Friday, December 25, 2020

Mereka yang Menghormati Perbedaan

 

Tahun 1999 silam, konflik itu pecah di tanah Maluku. Konflik itu meninggalkan duka mendalam karena memakan korban jiwa yang tak sedikit. Banyak orang tewas dalam kerusuhan agama itu. Banyak rumah dibakar hingga menyisakan puing-puing. Hampir sebagian penduduk lari mengungsi menyelamatkan diri. Kota yang identik dengan julukan Ambon Manise, akibat kerusuhan 21 tahun lalu, kota itu menyisakan pahit. 

Sebagian besar penduduk Maluku adalah masyarakat Buton, Bugis, dan Jawa. Akibat konflik antara 1999 sampai 2002 itu, ribuan orang meninggalkan Ambon, Maluku. Dari beberapa daerah yang menjadi tempat pengungsian, Kota Baubau adalah salah satunya. Kota Baubau menjadi salah satu daerah tempat pelarian orang-orang Ambon, Maluku yang terdampak konflik.

Tetapi sesungguhnya orang-orang yang datang mengungsi ke Kota Baubau adalah orang-orang asli Buton yang sudah sejak lama merantau ke Ambon, Maluku. Sebagian besar orang Buton yang merantau itu sudah menetap, kawin-mawin dan beranak-pinak di sana. Tetapi karena konflik berdarah di Maluku, mereka memilih untuk kembali ke kampung halaman. 

Masyarakat pengungsi itu lari menginggalkan harta benda dan rumah-rumah yang telah rata dengan tanah. Mereka lari membawa pakaian dan barang sebisa mereka ambil. Mereka menyesaki kapal penumpang Pelni untuk pergi jauh dari pulau dengan perasaan cemas dan takut.

Kerusuhan Ambon, Maluku bergema ke seluruh nusantara, membawa momok bagi masyarakat Islam dan Kristen di daerah-daerah lain. Konflik agama di Ambon, Maluku membunuh toleransi bagi kerukunan antar umat beragama. Konflik itu sempat menumbuhkan kebencian antara muslim dan nasrani - hanya karena mereka tega membawa nama agama dalam masalah sepeleh.

***

Lama saya menatap mata Victor Lawalata yang sembab saat dia mengisahkan kembali peristiwa kelam di kampung halamannya, di Batu Gantung, Ambon, Maluku - yang ketika itu banyak orang-orang tewas tergeletak karena tebasan parang, terkena anak panah, peluru, hingga serpihan bom.

Hari itu saya berjumpa Victor di kediamannya di Kota Baubau. Kami berbincang cukup lama. Dia memang lahir dan besar di Kota Baubau, meskipun leluhurnya berasal dari Saparua, sebuah pulau kecil di wilayah Kabupaten Maluku Tengah, Provinsi Maluku.

Jauh sebelum kerusuhan Ambon, Maluku, keluarga Victor telah berada di Kota Baubau. Sekitar tahun 1960, ayahnya lah yang pertama datang dan membuka bank. Bank itu menjadi satu-satunya di daerah, yang saat itu bernama Bank Rakyat Sulawesi.

Meski ayahnya seorang bankir, Victor tak mengikuti jejak Papa. Victor memilih bekerja di Perusahaan Listrik Negara (PLN) Area Kota Baubau. Dia menyelesaikan pendidikan dari SD hingga menamatkan SMA di Kota Baubau. Dia tak pernah menyangka bisa selama itu menetap dan betah tinggal di Kota Baubau, hingga dia memiliki istri, seorang perempuan berdarah Buton. Istrinya adalah orang Wolio, keluarganya memiliki keturunan Sultan Buton.

Di kehidupan keluarga, Victor tak pernah mempersoalkan keyakinan dalam beragama,

“Jadi kita di sini, kalau lebaran, ya lebaran, kalau natal ya natal. Jadi kita akrab semua. Jadi ini keluarganya istriku, tiga yang Kristen, tiga yang Muslim. Jadi mereka saling bagi,” kata Victor

Sejak menetap dan membangun rumah tangga di Kota Baubau, Victor selalu aktif dalam kegiatan-kegiatan sosial dan budaya. Dia terlibat aktif di dalam Kerukunan Keluarga Besar Masyarakat Maluku (KKBMM), yang saat ini berganti Maluku Satu Rasa (M1R).

Victor juga aktif dalam kegiatan-kegiatan keagamaan. Dia sering menghadiri undangan masyarakat pengungsi Maluku dalam acara-acara Maulid di masjid. Dia juga sering menghadiri ritual adat Haroa yang diadakan masyarakat Buton. Menurutnya, tradisi Buton dan Maluku memilki kemiripan. Tradisi Haroa seperti halnya tradisi Makan Patita bagi masyarakat Maluku, yakni acara makan bersama.

Di dalam kerukunan, Victor selalu menanamkan sikap toleransi pada orang-orang Maluku. Dia menjadi cerminan orang Kristen yang menghormati segala perbedaan, kepedulian serta kasihnya terhadap sesama manusia. Menurutnya, saat ini banyak falsafah-falsafah yang telah terlupakan oleh kita. Andai kalau itu dipahami dengan baik, tentu bisa lebih menentramkan dan mampu menjaga toleransi.

Victor mendapat satu kepingan cerita sebelum ayahnya wafat tentang kuatnya ikatan persaudaraan di tanah Buton. Kata Papi, orang-orang tua di Buton paling menghargai setiap pendatang. Mereka bisa saling menghargai dan menyayangi walaupun tak seiman dan berbeda budaya. 

