Thursday, October 31, 2019

Bersabarlah Kamu


Temanku dikit-dikit marah dan tidak sabaran. Dia grasa-grusu dalam situasi tertentu. Hari-harinya selalu tidak tenang saat kemana-mana. Ia ingin cepat-cepat sampai ke tempat tujuannya.

Dia tidak peduli, seberapa parah kemacetan di jalan yang dilaluinya. Dia juga sering memaksa sang sopir untuk berkendara lebih cepat.

Kehidupan kalau tidak di jalani dengan sabar bawaannya selalu marah, ngambek, atau bahkan bisa hilang kendali dan kesadarannya.

Tapi begitulah, selalu saja kita menjadi tidak sabar untuk mendapatkan sesuatu. Kita terus meminta dan "memaksa" tuhan agar perjalanan hidup bisa dengan cepat mendapatkan harta dan mencapai kekayaan.

Padahal orang-orang yang hidupnya bahagia itu melalui hari-hari dengan penuh sabar dan ketenangan hati. Mereka mau menunggu sebentar dan memberi kesempatan orang-orang lain untuk mendapatkan apa yang mereka inginkan.

Karena mereka sangat mengerti: harta terbaik adalah kesabaran. "Sesungguhnya hanya orang-orang yang bersabarlah yang dicukupkan pahala mereka tanpa batas.” (QS. As-Zumar: 10)

Sunday, October 27, 2019

Wisata Alam, Budaya, dan Religi di Toraja




KABUT menyeluti Makele, Kabupaten Tana Toraja pagi itu. Bus yang saya tumpangi perlahan menyusuri jalan kota. Dari balik jendela mobil saya mengintip, tapi di luar masih belum begitu jelas. Sesekali saya hanya melihat beberapa rumah adat Tongkonan, kerbau dan sawah. Mobil bergerak lambat dan terus menanjak. Dari atas, terlihat sawah yang membentuk terasering, it’s beautifull. Rupanya orang-orang Toraja mendiami daerah pegunungan. Ini pengalaman pertama saya mengunjungi Negeri di Atas Awan, Toraja Sulawesi Selatan.


***       

SECARA geografis, sebelah utara Kabupaten Tana Toraja berbatasan dengan Kabupaten Toraja Utara, sebelah barat berbatasan dengan Kabupaten Mamasa, sebelah selatan berbatasan dengan Kabupaten Enrekang, dan sebelah timur berbatasan dengan Kabupaten Luwu. Tana Toraja menyimpan keindahan alam yang eksotis serta kaya akan tradisi dan budaya. Topografi wilayahnya sebagian besar perbukitan. Beberapa tempat di wilayah perbukitan itulah menjadi tempat favorit para turis domestik maupun manca negara untuk berwisata.   

Untuk sampai ke Tana Toraja, saya melakukan perjalan darat dari kota Kendari, Sulawesi Tenggara. Akses transportasi lain bisa dari kota Makassar Sulawesi Selatan, menggunakan mobil atau pesawat. Dari kota Kendari, saya menumpangi bus yang berangkat pagi pukul tujuh. Perjalanan itu melintasi batas kota dan provinsi. Waktu perjalanan kira-kira 23 jam lamanya. Sangat melelahkan, tapi beberapa kali bus berhenti di rest area. Awak bus dan penumpang singgah sebentar untuk makan dan minum kopi. Seingat saya, ada empat kali bus itu singgah untuk beristrahat.

Ada beberapa bus yang melayani rute Kendari – Toraja. Jadwal keberangkatannya Senin sampai Sabtu, kecuali Minggu adalah waktu libur mereka. Fasilitas mobil bus itu sebagian memiliki AC, Tape, dan TV. Sementara bus-bus lainnya tidak memiliki pendingin dan hanya mengandalkan angin alami yang masuk melalui jendela. Apalagi kalau bus dalam keadaaan penuh penumpang dan barang, sangat sesak dan aroma di dalam bisa beragam. Saya melihat beberapa penumpang yang lunglai di kursinya. Beberapa kali terdengar suara khas penumpang yang mabuk darat, mereka saling bersahutan. Begitu juga dengan aroma di dalam bus yang menyengat, menyatu dengan bau solar, keringat, dan tumpukan barang bawaan penumpang. Kondisi jalan yang mengular dan berlubang menjadi pelengkap perjalanan hari itu.

Tujuan perjalanan pertama saya bukan di Makele, Kabupaten Tana Toraja. Saya memilih untuk ke Rantepao dulu. Rantepao adalah ibu kota Kabupaten Toraja Utara, sebuah daerah yang mekar dari Tana Toraja dan diresmikan November 2008. Karakteristik wilayah Rantepao sedikit berbeda dengan Makale. Sebagai orang baru, saya mengandalkan mesin pencari google untuk mendapatkan informasi tentang profil dan apa saja daya tarik daerah itu.

Sejak dulu Makale dan Rantepao terkenal dengan kekayaan budaya dan tradisinya yang unik. Makanya konsep pariwisatanya coba dibuat dalam satu paket: wisata alam, wisata budaya dan wisata religi. Komoditi Kopi Toraja juga mulai terkenal, menjadi nilai tambah, dan memberi efek ekonomi di masyarakat. Di Rantepao, beberapa rumah warga dijadikan penginapan atau hotel. Para pelancong lebih banyak yang menyewa penginapan atau rumah-rumah warga ketimbang hotel. Saya memilih penginapan karena harganya terjangkau. Tidak perlu pendingin ruangan karena udara disini cukup dingin. Juga tak perlu televisi karena tidak ada waktu untuk nonton. Saya hanya menyimpan tas dan kembali saat malam menjelang tidur.

