Tuesday, September 29, 2015

Sarjana Ala Mojok Yang Terpojokkan

DI salah satu situs media sosial, namanya Mojok Dot Co, media selow yang kontennya segar dan menghibur. Saya membaca satu tulisan menarik dari seorang penulis. Pada tulisannya ia memberi judul “Sarjana Abal-Abal? Memangnya Anda Bukan?” Tulisannya ringan, ditulis dengan gaya dan bahasa sendiri. Dalam isi tulisannya, nampak ia sedang memperjuangkan hak seseorang dengan mempersoalkan media massa yang menayangkan berita Wisuda Abal-Abal. Menurutnya, pemberitaan itu justru menimbulkan dampak negatif dan menjadi bahan tertawaan publik karena salah seorang wisudawati tak berkutik saat di wawancarai oleh beberapa stasiun TV. 

***

PEREMPUAN itu adalah salah seorang dari ribuan orang yang keluar dari sebuah gedung usai mengikuti rangkaian acara wisuda. Ia duduk disalah satu sudut gedung dengan toga yang masih melekat. Tiba-tiba beberapa awak media datang menghampiri lalu mewawancarainya. Sontak wisudawati itu bingung setengah mati ketika pertanyaan demi pertanyaan keluar dari mulut wartawan. Ia bingung ketika pertanyaan soal IPK dan mata kuliah yang disukainya. Bahkan, anehnya ia tak tahu apa nama kampus tempat ia belum lama dilantik sebagai seorang sarjana. Oleh karenanya, berangkat dari fakta-fakta lapangan, media massa secara masif memberitakannya dan menjadikan topik ini sebagai topik menarik dan layak menjadi perbincangan publik. 

Sumber: ilustrasi (foto: yadi laode)

Berbagai macam tanggapan dari masyarakat usai membaca dan menonton pemberitaan mengenai wisuda abal-abal. Sampai-sampai menjadikannya sebagai bahan lelucon. Namun bagi penulis di Mojok itu, wisudawati yang kerap diberitakan mestinya dihormati karena dianggap sebagai korban. Korban dari sistem pendidikan kita yang tak ubahnya pabrik gelar, korban dari para mafia pendidikan yang menjadikan kampus sebagai ladang bisnis, atau korban dari kampus yang serupa pasar dimana ada banyak preman yang setiap kali memalak para mahasiswa dengan iming-imging membuatkan skripsi dan pengurusan ijasah bisa dengan cepat dan gampang. 

Tetapi, apalah artinya kita menertawakan para korban mahasiswa yang sudah terlanjur membayar mahal demi perdikat atau gelar dibelakang nama. Saya pun sependapat dengan penulis di Mojok itu. Paling tidak, bisa menjadi bahan refleksi atas diri kita sendiri, atau mungkin menjadi evaluasi terhadap sistem pendidikan dan kampus-kampus kita. Apalagi, belum lama ini Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi menggerebek acara wisuda ilegal di salah satu Universitas. Setelah ditelusuri, masalahnya adalah kampus tersebut membuka kelas jauh dan tidak melakukan proses perkuliahan. Jadi semacam bisnis jual beli ijasah begitu.   

Tahun ini, Kemenristek telah menunjukkan keseriusannya untuk melakukan evaluasi serta upaya untuk menertibkan hingga menutup sejumlah perguruan tinggi swasta. Kampus-kampus yang ditutup karena berstatus tidak jelas atau bermasalah. Beberapa perguruan tinggi swasta (PTS) yang ditutup sebab tidak pernah memasukan datanya ke Pangkalan Data Perguruan Tinggi (PDPT). Olehnya, sangat dihimbau seluruh masyarakat yang ingin menempuh pendidikan tinggi agar mengecek daftar perguruan tinggi swasta sebelum melakukan pendaftaran.

Oh iya, kita kembali ke penulis tadi. Ia adalah seorang yang prihatin terhadap wisudawati yang dianggap palsu dan menjadi bahan tertawaan. Ia menyadari, kalau dirinya juga bagian dari korban sistem pendidikan yang berorientasi gelar. Ia pun berasumsi kalau korban dari wisuda abal-abal itu berasal dari keluarga yang ekonominya lemah sehingga tak memiliki keseriusan untuk belajar seperti mereka-mereka yang kuliah di kampus-kampus ternama. Dengan alasan ekonomi, jalan pintas dianggap pantas, mereka dengan ramai membeli gelar sarjana abal-abal untuk menaikan status sosial. Menurut si penulis, inti masalahnya karena institusi pendidikan menjadi tak terjangkau bagi kaum miskin, sehingga masyarakat yang ingin kuliah lebih baik memilih kampus abal-abal dengan biaya murah ketimbang masuk ke kampus ternama dengan biaya mahal. 

