Sunday, December 29, 2019

Denyut Pasar Malam Tradisional di Jantung Ibu Kota



Jika umumnya aktivitas pasar-pasar tradisional dimulai dari pagi sampai menjelang malam, namun di beberapa daerah kita bisa menemukan pasar malam, yang baru dimulai pukul delapan malam sampai menjelang pagi. Di Jakarta, ada pasar-pasar tradisional yang melakukan transaksi jual beli pada tengah malam sampai subuh menjelang pagi. 

Seperti pasar Minggu di Jakarta selatan, salah satu pasar terbesar di ibu kota. Denyut pasar itu seakan tak pernah berhenti. Ada ribuan orang menggantungkan hidup di situ, berdagang mulai pagi sampai sore dengan membuka kios untuk menjual pakaian dan kebutuhan rumah tangga. Sementara malam hingga pagi pedagang membuka lapak, menjual sembako yang menjadi kebutuhan dasar hidup.

Selain pasar Minggu, ada pasar Induk Kramat Jati di Jakarta Timur, yang juga selalu ramai. Aktivitas di pasar ini juga tak pernah sepi. Begitu juga dengan pasar Jatinegara, Jakarta Timur, atau dulu dikenal dengan nama Pasar Mester (Mester Passer), yang zaman dulu dilalui oleh Trem Batavia. Di masa jajahan Belanda, kawasan Jatinegara dikenal sebagai Messter Cornelis, yang kemudian diganti menjadi Jatinegara pada masa pendudukan Jepang sekitar tahun 1942. 


Jatinegara yang berarti ‘Negara Sejati’ itu dipopulerkan oleh Pangeran Ahmad Jayakarta. Konsep pasar Jatinegara adalah pasar grosir, namun aktivitasnya hanya sampai sore hari dan ketika tengah malam sampai pagi di sekitar pasar grosir pedagang menggelar lapak-lapak yang menjual sembako.

Begitu juga dengan pasar tradisional di Bogor. Letak pasar ini tak jauh dengan Kebun Raya dan Istana Bogor. Pasar ini sudah lama ada, sejak tahun 1770, pada masa pemerintahan Gubernur Jenderal Belanda Petrus Albertus Van Der Parra, yang menjabat tahun 1761 sampai 1775. 

Pasar tradisional Bogor menjadi icon di kota itu, dan selalu ramai pada malam hari mulai jam sembilan sampai empat pagi. Kita bisa melihat aktivitas pedagang di sepanjang jalan Otto Iskandar sampai Surya Kencana. 

Terakhir saya hunting ikan di pasar Muara Angke, Jakarta Utara. Lumayan jauh dari tempat saya di Jakarta Selatan. Aktivitas pasar ikan Muara Angke juga tak pernah sepi. Pasar ikan terbesar di ibu kota ini letaknya di kawasan pesisir laut. Saat saya memasuki kawasan pasar Muara Angke, dari jarak yang cukup jauh sudah menyengat bau amis darah ikan. Kesibukan pasar ikan Muara Angke baru terasa pada malam hari.

Saya menyaksikan para nelayan mendaratkan ikan tak jauh dari pasar, lalu terjadi transaksi antara nelayan dan pedagang pasar. Pedagang kemudian menjual ikan-ikan itu kepada warga ibu kota. Untuk mendapatkan ikan-ikan segar lebih baik datang lebih awal, sebelum tengah malam. Stok dan berbagai jenis ikan juga masih banyak kita temukan. 

Jika pedagang di beberapa pasar tradisional di ibu kota banyak di dominasi oleh warga Jabodetabek, namun di pasar Muara Angke tidak sedikit pedagangnya adalah orang-orang dari Bugis dan Makassar, Sulawesi Selatan. Mereka sudah lama menetap di kawasan Muara Angke. Mungkin karena tradisi rantau orang-orang Sulawesi Selatan, kemudian mereka mendominasi wilayah pesisir dan laut.

Keberadaan orang Bugis-Makassar di Muara Angke juga saya jumpai di pulau Pramuka, Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu, DKI Jakarta, sebuah pulau kecil di antara gugusan pulau di teluk Jakarta. Di pulau itu saya terkejut dengan satu kampung yang dihuni oleh mayoritas orang Bugis, Sulawesi Selatan. 

Mereka sudah berpuluh-puluh tahun menetap di pulau itu dan menjalani hari-hari sebagai nelayan. Seorang nelayan Bugis di tempat itu berkisah, awalnya mereka melakukan pelayaran dari laut Sulawesi untuk mencari ikan dengan kapal tradisional. Ketika itu bertepatan dengan musim angin timur, angin membawa kapal layar mereka ke wilayah barat. Berminggu-minggu mengarungi laut, hingga mereka tiba di Kepulauan Seribu. 

Pak Daeng yang saya temui bercerita: “Waktu pertama tiba, pulau ini masih kosong, masih banyak pohonnya. Belum seramai seperti sekarang. Orang-orang tua kami yang lebih dulu datang, mereka bangun rumah di sini karena dulu katanya banyak ikan di laut sekitar pulau. Tapi sekarang ini eh sudah susahmi, kita jalani saja.” Hasil tangkapan ikan nelayan-nelayan di Kepulauan Seribu itu sebagian mereka jual ke pasar Muara Angke, sisanya menjadi kebutuhan rumah tangga. 

Di tengah perkembangan suatu kota, pasar malam tradisional terkadang luput dari perhatian kita. Masyarakat lebih memilih pasar-pasar modern yang fasilitasnya lebih baik ketimbang pasar tradisional, yang selalu lekat dengan kekumuhan. 