Sebelum memulai petualangan, saya telah menyimpan daftar beberapa tempat yang akan dikunjungi. Berikut tempat-tempat wisata yang sempat saya kunjungi:

1. Kete Kesu

Kete Kesu adalah salah satu desa wisata di kampung adat Bonaran, Kelurahan Tikunna Malenong, Kecamatan Sanggali, Kabupaten Toraja Utara. Kete Kesu bukan sekedar objek wisata biasa, tapi menjadi lokasi makam para bangsawan, leluhur masyarakat suku Toraja. Rumah-rumah adat Tongkonan berdiri rapi di dalam kompleks. Di Kete Kesu, terdapat sisa-sisa penginggalan bersejarah yang berumur ratusan tahun.

Tengkorak di atas peti jenazah

Rumah Tongkonan di kawasan adat Kete Kesu

Kuburan bangsawan

Peti jenazah di tebing kuburan batu Kete Kesu

Jenazah di kuburan batu tebing Kete Kesu

Di dalam kawasan adat Kete Kesu, warga setempat membuka lapak. Mereka menjual berbagai aksesori produk kerajinan seperti: Tau-Tau, atau boneka kayu. Dalam bahasa Toraja, Tau adalah orang. Jadi Tau-Tau kurang lebih adalah orang-orangan. Dalam upacara pemakaman, Tau-Tau menjadi simbol bagi  seseorang yang telah meninggal agar tidak dilupakan jasa-jasanya semasa hidup. Ukiran orang-orangan itu menjadi salah satu unsur wajib dalam upacara pemakaman. Selain boneka kayu, kain tenun Toraja menjadi buruan para wisatawan.

Tau-Tau, Souvenir khas Toraja

Dalam masyarakat adat Toraja, kain tenun menjadi wajib hukumnya untuk dimiliki. Corak kain tenun Toraja ini unik, karena sangat identik dengan ukiran-ukiran rumah adat Tongkonan. Souvenir lain yang menarik adalah miniatur rumah adat Tongkonan. Sangat mirip dengan bangunan aslinya. Masih ada beberapa aksesori-aksesori lain yang dijajakan di Kete Kesu. Tak jauh dari bangunan rumah adat di kawasan Kete Kesu, terdapat tebing pemakaman. Kita bisa melihat kuburan gantung dan beberapa peti jenazah yang menyimpan tulang-belulang orang-orang Toraja. 
Souvenir rumah adat Tongkonan

Tulang-belulang orang Toraja


Dari banyak lapak aksesori, saya memilih singgah di salah satu kedai kopi. Di tempat itu, saya melihat bagaimana kopi diperlakukan. Pemilik kedai menyajikan beberapa jenis kopi Toraja. Ada jenis Robusta dan ada Arabica. Saya lalu diberi dua rasa, rasa fruity dan after taste, atau dengan rasa kopi yang tidak terlalu pahit. Aromanya harum dan memiliki kekhasan tersendiri. Kopi Toraja merupakan salah satu varian kopi dengan kualitas terbaik yang dimiliki Indonesia. Karakteristik kopi Toraja sangat khas. Menurut masyarakat tani kopi setempat, aroma dan kenikmatan kopi Toraja berbeda dari kopi lain, karena kopi Toraja di tanam berdampingan dengan tanaman rempah-rempah.

Singgah ngopi di salah satu kedai kawasan Kete Kesu

Masih di Kete Kesu. Tidak jauh dari kedai kopi, saya melihat kerumunan wisatawan asing yang sedang menyaksikan seekor kerbau bule, atau masyarakat adat Toraja menamainya kerbau Saleko. Dalam upacara adat Rambu Solok (pemakaman), kerbau menjadi elemen penting dimana kerbau harus dikorbankan untuk menemani arwah seseorang yang meninggal menuju Puya (surga). Harga Kerbau di Toraja bisa ratusan juta, bahkan bisa sampai milyaran. Tergantung dari kelangkaan atau keunikan yang dimiliki Tedong (kerbau). Beberapa Kerbau memiliki jenis dan nama yang berbeda, itu bisa dilihat dari tanduknya. Misalnya Kerbau Balian, memiliki tanduk sangat lebar. Kerbau Sokko, memiliki satu tanduk ke atas dan satu tanduk ke bawah. Kerbau Taken Langi, Kerbau yang sama sekali tidak memiliki tanduk. Di kawasan budaya Kete Kesu, seekor Kerbau dipamerkan untuk menarik perhatian pengunjung. Saya lalu bertanya kepada pemilik kerbau: “Berapa harga Kerbau ini?” bapak itu menjawab: “Harganya bisa hampir setara satu buah mobil Toyota Alphard.” Wow amazing!

Kerbau (Tedong)

2.     Bukit Singki Rantepao

Tugu Salib di Bukit Singki

Panorama dari atas Bukit Singki

Tugu salib berdiri kokoh di bukit Singki, Rantepao Kabupaten Toraja Utara. Salib itu menjadi simbol keberadaan masyarakat Toraja yang mayoritas beragama Kristen. Di atas Bukit Singki, pengunjung disuguhkan pemandangan Kota Rantepao. Waktu malam adalah yang paling romantis berada di atas bukit. Untuk sampai ke atas memang tidak mudah. Jalannya setapak, meliuk dan juga menanjak. Perjalanan cukup melelahkan dan menguras banyak energi. Tapi semua terbayar ketika kita sudah mencapai puncak. Tampak bukit-bukit menjadi latar sawah yang terbentang hijau turut menambah keindahan kota Rantepao. Lama saya berada di puncak bukit Singki. Udara di siang hari yang tidak begitu panas membuat saya betah berlama di tempat itu, sampai sore, sampai malam dengan keteduhan dan cahaya lampu kerlap-kerlip.