***

SELANG dua hari sebuah tulisan dengan judul “Saya Sarjana Beneran, Bukan Sarjana Abal-abal” juga terbit di kanal yang sama di Mojok Dot Co. Tulisan dari penulis lain ini mecoba untuk menjawab dan mengklarifikasi tulisan dari penulis yang pertama diatas. Menurutnya, isi tulisan yang berjudul “Sarjana Abal-Abal? Memangnya Anda Bukan?” itu telah merendahkan jutaan sarjana yang sudah berusaha keras meraih pendidikan tinggi. Menurutnya, tidak semua sarjana itu serius saat kuliah berniat mencari ilmu. Ia lalu mencontohkan dirinya sendiri, niat kuliah hanya untuk melepas keperjakaan. Sialnya, sampai ia lulus kuliah, keperjakaannya tak juga lepas. 

Tulisan dari si penulis kedua ini sama ringannya dengan penulis pertama diatas. Bedanya, ia sangat percaya diri meski agak sedikit menggelitik dalam alur cerita. Ia menjawab semua isi tulisan dari si penulis pertama. Menurutnya, penulis pertama tak perlu “sok” empati terhadap orang miskin yang cuma mampu membeli gelar. Mereka wajib dipermalukan karena selalu tak disiplin waktu, karena tak pernah mengerjakan soal-soal tugas, tak pernah membaca dan menulis, sehingga dengan gampang melakukan copy-paste atau plagiat. Para pembeli gelar sarjana abal-abal itu, praktis tak melewati tahap demi tahap proses perkuliahan dengan baik dan benar. Mereka bukannya mencari ilmu pengetahuan, tetapi mencari gelar agar bisa diterima berkerja.

Disini, saya juga sependapat dengan penulis kedua ini. Bahwa, bukan alasan bagi kaum miskin maupun kelas menengah untuk tak bisa kuliah dikampus ternama atau bahkan ingin melanjutkan pendidikan sampai kampus luar negeri. Pemerintah sudah membuka pintu dan memberi ruang bagi masyarakat kurang mampu untuk melanjutkan pendidikan melalui beasiswa dengan berbagai kemudahan lain yang bisa digunakan. Tetapi itu semua tergantung kemauan dan usaha dari diri kita sendiri. Jika faktor penghambat adalah kemalasan dan tidak adanya usaha, berarti kita selalu menerima nasib dan terus berkeluh kesah terhadap kemiskinan. Padahal, kalau niat masih ada dan kita masih diberi kekuatan untuk menggapai mimpi-mimpi itu, why not.
  
Pada kesempatan ini, saya tak hendak menilai mana yang terbaik dari tulisan kedua penulis diatas, juga tak berhak mengatakan mana yang layak dan mana yang tidak, apalagi sampai masuk pada konflik kedua penulis. Tapi kalau toh memang mereka benar-benar berkonflik. Menurutku, ini hanyalah dialektika atas kritik yang terjadi pada sistem pendidikan kita. Dua tulisan yang berlawanan kutub diatas itu hanyalah skenario untuk melihat secara detail fenomena yang terjadi pada perguruan tinggi kita. Dua tulisan yang seolah tak saling ketemu diatas itu untuk mengungkap beberapa fakta yang terjadi pada kampus-kampus disekitar kita. 

Hendaknya, setiap perguruan tinggi serius dan mampu melahirkan generasi-generasi yang matang dan siap pakai. Kampus yang harapkan bisa menciptakan nuansa akademik dengan mahasiswa yang berilmu dan berkualitas serta gelar yang bisa dipertanggung jawabkan di kemudian hari.


Bogor, 29 September 2015 

Monday, September 21, 2015

Belajar Dari Para Sosiolog

Sumber: foto yadilaode
Dalam buku Ten Questions, ini tentang pemahaman penulis (Joel M Charon) mengenai sosiologi. Berangkat dari keingintahuannya, Joel M Charon berusaha meyakinkan dirinya untuk memahami perbedaan-perbedaan yang ada pada manusia. Tetapi ia kembali bertanya bahwa sebenarnya pedebadaan jenis kelamin antara laki-laki dan perempuan itu jauh lebih penting di bandingkan pebedaan berdasarkan pengaruh sosial. 

