Sunday, September 21, 2014

Kampus Yang Gersang



Pendidikan menjadi sangat penting dalam kehidupan kita, ini berarti setiap manusia berharap untuk selalu berkembang dalam hal pendidikan. Makanya, setiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan yang layak. Sejak kecil, pendidikan kita sudah dapat dari lingkungan keluarga mulai dari latihan membaca, menulis, dan menghitung. Pendidikan menjadi hal yang wajib dan modal dasar untuk menggapai masa depan yang gemilang. Secara formal, memperoleh pendidikan kita mesti memulainya dari pendidikan dasar (SD), menegah (SMP), menengah atas (SMA), sampai bisa melanjutkan studi ke perguruan tinggi. Dahulu dikampungku, tak banyak yang bisa melanjutkan studi ke perguruan tinggi. Disamping keterbatasan ekonomi juga belum ada pilihan jurusan yang ingin dituju saat itu. Itulah alasan sehingga banyak yang memilih untuk kuliah keluar pulau ini. 

Seiring dengan perkembangan, saat ini kampus sudah mulai memberi banyak ruang bagi yang ingin melanjutkan pendidikan keperguruan tinggi. Kini, kampus sudah menjamur dikotaku, pelajar yang sudah menamatkan studinya bisa langsung medaftar sesuai dengan pilihan jurusan yang dituju. Kampus di daerahku, selain mengajak kita untuk tidak bepergian jauh, juga bisa menghemat biaya kuliah. Sebab kuliah di luar daerah biayanya relatif cukup besar ketimbang kuliah dikampung sendiri yang biayanya lebih terjangkau. Keberadaan mahasiswa di kota ini cukup mewarnai dinamika perkembangan daerah, para kaum intelek itu sudah banyak berkontribusi kepada daerah. Mereka banyak melakukan fungsi kontrol pada setiap kebijakan pemerintah yang bertentangan dengan keinginan masyarakat banyak. Ketika pemerintah sudah tidak memihak kepada rakyatnya, biasanya unjuk rasa adalah solusi untuk melakukan setiap perbaikan kinerja pemerintah yang dinilai salah. Kuliah menjadi hak dan membayar iuran semester adalah kewajiban dari setiap mahasiswa. Tak sedikit dari mereka yang memaknai kuliah adalah mendapatkan pekerjaan, ada pula yang hanya ingin memperoleh ijazah atau memiliki gelar kesarjanaan saja. Tak banyak dari mahasiswa yang memanfaatkan masa-masa kuliah untuk memperoleh pengetahuan, beroganisasi atau membangun jejaring pertemanan. Sebagian orang berpendapat, jika berorganisasi akan menghabat perkuliahan. Banyak mahasiswa yang kuliahnya lama dampak dari berorganisasi, bahkan ada yang tak melanjutkan kuliah. Bagi saya, kuliah tanpa organisasi bagikan sayur yang tak diberi bumbu penyedap. Mereka yang telat dalam menyelesaikan studi tentu punya alasan lain, salah satu faktornya adalah kendala biaya.

Di kampus swasta, tidak sedikit duit yang di butuhkan, apalagi banyak kampus yang berorientasi bisnis. Sebagian mahasiswa masih bergantung pada keluarga yang rata-rata adalah petani dan buruh. Banyak dari mahasiswa adalah mereka yang tinggal di pelosok-pelosok desa. Untuk memudahkan akses ke kampus, mereka memilih tinggal dikos-kosan yang jaraknya lebih dekat. Bisa dibayangkan, seorang mahasiswa mengeluarkan kocek untuk membayar kos, biaya semester, biaya hidup dan lain-lain. Kata seorang teman, semasa kuliahnya dulu ia memerlukan biaya paling dibawah delapan ratus ribu rupiah dalam sebulan, padahal ia hanya anak seorang buruh bangunan. Banyak cara yang dilakukan untuk bisa bertahan hidup dan bisa membayar uang kuliah, salah satunya ia berkerja menjadi cleaning service di kampusnya sendiri. Dari penghasilannya berkerja, ia bisa menyelesaikan kuliah hingga ia tamat. Padahal program beasiswa yang sering disebut-sebut, seolah tertutup sehingga banyak mahasiswa yang tidak mengetahui.