Kenyamanan menjadi alasan setiap orang untuk tidak berbelanja di pasar tradisional. Terkadang kita lebih senang belanja ke pasar swalayan dengan kualitas dan harga berbeda daripada berbelanja ke pasar tradisional yang riuh dan berdesak-desakkan. Apalagi kalau hujan, tenda di lapak bocor dan jalannya becek. 

Tapi tahukah kita, ada berapa banyak masyarakat kecil yang menggantungkan hidup di pasar tradisional? Modal mereka tidak seberapa kalau dibanding dengan pemilik usaha di satu pasar modern yang dikuasai oleh grup besar. Para pedagang kecil di pasar tradisional berjuang hidup dan berharap jualannya bisa laku setiap hari agar usaha mereka bisa berlanjut di hari esok.

Pasar tradisional sangat melekat dengan kebudayaan kita. Fenomena pasar tradisional yang digelar tengah malam memiliki latar dan sejarah tersendiri. Dari banyak sumber, umumnya keberadaan pasar malam karena adanya suatu peristiwa, kemudian masyarakat setempat melihat ada potensi ekonomi untuk dikembangkan. Di situ tumbuh semangat koletif masyarakat untuk mendirikan pasar lalu mengikat orang-orang agar terbiasa bertransaksi di tempat mereka.     

Misalnya pasar tradisional tengah malam di Wonomulyo Kabupaten Polewali Mandar, yang aktivitasnya dimulai pukul sebelas malam sampai pagi pukul sembilan. Sejarah pasar itu awalnya hanya menjadi pangkalan mobil, ojek, dan becak. Karena kawasan itu selalu ramai dan menjadi tempat transit, masyarakat setempat memanfaatkan kesempatan untuk berjualan. Pasar tengah malam tumbuh dan berkembang seiring meningkatnya geliat ekonomi di wilayah itu. 

Di banyak pasar tradisional yang pernah saya kunjungi, saya melihat banyak pedagang yang diperankan oleh kaum ibu. Aktivitas mereka di pasar mengundang perhatian saya karena peran mereka di luar rumah dikalukan pada tengah malam sampai pagi. Peran ganda kaum ibu, di rumah dan di ruang publik seperti itu sangat tidak mudah. 

Menurut data Kajian Studi Gender dan Sosial Perhimpunan Rakyat Pekerja (PRP) Solo menunjukkan fakta, mayoritas dalam aktivitas sosial-ekonomi di berbagai pasar tradisional di Indonesia sebanyak 67 % adalah perempuan sebagai pedagang dan pembeli. Dari populasi pedagang pasar tradisional, 72 % adalah perempuan.

Aktivitas perempuan di ranah publik adalah manivetasi persamaan hak laki-laki dan perempuan. Inilah fakta bagaimana perempuan memainkan peran penting sebagai pedagang di dalam pasar tradisional. Perempuan memiliki kemampuan lebih di luar peranannya sebagai ibu rumah tangga. 


Kita bisa melihat kemampuan perempuan di pasar, mereka ahli dalam menarik pembeli dan selalu cermat menghitung utung-rugi dagangan mereka. Aktivitas mereka di luar rumah dapat memberi keuntungan ekonomi bagi keluarga.

Setiap kali ada kesempatan di waktu tengah malam, saya selalu ke pasar tradisional di Jakarta Selatan. Di pasar itu saya selalu senang ketika ada seorang ibu pedagang sayur memanggil saya, “Nak mau belanja sayur apa? Mari sama ibu.” Di saat saya mendekat ke lapak jualannya, ia lalu menjelaskan manfaat sayur untuk kesehatan. 

Di situlah bedanya belanja di market swalayan dengan di pasar tradisional. Di swalayan, kita hanya bisa ngomel dengan label harga yang kemahalan, juga bosan menunggu antrian panjang saat mau membayar. Begitulah…



Friday, December 13, 2019

Dulu Susahnya di Sekolah


Ujian Nasional atau ujian menghafal sudah lama membudaya di sekolah-sekolah. Dulu setiap kali menghadapi ujian nasional, paniknya minta ampun. Pelajaran yang diterima dari guru seperti hilang begitu saja. Sulit mengingat kembali apa-apa yang pernah disampaikan di ruang kelas itu. 

Metode belajar era dulu kami kenal dengan metode semi militer. Di kelas, ada saja betis atau telapak tangan yang memerah. Biasanya hadiah itu diterima ketika tidak mampu menjawab pertanyaan-pertanyaan guru. Mistar tebal dan penghapus papan menjadi benda multi fungsi selain telapak tangan guru. Secara psikologis, sangat mengganggu kejiwaan dan semangat belajar. Setiap sekolah, selalu ada sosok guru yang paling ditakuti. 

Sekolah dulu seperti perusahaan pabrik. Setiap Bel pagi semua murid berbaris di halaman sekolah, setelah itu masuk dengan tertib dalam ruang kelas. Hari-hari di sekolah dilalui dengan berat, karena ada wajah-wajah garang mengajar di kelas. 

Untuk keluar dari tekanan itu, pilihannya adalah bolos sekolah. Bolosnya anak-anak dulu paling seru kalau di kejar-kejar penjaga sekolah. Guru suka intip-intip dari jendela. Dan yang paling menegangkan, Senin sehabis upacara di lapangan sekolah, para pembolos di undang khusus oleh kepala sekolah. Seperti menerima penghargaan begitu, dan disaksikan oleh seluruh dewan guru dan siswa lainnya, sampai acara selesai, sampai matahari panas terik dan Bel sekolah berbunyi tanda pulang.

