dan Bung Karno malam itu cukup panas, 

“Sekarang bung! Sekarang, malam ini juga kita kibarkan revolusi,” ujar Chaerul Saleh, salah seorang dari pemuda itu. “Kami tidak ingin mengancammu Bung,” kata Wikana dengan suara serak. Pemuda itu lalu melangkah dengan sebilah pisau terjulur di tangannya “Revolusi di tangan kami sekarang, dan kami memerintah Bung. Kalau Bung tidak memulai revolusi malam ini, maka…” 

“Maka apa? Teriak Bung Karno yang bangkit dari kursinya. “ini batang leherku,” katanya setengah berteriak sambil mendekati Wikana, seorang pemuda asal Sumedang Jawa Barat. “Seret saya ke pojok itu dan potong malam ini juga! Kamu tidak usah menunggu esok hari” kata Bung Karno dengan setengah berteriak. 

Begitulah kira-kira sekilas cuplikan dialog antara pemuda dengan Bung Karno. Dialog itu menggambarkan bahwa pemuda telah berperan dalam usaha memerdekakan Indonesia. Pada saat itu usaha masih di latarbelakangi oleh keresahan dari banyaknya tekanan dan ketidakadilan yang di lakukan oleh para penjajah. Lalu bagaimana dengan usaha pemuda masa kini, apa peran yang akan di ambil, dan apa kontribusi yang hendak di berikan untuk bangsa dan Negara ini? mari kita refleksikan dulu perjalanan pemuda kita dari masa ke masa.  

Pasca proklamasi di kumandangkan, kemerdekaan republik ini telah berada di tangan rakyat Indonesia. Memasuki tahun 50an, partai politik mulai menjamur di tanah air. Partai politik tumbuh subur seiring dengan geliat pemuda dalam berorganisasi. Kebanyakan mereka menjadi bagian dari organisasi sayap partai politik. Karena berada di sayap partai, akan memudahkan mereka untuk masuk dalam partai politik. 

Memasuki Orde Baru tahun 1965, lahir kelompok atau organisasi mahasiswa yang anti terhadap komunis. Kelompok ini mendapat dukungan dari organisasi pemuda yang tersingkir pada masa Orde Lama. Para mantan tokoh pemuda saat itu kemudian mendirikan ikatan atau yayasan yang menaungi organisasi mereka. Seperti halnya lahirnya KNPI, berawal dari gagalnya Kesatuan Aksi Mahasiswa (KAMI) dalam melanjutkan perannya. 

Di tengah situasi konflik nasional, KAMI yang saat itu menjadi wadah persatuan dan kesatuan generasi muda mahasiswa kehilangan orientasi dalam melanjutkan peranan kaum muda. Perpecahan itu muncul ketika masing-masing organisasi yang tergabung dalam KAMI seperti Himpunan Mahasiswa Islam (HMI), Persatuan Mahasiwa Katolik Republik Indonesia (PMKRI), Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia (GMKI), Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI), Persatuan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII), Organisasi Mahasiswa Lokal (Somal), Gerakan Mahasiswa Sosialis (Gemsos), Ikatan Mahasiswa Bandung (Imaba), Ikatan Mahasiswa Djakarta (Imada) mulai kembali ke akar primordialnya, baik secara ideologi maupun politik.    

Pada titik kebuntuan itu, gagasan lahir dari para tokoh KAMI yang kemudian meluas ke aktor-aktor dewan mahasiswa untuk mencari jalan keluar. Salah satu upaya yang di lakukan adalah dengan menyelenggarakan musyawarah nasional mahasiswa Indonesia. Munas mahasiswa itu berlangsung di Bogor pada Desember 1970. Musyawarah itu mengarah pada pembentukan wadah persatuan nasional atau dengan istilah Nation Union of Students (NUS). Sayangnya, rencana pembentukan NUS tidak mencapai titik temu. NUS gagal di bentuk oleh karena adanya rasa saling curiga antar organisasi. Namun melalui kekuatan politik Orde Baru, maka sejumlah elit mampu melakukan pedekatan-pendekatan kepada setiap pimpinan organsasi. Pertemuan bersama pimpinan organisasi di lakukan sebagai penyeragaman visi tentang urgensi wadah nasional yang akan di bentuk. Maka pada tanggal 23 Juli 1973, Komite Nasional Pemuda Indonesia (KNPI) di deklarasikan dan David Napitupulu diangkat sebagai ketua umum pertama. 

Di masa Orde Baru, KNPI di posisikan sebagai pengawal kebijakan rezim Soeharto di bidang kepemudaan dan kemahasiswaan. Ini menjadi strategi Orde Baru dalam rangka privatisasi berbagai kegiatan organisasi serta memudahkan pengawasan pemerintah terhadap kelompok kepemudaan dan kemahasiswaan. Di sisi lain, pemerintah memberi ruang bagi setiap kelompok kepentingan untuk terlibat langsung dalam perumusan kebijakan umum. 

Keberadaan KNPI di masa Orde Baru begitu elitis. Dalam banyak hal, KNPI aktif dalam setiap kegiatan kepemudaan. Posisi tawar KNPI juga masih cukup besar untuk mengambil kedudukan di dalam pemerintahan. Tidak hanya di dalam kementerian, di level daerah pun posisi tawar KNPI sangat di perhitungkan. Namun pada Mei 1998 saat rezim Orde Baru runtuh, muncul banyak wacana tentang pembubaran KNPI. Dalam banyak hal, KNPI di nilai bukan menjadi representasi organisasi kepemudaan yang kritis. KNPI di anggap menjadi bagian dari mesin Orde Baru yang anti kritik terhadap pemerintahan Soeharto. KNPI tidak hadir untuk merespon berbagai ketimpangan sosial di masyarakat.  