Dahulu, saya berkeinginan besar untuk melanjutkan studi ke sebuah kampus ternama ditanah air, kampus yang jauh lebih baik dari kampus-kampus di daerahku. Tapi harapan itu tak terwujud sebab situasi dan konsdisi, orang tua menyarankan untuk tidak kemana-mana. Tetapi hal itu tidak mengurungkan niat saya untuk tetap melanjutkan studi ke perguruan tinggi. Selama menjalani kuliah, beberapa kali saya berkunjung kekampus-kampus lain dalam agenda pertemuan antar lembaga kemahasiswaan. Saya merasakan perbedaan yang sangat mencolok dari kampus tempat saya kuliah dulu. Apalagi lingkungan kampus ku yang tidak memberi ruang untuk mengaktualisasikan potensi yang ada pada mahasiswa. Ketersediaan fasilitas menjadi faktor penunjang, buku bacaan menjadi langka untuk kita dapatkan, apalagi tidak adanya upaya dan semangat baca dari para mahasiswa. Masa-masa kuliah ku dulu, tak se nikmat sekarang disaat semua fasilitas sudah mulai gampang diperoleh. Saya bisa membayangkan betapa kurangnya ilmu yang saya dapat semasa kuliah dulu. Disana hanya ada beberapa dosen yang bercuap-cuap pada jam kuliah. Mereka menjelaskan beberapa teori yang dikutip dari para ahli yang sama sekali tak kutahu siapa dia. Tak lama dengan penjelasannya, kami lalu diberi tugas presentase makalah, beberapa dosen juga rajin menjual buku kopian. Konon, agar kami dapat memahami materi mata kuliah yang pernah disampaikan. Padahal, isinya sama sekali tidak memikat hati untuk mau membacanya. Beberapa kawan kuliah ku dulu tak bisa melanjutkan lagi karena terkendala biaya-biaya tambahan dari para dosen. Tapi, apapun itu saya sangat mensyukurinya karena dengan cepat bisa menamatkan dan secepat mungkin keluar dari kampus. Bila tidak, entah berapa banyak yang mesti dikeluarkan hanya untuk mendapatkan pendidikan. Mungkin benar apa yang telah dikatakan oleh Wiwin Prasetyo dalam bukunya Orang Miskin Di Larang Sekolah. Itulah bedanya kampus-kampus yang berorientasi bisnis.
Sumber: Senja di Pantai Nirwana
Kita mengenal mahasiswa dengan segala kemampuan yang dimiliki. Sebagian orang menganggap mereka adalah orang-orang yang berpendidikan tinggi. Mahasiswa dikenal dengan kemampuannya mengolah kata-kata dengan bahasa ilmiah, mereka juga kritis dengan bahasa ketidak adilan. Selain kuliah mereka juga aktif berorganisasi, konon mahasiswa selalu peka terhadap masalah dimasyarakat, banyak pula yang terlibat dalam aksi-aksi jalanan. Tetapi tidak sedikit dari mereka juga terjebak pada konsepsi berpikir yang praktis. Hampir tak ada yang punya kemampuan untuk mengolah potensi yang dimiliki untuk bisa menjadi diri sendiri. Kita masih menggunakan cara-cara lama, untuk melakukan perubahan mesti dengan aksi-aksi kekerasan, lempar batu, atau berbenturan dengan pengamanan saat berunjuk rasa. Padahal kita masih punya cara-cara lain yang elegan sebagai cerminan masyarakat kampus yang berintelektual. Perubahan yang itu mestinya mulai dari dalam diri seorang mahasiswa, kelompok dan lingkungan kampus. Kampus menjadi penting bila nuansa ilmiah dibentuk dari para mahasiswa. Didalam kampus, ada banyak lembaga kemahasiswaan untuk mengorganisir kelompok-kelompok diskusi yang bisa melahirkan banyak gagasan. Sayangnya kampus-kampus didaerah saya, suasana seperti itu sudah jarang kita jumpai. Banyak dari mahasiswa lebih sibuk mencari sesuatu yang pasti dan bernilai materi, mereka lebih sering mengikuti ajang fashion show, kerumah bernyanyi, atau sekedar nongkrong ditempat-tempat hiburan. Kampus menjadi gersang dari keilmuan, tanahnya menjadi tandus dan tidak bisa ditumbuhi banyak pohon-pohon gagasan. Kampus ibarat pohon besar yang tidak lagi menjadi rimbun bagi setiap mahasiswa yang mengengenyam pendidikan.