Toleransi begitu kuat sejak masa-masa kesultanan Buton dulu. Karena itu, pihak kesultanan memberi satu bangunan untuk dijadikan tempat ibadah bagi umat Kristen di Kota Baubau. Selain gereja, lonceng besar bertuliskan Wolio menjadi hadiah untuk dijadikan lonceng gereja dan pelayanan ibadah bagi umat Kristen.

***

Saya begitu menikmati cerita pak Victor hari itu. Sebagai seorang muslim bersuku Buton, saya pernah mengalami hal-hal serupa saat mengunjungi beberapa daerah yang di mana masyarakatnya mayoritas adalah nasrani. Saya kembali teringat saat mengunjungi Pulau Kakorotan, Kepulauan Talaud, Sulawesi Utara beberapa tahun lalu.

Dalam kegiatan riset, saya dan teman-teman tinggal di rumah kepala desa. Di pulau kecil itu, kami disambut dengan penuh hangat oleh masyarakat desa, yang seluruh masyarakatnya beragama Kristen. Sudah pasti tak ada masjid di pulau itu.

Masyarakat desa tahu kalau kami pendatang yang tak seiman dengan mereka. Seorang teman, Nissak yang telah dulu datang untuk satu kegiatan penelitian dan tinggal cukup lama bercerita kepada kami kalau dirinya selama di Pulau Kakorotan tak pernah mendapat perlakuan aneh dari masyarakat hanya karena dirinya memakai jilbab.

Masyarakat Kakorotan tahu kalau Nissak beragama Islam. Dia adalah seorang muslim yang taat. Masyarakat Kakorotan sangat menghargai dirinya, seorang perempuan beragama Islam yang memilih tinggal selama berminggu-minggu di antara orang-orang Kristen yang guyub.

Saat perahu yang kami tumpangi mendarat di pantai Pulau Kakorotan, kami disambut Nissak. Dialah yang mengantar kami di rumah kepala desa. Di rumah itu, kepala desa menyambut baik kedatangan kami dan mempersilahkan untuk tinggal beberapa lama.

Bapak kepala desa tahu kalau kami adalah muslim yang punya perbedaan dengan kebiasaan-kebiasaan mereka di rumah. Istrinya menyiapkan apa yang menjadi kebutuhan kami selama tinggal di rumah mereka. Mulai dari kebutuhan makan, sampai dengan kebutuhan ibadah, seperti tempat wudhu, ruangan, serta alas tempat kami salat.

Aktivitas kepala desa tak hanya melayani masyarakat dan mengurus pemerintahan dari kantor desa, namun dia juga melayani masyarakatnya di gereja sebagai pendeta. Dalam sehari, beberapa kali dia melangsungkan ibadah di gereja dan dari rumah ke rumah. Sejak subuh, dia sudah keluar rumah untuk beribadah ke gereja.

Saya melihat ada kemiripan jadwal ibadah mereka dengan kita orang Islam. Setiap pagi pukul 5, pak desa sudah berpakaian rapih, mengenakan sepatu dan membawa Alkitab menuju gereja. Di sana, dirinya telah dinanti oleh jemaat.

***

Pada setiap perjalanan yang pernah saya lalui, saya menemukan tetes embun yang membasahi hati dan batin. Pada setiap perjalanan itu, saya menemukan pelajaran yang amat berharga tentang bagaimana cara untuk saling menghormati satu sama lain. Bahwa berbeda keyakinan bukanlah satu masalah untuk diperdebatkan dan dipertentangkan.

Saya sering menemukan teman-teman nasrani yang ramah dan lembut dalam berucap. Saya menyukai cara mereka dalam bergaul. Tidak ada ucapan yang menyinggung apalagi menggoyah keimanan saya. Justru kitalah yang mayoritas ini selalu merasa hebat dan paling benar, sebagaimana kita menyaksikan banyak muslim di ibu kota sedang mabuk agama.

Padahal ajaran Islam selalu dinamis, sesuai dengan ruang dan waktu. Bukankah agama datang untuk memelihara akal manusia. Bukankah agama itu datang untuk memelihara agama itu sendiri, sehingga kalau ada yang mengganggu dengan pemikiran-pemikiran yang keliru, maka harus diluruskan.

Agama itu datang untuk memelihara jiwa manusia. Siapapun dia, apakah muslim atau non muslim, tetap harus dihormati. 

Sementara kita sering menjumpai orang-orang yang emosi keagamaannya terlalu meluap-luap, sehingga dengan mudah menyebut orang lain dengan kata kafir. Inilah kegagalan kita dalam beragama. 

Jangan menganggap, menghormati agama orang lain bukan berarti kita mengakui kebenarannya. Menghormati agama orang lain yang kita tidak percaya itu hanya mengakui keberadaannya, bahwa kita bisa hidup berdampingan dengan mereka walaupun dengan perbedaan-perbedaan.

Kita harus pahami bahwa perbedaan itu mutlak adanya. Keberagaman mengajarkan banyak hal tentang makna toleransi. Kita yang berbeda dalam agama, adalah saudara dalam kemanusiaan.

Selamat Natal

Semoga kita selalu diberi kesehatan, kebahagiaan, damai dan sejahtera.

Friday, December 18, 2020

Tradisi Mata'a Galampa

 


Setiap tahun Mata'a Galampa digelar oleh masyarakat Cia-Cia di Pulau Buton, sebagai ungkapan rasa syukur atas keberlimpahan sumber daya alam dari Sang Maha Pencipta. 

Tradisi Mata'a Galampa dirayakan setiap bulan November bersamaan dengan musim tanam oleh masyarakat Sempa-sempa, Desa Lapandewa Makmur, Kecamatan Lapandewa, Kabupaten Buton Selatan. 