Dari banyaknya tuntutan, beberapa hal menjadi catatan penting untuk di jadikan refleksi bersama tentang perjalanan KNPI di masa Orde Baru; pertama, kelahiran KNPI merupakan desain kekuasaan dan tidak murni lahir dari inisiasi pemuda. Kedua, KNPI hanya menjadi alat distribusi kekuasaan. Di era Soeharto, tidak sedikit tokoh-tokoh KNPI mendapat posisi strategis di pemerintahan. Ketiga, KNPI menjadi arena perebutan kekuasaan dalam struktur organisasi. Di zaman itu, KNPI masih sangat strategis untuk merebut posisi dalam struktur pengurus. Sebab, kekuasaan mengakui KNPI sebagai satu-satunya organisasi kepemudaan yang sah. 

Reformasi 1998 menjadi tonggak sejarah baru bagi KNPI. Di era itu, Idrus Marham di beri kepercayaan memegang tongkat estafet sebagai ketua umum KNPI. Idrus Marham kemudian melakukan penyegaran kembali posisi dan peran KNPI di tengah realitas politik nasional. Penyegaran di lakukan karena melihat situasi dan kondisi KNPI yang mengalami perubahan dan tidak mencirikan organisasi pemuda. Era reformasi menjadi era baru bagi KNPI untuk tetap independen dan kembali memposisikan pemuda menjadi mitra kritis pemerintah. Di tangan Idrus Marham, KNPI tetap di pertahankan.    

Hingga kini, KNPI masih terus bergerak, mengalir bersama mengikuti proses perjalanan bangsa. Meski tidak se elit masa Orde Baru, namun KNPI masih tetap di perhitungkan dalam hal menjalin kemitraan dengan pemerintah. KNPI menjadi sentrum politik pemuda. KNPI terus mengambil peran dengan memberi kontribusi positif demi terselenggaranya pembangunan yang adil dan merata. Dengan hadirnya KNPI baik di pusat hingga di level daerah, maka diharap KNPI tetap menjadi organisasi kepemudaan yang memiliki keberanian untuk melakukan terobosan ke arah yang lebih produktif. Sebagaimana kata Pramoedya, “Kalian Pemuda, kalau kalian tidak punya keberanian, sama saja dengan ternak karena fungsi hidupnya hanya bertenak diri”. 

Bung! Apa kamu masih belum punya keberanian?      

Friday, October 6, 2017

Saat Namamu di Temukan Dalam Buku

Sumber: photo by Ahyar Ros

SEORANG sahabat menandai saya dalam satu postingan di halaman facebook, saya membuka notifikasi itu. Sahabat itu Ahyar Ros, mahasiswa asal Mataram Nusa Tenggara Barat. Saya mengenalnya di kantin kampus IPB usai verifikasi berkas calon mahasiswa baru pascasarjana. Di tempat itu kami saling berkenalan. Status kami masih mahasiswa baru saat itu. Ia menyebut dirinya akan masuk di program studi Sosiologi Pedesaan. Rupanya kami mengambil jurusan yang sama. Nah mulai sejak itu kami sering berbarengan saat datang dan pulang kampus. Di kelas, kami pun selalu duduk berdekatan. Namun beberapa bulan ini kami tak bersua. Sejak Februari silam, kami berpisah sibuk mengurus penelitian masing-masing. Ia ke Mataram, saya pulang ke Buton. Tapi sejak beberapa lama berada ke lokasi penelitian, ia memutuskan kembali ke Bogor. Mungkin ia sudah tak sabaran menyapa si neng tetangga kosnya yang jelita itu.

***

KAMIS yang lalu ia bercerita baru saja dari toko buku. Padahal setahu saya Ahyar paling sering ngadem di pusat perbelanjaan atau mall. Mungkin itu hanya modus biar bisa 'nyuci mata' di toko buku, mengamati si rambut panjang dari balik rak-rak buku. 

Dari dalam toko buku, Ahyar melihat sebuah buku tentang Laut dan Masyarakat Adat, buku yang di terbitkan oleh Kompas. Ia pun tertarik untuk membelinya. Ahyar memang paling sering membeli buku. Koleksi bukunya disusun, tingginya hampir mencapai plafon kamar kosnya, haha. 

Di halaman sampul buku, ia melihat deretan nama-nama tim penulis. Ia semakin tertarik karena salah satu penulis disitu adalah dekan fakultas kami, Fakultas Ekologi Manusia, Arif Satria. Tapi setelah melihat nama saya, ia menjadi bangga. Seperti dalam postingannya di halaman facebook:

“Selalu ada rasa kebanggaan tersendiri melihat tulisan sahabat bertengger di urutan pertama toko buku. Sebulan yang lalu saya mendapat kabar menyenangkan dari sahabat karib di IPB yadi laode.
Dari pulau Buton, ia bercerita tentang catatannya telah di terbitkan oleh Kompas Gramedia. Sejak hari itu juga saya tak sabaran untuk membaca artikelnya.
Malam ini, buku itu pun sudah di tangan, namun belum saya perasan masib berat untuk membuka sampulnya, lantaran belum dapat tanda khusus dari penulis.
Saya berharap, pecan ini abang Laode Yadi kembali ke Bogor. Insyallah kambing abang Farid Bakrie akan menjadi jamuan kita.

Salam 
Sahabat rantau…”

Sebetulnya saya belum apa-apa, di banding dia yang sudah banyak menghasilkan karya. Ahyar lebih banyak menghasilkan tulisan. Ia paling hobi ngeblog, atau sering mengisi tulisan di portal Kompasiana. Pengalaman kepenulisannya cukup mumpuni. Belum lama ia mengikuti pelatihan jurnalis di Tempo. Makanya virus baca dan menulisnya ia sebar ke banyak kalangan di kampung halamannya di Mataram NTB. Saya sedikit berguru darinya.