Mungkin terlalu sederhana untuk memuaskan para sosiolog dari hasil analisis dalam buku ini. Joel M Charon sebagai penulis pun menyadari bahwa sepuluh pertanyaan ini tidak dimaksudkan untuk menjadi sebuah buku jawaban. Buku ini lebih pada bagaimana menggambarkan cara para sosiolog berpikir dan bagaimana mereka akan menangani berbagai pertanyaan-pertanyaan. Walaupun, sebagian besar para sosiolog barangkali tidak selalu setuju dengan jawaban dalam buku ini. 
Buku ini tidak menekankan banyak spesialisasi tertentu, studi penelitian, dan kesimpulan bahwa semua sosiolog itu selalu percaya. Sebab memang bukan dimaksudkan untuk menjadi buku teks, atau daftar ensiklopedis.

Dalam bab pertama buku ini, penulis menjelaskan mengenai berpikir secara sosiologis dan pentingnya memahami diri kita, memahami sifat masyarakat, menghargai semua cara yang berbeda di lingkungan sosial di mana kita hidup. Olehnya, sepanjang buku ini Joel M Charon menarik beberapa karya penting para sosiolog yang memiliki pengaruh besar. Mereka adalah: 

Karl Marx (1818-1883). Marx tentu saja terkenal karena Manifesto Komunis (1848) dan Das Kapital (1867) yang keduanya merupakan kritik terhadap kapitalisme. Marx tidak puas dengan bagaimana masyarakat itu difungsikan. Dari ketidakpuasaan itu, ia mengembangkan teori masyarakat yang berfokus pada kelas sosial, kekuatan sosial, dan konflik sosial. 

Jika kita memikirkan Karl Marx sebagai sosiolog kritis, maka kita harus memikirkan Max Weber (1864-1920) sebagai sosiolog budaya. Pandangannya sedikit menyesatkan, bagaimanapun karena Weber adalah lebih luas dari itu. Seperti Karl Marx, ia juga mengaku sangat tertarik kelas sosial, kekuatan sosial, dan konflik sosial. Perspektif sosiologis Max Weber dikenal untuk Etika Protestan dan Semangat Kapitalisme (1905).

Hampir semua buku yang ia tulis menunjukkan minat Weber menggambarkan pentingnya budaya dalam mempengaruhi bagaimana orang bertindak. Menurutnya, orang berperilaku seperti yang mereka lakukan karena adanya keyakinan bersama. Satu-satunya cara di mana para ilmuwan sosial dapat memahami tindakan masyarakat adalah untuk memahami budaya mereka. Itulah sebabnya penting bagi Weber untuk mempelajari agama, modernisasi, birokratisasi, dan cara berpikir yang menjadi ciri orang yang hidup bersama-sama.

Durkheim (1858-1917) didorong untuk memahami semua berbagai cara di mana masyarakat mampu untuk bekerja sebagai satu kesatuan. Masyarakat bukan hanya sekelompok individu, tapi merupakan keseluruhan yang lebih besar. Suatu realitas yang lebih dari jumlah individu. Apa yang membuat itu bersama-sama? Bagaimana kesatuan ini dipertahankan? Durkheim mendokumentasikan penting kontribusi agama, hukum, moral, pendidikan, ritual, divisi tenaga kerja, dan bahkan kejahatan dalam mempertahankan kesatuan ini. Setiap salah satu dari karya utamanya memeriksa itu. Sebagai contoh, karyanya yang paling terkenal, Bunuh diri (1897), menunjukkan bagaimana terendah dan tingkat tertinggi sosial solidaritas hasil di tingkat bunuh diri yang tinggi. Lalu karyanya penting, Bentuk dasar dari Kehidupan Keagamaan (1915), mendokumentasikan pentingnya agama, ritual, benda-benda suci, dan unsur-unsur lain dari dunia sakral solidaritas sosial.

George Herbert Mead (1863-1931), seorang psikolog sosial sangat penting dalam memahami banyak jaringan yang kompleks antara masyarakat dan manusia. Kontribusinya yang paling penting untuk sosiologi adalah Pikiran, Diri dan Masyarakat (1934), yang ditulis dari catatan kuliahnya oleh siswa setia setelah kematiannya. Sepanjang karyanya, tertentu pertanyaan yang ditujukan berulang: Bagaimana sifat manusia? Apa yang menjadi ciri khas manusia sebagai spesies di alam? Bagaimana masyarakat membentuk manusia? Bagaimana individu pada gilirannya membentuk masyarakat?. Pendekatan Mead menunjukkan bahwa manusia unik karena mereka menggunakan simbol-simbol untuk berkomunikasi dan mereka bisa berpikir tentang tindakan mereka sendiri dan tindakan orang lain. 

