Sunday, June 30, 2019

Gaya Hidup Ngopi



"Dimana itu bro?!" Suara saya agak keras di telepon karena penasaran dan sinyal telepon sendat-sendat. Apa, Kopi Paku?

Menurutnya tempat ngopi disitu bisa lebih asyik, istimewa katanya dengan melebih-lebihkan. Kopi Pangku sudah ada sejak lama dan terkenal tempatnya disatu kawasan wisata puncak di Jawa Barat. Namanya sudah tidak asing lagi di kalangan penikmat kopi. Meski diberi nama Kopi Pangku, tapi sebetulnya yang paling banyak dicari adalah pelayanan lebih dari sekedar ngopi dsitu.

Ia terus membujuk. Kata dia, ngopi disitu lebih ekslusif. Sama dengan ngopi di kawasan bundaran HI Jakarta, yang harga segelas kopi bisa sama dengan harga satu gram emas 24 karat. Aje gile, padahal kerjaannya kurang jelas. Hari-harinya lebih banyak bersama orang-orang parpol. Dalam bahasa keren, kerjanya sebagai makelar politik. Next, itu bukan urusan saya.

Budaya ngopi masyarakat modern telah masuk dalam ruang gaya hidup, senafas dengan prilaku konsumtif masyarakat metropolitan.

Dalam kelas sosial, aktivitas ngopi atau minum kopi lebih pada soal selera dan harga. Misalnya ngopi di Starbucks atau dibilangan Sarinah Jakarta sana, lebih di dominasi konsumen kelas menengah dan atas. Berbeda dgn Warung Kopi saschetan yang ramai ditongkrongi supir truk atau penangguran garis keras.

Sampai akhirnya perubahan budaya ngopi membawa kita pada soal gaya hidup. Setiap kita memang punya selera berbeda tentang kopi. Mau ngopi pakai Espresso atau Saschetan, para penikmat kopi sejati tidak melihat kopi apa yang di minumnya, tapi bagaimana cara memperlakukan kopi itu untuk di minum.

Sebagaimana Kopi Pangku. Tanya saya pada teman makelar itu, "Apa ngopi disitu bisa sambil berselimut dan bobo cantip? Kan bayarnya nanti pake Bitcoin."

"Hallo! Bagaimana?!" Tanpa sengaja gelas kopi yang sejak tadi ditangan terlepas jatuh di lantai dan pecah berantakan ☕


Friday, June 14, 2019

Surat Cinta Untuk Ibu




Ibu, sebenarnya ini bukan pilihan terbaik yang engkau harapkan. Aku sedang mencari jalan, seperti nahkoda mencari arah dari kompas. 

Ibu, keberanianku muncul saat melihatmu saban hari mendoakanku seperti gelombang yang tak pernah henti.

Ibu, seberat apapun kerja yang kulakukan, inilah yang membentuk aku untuk menjadi kuat. 

Ibu, kutitip rindu dan cinta pada angin dan debur ombak untukmu yang setiap senja ada ditepi pantai menungguku pulang. 

Ibu, aku mungkin tak seperti anak-anak lain yang sejak pagi berseragam sekolah. 

Ibu, percayalah semua yang kulakukan hanya untuk melihatmu tersenyum. Aku yakin, Ayah pasti ikut bahagia di alam sana.

Tuesday, June 11, 2019

Kritik Polisi Tangani Konflik

Di saat ada elemen, kelompok mahasiswa dan beberapa Organda melancarkan kritik, khusus kepada bapak-bapak polisi karena dianggap kurang responsif, lambat, tidak tegas, dan seterusnya - dan seterusnya. Tapi mereka luput dari tugas polisi di lapangan. Bagaimana kondisi mereka dalam tugas-tugas pengamanan. 

Masalahnya bukan mau melakukan suatu upaya untuk membantu korban yang terdampak konflik, atau paling tidak melakukan investigasi atas apa yang terjadi sesungguhnya disana. Yang kolot, selalu ada narasi "Copot Kepala Polisi Resor", karena dianggap gagal dalam pengamanan. 

Bagi kelompok mahasiswa, persepsi tentang polisi selalu dianggap pihak lawan yang represif dalam setiap pengawalan demonstrasi. Mahasiswa kerap terkena gas air mata, pentungan, atau bahkan tendangan halilintar. Tapi begitulah, setiap institusi di negara ini memang butuh kontrol setiap kita, agar kinerja lembaga pemerintahan bisa berjalan semestinya.

Tapi apakah kita menyalahkan sepenuhnya sebab terjadinya peristiwa ini kepada kepolisian? Tanpa menilisik lebih dalam atas apa yang terjadi sesungguhnya? Sebaiknya kita melakukan intropeksi sebelum membuat kesimpulan. 

Kita tidak sedang saling menyalahkan. Konflik antar warga di dua desa itu menjadi pelajaran amat berarti untuk semua kita agar tidak terjadi lagi dikemudian hari. Menurut saya, sebaiknya setiap kita bahu membahu membantu para korban, mencegah terjadinya konflik dan menyadarkan pihak-pihak yang berseteru agar mau duduk bersama. 

Zaman semakin modern, mestinya generasi-generasi kita tidak lagi memakai cara pikir yang purba. Lakukanlah cara-cara sederhana namun akan sangat berarti bagi orang lain.