3. Goa Alam Londa

Goa Alam Londa adalah sebuah tempat pemakaman. Secara administratif, Goa Londa masuk dalam wilayah Tana Toraja. Goa Londa merupakan wisata alam yang terdapat banyak makam atau peti-peti jenazah yang disimpan dan menggantung di tepi tebing goa. Dari penuturan masyarakat, jenazah-jenazah itu disimpan terlebih dahulu ke dalam goa sebagai kasih sayang mereka kepada orang yang telah meninggal. Mereka menyimpannya dulu untuk menunggu kedatangan keluarga yang merantau kembali, sembari mengumpulkan biaya pelaksanaan Rambu Solok, sebuah tradisi atau upacara adat untuk mengantarkan jenazah ke alam Puya.

Jenazah di atas dinding tebing Goa Londa 

Turis wisman berkunjung di Goa Londa

Tebing Goa Londa

Untuk sampai ke wisata makam Goa Londa, saya mengendarai sepeda motor sekitar 30 menit dari penginapan di Rantepao tempat saya menginap. Di Goa Londa, saya merasakan aura mistik di sekitar objek wisata. Banyak pengunjung yang memberanikan masuk ke dalam goa. Mereka menyewa pemandu yang membawa lentera karena di dalam sangat gelap. Di dinding tebing goa, jenazah disimpan di antara celah-celah dinding batu. Ada jenazah yang masih utuh, ada yang sudah menjadi tulang-belulang. Di sekitar kawasan Goa Londa, masyarakat menjual beragam aksesori khas Toraja.

4. Buntu Burake

Buntu Burake terletak di Kabupaten Tana Toraja. Objek wisata satu ini telah menarik perhatian wisatawan yang ingin menyaksikan panorama alam dari atas bukit. Di Buntu Burake, terdapat patung Yesus terbesar di dunia. Konon patung itu mengalahkan patung Yesus di Rio de Jeneiro, Brazil. Patung Yesus di Buntu Burake memiliki ketinggian 45 meter dan letaknya berada di atas bukit dengan ketinggian 1.700 mdpl. Sementara patung Yesus di Brazil memiliki ketinggian 38 meter di puncak gunung Corcovado.

Patung Yesus Memberkati

Jembatan penyeberangan ke objek Patung Yesus

Perbukitan di Tana Toraja

Patung Yesus di Buntu Burake diberi nama Patung Yesus Memberkati. Patung Yesus ini juga memiliki kemiripan dengan patung-patung Yesus di beberapa daerah lain di Indonesia. Seperti Monumen Yesus Raja dengan ketinggian 25 meter, ada di Maluku. Kemudian patung Yesus Memberkati, yang memiliki tinggi 30 meter berada di Manado Sulawesi Utara.

5. Puncak Lolai

Puncak Lolai terdapat di desa Lolai, Kecamatan Kepala Pitu, Kabupaten Toraja Utara. Dari banyak lokasi wisata di Toraja Utara, puncak Lolai yang paling banyak dikunjungi oleh wisatawan. Wisata alam puncak ini dikenal dengan “Negeri di Atas Awan”. Ketinggiannya berkisar 1.300 mdpl. Saat itu, saya menyimpan puncak Lolai dalam list terakhir petualangan saya di Toraja. Makanya, persiapannya harus benar-benar matang. Khususnya persiapan awal sebelum berangkat. Saya harus mendapatkan informasi mengenai kondisi cuaca, informasi soal rute dan kondisi jalan, persiapan bekal, informasi tempat nginap, dan informasi mengenai apa saja faktor-faktor lain yang bisa saja mengganggu waktu santai kita ketika berada puncak.

Tongkonan di halaman rumah warga

Saya sendiri telah mempersiapkan semua. Udara di luar terasa begitu dingin. Saya melapisi pakaian dengan jaket tebal. Tidak jauh dari penginapan, saya menemukan jasa rental kendaraan lalu menyewa motor untuk melakukan perjalanan ke puncak Lolai. Saya berangkat sore menjelang malam. Dari Rantepao, jarak puncak Lolai kira-kira 20 km. Saya memacu motor dengan sedikit lebih cepat agar tiba sebelum tengah malam. Saya cukup khawatir karena ini kali pertama ke puncak Lolai. Saya mengaktifkan google map untuk memandu perjalanan ke sana. Tapi sesekali saya berhenti untuk bertanya kepada warga desa karena terkadang aplikasi map sulit diandalkan. Jalan menuju puncak Lolai cukup ekstrim. Jalannya sempit, berliku dan menanjak. Di beberapa sisi jalan terdapat jurang yang terjal.

Di sepanjang desa yang saya lalui, mata saya disuguhi pemandangan hijau dari hamparan sawah dan perbukitan. Rumah-rumah adat Tongkonan berbaris rapi di halaman rumah warga, sebelum akhirnya malam dan semua menjadi gelap. Tidak jauh lagi saya akan sampai di spot wisata Negeri di Atas Awan, puncak Lolai. Hingga tibalah saya di atas puncak, kemudian mencari tempat untuk mendirikan tenda camp sambil menikmati hangatnya secangkir kopi Toraja.