Siang itu masyarakat desa sudah memadati Baruga, bangunan panggung kayu tempat musyawarah adat. Para tetua adat duduk bersila untuk melakukan ritual Sampua Galampa. 

Acara dibuka dengan Tari Bhatanda. Tari ini memberi arti hubungan kerjasama antar masyarakat serta kebiasaan mereka mengelola hasil-hasil alam.

Tarian itu diperagakan oleh tetua-tetua adat, di mana setiap gerak hentak kaki dan ayunan tangan mengikuti irama gendang dan gong. Tari Bathanda memiliki arti: di manapun kaki melangkah, di situ rezeki yang bisa di dapat. Rezeki di dapat dari setiap usaha dan perjuangan.

Saya mengikuti prosesi itu dan duduk di antara orang-orang tua adat. Usai doa dipanjatkan, beberapa orang berkemeja putih berduyun-duyun masuk mengantar wadah (talang) yang berisi berbagai olahan makanan dari hasil panen, jerih payah masyarakat. 

Saya coba mengintip isi talang dengan membuka tudungnya. Isinya bermacam-macam. Ada nasi pulut, ayam, pisang rebus, kambewe, waje, epu-epu, bolu, dan baruasa. Tentu nama-nama penganan ini terasa asing bagi masyarakat luar Buton. Tapi menu makanan itu selalu menyatukan orang-orang Buton di tanah rantau.

Menu tradisional yang dimiliki masyarakat Buton menjadi hidangan di setiap acara adat. Bahan baku pada olahan makanan di dapat dari aktivitas berkebun mereka di tanah gersang dan bebatuan. 

Tetapi apa yang mereka tanam dan panen adalah anugerah dan nikmat yang diperoleh dari Sang Maha Pemurah. Suatu kesyukuran karena dengan segala keterbatasan, letak geografis, iklim dan kondisi tanah di desa mereka, Tuhan melimpahkan sumber daya alam yang hingga kini terus dimanfaatkan.

Di akhir prosesi, kami dipersilahkan makan. Masing-masing orang mendapat satu talang. Setiap talang terisi penuh dengan berbagai jenis olahan makanan. Kami wajib menghabiskan isi talang itu. Tapi, sungguh perut mungilku sudah tak sanggup lagi untuk bekerja.

Makanya kami diberi tas untuk mengisi sebagian makanan dan diberikan kepada orang-orang tua adat dan masyarakat desa sebagai ungkapan rasa terimakasih atas jasa dan tanggung jawab yang telah diberikan untuk menyelenggarakan acara adat Mata'a Galampa.

Wednesday, November 4, 2020

Di Titik Batas Buton Selatan

Pesona Pulau Kawikawia

Dari Batauga, Kabupaten Buton Selatan, di pagi buta itu saya berangkat menuju Pulau Kawikawia. Di peta, pulau ini dikenal dengan nama Pulau Kakabia. 

Sebuah pulau yang letaknya di antara perarian Kabupaten Selayar, Provinsi Sulawesi Selatan dan Kabupaten Buton Selatan, Provinsi Sulawesi Tenggara. 






Pulau ini sama sekali tak berpenduduk. Luasnya sekitar 3,31 km, dengan jarak dari ibu kota Buton Selatan 149 km atau 80,4 Nautical Mile (NM). Dengan speedboat, kita bisa tempuh perjalanan selama 6 jam. 

Pulau Kawikawia sempat menjadi sengketa antara Pemda Kabupaten Buton Selatan dan Pemda Kabupaten Selayar terkait dengan kepemilikan pulau. Namun Maret 2019, Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan pulau itu untuk tetap berada dalam wilayah pemerintahan Kabupaten Buton Selatan. 

Sengketa dua wilayah itu begitu kuat. Jauh sebelum Pemda Buton Selatan membangun Gapura Perbatasan di ujung sisi barat pulau, pemerintah daerah Sulawesi Selatan telah dulu membangun tugu, tak jauh dari gapura milik Buton Selatan. 

Gapura Titik Batas Wilayah yang di bangun Pemda Busel 

Tugu batas wilayah yang di bangun pihak Pemda Sulsel

Untuk menegaskan status pulau, tahun 2019 pemerintah daerah membangun gapura di Pulau Kawikawia sebagai simbol wilayah itu masuk dalam kekuasaan pemerintah Kabupaten Buton Selatan. 

Saya takjub dengan fenomena alam di pulau ini. Laut dan pantainya begitu eksotik. Berbagai jenis ikan berumah di karang-karang sekitar pulau. Pulau ini dikenal surganya ikan. Pantas saja dua daerah itu saling rebut wilayah perairan. 

Pulau Kawikawia ramai dihuni oleh burung laut. Saya penasaran dengan jenis unggas ini, lalu saya melakukan penelusuran. Saya mendapatkan namanya: Angsa Batu Christmas, dengan nama latin Papasula abbotti. 



Angsa Batu adalah sekelompok burung laut yang merupakan bagian dari keluarga Suliade dan memiliki kedekatan dengan burung Gannet (Burung Gembul). Yang pasti, saya tak memiliki hubungan apa-apa dengan mereka. 

Konon habitatnya di Pulau Christmas, Australia. Tapi sering terlihat di Indonesia. Mungkin saja pada satu musim burung-burung bermigrasi dari pulau itu. Apalagi posisi Pulau Kawikawia cukup dekat dengan Australia. 




Terakhir, saya menyaksikan orang-orang di pantai itu melakukan penanaman pohon kelapa dan melakukan bersih-bersih. Mereka seperti memasuki rumah baru. Orang-orang begitu gembira berada di pulau cantik itu. 