Ket: Sholat Jumat disalah satu ruas jalan desa. Polisi sedang berjaga diantara dua kubu yang siap serang. 
Photo: Ayhan

Enam Analisis yang Dapat di Petik Dari Konflik Etnis di Buton

Seorang kawan, anggota Polres Buton mengabarkan melalui telepon, sampai tengah malam tadi situasi di lokasi konflik masih mencekam. Sejumlah aparat (TNI dan Polri) terus berjaga. Bala bantuan ratusan personel Polda Sultra telah di datangkan. Sebab, tanda-tanda konflik itu semakin meluas, juga beredar informasi jika sekelompok warga dari desa lain akan masuk untuk menambah kekuatan pasukan yang melakukan penyerangan. Makanya, jumlah personil Polisi ditambah. 


Kawan itu sudah beberapa hari di lokasi kejadian, di zona konflik antara warga Desa Sampuabalo dan warga Desa Gunung Jaya. Tahun ini ia tidak merasakan hangatnya berlebaran bersama keluarga. Sejak konflik itu pecah tepat di hari lebaran, Rabu (5/6), ia langsung mendapat tugas, atasannya memberi perintah untuk segera menuju lokasi kejadian. Katanya, saat tiba, ia masih sempat melihat rumah-rumah warga Desa Gunung Jaya menyala, dilalap si jago merah yang sumbernya dari bom molotov yang dilemparkan. Tak butuh berapa lama, kampung itu berubah menjadi lautan api, asap hitam mengepul menutup birunya langit. Api dengan sangat cepat membakar karena rata-rata rumah yang menjadi sasaran itu berbahan kayu.  

Saya, yang berada dalam zona aman, yang terpaut jarak sekira 60-an kilometer dari lokasi kerusuhan, turut merasakan kesedihan yang amat dalam setelah menyaksikan pertikaian sesama saudara di desa. Di luar perkiraan saya yang sering berkunjung ke desa-desa itu, saya selalu melihat warga yang hidupnya rukun, tak ada konflik yang se bengis seperti kejadian saat ini. Menurut pengakuan beberapa kawan, dua desa itu sudah sering berkonflik, namun dengan masalah-masalah sepeleh. Biasanya dibawah pengaruh alkohol, tapi masih bisa diatasi dan tidak sampai meluas.

Boleh jadi, konflik yang bermula dari konvoi motor oleh sekelompok pemuda tepat di hari lebaran itu adalah akumulasi dari rangkaian konflik-konflik sebelumnya. Konflik antar desa itu sudah sering terjadi dan saling berbalas serang, hingga sampailah di titik klimaks. Selain itu, isu etnis paling rentan di "goreng" oleh oknum-oknum yang menginginkan kedua kelompok sub etnis itu berkonflik. Disebarlah stigma-stigma negatif kepada kelompok sub etnis yang merasa inferior dan tidak pantas memperoleh akses tanah atau hak kelola sumberdaya. Oleh masyarakat desa yang mendapatkan stigma negatif itu, terbentuk kesadaran kolektif untuk melakukan perlawanan terhadap mereka kelompok yang merasa superior. 

Fenomena konflik antar desa penyebabnya bisa dilihat dari beberapa sudut pandang dan apa saja faktor-faktor yang mempengaruhi. Tapi alasan mengapa konflik antar warga selalu terjadi, topik-topik yang paling sering dibicarakan adalah soal kemiskinan dan lapangan kerja. Berkaca pada kasus di daerah lain, ada beberapa analisis yang dapat dipetik: Pertama, adanya klaim sejarah kepemilikan dan penguasaan lahan serta ketidakjelasan batas wilayah antar desa. Kedua, Romantisme kekerasan yang diwariskan turun temurun sehingga dengan mudah membentuk perilaku masyarakat yang hobi dengan kekerasan. Ketiga, Penegakan hukum yang lemah, cenderung tidak adil, lambat menangani kasus, dan adanya pembiaran dalam melihat kasus-kasus kekerasan. Keempat, angka pengangguran yang tinggi, sementara ketersediaan lapangan kerja terbatas juga rendahnya tingkat pendidikan yang dimiliki anak-anak muda desa. Kelima, pergeseran skala konflik, yang bermula dari hal sepeleh dengan melibatkan pelaku yang sangat personal, namun dalam waktu singkat berubah menjadi konflik komunal. Keenam, terbatasnya ruang publik dan hiburan sebagai tempat untuk mengekspresikan diri, khusus bagi kelompok anak muda yang kurang mendapat perhatian dan pembinaan untuk kegiatan-kegiatan produktif.

Tentu masih ada faktor-faktor lain yang memicu terjadinya konflik antar warga di desa. Tapi apa yang diharapkan saat ini agar konflik tidak berkepanjangan dan tidak lagi memakan korban jiwa, maka masing-masing pihak yang berseteru bisa menahan diri, tidak terpancing dengan isu-isu yang memicu konflik serta adanya provokasi dari oknum yang mendapatkan keuntungan dari peristiwa ini. Pemerintah daerah bersama pihak keamanan segera mengambil langkah preventif dan melakukan rekonsiliasi kepada dua kelompok warga desa yang berkonflik agar situasi di daerah kembali kondusif. 

Dari lokasi kejadian, teman polisi itu kembali menelfon saya, memberitahu kalau hingga kini situasi masih belum begitu aman. Ia juga belum tidur semalaman karena harus siaga, melakukan patroli agar tidak ada penyusup yang coba menambah sutuasi jadi kacau. 
Kita berharap, situasi disana bisa segera pulih dan masyarakat di pengungsian dapat kembali ke desa dengan tenang dan aman.

Popular Posts