Matahari terbit

Di puncak Lolai, ada banyak tempat atau rumah-rumah warga yang disewakan (homestay). Warga desa menjadikan lahan sebagai tempat rekreasi, membuat lapak jualan dan taman-taman di sekililing rumah mereka. Malam itu saya menyewa salah satu tempat di puncak Lolai. Harganya cukup terjangkau. Saya membayar biaya masuk 10 ribu, menyewa tenda 50 ribu dan memesan segelas kopi Toraja 20 ribu. Dari puncak Lolai, malam itu saya memandang gemerlap kota Rantepao. Saya melewati malam panjang dengan keheningan dan penuh ketenangan.

Taman baca di objek wisata Lolai

Keramaian di puncak Lolai baru terjadi pada subuh menjelang pagi. Orang-orang berdatangan untuk memburu gundukan awan dan matahari terbit (sunrise). Panorama alam di puncak Lolai membuat decak kagum setiap pengunjung. Kabut tebal nan lembut membasuh alam di pagi itu. Sinar mentari mewarnai awan putih. Atmosfer pagi di puncak Lolai begitu magis. Suara kicauan burung terdengar sangat merdu. Setelah awan pergi, hamparan sawah dan terasering kembali memanjakan pasang mata. Begitulah suasana pagi yang syahdu di puncak Lolai. Perjuangan dan medan berat untuk sampai ke puncak itu akan terbayar dengan keindahan alamnya yang tak pernah terlupakan.

Negeri di Atas Awan, Lolai

***

BERKUNJUNG ke Toraja adalah paket lengkap untuk berwisata. Toraja tidak hanya menyuguhkan keindahan alam dari atas puncak, tapi juga memiliki kekuatan budaya dan religiusitas: suatu keadaan, pemahaman, dan ketaatan masyarakat Toraja dalam meyakini kepercayaan dan diwujudkan dalam kehidupan sehari-hari mereka. Saya mendapat banyak pelajaran dari nilai-nilai kearifan lokal, kehidupan masyarakat adat Toraja. Saya menemukan patahan surga yang jatuh di bumi to riaja.

Itulah lima destinasi wisata yang dimiliki kabupaten Tana Toraja dan Toraja Utara. Tentu masih ada beberapa spot wisata lain yang belum sempat saya kunjungi. Suatu saat saya kembali berkunjung dan bercerita tentang orang-orang yang berdiam di negeri atas.

Watch the video on YouTube
Click here

Wednesday, October 23, 2019

Sampai Kita Merasa Cukup


Sunrise

Perjuangan sehari dua hari belum terasa hasilnya besok atau lusa, sebulan atau
 dua bulan, bahkan tahun ke tahun. 
Orang-orang menikmati hidup dengan kemapanan itu dilalui dengan susah payah, keringat dan cucuran air mata. Proses yang membentuk diri mereka. 
Dari perjalanan panjang itu, usaha dan kerja keras mengantar mereka untuk memetik hasil: sukses, kaya raya, punya pangkat dan jabatan, jadi terpandang dan seterusnya. 
Temanku memotong, "Lalu sampai kapan kesusahan ini berakhir?"
"Sampai kita merasa cukup," kataku di pagi itu, yang belum sempat gosok gigi.
 
"Kita perlu bersyukur, agar semua dirasa cukup. Dengan bersyukur, hari-hari kita menjadi tenang dan tanpa beban."
Perbincangan berakhir, kami sama-sama terdiam. Tak lama kemudian ia mengambil kunci mobil dan segera mengaktifkan aplikasi drivernya. Ia kembali ke rutinitas jalanan setelah lama berkeluh kesah. 


Tuesday, October 22, 2019

Bunuh Diri Petani di Desa Peepli


Sebuah desa pertanian tiba-tiba diramaikan dengan isu bunuh diri (suicide). Media massa berlomba mengangkat isu itu ke permukaan. Media mainstream bersaing untuk mendapatkan informasi mengenai isu bunuh diri dari orang-orang desa.

Desa Peepli di India, tadinya tidak begitu ramai, sampai suatu ketika diserbu oleh stasiun televisi yang ingin menyiarkan secara langsung kondisi desa dan keluarga Natha, keluarga miskin yang tidak memiliki apa-apa, kecuali sebidang tanah yang telah ia jaminkan ke bank. 

Potret kemiskinan di desa Peepli sangat memprihatinkan. Lingkungannya jauh dari kata sehat. Tidak banyak toilet yang tersedia di desa. Inilah yang membuat masyarakat desa harus ke ladang setiap kali BAB. Sawah dan ladang menjadi tidak terurus karena petani kesulitan untuk mendapatkan air. Industrialisasi telah meminggirkan kehidupan masyarakat desa Peepli yang semula agraris, memaksa mereka untuk mencari sumber kehidupan lain yang jauh dari tradisi dan kebiasaan mereka sebelumnya. 

Natha sedang dalam keadaan terpuruk, ibunya terbaring sakit di gubuk, rumah mereka satu-satunya di desa. Istrinya terus memarahi dirinya yang kerap mabuk dan tak bekerja. Ia tidak bisa lagi bertani, ia hanya bisa meratapi hari-harinya yang tak pasti. Pemerintah hanya menyediakan pupuk impor tetapi tidak memberi bibit dan membuat bendungan untuk mengairi sawah. Pemerintah memberi bantuan pompa air tetapi tidak menyediakan alat untuk menggali sumur. Program pemerintah tidak tepat sasaran untuk kebutuhan masyarakat. Perhatian pemerintah selalu alpa, kecuali setelah isu bunuh diri telah menyebar kemana-mana dan di saat suksesi politik itu kembali digelar.