Guru-guru sekolah zaman old sebenarnya tidak salah dalam mendidik murid-muridnya. Karena sistem membentuk mereka untuk bertindak seperti itu. Guru-guru dulu hanya belum menemukan cara yang tepat untuk mendidik anak-anaknya secara humanis dan tanpa pilih kasih.

Saat ini kita melihat ada harapan dengan sistem pendidikan di tanah air. Semoga setiap pembelajar menerima transfer pengetahuan dengan merdeka di ruang belajar. Semoga pendidikan membentuk kita untuk memiliki nalar dan karakter yang baik. Karena pendidikan agama saja tidak cukup. 

Dengar-dengar pemerintah mau menghapus Ujian Nasional. Berarti tidak ada lagi ketakutan setiap pelajar menjelang ujian. Tidak perlu lagi ada ritual-ritual khusus malam agar ujian bisa dihadapi esok. Juga tak perlu bawa jimat di ruang kelas biar gurunya keok saat membuka contekan. Kalau ujian sudah dihapuskan, berarti botol air yang pernah didoakan nenek di kampung tidak perlu diwariskan. 

Sunday, December 8, 2019

Cara Pujon Kidul Sukses Mengelola Dana Desa

Source: flickr.com

Desa Pujon Kidul tampak biasa sebagaimana desa-desa lain di Kabupaten Malang, Jawa Timur. Sebelumnya, desa pertanian ini belum menjadi perhatian publik. Kehidupan masyarakat desa juga berjalan seadanya, tidak banyak yang berubah. Aktivitas mereka lebih banyak di sawah, sambil memelihara ternak. Kepala desa silih berganti, pemerintahan di desa juga belum menunjukkan geliat pembangunan.

Pendapatan Asli Desa (PADes) Pujon Kidul saat itu baru berkisar 20 sampai 30 juta per tahun. Pengangguran di desa juga meningkat. Banyak anak-anak muda desa memilih keluar, mencari kerja ke kota. Tetapi pemerintah desa tak tinggal diam, berbagai cara coba dilakukan. Tahun 2015, pertama kali Dana Desa dikucurkan, desa Pujon Kidul mulai berbenah. Pemerintah desa mulai melihat adanya potensi yang kelak bisa dimanfaatkan untuk masyarakat. Kepala desa menyulap desa dengan menjadikan Pujon Kidul sebagai desa wisata. Usaha itupun dirasakan setelah adanya peningkatan signifikan dalam PADes.

Pengelolaan Dana Desa menjadi jalan keluar dari kebuntuan pembangunan Pujon Kidul. Kepala desa berinisiatif melakukan pemetaan potensi terkait kebutuhan pembangunan desa. Kepala desa kemudian mendirikan Badan Usaha Milik Desa (BUMDes) untuk mengelola potensi wisata Pujon Kidul. Beberapa tahun berjalan, pengelolaan wisata memberi dampak positif sehingga pemasukan desa meningkat tajam. Hasilnya, tahun 2018 PADes Pujon Kidul meningkat hingga lebih dari 1,3 Milyar.

***

Belum banyak desa-desa melakukan perubahan secara subtantif. Produktivitas desa selalu lambat dalam berbagai bidang pembangunan. Beberapa kepala desa kerap mengeluh, jika pemberian Dana Desa yang diterima ratusan juta tiap tahun itu belum mampu dikelola untuk mewujudkan cita-cita desa, menyejahterakan masyarakat.

Pemerintah desa tampak kebingungan mengelola dana yang cukup besar itu, apalagi bagi desa-desa yang berada di wilayah timur nusantara. Mereka sadar, pengetahuan (knowledge) dan pengalaman dalam pemerintahan dirasa belum cukup. Beberapa kepala desa merasa seperti menanggung beban berat ketika mengelola Dana Desa. Di sisi lain ada yang berpikir, inilah kesempatan mereka untuk mendapat kekayaan dari Dana Desa. Kepala desa pada akhirnya tergiur untuk melakukan Korupsi. Jabatan kepala desa dimanfaatkan sebagai peluang untuk bermain curang.

Pengelolaan Dana Desa selama ini memang masih menyimpan banyak persoalan. Hasil telaah Badan Akuntabilitas Keuangan Negara (BAKN) DPR RI terhadap hasil pemeriksaan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) RI atas kegiatan pembinaan dan pengawasan pengelolaan Dana Desa tahun anggaran 2015 sampai dengan semester I tahun 2018 di seluruh Indonesia, ditemukan adanya permasalahan utama pengelolaan Dana Desa, baik dalam aspek Pembinaan maupun Pengawasan.

Apa masalah pembinaan pengelolaan Dana Desa saat ini?

Antara lain karena belum adanya regulasi penetapan standar akuntasi pemerintahan desa, belum adanya regulasi penyelenggaraan dan pembinaan aparatur desa yang lengkap, mutakhir serta sesuai dengan peraturan. Selain itu, perencanaan Dana Desa belum dilakukan berdasarkan pemetaan masalah dan kebutuhan desa. Pelaksanaan pembinaan program kegiatannya juga belum sepenuhnya selaras dengan skala prioritas penggunaan Dana Desa.

Lalu bagaimana dengan pengawasan pengelolaan Dana Desa selama ini?

Pada aspek pengawasan pengelolaan Dana Desa, perencanaan pengawasan oleh pemerintah daerah belum mempertimbangkan resiko. Itu terlihat dari beberapa daerah yang tidak memiliki rencana dan pemetaan masalah dalam pembuatan kegiatan pengawasan. Pengawasan yang dilakukan belum sepenuhnya mencakup evaluasi atas kesesuaian APBDes dengan skala prioritas penggunaan Dana Desa dan tidak memuat tindak lajut perbaikan dalam laporan pengawasan. Tapi itu dalam aspek pembinaan dan pengawasan.