Sosiolog lainnya adalah Peter Berger (b. 1929). Sepanjang dengan Mead, Berger telah sangat mempengaruhi pemikiran kita tentang arti dan pentingnya sosiologi. Undangan untuk Sosiologi (1963) dan (dengan Thomas Luckmann) Konstruksi Sosial Realitas (1966) menjelaskan sosiologi sebagai tipe khusus dari kesadaran, perspektif yang mendalam, tidak biasa, kritis, dan humanistik dalam nya keprihatinan. Berger, sosiologi adalah membebaskan karena membantu untuk mengungkapkan kreasi sosial yang kami diambil-untuk-diberikan realitas apa adanya muncul benar di permukaan, tetapi pada pemeriksaan lebih dekat biasanya ditemukan sebagian benar atau bahkan tidak benar.

Dalam semua karyanya, Berger menunjukkan kekuatan masyarakat untuk membentuk tindakan dan pemikiran manusia. Masyarakat mensosialisasikan manusia untuk menerima cara-nya. Berger, untuk memahami kekuatan masyarakat adalah langkah pertama menuju pemahaman siapa kita dan apa yang bisa kita lakukan untuk mengendalikan hidup kita. Itu juga penting untuk mengenali pengaruh yang kuat Berger telah dibuat dalam memahami pentingnya dan perubahan dalam agama yang dibahas dalam buku ini.

Apa yang di tulis dalam buku ini adalah hampir tidak pernah ide dari Joel M Charon sebagai penulis karena sangat dipengaruhi oleh orang-orang seperti Marx, Weber, Durkheim, Mead, dan Berger. Buku ini terinspirasi oleh semua pemikir. Jadi penulis berharap bahwa jika kita menyukainya, maka silahkan kita mengalihkan perhatian ke karya-karya mereka. Semoga kita menemukan inspirasi di dalamnya. 

Dari hasil review buku:
"Ten Questions A Sociological Perspective"
Penulis: Joel M. Charon
-----------------------------------------------------

Bogor, 21 September 2015

Friday, September 18, 2015

Energi Alternatif Dari Sampah Daun Kering

sumber: pesona pantai siotapina pulau buton
HAMPIR kita tidak pernah memikirkannya, daun-daun kering yang sudah mati, yang jatuh berguguran terhempas oleh angin dan menjadi sampah hingga mengotori setiap lingkungan atau halaman rumah kita. Rupanya daun kering yang kita anggap sampah dan tak bernilai itu dapat diolah dan dimanfaatkan menjadi sumber energi alternatif. Daun kering yang dimaksud adalah daun yang sel-sel penyusunannya sudah mati, daun yang dapat di peroleh dari semua tumbuhan yang berdaun mulai dari rumput, semak, perdu hingga pohon. Sampah dan daun kering banyak berasal dari daun kering pepohonan yang berguguran dan sering di jumpai di pinggiran jalan atau taman kota yang rimbun dengan pepohonan.

***

ERA sekarang, dimana kebutuhan energi telah menjadi permasalahan bagi masyarakat dunia. Para ilmuwan sedang berupaya untuk mencari dan meneliti berbagai sumber energi alternatif demi tercapainya swasembada energi yang berkelanjutan. Sebenarnya, bioetanol bukan barang baru lagi. Sejak tahun 1980-an beberapa peneliti dari berbagai perguruan tinggi dan lembaga penelitian telah mengembangkan riset mengenai bioetanol. Hanya saja, ketika itu pengembangannya kalah bersaing dengan bahan bakar minyak yang harganya disubsidi. Namun, saat harga minyak mentah kian meroket maka penelitian mengenai energi alternatif ini kembali dilakukan.

sumber: proses pengerjaan bioetanol
Ada beberapa teknologi yang kini telah dikembangkan dengan memanfaatkan sumber energi alternatif. Seperti teknologi panel surya, kompor matahari, atau pembangkit listrik geotermal. Namun belakangan ini, isu pemanasan global dan degradasi lingkungan menjadi perhatian serius dikalangan dunia. Untuk menghindari pemanasan global (global warming), masyarakat kini mulai mengembangkan sumber energi yang ramah lingkungan seperti biogas dan bioetanol.

Di kampus Institut Pertanian Bogor (IPB), rupanya energi bioetanol mulai dikembangkan menjadi sumber energi alternatif. IPB memiliki potensi besar untuk mengembangkan sumber energi alternatif ini dengan memanfaatkan sampah daun kering yang berguguran di lingkungan kampus, kemudian diolah menjadi bioetanol. Ada banyak manfaat yang bisa diambil dari penggunaan bioetanol sebagai sumber energi alternatif. Manfaat tersebut diantaranya, menghindari pencemaran lingkungan dan penghematan Bahan Bakar Minyak (BBM) yang di gunakan sehari-hari oleh rumah tangga maupun kendaraan bermotor.