Pada situasi seperti itu, Natha sudah tidak punya pilihan lain. Sudah kemana-mana ia mencari kerja tapi tak ada yang menerima dirinya. Pihak bank telah menyita tanahnya, tak ada lagi tempat untuk bertani dan menanam harapan. Demi menyelamatkan ekonomi keluarganya, Natha berpikir untuk melakukan bunuh diri. Dalam pikiran Natha, hanya dengan jalan itu pemerintah mau membantu keluarganya. Karena pemerintah akan membayar kompensasi kepada orang-orang yang melakukan bunuh diri. 

Rencana Natha akan melakukan bunuh diri mengundang banyak reaksi dari banyak pihak, temasuk media massa. Mulai saat itu, Natha dan keluarganya menjadi pusat perhatian media dan ramai dibicarakan publik.   

Lelaki itu terus diburu para awak media yang hendak mewawancarainya. Tetapi Natha selalu menghindar dari sorotan kamera dan sejumlah pertanyaan jurnalis. Sementara itu pemerintah berusaha mengajaknya untuk tidak melakukan bunuh diri. Pemerintah lalu memberi bantuan untuk keluarga Natha. Sayang barang itu tidak memberi manfaat. Selain pemerintah, beberapa elit hadir menemuinya. Mereka melakukan provokasi dan intimidasi, berharap Natha mau melakukan bunuh diri. Para elit, mereka adalah pihak oposisi pemerintah yang menginginkan aksi bunuh diri itu terjadi.

Isu bunuh diri terus direproduksi media massa. Banyak pihak yang memanfaatkannya untuk kepentingan tertentu. Banyak elit yang menumpangi isu bunuh diri untuk menaikan popularitas. Mereka tiba-tiba peduli dan memberi bantuan. Mereka datang penuh iba di antara masyarakat miskin desa untuk membela dan menyalahkan program pemerintah yang keliru dan menyimpang. Tapi para elit tak peduli, ketika bunuh diri itu benar-benar terjadi dan dilakukan masyarakat desa, mereka sangat diuntungkan. Mereka justru berharap akan ada yang melakukannya. Dengan begitu, bunuh diri tak hanya sekedar menjadi isu.

Pemerintah sadar dan tak membiarkan aksi bunuh diri itu terjadi. Pemerintah menyadari program itu gagal dan tidak membawa keuntungan secara ekonomi bagi mereka. Begitulah prinsip pemerintah soal untung-rugi, tanpa peduli kemiskinan yang melilit masyarakat petani di desa. Ketika kemiskinan diikuti dengan tingginya angka bunuh diri, pemerintah akan mengeluarkan banyak anggaran kompensasi kepada keluarga mereka yang tewas bunuh diri.

Bagi kelompok-kelompok elit politik yang beroposisi dengan pemerintah, kebijakan itu menjadi senjata untuk menyerang pihak pemerintah. Tujuannya adalah untuk menjatuhkan lawan politik dari pemerintah yang akan bertarung dalam satu momen politik. Pihak oposisi juga sama-sama tidak memberi efek positif atas kemiskinan dan kemungkinan bunuh diri itu terjadi. Mereka hanya memanfaatkan momentum di atas penderitaan petani-petani miskin di desa. 

Begitu juga dengan perusahaan-perusahaan media yang ketika itu sedang sepi dari perhatian publik. Pada satu isu bunuh diri di desa yang miskin, media melakukan eksploitasi untuk menaikkan rating, jumlah pembaca dan penghasilan. Terutama bagaimana berita bisa sampai ke pemerintah, elit politik atau publik figur. Dengan begitu, akses perusahaan media bisa dengan cepat mendulang keuntungan dari bisnis pemberitaan.

Keluarga Natha adalah satu dari sekian banyak keluarga petani yang hidup dalam lingkaran kemiskinan di desa Peepli. Sepintas, kehidupan keluarga Natha yang miskin dan penuh tekanan kerap kita jumpai di sekitar kehidupan kita. Dinamika sosial, ekonomi, dan politik yang terjadi sebagaimana kisah film Peepli Live ini dapat kita saksikan dalam kehidupan yang nyata. 

Gambaran kehidupan masyarakat desa dalam film Peepli Live mengingatkan kembali pada fakta-fakta sosial di negara kita. Dimana peraturan perundang-undangan dibuat saling tumpang-tindih. Sejumlah kebijakan pemerintah belum memihak kepada masyarakat kelas bawah. Ekstrasi sumber daya alam dalam skala besar selalu merugikan lingkungan serta tidak memberi manfaat bagi kesejahteraan masyarakat. Media massa sebagai salah satu pilar demokrasi belum berhasil menjembatani kepentingan masyarakat kecil dan lebih berorientasi bisnis. Begitu juga dengan para elit dan keberadaan partai politik, mereka menjadi kompor kegaduhan, membuat masyarakat terbelah dan memicu konflik.  
    
Peepli Live adalah film komedi satir India yang mengeksplor topik Bunuh Diri Petani. Meksipun film ini kontroversi karena dianggap menghina petani miskin Vidarbha yang menjadi korban globalisasi dan kebijakan-kebijakan buruk di negara bagian itu. Tetapi, sang produser Aamir Khan dan Kiran Rao sukses membawa film yang rilis tahun 2010 ini menjadi Film Asing Terbaik Academy Awards ke-83.

Pada film ini, kita dapat melihat bagaimana persekokongkolan elit dibangun demi hasrat politik mereka. Bagaimana isu ditunggangi dengan mengatasnamakan masyarakat miskin. Juga bagaimana informasi dimanipulasi dengan membuat framing berita. 

Sunday, October 13, 2019

BEBAN

Jakarta pagi hari

Sudah terlalu sering kau menikam jiwanya, karena ambisimu mengejar cita-cita. Mestinya saban hari tidurnya bisa nyenyak tanpa beban memikirkan keadaanmu yang jauh.