Baubau, 21 September 2014

Friday, September 19, 2014

"Guber-NUR ALAM" Tersandung Kasus. Cahayanya Kini Meredup

Kabar tak sedap baru-baru ini mencuat di tanah Bumi Anoa setelah nama seorang kepala daerah disebut-sebut memiliki rekening “gendut” dengan nilai puluhan miliyar. Siapa lagi kalau bukan Gubernur Sulawesi Tenggara Nur Alam lelaki kelahiran 9 Juli 1967 di Konde Sulawesi Tenggara. Dari hasil investigasi majalah Tempo edisi 8 September 2014, mereka membeberkan ada aliran dana yang nilainya besar dari seorang pengusaha tambang asal Taiwan. Data tersebut berdasarkan Pusat Pelaporan dan Transaksi Keuangan (PPATK) yang mengendus adanya kejanggalan aliran dana. Kini, kasus tersebut dalam proses pemeriksaan Kejaksaan Agung. 

Nama NUR ALAM tiba-tiba saja kembali terkenal setelah wajahnya kini banyak terpampang di media publik (cetak dan elektronik). Kasusnya menjadi topik hangat dalam berbagai perbincangan. Masalah tersebut langsung ditanggapi serius oleh masyarakat. Mereka tergabung dalam beberapa kelompok penggiat Anti Korupsi dan mahasiswa. Para demonstran menggelar unjuk rasa mendesak KPK untuk segera memeriksa Nur Alam karena diduga kuat melakukan Tindak Pidana Pencucian Uang senilai USD 4,5 Juta dari seseorang bernama Mr. Chen pengusaha asal Taiwan. Wartawan berusaha ingin mewawancarai Nur Alam, namun dirinya enggan berkomentar. Saat dirinya di sebut-sebut menerima aliran dana, justru sang Gubernur memerintahkan anak buahnya untuk membubarkan secara paksa unjuk rasa yang di gelar beberapa waktu lalu. Akibatnya, massa aksi berhamburan dan melarikan diri. Beberapa dari mereka babak belur di hajar oleh oknum berpakaian preman. Inilah bentuk perlawanan pemerintah yang alergi terhadap demonstrasi. Kejadian serupa juga sering terjadi di daerah-daerah lain di Sulawesi Tenggara. Pejabat sering memakai “Preman” untuk mengintimidasi massa yang melakukan unjuk rasa. Herannya, polisi seakan tak bergerak. Sudah semestinya sang Gubernur diperiksa. Mengingat, keberadaan tambang di Sulawesi Tenggara kian menjamur. Entah, izin tambang bisa dengan cepat diterbitkan oleh Kepala Daerah. Hal ini disinyalir ada permainan antara pengusaha dengan para birokrasi di Sulawesi Tenggara. 

Kota Kendari adalah ibukota Sulawesi Tenggara, tempat sang Gubernur berkantor. Ia berkuasa di 17 kota dan kabupaten, mayoritas para Walikota dan Bupati adalah rekan se partainya di Partai berlambang matahari yang ia pimpin di Sulawesi Tenggara. Melalui Partai Amanat Nasional (PAN), Nur Alam telah berhasil memenangi Pilkada selama dua kali. PAN memang menggaung di wilayah ini, para legislatornya juga mendominasi kursi di dewan. Keberhasilan Nur Alam di partainya memang di apresiasi, sebab ia mampu menjadikan Sultra sebagai basis PAN sampai saat ini. Selama ia menjabat sebagai  gubernur, pembangunan hampir tak ada yang terlihat dari tangannya. Beberapa program yang ia idolakan untuk desa masih belum optimal. Salah satu program andalannya adalah bantuan keuangan untuk Desa, Kelurahan dan Kecamatan atau sering dikenal dengan istilah Block-Grant. Program ini merupakan salah satu program pokok dalam strategi pembangunan Bahteramas yang selalu di gadang-gadang untuk dijadikan icon pembangunan daerah di Sultra. Melalui program ini, konon Nur Alam akan mewujudkan berbagai harapan masyarakat, khususnya dalam konteks penyediaan fasilitas infrastruktur pemerintahan desa/kelurahan dan pengembangan ekonomi rakyat. Tetapi, pelaksanaan program Bantuan Keuangan di lapangan masih diperhadapkan pada beberapa kendala teknis dan kelembagaan yang berdampak pada belum optimalnya pencapaian sasaran pengucuran dana Bantuan Keuangan Desa, Kelurahan dan Kecamatan itu sendiri. 