Tidak banyak orang bisa sampai ke pulau Kawikawia. Sebab aksesnya yang jauh serta berada di tengah laut lepas. Jangan harap mendapat sinyal seluler, listrik dan air bersih di sana. Juga tak ada sarana dan infrastuktur  yang di bangun di atas pulau. 

Pulau ini masih perawan, belum banyak orang yang menjamahnya. Ekosistemnya masih alami, mampu menjaga keseimbangan lingkungan. Hanya ada beberapa nelayan yang datang singgah beristirahat di pulau. Semoga alam di pulau ini terus terjaga dengan baik.  

Di tepi pantai, matahari perlahan tenggelam di garis horison. Pancaran sinarnya melukis laut dan pantai dengan warna yang meneduhkan. Di atas hamparan pasir putih, saya melihat seseorang dengan riang bermain bersama burung, iya burung.

Saatnya melakukan penelusuran lebih lanjut 











Wednesday, September 23, 2020

Kisah Samahuddin yang Menginspirasi

 

Samahuddin (La Ramo), Bupati Buton Tengah

Saya melihat seorang inspektur upacara berdiri tegap di hadapan para pejabat dan pegawai. Lekaki itu berdiri dengan gagah di atas panggung kecil mengenakan pakaian seragam lengkap sebagai kepala daerah. Ia adalah seorang bupati, orang nomor satu di Buton Tengah.

Melalui pengeras suara, saya mendengar pengarahannya kepada sejumlah pejabat dan pegawai yang mengikuti upacara di pagi itu. Saya melihatnya begitu berwibawa, sama ketika ia memberi sambutan. Sebagai bupati, ia tidak membual dan suka marah-marah kepada bawahannya.

Orang yang saya saksikan di halaman kantor Bupati itu adalah Samahuddin, atau orang-orang akrab memanggilnya dengan nama La Ramo. Tubuhnya tinggi besar dan legam. Di awal saya menilainya biasa-biasa saja dan mengira tak bisa membuat banyak hal untuk Buton Tengah.

Samahuddin dan wakilnya La Ntau (Alm) terpilih melalui Pilkada tahun 2017. Pasangan itu memperoleh 27.647 suara, sementara lawan politiknya Mansur Amila dan Saleh Ganiru hanya mendapat 20.143 suara. Masyarakat menjatuhkan pilihan kepada Samahuddin karena dirinya dianggap sosok yang mampu menahkodai Buton Tengah. Samahuddin dipercaya sebagai figur yang dapat membawa kepentingan masyarakat.

Samahuddin memimpin upacara

Sebelum menjabat bupati, di mata masyarakat Samahuddin adalah seorang pengusaha yang dermawan. Ia aktif di kegiatan-kegiatan desa dan kerap membantu masyarakat. Karena jiwa sosial itulah Samahuddin dikenal masyarakat luas, tak hanya orang-orang di Buton Tengah, tapi juga masyarakat dari daerah lain.

Padahal apa yang ia lakukan jauh sebelum daerah itu mekar, jauh sebelum hiruk-pikuk politik, jauh sebelum pemilihan kepala daerah di gelar di Buton Tengah. Bagi seorang Samahuddin, kebaikan-kebaikan yang ia lakukan hanyalah untuk amal, investasi untuk di akhirat. Kalaupun masyarakat menginginkannya menjadi seorang pemimpin, menurutnya itu adalah bonus dari tindakan yang pernah dilakukan di masyarakat.

Saya melihat keseriusan Samahuddin membangun Buton Tengah. Keseriusan itu tampak dari wajah dan cara ia bergerak langsung memantau sejumlah pekerjaan, proyek-proyek besar dan penting di daerah.

Samahuddin memang tak pandai bermain kata dan mencari kepopuleran lewat media. Ia memilih tak banyak bicara. Lebih baik merencanakan sesuatu hal terkait pembangunan yang kelak dapat dinikmati masyarakat. Ia seperti dokter yang dengan segera memberi tindakan, ketimbang menjadi seorang motivator yang menjelaskan banyak hal tentang rahasia sukses.

Dalam proyek pembuatan buku tentang kepemimpinan Samahuddin, saya terlibat dalam kegiatan riset di Buton Tengah. Saya meneliti kinerja Samahuddin selama tiga tahun terakhir. Saya mencari tahu profil Samahuddin dan menelusuri rekam jejaknya.

Sungguh, saya menemukan satu kisah perjalanan hidup yang tidak biasa dari seorang Samahuddin. Ia melewati masa hidup dengan ditempa berbagai masalah dan ujian. Ia memiliki kisah perjalanan hidup yang memilukan, sampai akhirnya ia dapat menikmati hasil atas semua kerja kerasnya.

Lelaki itu lahir di satu desa terpencil di Mawasangka Timur. Letaknya di pesisir pantai yang gersang dan terhampar batu-batu cadas.

***

Cerita Pilu La Ramo di Kampung

Akhir Desember 1964, Samahuddin lahir di desa Wambuloli. Kedua orang tuanya bukanlah keluarga terpandang. Ayahnya adalah La Kamba, seorang nelayan yang mempertaruhkan nyawa di laut demi menghidupi keluarga. Sementara ibunya, Wa Rasia tak hanya mengurusi rumah tangga dari dapur. Ibunya juga mengurusi kebun dan menjual sayur di pasar.

Ayahnya memberi nama La Ramo, yang diambil dari sebuah nama pulau kecil tak jauh dari Tanjung Pinang, tempat ayahnya dulu merantau. Namun saat sekolah, gurunya mengganti namanya dengan Samahuddin. Masa kecil Samahuddin penuh dengan cerita menyedihkan.