Lalu apakah dalam rentang lima tahun ini, atau sejak tahun 2015 sampai 2019 dana yang disalurkan kepada pemerintah desa itu belum mampu memberi manfaat yang berarti bagi masyarakatnya? Rupanya masalah utama pembangunan di desa tidak sekedar berharap mendapat bantuan dana pusat yang diterima desa setiap tahun itu. Di titik ini pemerintah desa dituntut untuk bekerja lebih kreatif dan mampu melahirkan sesuatu yang inovatif untuk menggerakkan roda perekonomian desa.

Pemerintah desa harus keluar dari kebiasaan lama yang hanya berfokus pada sistem pelaporan dan pertanggungg jawaban kegiatan desa. Kebiasaan itu justru mengekang gagasan, kreativitas, serta inovasi pemerintah desa dalam bekerja. Pada beberapa kasus, kepala desa tidak mampu berbuat banyak ketika ada intervensi pihak eksternal yang juga ingin menikmati kue dari Dana Desa. Ada pihak-pihak yang datang dan memanfaatkan desa sebagai ladang proyek. Mereka tahu, di desa mereka bisa mendapatkan jatah dan porsi proyek lebih leluasa.    

Pada situasi seperti itu pemerintah desa dituntut untuk mengubah cara pandang pembangunan yang berorientasi proyek kepada kegiatan-kegiatan produktif dan dilakukan secara partisipatif dengan melibatkan elemen masyarakat, tanpa harus menggeser nilai-nilai kearifan lokal yang mereka miliki sejak lama. Dengan kearifan lokal, akan tumbuh banyak keteladanan dan kebijaksanaan di desa.

***

Kini desa Pujon Kidul menjadi magnet dari para wisatawan. Pemerintah desa berhasil mengubah wajah desa itu menjadi desa wisata dengan ragam wahana. Tidak hanya itu, pengelola wisata juga memberi edukasi kepada pengunjung, seperti kegiatan memerah susu Sapi, menunggangi Kuda, hingga menjual produk-produk pertanian. Tercatat, rata-rata jumlah pengunjung mencapai 3.000 saat hari kerja, dan 5.000 pengunjung di saat hari libur.

Sejak desa Pujon Kidul menjadi desa wisata, masyarakat memiliki banyak usaha tambahan. Anak-anak muda mulai kembali ke desa dengan menjaga homestay, menyewakan Kuda, hingga menjadi pemandu untuk mengenalkan nuansa asri desa kepada setiap pengunjung.

Di sinilah keberhasilan Pujon Kidul melakukan inovasi. Program pemerintah desa memberi efek domino, yang kemudian merambah ke sektor-sektor lain. Udi Hartoko, kepala desa Pujon Kidul mampu memanfaatkan potensi desa dengan menggerakkan seluruh masyarakat. Potensi itu terhampar di desa yang memiliki luas 330 hektare. Kepala desa melihat ada potensi ekonomi di lahan masayarakat. Ia lalu menjadikan perkebunan masyarakat sebagai spot wisata, seperti wisata petik Apel dan sayur-sayuran, sehingga memberi pemasukan bagi petani di desa.

Menurut Udi Hartoko, prinsip mengembangkan BUMDes tak hanya menjadikan BUMDes sebagai sumber penghasilan untuk meningkatkan omset atau PADes. Prinsip yang utama adalah bagaimana BUMDes dapat memberi dampak kepada aktivitas ekonomi masyarakat. Prinsip inilah yang menjadi pegangan desa Pujon Kidul selama ini. Sebab jika hanya mengandalkan Dana Desa, butuh 21 tahun lamanya untuk menjadi desa yang maju. Makanya desa harus mandiri, dengan memanfaatkan berbagai potensi yang dimiliki untuk meningkatkan PADes melalui BUMDes.
“Jangan sampai BUMDes besar, masyarakat tidak bergerak. Jangan sampai jalan lurus, bagus, tetapi urbanisasi massif, kemiskinan tidak menurun, pengangguran juga demikian. Tapi bagaimana BUMDes ini berjalan bersama masyarakat, menata ekonomi yang memberikan dampak lebih luas kepada masyarakat.” (Udi Hartoko, Kepala Desa Pujon Kidul).
   

Tuesday, December 3, 2019

Berobat ke Dokter


2011 lalu kami pernah investigasi beberapa klinik di satu daerah. Hasilnya, kami temukan tabung oksigen dan beberapa peralatan medis yang memiliki watermark Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD). 

Fakta lain, pelayanan dokter di RSUD kurang maksimal. Terlihat tidak ramah dan pelit senyum saat berhadapan dengan pasien. Tapi saat pasien dirawat di klinik swasta milik dokter, pelayanannya full time, senyum dokter merekah bisa 24 jam. Karena bagi sebagian dokter, nota tagihan yang paling penting dari sekedar menyembuhkan penyakit. 

Profesi dokter itu sangat mulia. Tugasnya adalah pengabdian. Saya pernah bertemu banyak orang tua di kampung-kampung, yang kalau sakit mereka tidak berani ke dokter atau rumah sakit. Mereka lebih baik berobat di rumah, dengan memakai cara tradisional.

Sebenarnya mereka bukan tidak mau dengan pengobatan medis, tapi bagi masyarakat yang ekonominya lemah, mereka hanya takut mendengar kalimat: "Pak/Bu, total tagihannya sekian juta. Itu sudah termasuk dengan sarapan bubur telur dan sepotong buah semangka."