Sayangnya, hari ini sang Gubernur tersandung kasus yang sangat serius. Kasusnya kini sedang dalam proses di Kejaksaan, sebuah lembaga yang diharapkan bisa menjaga independesinya. Kita berharap banyak dari lembaga penegak hukum, mereka tak boleh masuk angin. Masalah ini harus segera di proses. Penegak hukum tak pandang bulu untuk memberantas mafia-mafia tambang yang sudah cukup lama bermain dengan nyaman. Cukup sudah alam ini mereka kuras lalu di bawa pergi keluar sementara masyarakat lokal tak menikmatinya sama sekali. Kasus yang menyeret nama pejabat penting di Sulawesi Tenggara mesti ditelusuri sampai keakar-akarnya. Siapa tahu dari kasus ini, akan terkuak nama-nama pejabat lain yang ikut bermain dan menerima aliran dana dari para pengusaha tambang. Bila benar itu terjadi, ini pertanda cahaya itu mulai meredup seiring dijebloskannya Guber-Nur Alam ke dalam hotel prodeo. Kita tunggu...



Baubau, 19 September 2014  

Saturday, September 13, 2014

Di Balik Keceriaan Anak-Anak Suku Bajo

Dari sela-sela rumah dinding kayu, angin itu menyusup masuk. Hembusan angin di pagi buta sangat lah dingin. Angin itu tembus masuk kedalam pori-poriku. Pagi ini tampak ada yang berbeda, biasanya yang membangunkanku adalah suara dari klakson mobil, bunyi bising dari knalpot motor, atau suara orang yang lalu lalang. Maklum saja, rumah tempat tinggal ku masuk dalam kawasan padat penduduk. Tempatnya berada dekat dengan jalan umum dan pasar. Rasa ingin tidur masih melanda tetapi niat itu ku urungkan sebab saat ini saya berada pada sebuah tempat yang jauh dari hiruk pikuk dan kebisingan kota. Saya baru tersadar kalau hari ini saya berada di rumah warga, rumah seorang anak yang tiba-tiba saja mengantarkan segelas teh hangat di hadapanku. Kemarin ia yang menawarkan tumpangan tidur di rumahnya. Di tempat ini sangat kurasakan sebuah kenyamanan dari tempat tinggal saya di Kota. Pagi itu, yang ku dengar hanyalah bunyi percikan air dan suara anak-anak yang sedang bermain, semua rumah warga di bangun diatas laut. Untuk menghubungkan antara rumah satu dan rumah yang lain, di buat semacam jembatan yang dapat menghubungkan rumah-rumah mereka.
Sumber: Desa Terapung Suku Bajo
Mengawali aktifitas saya di pagi ini, kulihat beberapa orang warga mengayuh sampan dan melintas di bawah kolong rumah. Saat ini saya berada di sebuah perkampungan suku bajo, setelah kemarin melakukan perjalanan panjang dari Kota Baubau. Di tempat ini,  saya mendapatkan pelayanan yang hangat dari mereka. Awal kedatanganku di tempat ini, saya di lihatnya sangat asing. Beberapa orang anak bertanya kepada saya dengan bahasa daerah mereka, tak satu pun ku jawab sebab bahasanya tidak sama sekali kumengerti. Para warga pun langsung berkumpul dan saling bertanya-tanya. Kejadian ini memang sering terjadi bila ada warga pendatang masuk kekampung mereka. Kondisi rumah-rumah mereka agak kurang terawat, dinding-dinding rumahnya sudah mulai lapuk. Bantuan pemerintah program bedah rumah yang mereka terima, dirasakan kurang bermanfaat dan tidak tepat sasaran. Sepertinya bantuan itu tidak seluruhnya diberikan ke warga. Sebab, banyak keluhan yang ku dengar dari mereka soal program tersebut bermasalah. Potret ini sering dialami warga desa, mereka menganggap warga desa tak tahu apa-apa. Hak yang seharusnya di berikan ke masyarakat desa, justru di “rampok” oleh mereka yang tak tahu diri. 