Pantai Wantopi, Buton Tengah

Di desa Wambuloli, kehidupan keluarganya serba terbatas dan berkecukupan. Orang tuanya menghidupi enam orang anak. Untuk makan, ibunya hanya bisa menyiapkan menu Pindang Ikan dan Kambuse (jagung rebus). Terkadang, mereka tak boleh menambah porsi makan untuk menjaga stok pangan tetap aman sampai beberapa hari ke depan.

Suatu hari, musim paceklik itu tiba. Kebutuhan pangan keluarga mereka mulai menipis. Ayahnya tak berani melaut karena ombak menggulung ganas di lautan. Sementara ibunya tak lagi berharap banyak dari hasil kebun, sebab tanamannya sudah tak berbuah karena kekurangan air dan kemarau panjang. Makanya ayah dan ibunya memutuskan pindah ke desa Balobone di Kecamatan Mawasangka. Jaraknya tak begitu jauh dari desa Wambuloli.

Di Balobone, kehidupan berjalan sedikit lebih baik. Samahuddin tumbuh besar di desa itu. Sejak kecil, ia telah terbiasa dengan alam Buton Tengah. Kakinya yang kerap tak beralas telah akrab dengan batu-batu tajam di halaman rumah. Ia juga telah terbiasa dengan suara debur ombak yang memecah di karang.

Samahuddin menamatkan SD dan SMP di Buton Tengah. Ia kemudian merantau ke Kota Baubau untuk melanjutkan SMA. Di Kota Baubau, ia tinggal di rumah seorang nenek. Ia memanggilnya ina. Di rumah Ina, Samahuddin tinggal secara cuma-cuma bersama anak-anak lain yang juga bersekolah. Tuan rumah sengaja menggratiskan rumah itu ditinggali untuk mereka yang bersungguh-sungguh sekolah.

Di Kota Baubau, Samahuddin tak seperti anak-anak lain yang hanya menjalani rutinitas sebagai pelajar. Ia harus banting tulang untuk menyambung hidup. Orang tuanya hanya dapat mengirimkan ikan kering dan ubi beberapa kali dalam sebulan.

Samahuddin harus mencari cara agar saku celananya bisa terisi duit. Ia harus bekerja untuk mendapatkan upah. Ia membuang jauh-jauh gengsi di usia mudanya, sebab ia harus menjalani profesi yang tak biasa. Ia bekerja menarik gerobak air untuk dijual dari rumah ke rumah. Di sela-sela jam sekolah, ia manfaatkan untuk bekerja sebagai buruh panggul di satu kawasan pelabuhan bongkar muat.

Ia harus bekerja untuk memenuhi kebutuhan hidup selama bersekolah di Kota Baubau. Dengan bekerja, ia tak lagi mengencangkan ikat pinggang karena lapar di waktu malam. Dengan bekerja, ia bisa memenuhi kebutuhan makan dua kali dalam sehari.

***

Buang Diri di Tanah Rantau

Perjalanan hidupnya tak sampai di Kota Baubau. Setelah tamat SMA, ia sempat melanjutkan pendidikan di bangku kuliah, namun berhenti karena tak memiliki biaya yang cukup. Ia lalu memilih merantau ke kota Ambon, Maluku. Di sana ia kembali bekerja, menjalani profesi sebagai pedagang asongan. Ia menjual rokok di emperan toko. Di waktu lain, ia juga menjual sayur di pasar Gotong Royong, Kota Ambon.

“Saya pergi jauh-jauh ke Ambon untuk buang diri” Samahuddin.

Samahuddin harus membagi waktu untuk bekerja. Waktunya dimanfaatkan sebaik mungkin untuk berjualan. Tempat tinggalnya tak jauh dari pasar. Ia biasa tidur dengan menggelar dos bekas di halaman toko. Ia telah akrab dengan nyamuk, dingin dan bau amis saat malam menjelang tidur. Memasuki subuh pukul 4, ia harus bangun untuk memulai pekerjaan.

Di pasar, ia bekerja pada salah seorang pedagang sayur. Ia mendapat upah dari mengemas sayur dan buah-buahan untuk dijual. Namun pernah suatu ketika ia tak diberi upah beberapa bulan. Samahuddin hanya bisa pasrah dan menitihkan air mata. Ia merasakan ketidakadilan, haknya tidak diberikan.

Perjalanan Samahuddin merantau

Perjalanan hidup semasa merantau di Kota Ambon itu ia lalui antara tahun 1985 sampai 1986. Masa itu adalah pengalamannya menjalani hidup terpisah jauh dari keluarga. Ia nekat berangkat ke Kota Ambon, Maluku hanya dengan modal uang seratus ribu rupiah. Ia tak membawa apa-apa selain baju di badan, yang ia pakai sehari-hari. Malam dicuci dan jemur, esoknya dapat ia pakai kembali.

Selain di Kota Ambon, Maluku, sebelumnya Samahuddin sempat ke Kota Kendari, Sulawesi Tenggara untuk mengikuti tes seleksi Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS). Niatnya ingin menjadi seorang guru. Namun beberapa kali ikut tes seleksi, namanya tak pernah ada dalam pengumuman kelulusan. Padahal tabungan orang tua telah ia pakai untuk membiayai perjalanannya mengikuti tes seleksi itu.

Samahuddin berkisah saat berangkat ke Kota Kendari mengikuti tes seleksi CPNS. Ia menjadi penumpang ilegal di satu kapal yang membawanya. Ia masih ingat nama kapal itu, kapal Lompo Batang. Ia terpaksa bersembunyi untuk menghindari petugas kapal pemeriksa tiket. Karena tak memiliki tiket, ia bersembunyi di dekat mesin, bercampur dengan oli mesin dan tali-tali kapal.