Sudah terlalu sering kau membunuh harapannya, karena kau sibuk mengadu nasib. Mestinya mereka bisa menghabiskan hari tua dengan memupuk amal tanpa beban dan kecemasan.

Dulu, mereka tak mengekang kebebasanmu biar statusmu tak dipandang sebelah mata. Kau sibuk menyusun gelar itu bertingkat-tingkat.

Pagi ini, mestinya kaulah yang menyiapkan sarapan. Seperti dulu, ketika pagi mereka selalu duduk di sisimu dan menyuapimu.

Kau hanyalah anak, yang memberi beban berkali-kali.

Para Pemburu Lebah Madu di Belantara Hutan Lambusango

Kawasan Hutan Lambusango Pulau Buton
HUTAN Lambusango adalah hutan konservasi di pulau Buton yang memiliki luas 65 ribu hektar. Hutan ini terbagi menjadi dua kawasan: Pertama, adalah kawasan Cagar Alam Kakenauwe dan Kedua, adalah kawasan Suaka Marga Satwa. Luasnya sekitar 28 ribu hektar. Sementara sisanya adalah kawasan hutan lindung dan hutan produksi. Secara administratif, hutan Lambusango berada di antara beberapa kecamatan dalam wilayah Kabupaten Buton, yaitu: Kecamatan Kapontori, Lasalimu, Lasalimu Selatan, Siontapina, Wolowa, dan Pasarwajo. Hutan Lambusango dihuni sekitar 120 spesies burung, 36 jenis di antaranya adalah hewan endemik Sulawesi, seperti: Burung Julang, Kuskus, Anoa, Monyet ochreata brunescens dan Tarsius.

***

LA UDI (37) akan bertualang di dalam hutan kawasan, hutan Lambusango. Seluruh perlengkapan telah ia masukan ke dalam tas. Dua kawannya, La Rudi (33) dan La Samudi (29) juga sudah bersiap melakukan perjalanan jauh nan melelahkan. Tapi bagi mereka yang sudah terbiasa menjelajahi hutan itu, tidak ada kata lelah. Mereka telah berakrab dengan medan hutan. Sudah bertahun-tahun menggeluti pekerjaan mencari madu.

Pagi itu, saat matahari belum begitu tampak, ketiga lelaki itu membuat racikan madu. Madu pahit di campur dengan telur ayam kampung ke dalam satu gelas, dikocok hingga menyatu lalu diteguk sampai benar-benar kandas. Kata mereka, madu dan telur ayam kampung kalau disatukan akan menjadi obat berkhasiat. Tubuh mereka akan penuh energi. Mereka bisa melakukan perjalanan berkilo-kilo jaraknya. Pengetahuan itu mereka dapatkan dari para leluhur, secara turun-temurun.

La Udi bersama dua kawannya masuk ke hutan melalui Desa Lambusango, Kecamatan Kapontori. Desa Lambusango merupakan salah satu desa yang sangat dekat dengan kawasan hutan Lambusango. Selain itu, posisi desa juga berhadapan dengan teluk Kapontori. Sangat dekat dengan laut. Namun, sebagian besar masyarakatnya bekerja sebagai pencari madu hutan. Sisanya berprofesi sebagai nelayan tangkap. Kata Pak Desa, Azuddin, salah satu komoditas unggulan di desanya adalah madu hutan. Mayoritas masyarakat desa menggantungkan hidup dari penjualan madu.

Petualangan mencari madu di dalam hutan Lambusango dimulai hari itu. La Udi menjadi komando yang membawa dua pasukannya. Tak ada kompas yang mereka bawa. Di hutan belantara, La Udi hanya mengandalkan insting dan jalan-jalan kebun yang pernah dilewati. Akses jalan dalam hutan penuh dengan semak belukar, pohon yang tumbang, dahan berduri, dan beberapa kali menyeberangi anak sungai. Tapi semua dilewati tanpa ada kekhawatiran. Pekerjaan bertahun-tahun mejelajahi hutan membuat mereka sangat berpengalaman mencari madu. Beratnya medan tak membuat mereka patah arang. Segala ketakutan yang datang menghampiri pun mesti diterabas demi mendapatkan tetes-tetes madu.

Hampir dua jam lamanya mereka berjalan, hingga mereka tiba disatu pohon. Pohon itu dilihat dengan penuh gembira. Tinggi pohon itu kira-kira 35 sampai 40 meter dari tanah, dengan lingkaran batang pohon sekitar 1,5 meter. Di atas pohon, kerumunan lebah masih memenuhi sarangnya. La Udi sudah bersiap untuk naik ke atas pohon. Dua temannya menyiapkan pengasapan untuk mengusir lebah dari sarangnya. Pengasapan memakai kumpulan batang bambu kering yang diikat menjadi satu, atau mereka menyebutnya Kasosompo.

Enam puluh menit waktu berlalu, sarang lebah itu mulai sepi dari tuan-tuannya. Mereka lari meninggalkan rumah yang masih dipenuhi cairan kental, menyerupai sirup dan berasa manis. Sebelum memanjat batang pohon, La Udi bersama dua kawannya melakukan semacam ritual. Menurut mereka, begitulah cara orang-orang tua kampung sebelum memanen madu. Ada tradisi atau ritual yang mengawali setiap aktivitas atau pekerjaan. Nilai kearifan lokal menjadi panduan dan kebiasaan yang dititipkan oleh para leluhur agar selalu berlaku bijak pada alam semesta, yaitu tidak merusak fungsi hutan dan menjaga keberlangsungannya.