Usai kami sarapan bersama, bapak itu langsung bergegas menuju kolong bawah rumahnya. Setelah membereskan beberapa peralatannya, ia langsung berpamitan kalau hari ini ia akan melaut. Dengan menggunakan sampan, ia bersama putranya menuju kesuatu tempat di laut untuk mencari ikan. Anak itu sangat bersemangat, secara bersamaan ia mengayuh sampannya menuju laut lepas. Ia adalah Simote usianya masih sangat belia, hampir setiap hari ia selalu menemani sang ayah untuk melaut. Saat anak-anak yang lain berseragam merah putih, Simote memilih menaiki sampan dan melaut bersama sang ayah, ia adalah satu diantara anak lain yang tidak bersekolah. Di Desa Terapung Kecamatan Mawasangka Kabupaten Buton ada banyak anak yang ku temui disini tidak bersekolah. Anak-anak itu lebih memilih melaut ketimbang mengikuti proses belajar di sekolah. Beberapa orang tua dari mereka menuturkan, bahwa sebenarnya mereka sangat menginginkan anak-anaknya bersekolah. Sekalipun sekolah tak memungut biaya, namun beberapa atribut dan buku harus di beli dengan harga yang lumayan. Sementara biaya yang dibutuhkan tidak lah sedikit, para nelayan juga bisa melaut jika cuaca bersahabat. 
Sumber: Senja di Desa Terapung Suku Bajo
Sumber: Simote Usai Melaut
Hari sudah senja, saat itu saya berada di ujung sebuah jembatan menyaksikan matahari perlahan kian tenggelam. Dari jauh kulihat sebuah perahu mengarah ke tempatku, perahu itu semakin mendekat. Ternyata mereka adalah Simote dan ayahnya, mereka baru saja pulang dari melaut. Melihat itu, saya pun langsung bergegas menghampiri mereka. Kepergiannya sejak pagi tadi tak menjadi sia-sia saat kulihat hasil tangkapan yang dibawa pulang lumayan banyak. Kata mereka, ini tidak seberapa, biasanya banyak ikan yang kami bawa pulang. Kulihat Simote begitu kuat, otot-ototnya keluar dari badan cekingnya. Ia mengangkat beberapa alat pancing dan dayung, Simote adalah anak yang rajin, ia tak pernah mengeluh soal dirinya yang berkerja dengan sedikit waktu bermain. Bila ia tak melaut, maka waktunya dihabiskan membantu sang Ibu dirumah. Ibunya hanyalah seorang ibu rumah tangga yang juga biasa berjualan ikan. Saat sang suami pulang melaut maka ikan hasil tangkapannya ia jual ke pasar, dari hasil penjualan ikan itulah mereka bisa menyambung hidup. 

Malam itu, kami duduk berdua bersama Simote. Ia banyak cerita soal dirinya bersama kawan-kawan lainnya di desa ini, ia juga banyak bertanya soal kehidupan anak-anak kota. Anehnya, ia justru mempunyai cita-cita untuk menginjakkan kakinya ke sebuah kota. Sebab, ia banyak mendengar tentang keramaian kota dan banyak tempat hiburan. Selama hidupnya, Simote belum pernah melihat suasana keramaian dari sebuah kota. Ia memintaku untuk menceritakan sesuatu hal tentang kota. Simote juga terheran-heran saat mendengar kalau di Baubau ada sebuah naga besar, mungkin saja seseorang pernah menceritakan kepadanya. Wajar, jika disini semua hal yang baru dianggap asing. 
Sumber: Desa Terapung Suku Bajo
Kehidupan anak-anak bajo masih sangat jauh dari anak-anak kota kebanyakan. Mereka tak kenal manja juga mereka tak suka bermalas-malasan. Kehidupan di desa mengajarkan mereka untuk terus saling membantu. Bagi mereka, laut adalah taman tempat mereka bermain juga mendapatkan banyak pengetahuan tentang alam. Sayangnya, Simote masih belum mengenakan seragam merah putih sebagai anak sekolah. Namun, sang ayah berencana akan menyekolahkannya sampai ia menjadi seorang sarjana. Mendengar itu, Simote sangat gembira. Sejak awal, ia berharap banyak dari sang ayah untuk bisa bersekolah dan berkumpul bersama kawan-kawan lainnya. Di akhir perjumpaan saya dengan dirinya, Simote bercerita kalau ia juga setiap harinya menabung. Uang itu ditabungnya dalam sebuah celengan dan bila dianggapnya cukup, maka uang tersebut di pakai untuk membeli seragam sekolah. Kelak ia bisa bersama anak-anak lain dan mendapatkan pendidikan yang layak. Cita-citanya berubah, ia ingin menjadi seorang kapten. 