Tulisan saya di buku Laut dan Masyarakat Adat itu sebenarnya adalah catatan lapang saat mengikuti roadmap di pulau Kakorotan Kabupaten Kepulauan Talaud Sulawesi Utara se tahun yang lalu. Pulau itu tak jauh dari pulau Miangas yang menjadi pagar perbatasan di ujung utara pulau Sulawesi. Ketika itu saya bersama kawan-kawan kampus IPB di percaya untuk mengikuti riset pemetaan sosial masyarakat adat dan nelayan. Program itu kerjasama antara Kementerian Kelautan dan Perikanan dengan kampus IPB, (Tulisan Lain Bisa Anda Baca DI SINI)

Di kepulauan Talaud, tengah bersiap menuju pulau Kakorotan

Cukup jauh perjalanan ke pulau Kakorotan, jika anda mendarat di Bandara Samratulangi Manado, anda harus menyeberang dengan menggunakan kapal ke Kabupaten Kepulauan Talaud, setelah itu anda menggunakan speedboat untuk melanjutkan perjalanan ke pulau Kakorotan. Tapi untuk lebih cepatnya sih anda bisa langsung ke Kabupaten Kepulauan Talaud dengan menggunakan pesawat jenis ATR yang transit dari bandara Samratulangi Manado, (Catatan Perjalanan Ke Pulau Kakorotan Bisa Anda Baca DI SINI). 

Banyak keunikan dan yang khas dari masyarakat pulau Kakorotan. Mereka memiliki tradisi yang begitu melekat dengan alam. Agama dan adat yang mereka yakini sangat kental dalam kehidupan sehari-sehari. Dari penuturan sejarah, ketua adat bercerita tentang sejarah memilukan pasca tsunami menghempas hampir seluruh penduduk di pulau itu dan hanya menyisakan beberapa orang, itu terjadi antara tahun 1014, tahun 1628, dan sekitar tahun 1990an. 

Dari pengalaman mereka melewati peristiwa alam itu, sejak saat itu pula masyarakat pulau mulai membiasakan diri untuk menjaga serta merawat alam untuk tidak terus menerus di eksploitasi. Tradisi yang mereka jalankan hingga saat ini yakni tradisi Eha dan Mane’e. Masyarakat tidak bisa memanfaatkan laut dengan menangkap ikan di wilayah yang telah di tetapkan oleh adat. Mereka bisa mengambil ketika mane’e di buka kembali. Tradisi mane’e tidak hanya menjadi acara tahunan di pulau Kakorotan. Tapi oleh pemerintah daerah kabupaten Kepulauan Talaud, tradisi itu telah di jadikan sebagai festival Mane’e bagi seluruh masyarakat daerah Kabupaten Kepulauan Talaud. (Tradisi Eha dan Mane’e Bisa Anda Baca DI SINI).

***

KEPADA sahabat itu, saya ucapkan terimakasih sudah mau membaca catatan saya di buku itu. Soal nama yang tertera dalam buku sebenarnya hanya keberuntungan saja. Paling tidak, kita sudah bekerja untuk keabadian. Sebagaimana kata Pramoedya, "Orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat dan dari sejarah. Menulis adalah bekerja untuk keabadian."

Wednesday, October 4, 2017

Membangun Desa Barangka: Dulu Mimpi, Kini Jadi Kenyataan

Nelayan desa Barangka. Sumber: photo by yadilaode

Hari itu desa Barangka Kabupaten Buton tidak seperti biasanya, hampir tak ada aktivitas nelayan dilaut atau mereka yang hendak ke kebun. Begitupun di pasar, tak ada yang membuka lapak disana. Suasana pagi itu sedikit berbeda dari hari-hari lain. Sepertinya masyarakat desa tengah bersiap ke sebuah pertemuan. Benar, mereka ramai-ramai mendatangi sebuah balai pertemuan di kantor desa. Saat itu desa Barangka tengah melangsungkan pemilihan kepala desa. Suasana kantor desa mulai ramai, petugas pemilihan sedang sibuk mengarahkan masyarakat untuk memasuki aula kantor. Dari dalam aula, atribut para kandidat serta bilik suara telah dipersiapkan. Masyarakat pun mulai mengisi kursi-kursi kosong. Beberapa saat kemudian, diatas podium lelaki itu mulai berbicara, memaparkan visi dan misi serta mimpi-mimpinya membangun desa ketika dirinya terpilih menjadi kepala desa. Siapakah lelaki itu?

***

DI sebuah kampus swasta di Kota Baubau, tengah dilangsungkan penggodokan mahasiswa baru (Ospek). Mereka yang mengaku senior itu sedang mengospek mahasiswa baru, para mahasiswa baru dari lintas jurusan. Satu diantara sekian banyak mahasiswa baru itu adalah Suharman, ia terdaftar sebagai mahasiwa teknik informatika. Ia cukupkan dirinya merantau ke tanah Papua dan Maluku lalu memilih kembali pulang kampung halaman demi menuntut pendidikan. 

Kurang lebih dua tahun lamanya, ia mencoba peruntungan mengikuti tes seleksi polisi namun keberuntungan belum memihak ke dirinya. Di Solo Jawa Tengah, ia pernah tinggal beberapa lama bersama kakaknya hingga menyelesaikan pendidikannya di sekolah kejuruan dengan mengambil jurusan Mesin Produksi. Sejak ayahnya meninggal, Suharman lebih sering tinggal bersama saudara-saudaranya. Demi membantu sang kakak, ia sempat bekerja di sebuah bengkel mobil di kota Solo. Sebelum memilih melanjutkan studi, Suharman mencari modal untuk membiayai studinya. Ia berkeliling kampung dengan menjual pakaian. 

