Sunday, March 6, 2016

Hantu Itu Bernama Dana Desa


MENGATUR uang banyak memang tak mudah, butuh orang-orang paham dan memiliki mentalitas yang baik untuk mengelola keuangan dalam jumlah besar. Di perusahaan, pemerintahan, lembaga pendidikan, lembaga keuangan, bahkan di tingkat organisasi kemahasiswaan sekalipun ada pertanggunggjawaban. Bicara soal keuangan memang sangat sensitif, apalagi dana yang dikelola berkisar ratusan juta sampai milyaran rupiah. Setiap orang yang berkepentingan dan terlibat dalam urusan penggunaan anggaran pasti sangat hati-hati menggunakannya. Sedikit saja melakukan kesalahan, maka siap-siap dicap sebagai koruptor. Sekian banyak orang-orang hebat dinegara kita yang terbukti salah dalam pemakaian uang negara. Para koruptor itu tahu kalau uang yang mereka ambil adalah uang rakyat. Mereka sebenarnya sadar dengan kejahatan yang dilakukan. Mereka orang-orang hebat, terpandang, berpendidikan tinggi pula. Hanya saja mentalitas mereka ternyata belum siap ketika diberi kepercayaan menduduki posisi-posisi penting. Mereka mudah tergiur karena keserakahan. Dan akhirnya, tamatlah mereka.   

***

MUNGKIN gambaran diatas menjadi ketakutan-ketakutan pemerintah desa saat ini dalam mengelola keuangan mereka. Saat ini seluruh desa kita menerima dana segar dari APBN dengan jumlah tidak sedikit. Uang itu mengalir dari kas Negara, singgah sebentar di kas Daerah lalu masuk ke kas desa. Selain bersumber dari pemerintah pusat, desa juga menerima dana dari APBD yang dikenal dengan Alokasi Dana Desa (ADD) dan Bagi Hasil Retribusi Pajak dan Retribusi Daerah (PDRD). Pada prinsipnya, alokasi dana desa dilakukan secara berkeadilan berdasarkan alokasi dasar dan alokasi yang dihitung dengan memperhatikan jumlah penduduk, angka kemiskinan, luas wilayah, dan tingkat kesulitan geografis desa di setiap daerah. Sebenarnya, ketakutan pemerintah desa berkaitan dengan pelaporan dan pertanggungjawaban keuangan mereka di desa. Kebanyakan pemerintahan desa masih sangat sulit dalam menyusun laporan. Apalagi, para pendamping desa yang diberi mandat untuk membantu pemerintah desa dalam menyusun laporan juga belum mampu memberi solusi.

Kita tahu, sumber daya yang dimiliki desa belum sepenuhnya baik. Tidak sedikit orang-orang yang duduk dipemerintahan desa masih awam dengan teknologi dan proses-proses administrasi yang belum begitu baik. Akhir-akhir ini banyak spekulasi yang berkembang kalau pemerintah desa tak mampu mengelola Dana Desa. Alasannya hanya soal keterbasan sumber daya manusia di desa, yang belum mampu mengatur keuangan dalam jumlah besar. Pada titik ini, kita tak bisa meletakkan kesalahan ini pada pemerintah desa sepenuhnya. Jika semangat Dana Desa adalah membangun, maka sejatinya pemberian Dana Desa tidak membebani pemerintahan di desa. Mestinya Dana Desa tidak menjadi “Hantu” bagi pemerintah desa, yang dengan membuat banyak aturan serta persyaratan-persyaratan lain yang justru mengukung pemerintahan desa itu sendiri. Sepanjang Dana Desa peruntukannya jelas, tepat sasaran, transparan, serta partisipatif, kenapa mesti khawatir dengan pengelolaan keuangan di desa.   

Sejak dulu, kewenangan pemerintah desa selalu berada dibawah bayang-bayang pemerintah daerah. Memang, karena secara garis struktur pemerintahan desa berada level bawah. Kepala desa dilantik oleh pemerintah daerah, namun bukan berarti kepala desa diangkat oleh kepala daerah sebagaimana Lurah yang berstatus PNS. Kepala desa dipilih oleh masyarakat desa melalui proses demokrasi. Itulah kenapa desa begitu istemewa, desa yang dipercaya mengurus sendiri keuangan serta aset-aset yang dimilikinya. Desa semakin menarik, semakin banyak yang membicarakan desa, semakin banyak orang-orang yang menawarkan diri untuk bisa terlibat dalam kerja-kerja desa.

Dari ketakukan dan bayang-bayang masalah hukum terkait penggunaan Dana Desa, tentu hal itu berdampak pada hilangnya kreativitas desa, pembangunan jalan ditempat, peruntukan Dana Desa menjadi tidak tepat sasaran. Seharusnya, pemerintah daerah bisa menyikapi ini dengan serius. Pengalaman di desa-desa kita misalnya, dalam setiap pembuatan RPJMdes, pemerintah desa hanya bisa melakukan copy-paste dari laporan-laporan lama atau dengan meminta jasa seseorang untuk dibuatkan, khusus bagi desa-desa yang minim dari pendampingan. Fakta lain yang terjadi adalah banyak oknum di pemerintahan daerah menjadikan masalah ini sebagai lahan basah. Para oknum pegawai di pemerintahan itu sengaja melakukan pemeriksaan berkas laporan dengan ketat, yang ujung-ujungnya meminta kepada setiap desa agar laporan itu mereka buat. Dengan syarat, harus membayar sejumlah uang yang nilainya berkisar jutaan rupiah. Ini terjadi di beberapa daerah di pulau Buton. Pemerintah desa mau tak mau harus memenuhinya agar terlepas dari tekanan-tekanan pertanggungjawaban. Meskipun sebenarnya mereka sadari bahwa kelemahan dalam setiap perencanaan, penatausahaan, dan pertanggunggjawaban keuangan masih begitu lemah. 


to be continued...

Popular Posts