Baubau, 13 September 2014


Wednesday, September 10, 2014

Dari Menenun Hingga Penyarungan Benteng

Mungkin anda tidak percaya jika benteng bisa di bungkus dengan hanya menggunakan kain sarung. Bagaimana bisa, benteng yang begitu panjang dan besar bisa di tutupi dengan kain tenun. Padahal, proses pembuatannya secara manual dengan tenaga masyarakat lokal. Bahan untuk membuatnya pun pasti banyak. Tetapi itu pernah terjadi di pulau Buton Kota Baubau Sulawesi Tenggara pada acara karnaval Budaya Buton yang digelar di kawasan benteng Keraton Buton.
Sumber: fotokita.com
Benteng Keraton Buton adalah bekas peninggalan Kesultanan Wolio, panjangnya 3 km dengan tinggi rata-rata 4 meter dan lebar (tebal) 2 meter. Bangunannya terdiri atas susunan batu gunung bercampur kapur dengan bahan perekat dari agar-agar, sejenis rumput laut. Luas seluruh kompleks keraton yang dikitari benteng meliputi 401.911 meter persegi. Area yang demikian luas itu mengalahkan benteng terluas di dunia sebelumnya yang berada di Denmark. Makanya, pada tahun 2006 Benteng Keraton Buton masuk Guiness Of Record dan penghargaan dari Museum Rekor Indonesia (MURI). Penyarungan benteng yang menggunakan kain tenun khas buton di buat secara manual oleh tangan-tangan kreatif para penenun. Konon pengerjaan kain tenun itu memperkerjakan 6000 orang, namun di sebuah desa di Kabupaten Buton hanya dengan melibatkan 120 orang, mereka mampu membuat 4000 sarung dalam kurun waktu satu setengah bulan. Sarung itu telah membungkus benteng keraton wolio yang ada di Kota Baubau. Penyarungan benteng Keraton Buton sepanjang 2.740 meter dan lebar 180. Keberhasilan itu tidak lain adalah hasil karya dari para penenun, mereka adalah wanita-wanita hebat yang dengan penuh kesabaran bisa membuatnya dengan tempo yang tidak terlalu lama, mereka juga membuatnya dengan sangat rapi dengan mempertahankan ciri khas sarung buton. 

Hasil dari tangan-tangan terampil penenun Desa Lalibo, Benteng Keraton Buton kembali mendapatkan penghargaan dari Museum Rekor Indonesia (MURI) karena telah berhasil membungkus benteng keraton dengan kain tenun untuk pertama kalinya di dunia. Tentu tidak cukup dengan sebuah penghargaan saja yang dirasakan oleh mereka, tanpa adanya perhatian pemerintah kepada para penenun yang selama ini sudah memberi kontribusi nyata dan sekaligus mempromosikan daerah lewat tangan-tangan terampil mereka. Para penenun ini juga dengan bangga mempromosikan hasil karyanya dengan mempertahankan khas kain tenunan agar nilai-nilai budaya Buton tetap melekat pada setiap karya yang mereka buat.

Sumber: fotokita.com
Sebagai warga Buton, saya lebih suka mengenakan sarung Buton saat ke masjid atau saat hari lebaran. Rasa penasaran untuk melihat langsung proses pembuatannya. Di atas sebuah rumah panggung, ibu itu tengah sibuk dengan beberapa peralatannya. Saat ku dekati dan melihatnya, ia sedang menggulung beberapa benang yang digunakan untuk membuat kain. Ibu itu adalah Wa Lagi (49) warga desa Lalibo Kecamatan Mawasangka Kabupaten Buton. Sejak dirinya berusia 17 tahun, ibu Wa Lagi sudah melakukan pekerjaan menenun sarung, ada ribuan sarung tenun yang sudah di buatnya semenjak pertama kali menenun hingga saat ini. Pantas saja wanita itu dengan lincah mengurai helai-helai benang itu lalu di olahnya dengan cepat menggunakan alat yang sederhana, masyarakat setempat kerap menyebutnya “Yohua” atau alat pembuat sarung tenun berbahan kayu. Kerjanya manual namun tak begitu sulit, butuh beberapa lama untuk membuat sebuah sarung. Biasanya ibu Wa Lagi hanya butuh waktu empat hari untuk menyelesaikan satu buah sarung tenun. Sarung-sarung yang sudah jadi, ia langsung pasarkan atau biasanya ada yang memesan khusus. Selembar sarung tenun ia hargai dengan 155 sampai 120 ribu rupiah. Kualitas dan ketebalan kain yang dibuat berbeda dengan kain yang beredar di kebanyakan tempat. Corak warna dan benang yang mereka gunakan dipilih sesuai ciri dan khas. 