Namun tetap saja, petugas kapal mencium keberadaanya. Tempat persembunyiannya yang gelap dan menyatu dengan warna kulitnya itu telah diketahui petugas. Ia segera ditangkap dan diberi tugas bekerja membersihkan mesin kapal. Samahuddin menerima sanksi itu dengan sangat terpaksa.

Roda kehidupan terus berputar, Samahuddin memutar otak dengan tetap bekerja. Ia terus berusaha agar hidupnya bisa lebih baik dari hari kemarin. Ia ingin membahagiakan kedua orang tua dan keluarganya di kampung.

Berbagai usaha telah dicoba dan tekuni. Ia pernah menjual obat dan berprofesi sebagai mantri. Ia berangkat bersama pedagang lain dengan menumpangi kapal layar dari Lamena, Mawasangka Timur, kemudian menyusuri pulau-pulau kecil di kawasan Maluku hingga Papua.

Profesi itu tak berjalan lama, ia tak teruskan sebab pernah salah memberi dosis obat. Vitamin yang ia suntikkan ke seorang anak di Papua itu terlalu berlebihan. Setelah disuntik, anak itu tumbang. Samahuddin panik bukan kepalang.

Tetapi ia punya sedikit pengetahuan tentang medis yang di dapat dari kakaknya yang benar-benar mantri dan bekerja di salah satu Puskesmas di kampung halaman. Anak itu mampu ia tangani dan kembali sadarkan diri.

Samahuddin hampir tak pernah kekeringan ide. Ia terus bekerja agar usahanya tetap tumbuh. Hingga ia menemukan jalan yang mengantarnya menjadi pengusaha sukses di perantauan. Kesuksesan itu ia tak raih begitu saja. Ia sempat kembali ke kampung halaman untuk menikah, lalu menjalani rumah tangga bersama istri dalam suka maupun duka.

Ia bersama istri berkomitmen membangun usaha bersama. Istrinya sangat mendukung setiap usaha yang dilakukannya. Bermodalkan kalung emas Jusniar, istrinya, Samahuddin menjaminkan perhiasan emas itu untuk memodali usahanya. Dari modal itu, usahanya perlahan merangkak naik. Hingga pada satu momentum, usaha hasil laut yang ia rintis di tanah Papua memberi keuntungan berkali-kali lipat, hingga ia memiliki tabungan ratusan juta di masa itu.

***

Pulang Kampung Membangun Daerah

Gudang penyimpanan hasil laut yang ia bangun itu telah dipercayakan pada seseorang untuk dikelola di Papua. Samahuddin memilih untuk pulang kampung dan merencanakan segala hal untuk membangun tanah kelahiran. Pelan-pelan ia masuk ke dunia kontraktor dan mengambil sejumlah proyek pembangunan.

Di Kota Baubau, hampir seluruh taman kota ia kerjakan. Termasuk pembangunan taman kantor walikota dan baruga di kawasan benteng Keraton Buton. Di masa pemerintahan Amirul Tamim sebagai Walikota Baubau, Samahuddin dipercaya mengerjakan proyek-proyek daerah. Menurut Amirul, Samahuddin memiliki keistimewaan. Ia tipe pekerja dan selalu berada di lapangan. Ia mampu menerjemahkan ide pemerintah dan menyelesaikannya tepat waktu.

Proyek pembangunan jalan

Makanya Amirul Tamim yang ketika itu masih menjabat walikota menyenangi karya-karyanya, proyek pembangunan yang dikerjakan Samahuddin. Tak hanya pemerintah kota Baubau, ia juga dipercaya untuk mengurusi proyek-proyek di level pemerintah Provinsi Sulawesi Tenggara. Samahuddin telah menekuni profesinya sebagai kontraktor selama bertahun-tahun. Termasuk membangun kampung halamannya sendiri di Buton Tengah.

Samahuddin selalu bersyukur dari usaha yang ia rintis. Berkat modal dari sang istri, ia dapat membangun bisnis dan memiliki tabungan yang cukup. Ia memiliki kekayaan yang cukup untuk membangun rumah, cukup untuk memberangkatkan keluarga ke tanah suci, dan cukup untuk disumbangkan, membantu orang-orang desa di kampung halaman.

Meskipun dirinya telah sukses, ia tak pernah tinggi hati, hidupnya selalu sederhana. Memang, sejak kecil ia sudah terbiasa hidup apa adanya. Ketika sukses, ia tak pernah menunjukkan kemewahan. Ia selalu membaur bersama orang-orang di kampung. Duduk bersama orang-orang desa, petani, nelayan, pedagang, untuk sekedar berbagi dan mendengar keluh kesah  mereka. Tak jarang anak-anak muda desa datang menemuinya untuk meminta dukungan ketika mengikuti kompetisi bola antar kampung.

***

Tak Pernah Bermimpi Jadi Bupati

Sejumlah tokoh masyarakat datang menemui Samahuddin. Mereka memintanya untuk masuk dalam bursa pencalonan kepala daerah, pesta demokrasi Buton Tengah yang tak lama lagi itu akan digelar. Masyarakat melihat sosok Samahuddin memiliki potensi untuk memenangkan pertaruangan itu. Mereka melihat harapan ada pada dirinya untuk membawa Buton Tengah ke arah yang lebih baik.

Awalnya Samahuddin menolak. Ia tak memiliki niat menjadi seorang pejabat. Istri dan anak-anaknya pun tak setuju jika ayahnya masuk ke dunia politik. Keluarga telah mensyukuri nikmat yang ada dari usaha yang dikembangkan sang ayah. Mereka takut ayahnya sibuk dan tak memiliki waktu berkumpul bersama keluarga. Cukup lama Samahuddin memikirkan keputusan keluarga yang tak menyetujui dirinya maju dalam perhelatan politik di daerah.