Yang dimaksud dengan bioetanol adalah etanol yang diproduksi dari tumbuhan. Bioetanol tidak hanya menjadi alternatif yang sangat menarik sebagai subtitusi bahan bakar minyak atau bensin. Namun, juga mampu menurunkan emisi CO2. Bahan bakar etanol adalah etanol (etil alkohol) jenis yang sama yang dengan yang ditemukan pada minuman beralkohol dengan penggunaan sebagai bahan bakar. Etanol seringkali dijadikan bahan tambahan bensin sehingga menjadi biofuel. Di tahun 2007, produksi etanol dunia untuk bahan bakar transportasi meningkat tiga kali lipat dalam kurun waktu tujuh tahun, dari 17 miliar liter pada tahun 2000 menjadi 52 miliar liter pada tahun 2007 ke 2008. Komposisi etanol pada bahan bakar bensin di dunia telah meningkat dari 3,7% menjadi 5,4%. Pada tahun 2010 produksi etanol dunia mencapai angka 22,95 miliar galon AS (86,9 miliar liter), dengan Amerika Serikat sendiri memproduksi 13,2 miliar galon AS, atau 57,5% dari total produksi dunia. Etanol mempunyai nilai “ekuivalensi galon bensin” sebesar 1.500 galon AS. (sumber: wikipedia.org).

Beberapa negara berkembang seperti Brasil dan Amerika Serikat, sudah memproduksi 88% dari seluruh jumlah bahan bakar etanol yang diproduksi di dunia. Hampir semua mobil-mobil yang beredar di Amerika Serikat saat ini, sudah menggunakan bahan bakar yang mengandung etanol sampai 10%. Malah penggunaannya diwajibkan di beberapa kota di negara paman sam ini. Sementara di negara Brasil, sejak tahun 1976 pemerintahnya mewajibkan penggunaan bensin yang dicampur dengan etanol. Hingga di tahun 2010, Brasil sudah mempunyai 12 juta kendaraan jenis truk dan sepeda motor yang menggunakan etanol murni.    

***

DI salah satu sudut kantin di kawasan kampus IPB, saya melihat seorang lelaki tengah sibuk meremukkan tumpukan sampah dari daun-daun kering. Daun itu diremas hingga hampir halus dan disimpan dalam satu bak penampung lalu di siram dengan air. Setelah daun-daun kering itu dihaluskan dan disiram dengan air, ia menutupnya dalam sebuah wadah penampung khusus hingga menunggu waktu delapan jam untuk menghasilkan gas yang kemudian di distribusi ke kompor-kompor penjual makanan di sebuah kantin dalam kampus. Secara umum, proses pembuatan bioetanol dari sampah daun kering dapat dilakukan dengan rangkaian proses mulai dari peragian (fermentasi) sampai proses pemanasan hingga menjadi uap (distilasi).


Sumber: kelangkaan minyak (foto:yadilaode)
Di IPB, saat ini penggunaan bioetanol sebagai energi alternatif sedang gencar untuk dikembangkan. Manfaatnya selain mengurangi pencemaran sampah daun kering, juga untuk mengatasi bahaya asap kendaraan. Inovasi ini tentu sejalan dengan konsep Green Campus yang di canangkan IPB itu sendiri. Green Campus merupakan paradigma global yang menerapkan fungsi pelestarian lingkungan yang menunjang desain fungsi keseimbangan sebagai upaya antisipasi perubahan iklim dan penurunan emisi di lingkungan kita.


Sumber: nasional.kompas.com
Kita sangat berharap, dengan adanya sumber energi alternatif yang ramah lingkungan, masyarakat bisa memanfaatkannya sebagai kebutuhan rumah tangga untuk mengganti bahan bakar minyak tanah. Selain hemat, pembuatannya bisa dilakukan dirumah dengan mudah dan lebih ekonomis dibandingkan dengan minyak tanah atau membeli tabung gas. Perlu ada kerjasama antara kampus dan pemerintah dalam mengembangkannya, agar masyarakat bisa memanfaatkan bioetanol sebagai sumber energi pengganti bahan bakar minyak.  