Hampir semua masyarakat di desa ini melakukan pekerjaan menenun sarung. Dari menenun, mereka bisa menghidupi keluarga dan menyekolahkan beberapa anak mereka hingga keperguruan tinggi. Salah satu diantarannya adalah Ibu Wa Lagi, ia telah mampu menyekolahkan anaknya hingga lulus dan mendapat gelar sarjana. Ia sangat bangga karena sedikit demi sedikit penghasilan dari sarung yang ia buat bisa menghidupi keluarganya selama ini. Kesabaran itu ibarat membuat selembar kain tenunan yang mulanya dari sehelai benang namun dengan penuh  kesabaran, benang-benang itu di rajut menjadi satu dan akhirnya menjadi selembar kain. Semua butuh proses dan proses panjang dari perjuangan ibu Wa Lagi, kini ia dapat rasakan. Anak yang dulu dirawat dari kecil hingga dewasa, bisa menamatkan pendidikannya sampai pada perguruan tinggi. Kini, ia telah menjadi seorang pejabat penting pada sebuah pemerintahan desa. Anaknya kini menjadi terhormat sebab kini ia menjabat sebagai kepala desa. Desa yang ia pimpin tidak lain adalah desa yang selama ini telah membesarkannya dari tangan penenun. Desa Lalibo memiliki banyak potensi untuk dikembangkan. Selain potensi sumber daya alam yang bisa di kelola dan dimanfaatkan sebagai tempat pariwisata, desa ini juga memiliki potensi sumber daya manusia yang mumpuni diantaranya adalah penenun sarung khas buton yang kini terus berjalan seiring persaingan pasar bebas. Kain-kain olahan pabrik yang bermerk, sangat menggiur para konsumen untuk tidak memakai produk lokal dari industri rumahan warga desa.  Padahal dari hasil penjualan sarung-sarung itu, sangat membantu perekonomian mereka di desa. Kita berharap, kreatifitas dari para penenun terus dikembangkan. Perhatian dan bantuan dari pemerintah daerah setempat sangat dibutuhkan agar para penenun bisa mendapatkan bantuan modal usaha nantinya.

      
Baubau, 10 September 2014

Friday, September 5, 2014

Dulu Harapan, Hari Ini Kenyataan "Menjawab Mimpi Buton Raya"


Semenjak tersiar kabar kalau telah ditetapkannya Kabupaten Buton Selatan dan Kabupaten Buton Tengah resmi menjadi daerah otonomi baru, masyarakat yang berada di dua wilayah itu menyambutnya dengan sangat gembira. Kabar baik itu telah menjawab harapan mereka selama ini, harapan untuk mendapatkan akses pelayanan dengan cepat dan mudah, harapan daerahnya bisa lebih maju dan sejahtera, dan harapan untuk mendapatkan lapangan pekerjaan yang layak. Atas doa dan perjuangan mereka, akhirnya mimpi dan harapan itu menjadi kenyataan.

Sumber: Yadi La Ode
Belum lama ini DPR RI telah menetapkan dua Daerah Otonomi Baru (DOB) hasil pemekaran dari Kabupaten Buton melalui rapat paripurna DPR RI tanggal 24 Juni 2014 yang lalu di Jakarta. Mendengar kabar baik itu, masyarakat meluapkan kegembiraannya dengan menggelar acara syukuran. Mereka tak menyangka jika daerahnya telah disepakati dan disetujui para wakil rakyat untuk menjadi kabupaten baru. Memang, perjuangan mereka banyak menyita waktu, menguras banyak tenaga dan pikiran serta tak segan-segan masyarakat yang pro pemekaran itu rela berkorban demi apapun agar tuntutannya bisa dipenuhi. 

Akhir-akhir ini banyak dari kalangan menggelar acara diskusi, baik itu formal atau hanya sekedar nongkrong di sebuah warung kopi. Dari diskusi yang saya ikuti, mereka banyak berbicara tentang perjuangan dari titik awal perjuangan, hambatan dan masalah yang dihadapi hingga daerahnya lolos dan ditetapkan menjadi kabupaten baru. “Perjuangan pemekaran ini tidak mudah, kami melakukan aksi turun jalan dan menduduki kantor wakil rakyat, tak sedikit dari kami harus rela tidur dijalan”. Kata seorang pejuang pemekaran itu. Cukup lama mereka berdiskusi tentang keterlibatannya mengawal pemekaran sampai akhirnya mereka kembali memikirkan siapa nantinya yang akan menjadi pejabat di daerah baru itu nantinya. Topiknya menjadi penting sebab ini menyangkut para elit yang akan mengisi kursi-kursi pemerintahan. Diskusi politik itu mengalir ditengah suasana malam yang semakin dingin, banyak dari mereka mencoba menganalisis keterlibatan tokoh-tokoh politik di daerah itu dan kemungkinannya akan masuk ke kursi pemerintahan. Ada juga yang sudah membangun relasi dengan calon pejabat agar bisa diperhatikan bila suatu saat menjabat, bahkan ada pula yang sudah  berkomitmen tentang pekerjaan apa yang akan didapatnya nanti. Dalam benak saya, apakah ini bentuk perjuangan mereka selama ini? kenapa mereka tidak mendiskusikan potensi dan bagaimana daerah itu bisa berkembang nantinya. Selama ini kita tak tahu pasti jejak rekam dari masing-masing pejabat itu, sebab itulah tugas kepala daerah nantinnya yang bisa menyeleksi kepada siapa yang pantas dan bisa berkerja. 