Kantor desa Barangka. Sumber: photo by yadilaode

Lahir di tahun 1988, Suharman adalah anak bungsu dari enam bersaudara. Di tengah kehidupan keluarga yang serba bercukupan, semangatnya tak pernah kendor. Setiap tantangan mesti di hadapi, ia menggedor setiap dinding-dinding yang kerap membatasi langkahnya. Semangat muda itu terus di pacu agar ide-idenya tak kaku dan membeku, Suharman mulai sibuk dengan aktivitas kampus. Ia mulai menjelajahi banyak ruang di dunia akademik. Tak sekedar mengikuti rutinitas perkuliahan, ia mulai aktif di beberapa organisasi kemahasiswaan. Di luar kampus, ia bergabung dalam organisasi kemahasiswaan “Hijau-Hitam”, organisasi kemahasiswaan yang pernah digagas oleh almarhum kanda Lafran Pane. Pelan-pelan, Suharman mulai membentangkan sayap di dunia aktivis kemahasiswaan. Sampai suatu ketika saya melihatnya memegang megaphone dengan tangan terkepal memukul langit, ia berorasi di hari anti korupsi. Di halaman kantor kejaksaan negeri itu suaranya melengking, “tangkap dan adili para koruptor!”.

Berawal dari kegiatan pengkaderan di Himpunan Mahasiswa Islam (HMI), saya mengenal Suharman. Saya lebih akrab memanggilnya Amhan. Saat itu ia menjadi salah satu peserta Basic Training (Laihan Kader I) di komisariat yang saya pimpin. Dahulu aktivitas di HMI masih begitu sering, hingga kami jarang pulang ke rumah. Sekretariat menjadi rumah yang nyaman bagi kader yang haus ilmu, sekretariat menjadi arena diskusi dari setiap wacana. Aktivitas Amhan tak hanya di HMI dan di kampus, sebagai anak desa, ia bersama kawan-kawannya membentuk lembaga kedaerahan, Himpunan Mahasiswa Kapuntori (HIMKA). Lembaga itu di niatkan untuk mewadahi mahasiswa dari desa-desa di Kecamatan Kapuntori yang berkuliah di Kota Baubau. Sebagai ketua, Amhan mengaktifkan lembaga itu melalui kegiatan-kegiatan sosial. 

Menjelang akhir masa studinya, Amhan telah mempersiapkan apa yang menjadi rencana ke depan. Ia tak ingin berlama-lama bergelut di dunia kampus. Ia sadar kalau masih banyak hal yang harus di perbuat untuk masyarakat di kampungnya. Baginya, kampus telah cukup memberi ruang untuk memperkenalkan realitas sosial. Bagi Amhan, pengetahuan yang di dapat dari perkuliahan cukup memberi gambaran, membuka cakrawala agar kelak bisa di terapkan dalam kehidupan sosial. Di desa, ia aktif dalam program PNPM Mandiri Perdesaan. Ia menjadi salah satu kader Pemberdayaan Masyarakat Desa (KPMD). Tertarik dengan kegiatan sosial, Amhan mulai banyak terlibat dalam kegiatan-kegiatan sosial di desanya.

Hingga pada Oktober 2014, ia dinyatakan lulus pada program studi Teknik Informatika Fakultas Teknik. Amhan mulai menyusun berbagai rencana untuk membangun desanya. Suatu ketika ia mengajak ku berdiskusi tentang hajatannya maju dalam pemilihan kepala desa. Di usianya yang masih muda, tadinya saya pesimis akan pencalonannya di pemilihan kepala desa. Saya sendiri berpikir, pencalonannya akan sia-sia dengan melihat lawan-lawannya cukup kuat untuk di kalahkan. Amhan mulai menjelaskan peta politik desa menjelang pemilihan, situasinya berbeda jika dirinya tampil sebagai salah satu calon kepala desa. Belum cukup dengan penjelasannya, Amhan membawa saya untuk melihat langsung situasi di desa beberapa hari menjelang hari pemilihan.

Malam itu Amhan mengundang beberapa tokoh masyarakat, pemuda, serta pemuka agama di rumahnya di desa Barangka. Di tengah pertemuan itu, saya menyaksikan langsung pernyataan dukungan itu mengalir ke Amhan. Satu per satu warga yang hadir menyatakan sikap untuk mendukung Amhan dalam pemilihan kepala desa. Pada pemilihan kepala desa saat itu, Amhan akan bersaing dengan dua kandidat lainnya, salah satu diantara mereka adalah petahana. Amhan tak ingin kehilangan strategi, ia tinggal memperkuat basis dukungan yang telah lama ia rawat. Mulai dari anak muda, tokoh-tokoh, hingga keluarga yang dianggap basis paling militan. Ingin tampil berbeda dengan kandidat lain, Amhan mulai menyusun konsep mengenai rencana-rencana strategis membangun desa. Amhan ingin menghadirkan wajah baru di desa. Ia ingin desanya selangkah lebih maju dari desa-desa lain. Konsep-konsep berdesa mulai ia kumpulkan. Ia berdiskusi dengan beberapa penggiat sosial, LSM, serta bertemu dengan kalangan akademisi demi menyusun konsep visi dan misi yang akan di paparkan pada saat hari pemilihan kepala desa.

***

SUASANA di dalam aula kantor desa mulai di padati masyarakat yang akan menyalurkan hak suara. Panitia pemilihan telah menyiapkan waktu bagi setiap calon untuk memaparkan visi dan misi mereka. Saya lebih jelas menyimak pemaparan visi dan misi dari calon kepala desa Suharman. Amhan mulai berbicara, ia sesekali berbicara dengan menggunakan bahasa Pancana (bahasa daerah) agar mudah di pahami oleh orang-orang tua di desanya. Pada visi misi yang ia paparkan, “Terwujudnya Desa Barangka Sebagai Desa yang Bersatu, Berdaya Saing, Serta Mandiri Menuju Kesejahteraan dan Kedamaian”. Kemudian Amhan menjelaskan misi yang akan di emban itu dibuat dalam lima bidang pendekatan. Bidang-bidang tersebut adalah pengembangan wilayah, ekonomi, sosial, budaya, pengembangan data dan Informasi, pengembangan Kelembagaan, dan pemberdayaan.