Belum lama ini, berbagai media menayangkan berbagai topik masalah yang sedang dialami bangsa. Mulai dari naiknya bahan bakar minyak hingga masalah kabut asap akibat kebakaran hutan. Bicara soal kerusakan hutan, beberapa daerah seperti Sumatera Selatan, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Kalimantan Selatan, dan Kalimantan Timur tengah dilanda bencana kabut asap, dan itu terjadi setiap tahun. Ironisnya, terjadinya kebakaran hutan tidak hanya di karenakan musim kemarau, tetapi justru ulah dari aksi pembakaran besar-besaran yang dilakukan oleh korporasi untuk membuka lahan perkebunan. Aksi pembakaran membuka lahan sengaja dilakukan pada setiap musim kemarau agar biaya yang dikeluarkan tidak begitu besar.    

Kerugian akibat bencana ini sangat lah besar. Kerugian akibat bencana asap tidak hanya materi yang tak terhitung nilainya. Kerusakan lingkungan dan menurunnya kualitas kesehatan masyarakat menjadi penyebab dari kabut asap. Bahkan beberapa hari lalu, bencana ini telah merenggut nyawa seorang gadis kecil, tunas bangsa yang terpapar akibat asap pekat yang menyelimuti Pekanbaru. Belum lagi, puluhan ribu manusia di wilayah Sumatera dan Kalimantan menderita Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA).

Pada titik ini, sebenarnya di balik bencana kabut asap atau masalah kelangkaan minyak, dimana masyarakat yang merasakan langsung dampaknya. Selalu saja ada jalan keluar untuk mengatasi masalah yang kerap terjadi. Saya percaya, untuk memulai dan beharap banyak dari sesuatu yang besar, kita bisa melakukannya mulai dari hal-hal terkecil namun yang dihasilkan (output) bisa bernilai dan memberi manfaat bagi orang banyak. Apa yang kini terbakar di hutan Kalimantan dan Sumatera sana kalau lah itu bukan sampah daun-daun kering yang justru bisa diolah menjadi bioetanol. Apa yang kini membuat harga bahan bakar minyak terasa begitu mencekik di masyarakat, karena bioetanol belum termanfaatkan dengan baik dan menjadi kebutuhan penunjang rumah tangga pengganti bahan bakar minyak.   


Bogor, 18 September 2015

Rindu

RINDU anak-anak kampung, anak-anak yang selalu terheran-heran ketika melihat sesuatu hal baru, anak-anak yang penasarannya begitu besar dan selalu ingin mencari tahu, anak-anak dengan setumpuk harapan dan cita-cita.

Ini bukan soal akses dari kota ke kampung, bukan karena mereka menolak modernisasi dan memilih tinggal di pelosok-pelosok, bukan pula karena mereka tak mau bersekolah.

Mereka hanya meminta sedikit dari apa yang kita miliki, yakni kepekaan. Kepekaan untuk memahami masalah yang sedang mereka hadapi saat ini.

Bahwa memang benar, lebih baik menyalakan lilin ketimbang mengutuk kegelapan.


Bogor, 17 September 2015

Thursday, September 3, 2015

Ketika Semua Menjadi KETIKA

Sumber: foto yadi laode

Ketika malam mengukungmu, sebab PENASARAN yang tak berkesudahan.

Ketika ragamu menjadi dingin, sebab CURIGA yang selalu ada di BENAK mu.

Ketika bulir-bulir bening kau selalu jatuhkan dari kelopak matamu, itu hanya ada KEBIASAAN yang tak bisa terlupakan.

Ketika kau terlunglai dan tak bisa bangkit, mestinya kau bakar dengan CITA-CITA.

Ketika yang pernah ada menjadi tiada, itu hanyalah wujud yang SEMENTARA waktu berpindah.

Ketika JARAK kau jadikan masalah, berarti KEPERCAYAAN akan lenyap begitu saja.

Dan ketika kau jadikan semua itu KETIKA, maka hasilnya akan SIA-SIA. Kau abaikan PROSES dan tak lagi mengenal pahit manisnya kehidupan.


Mengarungi pekatnya malam di Kota Buitenzorg.

Bogor, 2 September 2015

Tuesday, September 1, 2015

Pohon Impian di Kampus IPB

“Rakyat Indonesia akan mengalami celaka, bencana, malapetaka, dalam waktu dekat kalau soal makanan rakyat tidak segera di pecahkan, sedangkan soal persediaan makanan rakyat ini bagi kita adalah soal hidup atau mati.”

“Camkan, sekali lagi camkan, kalau kita tidak camkan soal makanan rakyat ini secara besar-besaran, secara radikal dan revolusioner kita akan mengalami malapetaka. 
(Bung Karno)

BARANGKALI dari pidato Presiden Soekarno ini lah sehingga lahir spirit berdirinya kampus IPB dan melahirkan generasi-generasi baru yang bisa menyelematkan kondisi pangan kita di Indonesia. Sejak 52 tahun berdiri dan memisahkan diri dari Universitas Indonesia (UI). Institut Pertanian Bogor (IPB) awalnya baru memiliki dua fakultas kemudian berkembang menjadi lima fakultas yaitu Fakultas Pertanian, Fakultas Kedokteran Hewan, Fakultas Perikanan, Fakultas Peternakan dan Fakultas Kehutanan.