Tapi itu dulu, sebelum BPJS menjadi kartu sakti yang sedikit membantu masyarakat untuk mengakses layanan kesehatan. Sekarang tinggal dokternya, apakah mereka benar-benar menjujung tinggi profesinya sebagai seorang yang memiliki ilmu untuk berusaha menyembuhkan penyakit, atau sebagai pebisnis yang mencari keuntungan dari orang-orang sakit?

Kalau memang begitu, kenapa dulu kuliah tidak masuk jurusan bisnis.

Monday, December 2, 2019

Petani Butuh Hutan, Bukan Tambang Mangan

kebun Cengkeh dalam kawasan Perhutanan Sosial


 “Kami tidak setuju tambang itu masuk di kawasan hutan. Sudahlah pak, jangan bawa masalah di kampung kami!” kata seorang warga dari sudut ruang kantor desa, yang kemudian disusul suara-suara keras dari warga lain.

Aula Kantor Desa Kumbewaha hari itu sudah dipadati warga. Masyarakat datang memenuhi undangan kepala desa, Muharuddin. Kepala desa berinisiatif mengundang masyarakat setelah mendengar kabar kalau pihak perusahaan tambang akan datang bertemu masyarakat desa untuk membicarakan kembali rencana-rencana mereka melakukan penambangan di dalam kawasan hutan. Diskusi berlangsung alot, masyarakat juga geram melihat seorang perwakilan perusahaan yang datang menemui mereka. 

Situasi desa Kumbewaha hari itu tampak berbeda dari biasanya. Masyarakat petani memutuskan tidak ke kebun, begitu juga dengan nelayan. Mereka tidak melaut demi membangun solidaritas, bersama-sama membangun gerakan, menolak keberadaan perusahaan tambang yang akan mengeruk kekayaan sumber daya alam di desa mereka.

Solidaritas masyarakat desa Kumbewaha yang menolak tambang bukan pertama kali ini dilakukan. Sebelumnya, masyarakat desa juga pernah melakukan gerakan serupa, namun kali ini gerakan mereka lebih terbuka dengan melakukan demonstrasi ke pemerintah daerah. Meskipun, ada beberapa warga yang pro dengan masuknya perusahaan tambang. Mereka mendukung keberadaan tambang yang konon akan memberi peluang kerja masyarakat lokal serta berharap adanya bantuan-bantuan perusahaan yang diberikan kepada desa.

Siasat Perusahaan Tambang Hadir di Desa

Perusahaan tambang punya banyak cara untuk mendekatkan diri mereka dengan masyarakat lokal agar keberadaan perusahaan bisa diterima. Pihak perusahaan sadar, bahwa setiap kegiatan penambangan kerap mendapatkan penolakan dari masyarakat. Makanya pihak perusahaan selalu membuat berbagai skema program. Ada yang berupa bantuan uang untuk kelompok masyarakat, ada bantuan pembangunan infrastruktur desa. 

Dari banyak perusahaan tambang yang beroperasi di Pulau Buton, salah satunya adalah PT Malindo Bara Murni. Sejak tahun 2009 PT Malindo Bara Murni sudah mengantongi Izin Usaha Pertambangan (IUP), yang ditanda tangani oleh Bupati Buton saat itu, Syafei Kahar. Dengan mendapat IUP, PT Malindo Bara Murni menguasai 695 hektar areal lahan di desa Kumbewaha, Kecamatan Siontapina, Kabupaten Buton sampai dengan tahun 2029, atau izin tersebut berlaku selama 20 tahun lamanya.

Muharuddin belum lama dilantik sebagai kepala desa Kumbewaha. Ia dilantik 23 Desember 2018 lalu dan baru aktif pada Januari 2019. Tak banyak yang ditahu kepala desa saat ini mengenai kegiatan pertambangan di desanya. Begitu juga tentang skema program, atau bantuan yang diberikan pihak perusahaan kepada desa. Pernah seseorang diutus pihak perusahaan untuk memberikan bantuan pembuatan jalan tani kepada pemerintah desa. Namun, pemerintah desa punya mekanisme soal pemberian bantuan.

Pemerintah desa Kumbewaha meminta kepada perusahaan tambang agar melayangkan surat lebih dulu sebelum program itu dikerjakan di desa. Pemerintah desa tentu punya aturan terkait bantuan dari pihak swasta. Apalagi kalau bantuan itu asalnya dari perusahaan tambang. Sifatnya lebih pada komitmen bersama dan saling menguntungkan demi memuluskan kepentingan perusahaan untuk melakukan penambangan. 

IUP dan Sikap Pemda Buton

PT Malindo Bara Murni diberi izin usaha untuk melakukan penambangan di desa Kumbewaha, Kecamatan Siontapina, Kabupaten Buton dengan jenis komoditas Mangan. Dalam situs resmi ESDM One Map pada geoportal.esdm.go.id, terdaftar PT Malindo Bara Murni memiliki luas wilayah pengelolaan 602,00 Ha. Luasannya sedikit berbeda dengan laporan sebelumnya, yakni 695 Ha.

Namun beberapa tahun perusahaan itu beroperasi, aktivitas penambangan terhenti karena harga jual Mangan di pasar mengalami anjlok. Jatuhnya nilai jual Mangan tidak hanya membuat kegiatan penambangan terhenti, tapi juga pihak perusahaan mengabaikan kewajiban mereka untuk melaporkan kegiatan semester kepada pemerintah daerah.