Kepala desa Barangka. Sumber: photo by yadilaode

Secara rinci ia menjelaskannya sebagai berikut: Pertama, pada misi Bidang Pengembangan Wilayah, adalah meningkatkan sarana dan prasarana sanitasi dan air bersih, meningkatakan sarana dan prasarana untuk mengembangkan hasil pertanian, perkebunan, perikanan dan kelautan. Kedua, pada misi Bidang Ekonomi, adalah meningkatkan produktivitas usaha kecil menengah warga, meningkatkan keterampilan warga dalam pengelolaan pasca panen, meningkatkan pengetahuan dan keterampilan warga tentang pemerliharaan rumput laut, meningkatkan pemasaran hasil produksi pertanian, perikanan, dan kelauatan. Ketiga, pada misi Bidang Agama, Sosial, Adat, dan Budaya, yaitu meningkatkan partisipasi warga dalam kegiatan keagamaan dan meningkatkan semangat gotong royong. Keempat, pada misi Bidang Pengembangan Data dan Informasi, yaitu tersedianya data dan informasi yang dapat digunakan untuk pembangunan desa, tersedianya data terkini tentang kondisi desa seperti monografi desa, profil desa, dan data lainnya yang berkaitan dengan desa. Kelima, pada misi Bidang Pengembangan Kelembagaan dan Pemberdayaan, yaitu meningkatkan pelayanan pemerintahan desa, meningkatkan peran dan fungsi kelembagaan desa, dan meningkatkan kapasitas dan SDM melalui pemberdayaan.

Mimpi Suharman membangun desa yang telah ia tuangkan ke dalam visi dan misi mungkin belum sepenuhnya di pahami oleh masyarakat desa. Sebagian masyarakat menganggap ini hanya bagian rangkaian proses pemilihan, ini hanya formalitas pada tahapan pemilihan kepala desa. Tetapi tidak bagi Amhan, mimpi besar yang ia sudah buat dalam konsep visi misi itu adalah target dan program kerja kelak ia terpilih menjadi kepala desa. Visi dan misi itu menjadi jalur dari perjalanannya membawa desa Barangka hingga sampai pada tujuan yang sesungguhnya. Amhan harus membuktikan janji itu, ia harus merealisasikan agar tak menjadi janji kosong belaka.

***

PEMUNGUTAN suara akan di mulai, panitia pemilihan mulai membuka kotak suara dan melakukan perhitungan. Suasana tampak begitu tegang, masyarakat berkerumun memadati ruangan dan diluar ruangan aula kantor desa. Mereka tak sabar ingin mengetahui hasil dari perhitungan. Amhan tepat duduk ditengah dari empat kandidat lain, ia duduk berdasarkan nomor urut calon sebagaimana di surat suara. Sebelumnya para calon telah melakukan deklarasi dan bersepakat akan menerima apapun hasilnya dengan lapang dada dan menjadikan pemilihan kepala desa ini berakhir dengan damai. 

Satu per satu kertas suara diambil dari dalam kotak dan di hitung, sementara panitia yang lain menjumlahkan ke papan skor. Sebelumnya panitia telah menetapkan 856 orang wajib pilih, namun jumlah peserta yang datang memilih hanya sekitar 768 orang. Data wajib pilih itu di peroleh saat masyarakat desa belum banyak yang memilih merantau. Menurut Amhan, ketika musim mudik atau menjelang lebaran Idul Fitri jumlah masyarakat desa Barangka berkisar seribu lebih. Hanya karena banyak yang merantau ke Maluku dan Papua, jadi desa barangka tidak seramai pada saat lebaran. 

Kertas suara telah habis di baca, panitia pemilihan kembali memastikan dan memeriksa kotak suara, “Habis, silahkan saksikan bapak ibu, habis to?”. Semua mata tertuju pada kotak itu. Dengan berakhirnya perhitungan suara, sontak gemuruh suara dan tepuk tangan masyarakat menyambut kemenangan Amhan yang unggul dalam perhitungan suara. Total suara yang berhasil di kumpulkan Suharman yakni 243 suara dengan selisih 21 suara dari calon nomor urut dua yang menjadi rival terberatnya. Sementara suara calon-calon lain berada jauh dibawah mereka berdua. 

Gembira bercampur rasa haru, saya melihat seorang kakek berkopiah hitam lusuh duduk di sudut ruangan menyeka air mata. Kakek itu terharu atas kemenangan Amhan, seorang anak muda yang berani tampil dalam pemilihan kepala desa. Kemenangan penuh dramatis dalam pemilihan kepala desa kali ini. Melihat kemenangan itu, masyarakat ramai-ramai memboyong Amhan keluar dari ruangan. Sebelum Amhan keluar ruangan, para pesaingnya lebih dulu memberi ucapan selamat dan saling berpelukan. Mereka telah berkomitmen untuk menjaga sportivitas. Mereka telah menunjukkan kedewasaan berpolitik demi menjaga marwah demokrasi di desa Barangka. Tak ada yang saling menghasut, apalagi menghujat. Mereka saling menjaga persaudaraan dan kekeluargaan. Para pendukung yang menang tak jumawa, sama halnya mereka yang kalah, tak ada yang menghujat apalagi memancing keributan, sebagaimana yang sering terjadi pada pemillihan-pemilihan di level masyarakat kota dengan gaya berpolitik curang hingga berujung ricuh dan saling memusuhi. Tak henti-hentinya Amhan mengucapkan rasa syukur dan terimakasih kepada seluruh masyarakat yang telah mensukseskan pemilihan hingga berjalan damai.