Kampus Dramaga IPB Bogor
Terbentuknya kampus IPB tidak terlepas peran para founding father kita, sederet nama pejabat negara seperti Adhyaksa Dault (Menpora RI tahun 2004-2009), Andi Hakim Nasution (Cendekiawan dan Mantan Rektor IPB), Andung A. Nitimiharja (Menteri Perindustrian tahun 2004-2009), Anton Apriantono (Menteri Pertanian tahun 2004-2009), Bungaran Saragih (Menteri Pertanian tahun 2001-2004), Nur Mahmudi Ismail (Menteri Kehutanan tahun 1999-2001), Rokhmin Dahuri (Menteri Kelautan dan Perikanan tahun 2001-2004), Suswono (Menteri Pertanian era SBY), Susilo Bambang Yudhoyono (Presiden RI ke enam), dan masih banyak lagi para alumnus yang kini menempati posisi-posisi strategis di pusat pemerintahan kita. Tentu, kampus-kampus ternama lain juga pastinya memiliki alumnus terbaik yang pernah atau kini mengisi posisi-posisi strategis baik di swasta maupun di pemerintahan.

***

SESUAI dengan motonya “mencari dan memberi yang terbaik”, satu kebanggan bagi Institut Pertanian Bogor yang telah melahirkan generasi-generasi terbaik dan mampu berkontribusi pada bangsa dan negara. Tak hanya itu, berdasarkan data klasifikasi, pemerintah menetapkan 11 perguruan tinggi terbaik di Indonesia. Data ini diambil berdasarkan laporan perguruan tinggi Indonesia di Pangkalan Data Perguruan Tinggi (BAN-PT) per Desember 2014. Kemenristek Dikti kemudian memberi skor dari skala 1-4 terhadap peringkat ini. Institut Pertanian Bogor (IPB) dengan skor 3,490 berada di posisi ketiga di atas Universitas Indonesia yang justru berada di urutan ke empat. Baca Disini

Peringkat ini disusun berdasarkan empat kriteria: 1. Kualitas dosen atau sumber daya manusia, 2. Kualitas manajemen dan organisasi, 3. Kualitas kegiatan mahasiswa, 4. Kualitas penelitian dan publikasi ilmiah. Dari ke empat kriteria itu, menurut Direktur Jenderal Kelembagaan Ilmu Pengetahuan Teknologi dan Pendidikan Tinggi Kemenristek Dikti, Patdono Suwignjo, sebenarnya universitas yang paling rajin memasukan data-data soal kondisi universitasnya berpeluang besar masuk dalam kriteria terbaik.

Sekolah pascasarjana IPB
Ditengah kesibukan masyarakat dan mereka berlomba ingin memperoleh pendidikan, justru kampus-kampus swasta yang tumbuh subur disetiap daerah tak bisa memberi pelayanan terbaik bagi mereka yang tak mampu keluar. Kehadiran kampus-kampus swasta lebih berorientasi bisnis ketimbang memberi kemudahan bagi mereka yang ingin melanjutkan pendidikan ke jenjang berikutnya. Berdirinya kampus swasta yang ada di tiap daerah sebenarnya diniatkan untuk mempermudah akses pelayanan pendidikan, menciptakan generasi-generasi yang berkualitas dan mampu bersaing dengan kampus lain. Herannya, lembaga pendidikan di manfaatkan untuk meraup keuntungan yang pengelolaannya lebih berorientasi proyek. Kualitas tak penting, yang terpenting adalah kuantitas dari nominal yang masuk kekantung-kantung para tenaga pengajar “rongsokan”.  Mulai dari dosen yang tak mumpuni, bisnis skripsi, kurangnya fasilitas dan sarana baca, mahasiswa serba instan, sampai pada konflik perebutan jabatan di tingkat birokrasi kampus.

Sungguh kelam kampus-kampus yang bermental buruk seperti ini. Tak patut untuk ditiru dan hati-hati lah dalam memilih kampus. Ibarat kita ke pasar dan membeli ikan, bila kita tak hati-hati dan lihai memeriksanya, pasti yang didapat adalah ikan yang tak layak untuk dimakan. Yah, lebih baik membeli ikan dengan harga sedikit mahal tetapi aman kita mengkonsumsinya ketimbang yang murah tetapi tidak bergizi. 