Usai melakukan ritual, La Udi bergegas naik ke batang pohon dengan membawa Kasosompo. Bambu berasap itu dibawa naik untuk mengusir sisa lebah yang masih bertahan di sarangnya. Dua kawannya setia berjaga di bawah pohon. Mereka juga merawat api agar pasukan lebah tadi tidak kembali. La Udi dengan lincah memanjat batang pohon. Parang yang menempel di pinggang dicabut keluar dari sarungnya, ia mulai mengeksekusi sarang lebah. Sarang lebah di potong-potong lalu di masukan ke dalam karung. Setelah semua sarang lebah berhasil diambil, karung kemudian diturunkan menggunakan tali. Di bawah pohon, dua kawannya menyambut karung itu hingga mendarat dengan aman.

Waktu sudah hampir malam, pukul 5:15 menit dari arloji milik La Samudi. Tapi di dalam hutan sudah sangat gelap. Mereka menyalakan lampu senter yang menempel di kepala. Saatnya pulang dengan membawa satu karung rumah lebah. Kira-kira perjalanan pulang memakan waktu 2 jam 30 menit. Begitu kalau kondisi malam, sangat berbeda kalau pagi atau siang hari. Perjalanan dalam hutan di waktu malam sering mendapat hambatan. Menurut mereka, yang paling di waspadai bukan hewan buas, tapi kawat-kawat listrik yang melingkar di pagar-pagar kebun milik warga. Seringkali para pencari lebah madu hutan yang bekerja di waktu malam tersengat listrik kawat pagar kebun. “Meskipun daya setrumnya tidak begitu kuat, tapi tegangan listrik yang di aliri melalui mesin Aki itu cukup menggetarkan tulang,” keluh La Rudi, yang juga pernah tersengat listrik kawat pagar kebun.

Benar saja, prediksi waktu perjalanan pulang mereka tidak meleset jauh. Mereka tiba hampir pukul 8 malam. Di rumah La Udi mereka rehat sejenak, setelah itu kembali bekerja untuk menyaring madu. Setengah jam berlalu, La Udi menyiapkan wadah dan alat penyaring. Kemudian La Rudi mengangkat potongan-potongan sarang lebah itu lalu diperas di atas saringan. Di bawah alat penyaring telah siap sebuah wadah penampung madu. Begitulah seterusnya sampai potongan-potongan sarang lebah habis semua diperas. Setiap perasan di atas penyaring, mengumpulkan tetesan-tetesan madu kemudian jatuh ke dalam wadah penampung. Dari hasil perasan sarang lebah itu, La Udi, La Rudi, dan La Samudi berhasil mendapatkan lima botol (450 ml) madu. Untuk satu botol madu hutan, di jual dengan harga 90 sampai 100 ribu rupiah.

Di desa Lambusango, hampir setiap halaman rumah warga terdapat lapak penjualan madu. Ada tiga jenis madu yang mereka dagangkan: Pertama, Madu Manis. Jenis madu dengan rasa manis ini berwarna cokelat. Kedua, Madu Manis Campur Pahit. Jenis madu dengan rasa manis campur pahit ini cenderung berwarna cokelat kehitam-hitaman. Ketiga, Madu Pahit. Jenis madu dengan rasa pahit ini berwarna lebih hitam. Dari tiga jenis madu yang berbeda ini, masing-masing memiliki khasiat atau manfaat yang berbeda. Misalnya jenis madu dengan rasa pahit dan berwarna hitam, khasiatnya membuat daya tahan tubuh lebih baik dan berenergik.

***

MELIHAT geliat ekonomi masyarakat yang tumbuh dari usaha penjualan madu, Pemerintah Desa Lambusango ingin mengembangkan komoditi madu hutan ini menjadi salah satu produk usaha desa yang akan dikelola oleh BUMDes. Skema bisnis yang dijalankan pemerintah desa adalah dengan menggerakkan BUMDes untuk membeli madu dari warga dengan harga yang wajar, sebagaimana masyarakat desa menjualnya di lapak dagangan mereka. Dari sisi promosi dan pemasaran, pemerintah desa akan membuat khusus brand atau merek dagang dan mendaftarkan produk usaha desa (madu hutan) ke Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM). Dengan begitu, madu asli dari hutan desa Lambusango semakin dikenal dan memiliki pasar yang jelas.

Begitulah cara desa menangkap peluang-peluang usaha ekonomi. Pemerintah Desa Lambusango melakukan berbagai inovasi untuk mendukung usaha-usaha masyarakat dalam mengembangkan ekonomi rumah tangga. Desa dengan kekayaan sumber daya alamnya dikelola dan dimanfaatkan dengan tetap memegang prinsip-prinsip kearifan lokal dan kelestarian lingkungan hidup. Kita patut berbangga dengan keuletan La Udi bersama dua kawannya. 

Meskipun profesinya sebagai pemburu lebah madu di tengah belantara hutan Lambusango, mereka tetap menekuni pekerjaannya demi kelangsungan hidup keluarganya. Sungguh berat pekerjaan masyarakat mencari madu hutan, mereka bertaruh nyawa. Pekerjaan sehari-hari di dalam hutan itu dilakukan agar mereka tetap survive di tengah keterbatasan akses dan lapangan kerja. Kita patut bersyukur, masyarakat desa Lambusango tidak hanya memanfaatkan potensi sumberdaya hutan untuk kepentingan ekonomi mereka, tapi sekaligus merawat budaya serta melestarikan sumber daya alam.