Pemerintah daerah Kabupaten Buton sempat menunjukkan reaksi tegas kepada perusahaan tambang di Desa Kumbewaha, Kecamatan Siontapina. Menurut Pemda Buton, PT Malindo Bara Murni telah dicabut izin lingkungannya sejak tahun 2013. Namun dari hasil temuan mereka, perusahaan itu masih terus beroperasi dan melakukan penambangan hingga saat ini. Pihak pemerintah daerah juga menemukan nama PT Arfah Indo Sarana yang melakukan aktivitas penambangan di desa Kumbewaha dengan memakai IUP PT Malindo Bara Murni.

“Setelah kami cek di sana (Desa Kumbewaha), kami temukan PT Arfah Indo Sarana melakukan aktivitas penambangan Mangan menggunakan IUP PT Malindo,” kata La Ode Zahaba, Selasa (12/3/2019). (Dikutip dari SULTRAKINI.com)

Izin lingkungan atas pengelolaan tambang di desa Kumbewaha memang tidak lepas dari intervensi pemerintah daerah Kabupaten Buton. Meski saat ini kewenangan penambangan telah diambil alih oleh pemerintah provinsi. Dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, dan PP 27 Tahun 2012, dijelaskan bahwa perusahaan yang melakukan aktivitas penambangan wajib melapor ke pemerintah daerah setempat terkait Surat Pernyataan Pengelolaan Lingkungan (SPPL), dua kali dalam setahun.

Terkait sikap Pemda Buton terhadap legalitas PT Malindo yang melakukan penambangan di desa Kumbewaha, pihak perusahaan mengaku telah memperpanjang IUP kepada pemerintah provinsi sampai dengan tahun 2029. Begitu juga dengan pemberitahuan dan kewajiban izin lingkungan mereka, prosesnya sudah selesai di Pemda Buton.

Berbagai Bantahan PT Malindo Bara Murni

Seorang warga desa Kumbewaha, Muhis Ismail mengatakan, tahun 2013 pernah ada rekomendasi dari DPRD Kabupaten Buton tentang penghentian aktivitas penambangan PT Malindo Bara Murni. Namun hal itu dibantah oleh pihak PT Malindo. Menurut mereka, tidak ada rekomendasi dari DPRD Buton untuk pemberhentian penambangan.

Bantahan demi bantahan terus dikeluarkan oleh pihak penambang, PT Malindo Bara Murni. Mereka mengaku selama proses penambangan itu dilakukan, perusahaan selalu melaksanakan kewajiban sesuai dengan aturan. Kemudian mengenai kehadiran perusahaan tambang yang menimbulkan kesenjangan sosial, ini juga dibantah oleh pihak PT Malindo. Kata mereka, perusahaan telah banyak berkontribusi kepada masyarakat desa. PT Malindo pernah menghibahkan tanak hak milik perusahaan untuk pembangunan Puskesmas, kemudian menyumbang untuk pembangunan rumah adat (Baruga) dan pembangunan Masjid. Mereka pernah melakukan pertemuan dengan pemerintah desa, tokoh masyarakat, kelompok pemuda dan dinas terkait dalam mendukung hadirnya perusahaan tambang di desa Kumbewaha. PT Malindo juga sudah merekrut sekitar 30 orang untuk bekerja sebagai penambang.
   
Mengenai dampak kerusakan lingkungan: putusnya sumber mata air dan tanaman yang rusak karena kegiatan pertambangan, perusahaan mengklaim telah melakukan reklamasi. Mereka membantah telah merusak tanaman dan sumber mata air. Kemudian terkait nama PT Arfah Indo Sarana (AIS) yang menggunakan IUP PT Malindo Bara, pihak perusahaan menjelaskan bahwa keberadaan PT AIS bukan sebagai penambang, melainkan sebagai pemilik alat yang di sewa oleh PT Malindo.

Gerakan Masyarakat Desa Menolak Tambang

Hari itu Jumat (5/4/2019), bertempat di kantor pemerintah desa Kumbewaha, masyarakat dengan tegas menolak PT Malindo Bara Murni yang melakukan kegiatan pertambangan di desa mereka. Pertemuan dihadiri oleh perangkat desa, Camat Siontapina, serta pihak perusahaan. Dalam pertemuan itu, masyarakat desa menuntut agar segera menghentikan segala aktivitas pertambangan karena telah memberi dampak kerusakan lingkungan dan mengakibatkan bencana banjir di desa.

“Penambangan Mangan yang dilakukan PT Malindo Bara Murni menimbulkan keresahan di masyarakat. Banyak tanaman masyarakat rusak atau mati akibat limbah pabrik yang mencemari lingkungan.” Ungkap Muhlis Ismail, seorang warga desa Kumbewaha.  

Begitu juga yang dikatakan Syahril, Sekretaris Desa Kumbewaha, ia menilai keberadaan perusahaan tambang di desa tidak memberi manfaat bagi masyarakat desa. Kegiatan pertambangan justru menimbulkan kesenjangan sosial. Hadirnya perusahaan tambang telah mempengaruhi berbagai aspek kehidupan masyarakat.

konsolidasi masyarakat petani

Dari aspek lingkungan, PT Malindo Bara Murni tidak pernah melibatkan masyarakat dalam penyusunan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (Amdal). Pihak perusahaan tidak melakukan sosialiasasi di masyarakat desa untuk membahas kondisi lingkungan ketika mereka melakukan penambangan. Perusahaan juga tidak memikirkan dampak-dampak negatif yang dirasakan masyarakat desa ketika alat-alat berat itu beroperasi melakukan aktivitas penambangan.