***

PAGI yang cerah di sebuah kampus berkonsep hutan, tampak mahasiswa mulai memadati halaman sebuah bangunan megah. Rata-rata dari mereka mengenakan pakaian batik dengan celana hitam, itu sesuai dengan arahan kampus bagi setiap mahasiswa baru. Di gedung  Graha Widya Wisuda (Grawida), sekitar seribu orang mahasiswa baru program Pascasarjana dan mahasiswa Program Doktor mengikuti kuliah umum yang di bawakan langsung oleh Dirjen Pengadaan Tanah Kementerian Agraria dan Tata Ruang Budi Mulyanto. Narasumber lain yang hadir antara lain Wakil Rektor Prof. Hermanto Siregar, Dekan Program Pascasarjana Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc Ph.D, Wakil Dekan Dr. Dra. Nasiti, Sekretaris Program Magister Prof. Dr. Ir. Nahrowi, M.Sc, Kepala Pusat Perpustakaan Sumarlina, Direktur Integrasi Data dan Sistem Informasi (DIDSI) Dr. Ir. Idat Galih Permana dan Ketua Forum Wacana Luthfi Nur azkya. 

Saat kuliah umum berlangsung, para pembicara menjelaskan banyak hal mengenai Administrasi Keuangan, Akademik, Perpustakaan, sistem informasi, serta aktivitas organisasi mahasiswa Pascasarjana. Bersama mahasiswa lain, saya ikut menyimak setiap penjelasan dari para narasumber. Di mulai dari Dekan Program Pascasarjana, dalam sambutannya beliau memberi gambaran umum tentang sekolah pascasarjana serta apa saja kelebihannya. Kemudian dilanjutkan oleh ibu Wakil Dekan Pascasarjana yang berbicara mengenai administrasi keuangan.

 rektorat IPB
Secara detail ibu itu menjelaskan kewajiban mahasiswa baru program pascasarjana untuk kuliah tepat waktu agar biaya tak membenani setiap mahasiswa nantinya. Beliau juga sempat menyinggung mahasiswa penerima beasiswa (sponsor) dan mahasiswa penerima beasiswa dari orang tua alias biaya sendiri. Istilah itu baru juga ku dengar, kedengarannya lucu tapi cukup berat di telinga. Bagi saya, lebih tepat istilahnya adalah beasiswa “celengan” yang sumbernya dari siapa siapa saja yang ingin menyumbang. Sebagai penerima beasiswa “celengan”, dengan setia saya tetap mendengarkan setiap penjelasan sang pembicara.

Di era kini, betapa pentingnya ilmu dan pengetahuan bagi kehidupan setiap manusia. Termasuk lembaga pendidikan yang menyelenggarakan dan memberi pengajaran kepada kita semua. Keinginan untuk bersekolah dan melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi adalah sebuah pilihan tepat diantara banyaknya pilihan-pilihan lain. Tak ada kata putus asa dan memilih menyerah. Sepanjang yang dilakukan adalah benar-benar tulus untuk pendidikan, pasti ada saja jalan keluar yang di temui. 

Pengalaman berharga itu telah saya dapatkan hingga akhirnya cita-cita kecil ini bisa terwujud meski langkah tertatih-tatih saat melalui setiap tapak jalan yang penuh liku. Ini memang pilihan, telah selesai di pikirkan secara matang. Bukanlah hasil yang akan di kejar, bukanlah sederet gelar di akhir nama, yang pada akhirnya membuat kita lupa dengan tanggung jawab sebagai pendidik lalu merasa hebat di tengah-tengah masyarakat kampung.

Ini memang proses, yang setiap anak tangganya mesti di lalui dan dimaknai secara dalam. Tak ada celah untuk suap menyuap agar dengan mudah mendapat selembar ijazah. Semua di berlakukan secara profesional dan penuh kehati-hatian agar tak menjadi manusia plagiarisme yang serba instan. Ini adalah proses yang mesti dilalui dengan hati teduh dan penuh kesabaran. Di kampus yang rindang, yang di tumbuhi banyak pepohonan ini, telah ku semai bibit-bibit baru sebuah pengharapan. Semoga, bisa tumbuh subur dan menjadi penyejuk bagi penghuni lain. Apa yang telah menjadi mimpi-mimpi, ah biarlah waktu yang akan menjawab.

SPESIAL DIES NATALIS KE 52
INSTITUT PERTANIAN BOGOR (IPB)
(Bogor Agricultural University)


Bogor, 01 September 2015

Popular Posts