Jusniar, istri Samahuddin, Bupati Buton Tengah

Hingga pada suatu malam, ia membangunkan istrinya yang telah tertidur lelap. Samahuddin hendak menyakatakan sesuatu pada Jusniar. Ia telah membulatkan niatnya untuk maju sebagai calon bupati Buton Tengah. Istrinya mau tak mau harus menerima keputusan suami.

Sebagai kepala keluarga, Samahuddin mengumpulkan anak-anak dan melakukan kompromi. Pada akhirnya, keluarga bersepakat dan menyetujui niat Samahuddin memasuki arena pertarungan pemilihan kepala daerah.

Keluarga memiliki keyakinan pada Samahuddin untuk menjadi seorang pemimpin. Ia memang tipe pekerja. Ia tak pernah betah berdiam diri di rumah. Sejak pagi, ia sudah keluar rumah untuk memulai pekerjaan. Samahuddin tak suka berada di zona nyaman, dan hanya menikmati segala kemewahan. Tugasnya belum selesai, ia terus bekerja dan memikirkan nasib orang-orang di daerah.

Masyarakat telah mendengar kesiapan Samahuddin maju mencalonkan diri sebagai bupati di Buton Tengah. Masyarakat segera membentuk barisan, menggalang kekuatan dan memasifkan dukungan mereka kepada pasangan Samahuddin - La Ntau (Alm), dengan akronim SamaTau. 

Kegembiraan masyarakat itu pecah ketika mereka mengetahui hasil perolehan suara dalam Pilkada Buton Tengah. Kandidat mereka, Samahuddin bersama La Ntau (Alm) berhasil memenangkan pertarungan. Mei 2017, pasangan itu dilantik oleh Gubernur Sulawesi Tenggara, Nur Alam. Samahuddin resmi menjadi Bupati Buton Tengah untuk masa bakti 2017 sampai 2022.

Samahuddin tak pernah bermimpi bisa memegang jabatan penting di daerah. Ia tak pernah memiliki cita-cita untuk menjadi seorang bupati. Ia hanya pernah bermimpi ingin menjadi seorang guru, atau paling tidak seorang polisi. Tetapi cita-cita itu tak bisa ia gapai. Ia memilih untuk merintis bisnis.

Hingga akhirnya Samahuddin dipercaya untuk menahkodai Buton Tengah. Tetapi, bukankah ucapannya sejak dulu selalu ingin membangun daerah. Bukankah tujuan dirinya pulang dari tanah rantau untuk membangun kampung halaman? Mungkin inilah jawabannya.

***

Selama melakukan riset, mengumpulkan data sebagai bahan penyusunan buku jejak langkah Samahuddin memimpin Buton Tengah selama tiga tahun, saya melihat daerah itu telah menunjukkan tanda-tanda sebagai daerah maju. Saya menemukan jejak-jejak Samahuddin yang sudah melakukan sejumlah pekerjaan di daerah.

Saya melakukan wawancara kepada sejumlah pejabat dilingkup dinas, mendengar langsung cerita masyarakat desa, meminta pendapat para sahabat dan teman dekat Samahuddin, juga bertemu saudara kandung bupati dan Jusniar, istri Samahuddin. Rata-rata dari mereka memberi komentar positif terkait kepemimpinan dan kerja-kerja Samahuddin dalam membangun Buton Tengah.

Di beberapa kesempatan kerja dalam project penyusunan buku kepala daerah, saya sudah sering menemukan kisah-kisah perjalanan seseorang hingga menjadi kepala daerah, namun dengan cerita hidup dan asal-usul dari keluarga yang sudah mapan.

Saya baru menemukan kisah seorang pejabat yang mengawali hidup benar-benar dari bawah, dari nol. Ia berasal dari keluarga yang tidak mampu. Orang tuanya dari kalangan rakyat biasa. Perjalanan hidupnya ditempa dengan berbagai masalah dan ujian. Pergi merantau dan menjalani hari dengan susah payah demi sesuap nasi.

Samahuddin memang bukan orang biasa, ia memiliki keistimewaan. Karena usaha dan kerja keras itulah sehingga dirinya mampu bangkit, dirinya dikenal orang, dirinya mampu membawa nama keluarga, dihargai dan dihormati orang-orang.

Sebenarnya saya enggan untuk mengulik dan menuliskan kisah seorang pejabat. Tetapi menelusuri jejak hidup Samahuddin membuat hati dan mata saya basah. Saya seperti ditampar, tentang keangkuhan yang ada pada diri ini. Kisahnya menggedor relung hati, bahwa kemalasan yang membuat kita selalu duduk nyaman menunggu rezeki itu jatuh dari langit.

Perjalanan hidup Samahuddin begitu menginspirasi. Utamanya bagi mereka yang ingin menduduki suatu jabatan. Bahwa untuk meraih jabatan, bukanlah sesuatu yang didapat begitu saja.

Samahuddin bersama para petani

Ini adalah kisah tentang perjuagan seseorang yang bergerak dari titik nol. Saya telah menyaksikan dan mendengar langsung dari masyarakat di sana. Sebagai bupati, memang selalu ada riak, ada kritik yang menjadi kontrol masyarakat kepada pemerintah di daerah. Tetapi dibanding daerah-daerah lain di Sulawesi Tenggara, Kabupaten Buton Tengah selangkah lebih maju. Samahuddin membangun tanpa menimbulkan kegaduhan.

Dibanding beberapa tahun lalu, pembangunan Buton Tengah saat ini sudah mulai tampak wajahnya. Jalan-jalan diperlebar dan di aspal dengan kualitas baik. Ruang-ruang publik telah disiapkan. Kawasan wisata dipercantik sehingga dapat memantik wisatawan untuk berkunjung.