Friday, October 11, 2019

Mesranya Jokowi-Prabowo di Istana: Cebong dan Kampret Bersatu Tak Bisa Dikalahkan



Masih segar dalam ingatan kita jelang Pilpres 2019 lalu, bahkan setahun sebelum genderang perang ditabuh. Pertarungan pasukan dua kubu itu sudah dimulai di ruang maya. Dinamikanya kian meningkat dari waktu ke waktu, hingga mendekati hari pemilihan. Berdarah-darahlah mereka di media sosial. 

Pasukan Cebong dan Kampret, begitu istilah populer yang melekat di dua kubu saat itu. Identitas yang melekat untuk memudahkan nitizen, di kubu mana mereka tergabung. Di ruang maya, memang ada yang bekerja secara terorganisir, mereka disebut buzzer. Ada juga yang menjadi volunteer hanya untuk meramaikan debat. Buzzer bekerja secara terstruktur dan sistematis. Menyiapkan konten dan isu apa yang mereka sebar. Sementara volunteer bekerja sesuai kehendak dalam merespon konten yang bersileweran di media sosial. Tidak sedikit dari mereka yang terpapah berita hoax. 

Hingga tiba disatu momen yang ditunggu, pada kampanye masing-masing calon Pilpres. Dari debat pasangan Capres di layar kaca sampai kampanye terbuka di lapangan terbuka. Para buzzer sibuk menyiapkan bahan. Kedua kubu menggerakkan seluruh pasukan untuk pertarungan paling bergengsi. Tidak sedikit akun-akun anonim yang bekerja, tidak sedikit pula diseret ke kantor polisi karena melanggaar undang-undang dan adab bermedsos. 

Pertarungan di media sosial pada Pilpres tahun ini adalah yang paling tragis. Pasukan di kedua kubu itu rela mempertaruhkan harga diri hanya untuk membela elit politik, yang jelas-jelas tidak ada hubungan darah atau tidak berada dalam struktur relasi kerja. Pertarungan mereka di medsos ada yang dibayar karena profesionalitas dan ada pula yang tidak dibayar. Malah duit mereka yang keluar untuk membeli paket data internet. Tapi begitulah, biar eksis dan dikenal pengamat politik. 

Hingga Pilpres berakhir dan KPU telah menetapkan salah satu pasangan calon. Kerja-kerja pasukan di media sosial perlahan surut. Sementara aktor-aktor yang berlaga langsung di arena politik tanah air melakukan sejumlah lobi kepada kubu pemenang untuk menyelematkan kepentingan politik dan gerbong. Mereka melempar sauh ke dermaga pemenang, merapatkan kapal yang tak penuh lagi dari koalisi, lalu menuruni tangga darurat demi menyelamatkan diri, tahta dan jabatan. 

Konstelasi perpolitikan kita berubah. Intensitas perdebatan di jagad maya pun relatif menurun pasca Jokowi-Maruf ditetapkan sebagai Presiden-Wakil Presiden periode 2019-2024. Ada yang merasa senang, ada juga yang kecewa. Mereka kecewa dengan sikap politik Prabowo yang akhirnya mesra dengan Jokowi.


Prabowo sepertinya memang ingin melupakan masa lalu dan cepat-cepat move-on. Sementara sebagian pendukungnya tidak ingin demikian. Prabowo sepertinya ingin bangkit dan melupakan ketika dulu menghentak-hentak meja saat kampanye, atau mengingat kembali sujud syukur yang fenomenal itu. Prabowo memang ingin membuang kenangan lama, yang pahit dan penuh onak.

Dengan sikap Prabowo yang gelagatnya akan merapat ke pemerintah, beberapa pasukan di koalisi pamit undur diri. Yang paling terlihat adalah kelompok agama. Kelompok agama yang pernah melakukan demonstrasi berjilid-jilid di Tugu Monas. Kelompok agama yang pernah nebeng di gerbong pasangan Prabowo-Sandi pada perhelatan Pilpres beberapa bulan silam. Tapi sebenarnya bukan nebeng, lebih tepatnya simbiosis, saling menguntungkan keduanya. Sebab, basis kelompok agama yang dipimpin seorang imam besar cukup signifikan untuk menaikan suara saat itu. 

Sikap Prabowo dan partainya memberi sinyal akan merapat ke pemerintah. Sementara kelompok oposisi seperti kehilangan gerbong. Mereka terpental dari rangkaian kereta yang melaju di atas rel politik. Mereka membuat kekuatan baru, dengan menunggangi berbagai isu. Mulai dari demo di depan Bawaslu RI, konflik Papua, sampai demo mahasiswa soal RUU. 

Kemesraan Prabowo dan Jokowi mulai tampak di permukaan. Di titik ini, seorang Prabowo pantas disebut seorang negarawan, yang tak pernah lelah mengikuti kontestasi Pilpres meski kalah berkali-kali. Tapi beliau mampu menunjukkan kedewasaannya dalam berpolitik di iklim demokrasi. Sementara kawannya di Yogyakarta, tenggelam dalam arus pemberitaan media. Ia tak ada kabar lagi. Juga seorang habib di tengah panasnya gurun di timur tengah sana, ia seperti bang toyib, tak pulang-pulang padahal lebaran sebentar lagi. 

Segala hal dalam politik dapat berubah. Apa yang kita bincangkan mengenai elit politik kita, belum tentu sama dengan yang mereka lakukan. Bisa saja apa yang baik-baik saat ini terjadi di ruang istana itu, di luar mereka menyimpan dendam. Sebagai masyarakat biasa, di panggung depan perpolitikan tanah air kita hanya dapat menduga-duga. 

Cebong dan Kampret Bersatulah..!


Popular Posts