***

16 MARET 2015, anak muda itu memasuki sebuah ruangan dengan berpakaian rapih serba putih, sepatunya mengkilap, di sebelah dada kirinya tersemat atribut berlambang garuda, Amhan tengah bersiap menghadapi pelantikan bersama beberapa kepala desa lainnya di aula kantor Bupati Buton. Sang Bupati membacakan sumpah jabatan, Amhan berdiri tegap dan mengucap janji di bawah kitab suci. Hari itu Amhan resmi memerintah sebagai kepala desa Barangka periode 2015-2021. Di usianya yang terbilang muda, Amhan telah memikul tanggung jawab sebagai seorang pemimpin untuk desa. Bagi Amhan, itulah pilihan untuk keluar dari zona nyaman, pilihan untuk memikul tanggungjawab, serta bagaimana menjalankan amanah yang telah di percayakan oleh masyarakat. Bagi Amhan, kepemimpinan adalah seni. Seni dalam memimpin menjadi salah satu hal penting untuk menjalankan roda pemerintahan yang tidak kaku dan serba formal. 


Pesisir pantai desa barangka. Sumber: photo by yadilaode

Pasca pesta demokrasi pemilihan kepala desa, kehidupan di desa mulai berjalan seperti biasa. Nelayan dan petani rumput laut kembali beraktivitas di laut, sementara petani lainnya kembali ke sawah dan berkebun. Di pagi yang cerah itu, Amhan tengah bersiap ke kantor desa. Jajaran dan staf kantor sudah bersiap menanti kepala desa untuk memulai rapat. Pelayanan kantor desa pun mulai berjalan dengan normal. 

Hari-hari Amhan sebagai kepala desa memang perlu banyak dorongan serta motivasi, khususnya dari sang isteri tercinta Wa Ode Yuniarti. Sebab, pelayanan pemerintahan yang ia jalankan tak cukup dari dalam kantor desa, Amhan juga harus selalu siap menerima warga yang datang ke rumahnya untuk mendengar langsung setiap keluhan atau dengan urusan lain terkait administrasi. Berkat dorongan yang ia dapat dari keluarga serta kerabat, Amhan mampu merealisasikan beberapa program yang telah ia canangkan. 

Dua tahun menjabat kepala desa, Agustus 2016 Amhan terpilih sebagai Ketua Asosiasi Kepala Desa (DPC P-APDESI BUTON). Pelantikan langsung di hadiri oleh ketua Dewan Pembina DPP P-APDESI, Budiman Sudjatmiko, DPD P-APDESI Sulawesi Tenggara, serta seluruh kepala desa yang tergabung dalam P-APDESI Kabupaten Buton. Kali ini Amhan tak hanya di percaya memimpin desa, namun ia mampu mengkonsolidasikan para kepala desa melalui gagasan serta konsep-konsep berdesa di dalam asosiasi yang ia pimpin. Di hadapan para kepala desa, Amhan selalu memberi penguatan pemerintahan bagi setiap kepala desa, serta bagaimana penggunaan dana desa sesuai program dan transparan. Sebagaimana di asosiasi, di desa Barangka beberapa program yang telah ia realisasikan melaui APBDes Barangka 2017, antara lain: Jalan Usaha Tani sepanjang 1.700 meter, Talud 50 meter dan 1 unit Deuker, - Tribun Lapangan Sepak Bola, - Pembentukan BUMDes Kantalea Molagina, - Pembangunan Taman Kantor Desa, - Pemberian insentif untuk Guru PAUD dan Guru Mengaji, - Kegiatan Karang Taruna (kompetisi Sepak Bola Barangka Cup yang ke 17 tahun), - Pemberian operasional PKK, LPM, BPD, Majelis Taklim, - Pemberian insentif tokoh Adat, tokoh Agama, pengurus air minum dan RT, - Pembayaran Operasional Pemdes Barangka, - Pembayaran insentif Kader Posyandu, - Pembayaran insentif Dukun Terlatih dan Kader Posyandu, - Pemasangan Jaringan Internet Desa dan Web Desa Barangka. Adapun program yang belum terlaksana, akan di realisasikan pada tahap II.
  
***

TAK banyak pemuda seperti Suharman yang memutuskan kembali ke desa dengan niat ingin mengabdikan diri pada kampung halaman. Apa yang telah ia impikan sejak lama, tidak menguap begitu saja, ia telah gapai saat ini. Mimpinya tidak terlalu besar, pun tak penuh ambisi. Ia hanya ingin memegang kendali pemerintahan di desa lalu mengubah wajah desa melalui gagasan dan inovasi yang sudah ia susun. Desa sudah harus lebih maju dan mandiri, masyarakatnya harus sejahtera melalui kreativitas serta produktivitas ekonomi.


Suharman (Kades Barangka). Sumber: photo by yadilaode

Motivasinya kembali ke desa ia dapat ketika mendapat banyak ketidakadilan yang di alami masyarakat desa. Pemerintah desa terlalu rentan mendapat intervensi dari birokrasi di atasnya. Program-program tak sedikit yang terbengkalai karena anggaran desa banyak di sulap untuk kepentingan lain. Belum lagi, banyak ‘mafia’ masuk desa dengan berbagai motif agar turut merasakan dana desa. Mereka datang dari berbagai profesi dan lembaga dengan modus mengawasi dana desa. Mereka tahu, di desa tersimpan banyak duit. Desa seperti permen yang di kerumuni banyak semut, di serang dari berbagai sisi.
   