Samahuddin sejak lama gemar membangun. Katanya, ia ahli membangun taman. Semoga tak hanya itu yang dapat ia persembahkan untuk Buton Tengah. Semoga ia dapat menuntaskan janji-janji dimasa kampanye dulu. Semoga amanah masyarakat yang ia pikul dapat segera ia wujudkan, demi kesejahteraan seluruh masyarakat di sana, demi Buton Tengah yang semakin berkilau.

 

Friday, September 11, 2020

Kain Tenun di Hari Terakhir Ibu

 


Kehilangan harta benda, kehilangan pangkat atau jabatan mungkin pedihnya hanya beberapa saat. Tetapi, kehilangan seorang ibu yang pergi selama-lamanya meninggalkan duka dan nestapa yang amat dalam.

Sebelas hari yang lalu menjelang kumandang adzan Magrib, kupacu sepeda motor menuju pulang. Dalam perjalanan itu, kupandang langit memerah serta angin bertiup kencang. Matahari kembali ke peraduan, langit mulai gelap.

Saya sudah tak sabar ingin lekas sampai ke rumah. Saya sudah mendapat firasat, sesuatu yang akan terjadi pada diri dan keluarga.

Firasat itu memang benar. Ibuku yang terbaring dua pekan karena sakit sudah tak sadarkan diri. Saya begitu panik, saya segera merengkuh dan mengangkatnya dari pembaringan. Saya sempat berpikir ibu hanya pingsan. Padahal sebelumnya beliau sempat memanggil nama saya, sebelum akhirnya menutup mata.

Ajal datang menjemput ibu. Kupegang erat jemari tangannya yang dingin, sedingin bongkah es. Saya masih berharap ibu sadar dan membuka mata. Saya masih terus memanggilnya, "Maa.., mama." Entahlah, apa beliau masih mendengar suara anaknya.

Seorang perawat yang kupanggil segera datang ke rumah. Dialah yang menyatakan kalau ibu telah tiada. Hatiku seketika remuk, pecah berkeping-keping. Saya tak menyangka, ibu sudah tiada. Hatiku hancur, ibuku pergi disaat saya belum sempat menyuapinya makan malam, sebagaimana hari-hari ibu menjalani sakit.

Bapak dan saudara-saudaraku berkumpul, meratapi jasad ibu yang tak lagi memiliki ruh. Kami tak menyangka, sakit ibu beberapa hari menjadi pesan kalau masa hidupnya akan berakhir.

Ada pesan yang beliau sampaikan sebelum ibu wafat. Saat di rumah sakit, ibu meminta kami untuk di bawa pulang, ibu ingin beristirahat di rumah. Ibu juga berpesan ketika meninggal nanti beliau ingin dimakamkan di dekat makam ibunya. Sehari sebelum ibu meninggal, beliau meminta kami untuk di mandi-bersihkan setelah itu dipakaikan baju kesukaannya.

Ajal adalah salah satu takdir, batas hidup yang telah ditentukan Allah SWT. Ibu pergi di usia 69 tahun. Tuhan telah menetapkan masa hidupnya. Masa kontrak ibu di dunia telah berakhir. Beliau harus kembali dan menghadap Sang Khalik. Kami hanya bisa mengirim doa agar jalannya dilapangkan.

Suatu kesyukuran, kami bisa menemani ibu di malam terakhir di rumah. Kami menyarunginya dengan kain tenun kesukaannya yang disimpan rapih dalam lemari. Esoknya, kami memandikan, melihatnya dikafani, menyolatkan, dan mengantarnya ke pembaringan akhir.

Sejak kepergian ibu, keluarga seperti pincang. Tak ada lagi pelukan dan lembut belaian ibu ketika berada disisinya. Tak ada lagi menu ikan kuah khas ibu, juga tak ada lagi segelas kopi manis buatan ibu.

Saya seperti tak lagi menemukan kehangatan di dalam keluarga, sejak ibu tiada. Ketika melihat baju, barang-barang milik ibu, saya selalu mengingatnya dan kembali sedih.

Benar kata orang-orang, kita seperti kehilangan segala-galanya ketika tak lagi memiliki ibu. Saya sudah sering mendengarnya dari teman-teman yang menjalani hidup tak bersama ibu. Mereka sudah merasakan kesedihan itu lebih dulu.

Mama,

Terima kasih tak terhingga untuk perjuangan dan pengorbanan selama mengarungi nafas bersamamu. Perjuanganmu melahirkan dan merawat kami agar bisa menghirup udara kehidupan, menyaksikan semesta dan menyusui kami agar tumbuh dewasa.

Semoga jalan ibu diterangi dan diluaskan. Semoga ibu dapat diterima sebagai kekasih Allah. Amin.

Wednesday, July 29, 2020

Study Photography: Black & White Model








































Belajar memotret model di outdoor dengan memanfaatkan cahaya matahari. Pengambilan gambar dilakukan sore hari dengan kondisi low light, tanpa menggunakan flash. 

Editing foto sebatas mengubahnya menjadi Black and White menggunakan Monokrom pada satu aplikasi edit foto. Foto sengaja dibuat BW agar tak menampilkan banyak warna dan terkesan cinematic. 

Foto diambil menggunakan Canon EOS M3, dengan dua lensa: Lensa fix 35mm F1.7 dan Lensa 15-45mm. Hasil gambar lebih tajam dan maksimal. 

-- -- --

Location: Benteng Keraton Buton, Kota Baubau, Sulawesi Tenggara
In frame: (1) Fais, (2) Almin, (3) Ichank

Popular Posts