Kemudian dari aspek ekonomi, banyak fakta menunjukkan kegiatan pertambangan tidak memberi kesejahteraan masyarakat. Pertambangan hanya dinikmati oleh segilintir orang. Dari sisi lain, masuknya perusahaan tambang dengan cepat mempengaruhi perilaku dan kehidupan masyarakat. Masyarakat lokal yang tadinya guyub dan rukun, kehidupan mereka bisa berubah dengan penuh persaingan. Masyarakat saling berebut lahan lalu menjualnya kepada perusahaan. Keberadaan perusahaan tambang sebagaimana di banyak daerah, menghadirkan beragam konflik serta menghidupkan api permusuhan di antara masyarakat.   

Berkaca Pada Beberapa Kasus Tambang di Pulau Buton

Walhi Sulawesi Tenggara menghimpun beberapa kasus konflik tambang yang pernah terjadi di Pulau Buton. Di Kecamatan Talaga, konflik antara masyarakat desa dengan PT Arga Morindo Indah (AMI). PT AMI merupakan salah satu perusahaan tambang Nikel yang memiliki IUP lintas Kabupaten di pulau Kabaena, antara Kabupaten Buton (sekarang Kabupaten Buton Tengah) dan Kabupaten Bombana.

Beberapa kali masyarakat desa Kecamatan Talaga melakukan unjuk rasa. Mereka menuntut ganti rugi lahan dan tanaman yang diserobot perusahaan tambang. Pada kali berikutnya, masyarakat dan mahasiswa menggelar aksi. Namun gerakan penolakan tambang itu menjadi ricuh. Sebanyak 7 mahasiswa dan 6 warga Talaga ditahan polisi. Mereka lalu dijebloskan ke penjara, saat itu dipertengahan Mei 2010.    

Peristiwa serupa juga pernah terjadi di Kota Baubau. Masyarakat sekitar tambang menolak keberadaan PT Bumi Inti Sulawesi (BIS) yang berada dalam kawasan hutan Bungi – Sorawolio (BUSO).  Bungi - Sorawolio merupakan kawasan pertanian dan perkebunan yang tidak diperuntukkan untuk kawasan pertambangan. Meskipun Pemda Kota Baubau dengan cepat merubah kebijakannya di dalam Perda Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) untuk meloloskan perusahaan tambang yang berada di kawasan agriculture.   

Hadirnya pertambangan di Kota Baubau menyulut emosi masyarakat saat itu. Mereka melakukan demonstrasi berturut-turut, menuntut Walikota Baubau untuk menghentikan aktivitas pertambangan yang sudah merugikan masyarakat petani dan nelayan di Kecamatan Bungi dan Sorawolio.

Perjuangan masyarakat yang menolak keberadaan PT BIS cukup panjang. Beberapa dari aktvitis gerakan mendapat teror dan intimidasi. Pada beberapa kali aksi demo, tidak sedikit dari mereka mendapat tindakan represif aparat. Juga masyarakat yang berada di Keluarahan Lowu-Lowu dan Kolese Kecamatan Bungi, mereka kerap mendapat ancaman dari oknum yang berada di pihak perusahaan tambang. Tapi pada akhirnya perusahaan itu diam. PT BIS tak bisa berbuat banyak, Nikel-nya tidak bisa lagi dibawa ke luar. Masyarakat juga berhasil menutup akses jalan tambang yang menuju dermaga.

Masyarakat sekitar hutan kawasan BUSO sangat berharap tak ada lagi aktivitas pertambangan di wilayah itu. Kerusakan hutan akibat tambang Nikel telah memperburuk kondisi lingkungan dan kerusakan hutan. Beberapa tahun terakhir, banjir telah merendam puluhan hektar sawah dan rumah di Kecamatan Bungi. Masyarakat petani mengalami gagal panen di beberapa musim. Makanya produktivitas pertanian dari tahun ke tahun menjadi lambat.

Begitu juga dengan masyarakat Kecamatan Kapontori, Kabupaten Buton. Awal Agustus lalu, Forum Tolak Tambang Kapontori meminta Gubernur Sulawesi Tenggara, Ali Mazi untuk mencabut IUP PT Energy Revolution. Masyarakat juga meminta pihak perusahaan untuk mengurungkan niatnya mengelola tambang Nikel di dalam kawasan hutan Lakumala, yang luasnya mencapai 438 hektar.

Kegiatan pertambangan di wilayah Kecamatan Kapontori sebelumnya pernah juga dilakukan beberapa tahun lalu. Anehnya, IUP yang dipegang perusahaan tambang itu masuk dalam kawasan hutan Lambusango. Kita tahu, hutan Lambusango adalah hutan konservasi, hutan yang dilindungi karena menyimpan kekayaan cagar alam. Saat itu, aktivitas penambangan Nikel tidak hanya merusak fungsi hutan, tapi juga merusak ekosistem Teluk Kapontori.       

Gerakan Petani Melestarikan Lingkungan

La Ode Idham telah diberi kepercayaan untuk menjadi ketua Jaringan Kelompok Tani se kecamatan Siontapina, Kabupaten Buton. Jaringan tersebut adalah kumpulan dari kelompok-kelompok tani hutan yang selama ini konsisten melestarikan hutan dan lingkungan. La Ode Idham cukup lama bergelut dalam dunia tani. Ia juga masih merawat relasinya dengan beberapa kelompok NGO yang pernah mendampingi dan memfasilitasi kelompok masyarakat untuk mengembangkan berbagai potensi sumber daya alam di desanya. La Ode Idham, adalah pendiri Kelompok Tani Hutan Alam Watabaro di desa Kumbewaha. Sudah bertahun-tahun ia aktif di dalam kelompok, bersama dengan para petani.   