Begitulah hari-hari Suharman menjalankan roda pemerintahan, melayani setiap warga tak hanya dari ruang kantor desa. Tak sedikit waktu yang telah ia luangkan saat menerima panggilan warga dari pintu rumahnya. Ia harus menerima setiap keluhan dari warga yang mendapat masalah. Makanya, tidak sedikit kepala desa yang tak bertahan lama. Mereka meminta mundur, berhenti di tengah perjalanan dengan alasan tak sanggup memegang tanggungjawab sebagai kepala desa. Ada banyak orang tak tertarik kembali dan memerintah di desa. Modernisasi membawa mereka hingga ‘gengsi’ untuk kembali ke desa. Pilihannya? Adalah masuk ke kota lalu bertarung dalam setiap momen pemilihan legislatif atau pemilihan kepala daerah. Mungkin itu lebih bergengsi.
   
Suharman memilih untuk membangun kampung bersama beberapa anak muda yang telah ia kader jauh hari. Sementara pemuda lain di kampungnya memilih merantau ke negeri orang untuk mencari sesuap nasi. Amhan memilih bertahan di desa, sebab ia tahu, “Di desa inilah justru sumber daya alam itu bisa di manfaatkan untuk kegiatan ekonomi. Jika di kelola dengan baik, sumber daya alam yang berlimpah di desa Barangka bisa mensejahterakan masyakarat. Desa menyiapkan banyak lahan untuk kita kelola. Tentu semua untuk kemakmuran dan kesejahteraan masyarakat desa”, papar Amhan dalam sambutannya di hadapan masyarakat desa.

Mimpi Amhan membangun desa bukanlah angan-angan kosong, ia mampu mewujudkannya melalui usaha dan kerja keras. Ia telah mewakafkan diri untuk membangun desa. Programnya sungguh nyata ia wujudkan. Saya selalu mengikuti setiap perkembangan di desanya, saya pun sering berdiskusi dengannya. Mulai dari ia bermimpi ingin membangun desa, hingga mimpi itu menjadi kenyataan. Di awal ia bercerita tentang mimpi-mimpinya, saya pernah tulis kisahnya hingga tulisan itu ku ikutkan dalam kompetisi Blog. Alhamdulillah, tulisan itu menjadi inspirasi banyak orang, tulisan itu mendapat juara runner up pada lomba menulis Blog dua tahun silam (tulisan bisa anda lihat DI SINI). Semoga dari catatan sederhana ini, paling tidak bisa menjadi refleksi dari perjalanan pemerintahan desa Barangka yang di komandoi Suharman.   



Desa Barangka, Oktober 2017

Monday, August 28, 2017

Pesona Pantai Wantopi

Dok. yadilaode

SEJENAK saya membayangkan pantai Wantopi itu serupa pulau Pasir di Belitung, gundukan pasir putih yang berada di tengah-tengah laut, atau mirip dengan pulau pasir di Lombok, yang biasa di sebut dengan Gilli Pasir. Siapa yang tak kenal dengan keindahan Lombok di Nusa Tenggara Barat. Banyak keunikan dari Lombok, sehingga jumlah wisatawannya hampir menyaingi wisatawan di Bali. Nah satu lagi, saya membayangkan fenomena pulau pasir atau pasir timbul yang ada di Maluku Tenggara. Pasir timbul itu di beri nama pantai Ngurtafur atau Pulau Gosong. Pasir timbul itu memanjang hingga 2 km ke arah laut. 

Fenomena pulau pasir atau pasir timbul bisa anda temukan di beberapa tempat di pesisir pantai Indonesia. Biasanya pada waktu air laut sedang surut. Pulau pasir atau pasir timbul memang memiliki keunikan tersendiri, maka tidak sedikit para wisatawan yang memilih berlibur di tempat-tempat itu.

***

MATAHARI belum lama tampak dari balik bukit Negeri Seribu Benteng, kota Baubau. Ketika itu saya bersama teman hendak berlibur di pantai Wantopi Mawasangka Timur Kabupaten Buton Tengah, sebuah daerah otonom yang belum lama menetas dari induknya, Kabupaten Buton. Buton Tengah, atau dengan julukan Negeri Seribu Gua baru disahkan menjadi daerah otonomi baru sekitar pertengah tahun 2014 lalu.


Dengan menggunakan kapal penyeberangan Feri, sepeda motor kami diangkut dan dibawa sandar di dermaga Tolandona. Tak seperti biasanya, kapal Feri seharusnya sandar di pelabuhan Waara-Wamengkoli. Hanya saja kondisi pelabuhan masih dalam tahap perbaikan, juga karena lautnya dangkal, maka hari itu kapal Feri yang mengangkut kami dialihkan ke dermaga Tolandona Kecamatan Sangiawambulu. Kami pun tiba di Tolandona, perjalanan kami lanjutkan ke Mawasangka Timur. 

Sekitar tiga jam waktu perjalanan untuk sampai di desa Wantopi Kecamatan Mawasangka Timur. Rasa lelah itupun terbayar saat tiba di pantai Wantopi, laut biru dan hamparan pasir putih yang memanjang sungguh menyejukkan mata. Belum begitu banyak yang di sulap dari tempat itu. Pantainya masih tergolong perawan, tak ada resort ataupun homestay yang di bangun. Cocoklah, tak perlu ada invest sana-sini. Tak perlu ada hotel megah berdiri di desa itu, tak perlu ada privatisasi lalu membatasi akses nelayan di desa. Biarkan pemerintah daerah bersama pemerintah desa yang mengelolanya dengan baik demi desa, demi masyarakat yang merasakan langsung dampak ekonominya. 
      
Landsecap Buton Tengah (Buteng) pada umumnya adalah daerah bebatuan dan perbukitan. Meski jumlah Gua tak sampai seribu, daerah ini sengaja diberi julukan Negeri Seribu Gua sebab hampir di setiap tempat di wilayah Buteng terdapat Gua dengan air di dalamnya. Ini menjadi salah satu potensi yang bisa digenjot dari sektor pariwisata. Mungkin tak cukup dengan wisata gua, wisata pantai juga mesti menjadi perhatian pemerintah agar bisa mem back up pemasukan daerah. 