Proses ini memang lah cukup panjang, gelombang unjuk rasa menjadi jalan akhir ketika jalur diplomasi tak di sahuti. Lobi-lobi di daerah sampai ke pusat memerlukan sumber daya yang tidak sedikit. Masyarakat yang awam soal politik hampir tidak tahu pasti tentang perjuangan di balik layar hingga melahirkan banyak asumsi soal kepentingan balas jasa. Masyarakat tak tahu menahu soal seberapa besar imbalan para pejuang pemekaran itu nantinya. Siapakah sebenarnya pejuang pemekeran yang dimaksud, bukankah semua masyarakat yang terlibat langsung adalah pejuang. Benar kemungkinan jika yang dimaksud adalah mereka yang terjun langsung dalam proses lobi-lobi, entahlah siapa yang dimaksud. Tetapi masyarakat lah yang berjasa dari pemekaran yang dimaksud, masyarakat menjadi ujung tombak dari perjuangan selama ini. 

Secara geografis Kabupaten Buton memang cukup besar. Sebagai kabupaten induk sudah sepantasnya merelakan kedua wilayah (Buteng dan Busel) untuk mekar dari Kabupaten Buton. Alasan mendasarnya adalah soal akses pelayanan publik yang selama ini cukup jauh dengan masyarakat, lapangan pekerjaan belum terbuka lebar, perekonomian masyarakat yang tertatih-tatih. Kita belum bisa banyak bicara soal pembangunan, sebab faktor pembangunan membutuhkan banyak sarana penunjang lainnya diantaranya sumber daya alam belum dikelola secara maksimal dan peningkatan sumber daya manusia yang masih belum diperhatikan secara serius. Tidak lama lagi pelaksana bupati di dua daerah yang baru mekar itu akan dilantik. Maka pemerintahan yang baru akan berjalan, masyarakat menantikan kerja-kerja mereka di pemerintahan. Sejatinya, semua komponen terlibat aktif untuk mengawal setiap kebijakan yang diambil.

Sumber: Yadi La Ode
Kita patut apresiasi juga beberapa kelompok pemuda yang sudah berinisiatif untuk mendialogkan pemekaran ini dengan tujuan membangunkan masyarakat dari mimpi-mimpi pemekaran. Para pemuda juga dengan masif mengkampanyekan tujuan dimekarkannya ke dua wilayah Buton Selatan dan Buton Tengah sebagai wujud untuk menggapai cita-cita lahirnya propinsi baru di cakupan eks kesultanan buton raya. Cakupan itu diantaranya, Kabupaten Buton, Kabupaten Buton Utara, Kabupaten Wakatobi, Kota Baubau, dan ditambah lagi dua daerah otonomi baru yaitu Kabupaten Buton Selatan dan Kabupaten Buton Tengah, ini menjadi syarat untuk terbentuknya satu propinsi baru. Tentu banyak yang mengharapkan nantinya, tinggal bagaimana kesiapan para elit politik dan seluruh lapisan masyarakat secara bersama-sama menyatukan visi yang dimaksud. selain itu, dukungan dari para pemangku jabatan (Bupati, Walikota dan Gubernur) sangat diharapkan untuk bersama-sama mendukung percepatan pemekaran. Beberapa kelompok pemuda juga secara masif mengkampanyekan percepatan pembentukan propinsi baru dicakupan Buton Raya sebagai wujud untuk membangunkan masyarakat dari mimpi-mimpi selama ini. Tujuan pemekaran jangan disalah artikan lagi, tujuannya adalah melayani dan mensejahterakan masyarakat, bukan untuk semata-mata mendapat kekuasaan.


Baubau, 5 September 2014

Popular Posts