La Ode Idham di kebun Cengkeh kelompok tani

Keberadaan Kelompok Tani Hutan Alam Watabaro selama ini cukup membantu masyarakat desa untuk mengembangkan berbagai potensi sumberdaya. Kelompok itu menjadi sarana komunikasi antar petani. Melalui kegiatan dan pertemuan-pertemuan kelompok, La Ode Idham membangun kesadaran setiap petani untuk tetap mempertahankan fungsi hutan dengan melakukan pengawasan agar tidak dirusak dan dimanfaatkan secara berlebihan.

Walhi Sulawesi Tenggara secara konsisten mendampingi kelompok-kelompok tani di wilayah itu, dengan melakukan fasilitasi untuk beberapa pelatihan penguatan kapasitas petani di sana. Pada Oktober 2018, Walhi fokus untuk mendorong program Perhutanan Sosial di beberapa desa di Pulau Buton. Sebelumnya, program ini telah ada sejak tahun 2013, namun sempat terhenti. Oleh karenanya, Walhi berinisiatif untuk menghidupkan kembali program itu, dengan skema dan konsep yang telah dibuat.

Khusus di Provinsi Sulawesi Tenggara, program Perhutanan Sosial masuk di tiga wilayah: Pertama, Desa Kumbewa, Kabupaten Buton, Kedua, Kelurahan Liabuku dan Waliabuku, Kota Baubau, Ketiga, Desa Kanapa-Napa, Kabupaten Buton Tengah. Melihat keaktifan kelompok tani dalam menjalankan program, Walhi kemudian memfasilitasi untuk membentuk jaringan kelompok yang tersebar di beberapa wilayah, dengan harapan untuk membangun kelompok yang lebih besar: bisa saling berbagi pengalaman dan lebih mudah dalam menyelesaikan masalah.

Sejak dipercaya menjadi ketua jaringan kelompok tani, La Ode Idham kian gencar melakukan konsolidasi dan mengadakan pertemuan-pertemuan bersama kelompok tani. Pertemuan bertujuan untuk membangun kesepahaman bersama mengenai pemanfaatan kawasan hutan, termasuk perjuangan kelompok tani dalam pengelolaan hutan secara adil dan lestari.

Program Perhutanan Sosial yang digawangi Walhi sangat penting untuk diteruskan. Mengingat, selama ini kawasan hutan lebih besar diberikan kepada korporasi, perusahaan tambang atau kepada perusahaan perkebunan Kelapa Sawit. Tentu tidak ada keadilan bagi masyarakat tani yang tinggal di sekitar kawasan hutan. Petani tidak mampu memanfaatkan sumberdaya karena keterbatasan alat produksi, ketersediaan lahan, serta akses modal dan pasar.

Skema Perhutanan Sosial memberi kesempatan kepada setiap petani untuk mengelola kawasan hutan. Sistem pengelolaannya apakah melalui Hutan Kemasyarakatan (HKm), Hutan Desa, Hutan Tanaman Rakyat (HTR), hutan adat, atau kemitraan kehutanan. Walhi sendiri telah lama mendorong program ini melalui konsep Wilayah Kelola Rakyat (WKR), yaitu bagaimana memberikan hak masyarakat lokal untuk memanfaatkan dan mengelola kawasan hutan secara adil dan lestari. Melalui program Perhutanan Sosial, diharap dapat memberi rasa aman kepada masyarakat, meningkatkan produktivitas dan kemandirian ekonomi.

Dalam menjaga kelestarian hutan, masyarakat sekitar hutan memegang tiga prinsip fungsi hutan, yaitu: (1) Fungsi Alam. Sumberdaya untuk kehidupan makhluk hidup (2) Fungsi Sosial. Kawasan hutan menjadi tempat bertemunya masyarakat, sebagai pusat ritual, membangun kebudayaan dan mengelola sumberdaya dengan kepercayaan adat istiadat dan nilai-nilai kearifan lokal (3) Fungsi Ekonomi. Masyarakat tani memanfaatkan potensi sumberdaya hutan untuk produktivitas ekonomi namun dengan tidak merubah fungsi kawasan hutan agar tetap terjaga kelestariannya.  

Kegiatan-kegiatan kelompok tani hutan di Kecamatan Siontapina masih terus dilakukan. Begitu juga dengan La Ode Idham, ia terus menjalin komunikasi dengan kelompok-kelompok tani lain agar tumbuh kesadaran dan kesepahaman bersama dalam menjaga hutan dari pihak-pihak yang merusak. Keberadaan PT Malindo Bara Murni yang hingga kini masih melakukan penambangan Batu Mangan menjadi ancaman bagi masyarakat desa. Tentu masyarakat tidak diam, mereka membangun kekuatan bersama untuk menolak keberadaan tambang di sekitar kawasan hutan. Hutan yang selama ini menjadi rumah bersama, menjadi tempat berlindung dan memberi sumber kehidupan masyarakat desa.

“Kalau perusahaan tambang itu tidak segera angkat kaki dari kampung kami, maka gelombang gerakan petani akan terus menghantam perusahaan itu. Sampai mereka benar-benar meninggalkan kawasan hutan” (La Ode Idham, Ketua Jaringan Kelompok Tani)

Diskusi berlangsung alot hari itu (5/4/2019). Setelah melalui perdebatan panjang, tercapai sebuah kesepakan bersama antara Camat Siontapina, Pemerintah Desa Kumbewaha, dan pihak PT Malindo Bara Murni untuk mengehentikan aktivitas pertambangan. Pihak perusahaan akhirnya setuju dan mengakomodir permintaan masyarakat. Kesepakatan bersama itu tertuang dalam Berita Acara yang ditandatangani langsung oleh Camat Siontapina, Pemerintah Desa Kumbewaha, dan perwakilan PT Malindo Bara Murni. Saat itu juga masyarakat desa menutup akses jalan menuju perusahaan.






Popular Posts