Kita bisa temukan wisata pantai yang di miliki kabupaten Buton Tengah, misalnya pantai Katembe di Madongka-Lakudo, pantai Mutiara di Gumanano-Mawasangka, pantai Lasongko di Teluk Lasongko, atau pantai Wantopi yang ada di Mawasangka Timur. Dari beberapa pantai itu, menurut saya pantai yang paling unik adalah pantai Wantopi di Mawasangka Timur. Pantai Wantopi merupakan pulau kecil yang di tumbuhi beberapa pohon kelapa, dan saat ini tengah di kembangkan sarana seperti toilet dan gazebo untuk melayani pengunjung yang datang berwisata. Pantai Wantopi ini tadinya adalah sebuah perkampungan kecil nelayan, tapi kemudian mereka memilih pindah tak jauh dari pantai itu. Berada di dalam teluk, kondisi laut di pantai Wantopi relatif lebih tenang dari gelombang ombak. 

Maju dan berkembangnya suatu daerah bisa terlihat dari kreatifitas serta inovasi dari birokrasi. Masyarakat akan bergairah secara ekonomi ketika pemerintah mau menyiapkan infrastruktur yang memadai. Sejak beberapa tahun lalu, pun beberapa kali pergantian Gubernur, Buton Tengah masih terkendala dalam hal akses transportasi. Status jalan ‘provinsi’ yang menghubungkan antar daerah masih menjadi kendala, jalannya masih rusak. Nah semoga, dengan telah mekarnya Kabupaten Buton Tengah, pemerintah daerah bisa melakukan langkah-langkah konkrit dengan sesegera mungkin menyelesaikan infrastruktur jalan.       
      
***

SAAT itu, pagi cukup cerah. Dari atas kapal, saya menyaksikan aktivitas nelayan, cahaya yang memantul di permukaan laut serta gelombang-gelombang kecil kian menambah panorama alam di pagi itu. Momen-momen yang paling dinanti adalah ketika pagi dengan suguhan mentari dari atas laut, menyusuri desa-desa di tepi pantai, hembusan angin meniup pepohonan, serta debur ombak yang memecah di bebatuan. Hey kamu, ku tawari segelas kopi, kita santai di bawah kolong rumah panggung di desa ini.


Mawasangka Timur, Agustus 2017

Friday, July 28, 2017

Beras Lokal Vs Beras Impor


Mungkin tak seberapa produksi padi yg dihasilkan, pun nilai yg didapat dari penjualan tak sebanding dgn harga pupuk dan jenis obat pembasmi hama. Apalagi stok beras impor masih mendominasi pasar. Pada akhirnya, beras lokal dibeli dgn harga murah, petani semakin lesu menjalani profesi mereka. Tak sedikit sawah-sawah beralih fungsi, lahan sawah semakin sempit.   

Di daerah ini, beras-beras impor memang merajai pasar dgn berbagai macam merk. Mulai beras yg wanginya minta ampun, sampai yg bulir-bulirnya mirip berlian. Masyarakat kota yg konsumtif tak pernah soal dgn urusan perut. Sepanjang isi dompet masih bisa menjangkau harga beras bermerk, maka beras Bulog dan beras2 lokal selalu menjadi "ban serep". 

Kerja-kerja makelar beras memang sistematis dan licik. Bagaimana mereka mendapat keuntungan belipat-lipat dari beras yg mereka jual. Mereka tak peduli dgn harga beras yg dijual langsung oleh petani. 

Para makelar beras itu sesungguhnya bukan mereka yg hari-harinya bertani, pun bukan mereka yg sejak pagi sdh berjalan dipematang sawah. Para makelar beras lebih sering berada di dalam pabrik, menimbun serta mengatur skenario harga beras dipasaran. Mereka serupa lintah sawah yg menghisap darah petani.

***

Sore ketika waktu memanggil pulang, disana hanya ada seorang ibu sedang mengumpul gabah dari sisa-sisa panen. Gabah disimpan kedalam karung dan esok siap digiling untuk menjadi beras.

Perlahan, matahari turun ketempat peraduannya. Saya pun kembali pulang.

Friday, May 19, 2017

Secangkir Teh Pagi Ini


Sumber: http://capslocknet.com/secangkir-teh-di-pagi-hari/
Pagi itu selalu indah, saat kau melihat siluet cahaya mentari perlahan naik di ujung sana. 

Pagi itu membawa ketenangan, saat bangunmu tanpa beban dari hari-hari yang membosankan. 

Pagi itu memberi sejuk, menyejukkan hati dari kegerahan yang membuatmu tak nyaman.

Pagi itu adalah tanda, bahwa kegelapan telah berlalu dan cahaya baru saja datang.

Pagi itu menjadi terapi, dari embun yang meneduhkan jiwa.

Pagi itu menjadi awal dari segala aktivitas, segalanya di mulai dari membuka pintu pagi sampai dengan menutup pintu malam. 

Pagi itu menjadi pengingat, bahwa hari ini ada sepucuk harapan yang harus di kejar. 

Pagi itu seperti bunga, yang mekar dan memberi wangi.

Pagi menjadi momen paling indah, ketika seseorang dengan hangat membangunkanmu dari tidur.

Hey, aku tahu kau baru saja melelapkan mata. Aku tahu, malammu adalah pagi dan pagimu adalah malam. 

Hey, aku tahu kau tak ingin hidup dengan cara seperti itu, aku tahu kau tak menginginkannya. Tapi semua kau lakukan karena tuntutan, demi harapan yang telah lama kau impikan.

Hey aku tahu, kau ingin pagi sebagaimana pagi dulu yang kau rasakan.

Hey, aku sudah menyiapkanmu secangkir Teh pagi ini. Mungkin kau mau meminumnya di siang nanti, atau di waktu malam saat pagimu baru saja di mulai.

Popular Posts